• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibadat sebagai Pengalaman Kehadiran Ilahi

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 93-110)

Pandangan Cak Nur mengenai jalan mengalami pengalaman Ke-hadiran Ilahi—yang disebutnya sebagai inti dari Neo-Sufismenya, termuat dalam pengertiannya mengenai ibadah sebagai dasar peng-alaman kehadiran Tuhan itu. Karena tema kehadiran Tuhan ini be-gitu sentral dalam pemikiran keagamaan Cak Nur ini, maka dalam

pasal ini akan dideskripsikan makna ibadat itu sebagai dasar peng-alaman kehadiran Tuhan tersebut, berikut dasar filosofisnya.

Pada dasarnya semua agama menyetujui bahwa ibadat (‘ibâdah) adalah bagian yang sangat penting dari setiap agama atau keperca-yaan. Ibadat berati pengabdian—yang, menurut Cak Nur, seakar dengan kata-kata Arab, ‘abd, yang berarti hamba atau budak. Dalam pengertian lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manu-sia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap, serta niat pengabdian diri kepada Tuhan untuk menempuh hidup dengan kesadaran penuh: perihal makna dan tujuan keberadaan manusia yang hanya untuk perkenan Allah.82

Di sini ada persoalan yang menarik yang diajukan oleh Cak Nur, “Apakah manusia tidak cukup dengan iman saja, dan berbuat baik tanpa perlu beribadat?” Seperti halnya Albert Einstein yang menga-takan bahwa ia percaya kepada Tuhan, dan keharusan berbuat baik, tanpa merasa perlu—karena dianggap tidak ada gunanya—mema-suki agama formal seperti Yahudi dan Kristen? Kata Cak Nur, per-tanyaan ini mensugestikan hal yang logis dan masuk akal. Apalagi Kitab Suci sendiri, yang dielaborasi dalam banyak entri dalam ensi-klopedi ini, juga selalu berbicara tentang iman dan amal saleh, dua serangkai nilai amaliah yang harus dipunyai manusia untuk menda-patkan keselamatan. Namun, demikian Cak Nur, dalam penelaahan lebih lanjut, pertanyaan itu bisa menimbulkan berbagai masalah.83

Pertama, dalam kenyataan historis tidak pernah ada sistem ke-percayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus. Bahkan pandangan hidup yang tidak berpretensi religiusitas sama sekali, malahan berprogram menghapuskan agama seperti ko-munisme, menurutnya juga, mempunyai sistem ritualnya sendiri.

Masalah kedua, iman, berbeda dari sistem ilmu filsafat yang ber-dimensi rasionalitas, selalu memiliki ber-dimensi supra-rasional atau

spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan de-votional (kebaktian) melalui sistem ibadat. Bagi Cak Nur, tindakan-tindakan kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memper-kuat rasa kepercayaan, dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam perbuatan, tapi juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tak kecil artinya bagi rasa kebahagiaan.

Masalah ketiga, memang benar yang penting adalah iman dan amal saleh—yaitu suatu rangkaian dari dua nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lain (amal saleh). Tetapi, lanjut Cak Nur, iman yang abstrak itu, untuk dapat melahirkan dorongan dalam diri seseorang ke arah perbuatan yang baik, haruslah memiliki kehangat-an dkehangat-an keakrabkehangat-an dalam jiwa seorkehangat-ang ykehangat-ang berimkehangat-an, dkehangat-an ini hkehangat-anya bisa diperoleh melalui kegiatan ‘ubûdiyah—yang bersifat ibadat.84

Di sinilah, menurut Cak Nur, ibadat dapat menjadi penengah antara iman yang abstrak dan amal perbuatan yang konkret. Sebagai konkretisasi rasa keimanan, ibadat mengandung arti intrinsik seba-gai pendekatan kepada Tuhan (taqarrub). Dalam ibadat itu, seorang hamba Tuhan (‘abd Allâh) merasakan kehampiran spiritual kepada Tuhannya. Pengalaman keruhanian ini sendiri, menurut Cak Nur, merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai “inti rasa keagama-an” bahkan “religiusitas”, yang dalam pandangan mistis seperti pada kalangan sufi memiliki tingkat keabsahan paling tinggi,85 justru ka-rena menekankan tanggung jawab pribadi dan hubungan langsung kepada Tuhan.86

Tetapi, di samping makna intrinsiknya, lanjut Cak Nur, ibadat juga mempunyai makna instrumentalnya, karena ia bisa dilihat se-bagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jamâ‘ah) ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral.87 Ibadat juga secara psikologis mempunyai kaitan dengan jawaban atas pertanyaan eksistensial: siapa sebenarnya diri kita itu? Misalnya iba-dah haji. Sebelum ihrâm, disunatkan mandi dulu. Mandi itu, selain

memang secara fisik sangat berguna, secara metaforis juga member-sihkan diri sendiri. Lalu berpakaian yang tidak terjahit. Ini maksud-nya adalah peringatan supaya manusia bisa kembali kepada keada-an diri ykeada-ang sebenarnya: tkeada-anpa topeng, tkeada-anpa tabir, tkeada-anpa bungkus. Sebabnya dalam pergaulan antar-manusia, semua bertopeng: topeng pakaian, topeng usia, topeng gelar atau jabatan dan topeng-topeng lainnya. Jadi melalui ihram, semua topeng kita dilepas, dan orang dituntut untuk ber-ihtisâb, introspeksi diri.

Demikian pula dalam shalat. Shalat tidak sah tanpa membaca surat Al-Fâtihah. Sebabnya di dalamnya terdapat bacaan yang sangat penting, yakni bacaan memohon pertolongan kepada Allah Swt, un-tuk selalu ditunjukkan kepada jalan yang benar: “Ihdinâ shirâth al-mustaqîm.” Ini merupakan sikap jujur bahwa kita tidak tahu adanya yang benar. Maka dari itu, kita harus berani mengosongkan penge-tahuan kita di hadapan Tuhan. Sebabnya dengan begitu kita dapat bersikap jujur pada diri sendiri dan kita, lagi-lagi dengan ini mela-kukan introspeksi.

Melalui ibadat seorang yang beriman sebenarnya juga memu-puk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya, dalam mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini. Akar kesadaran itu, dalam pandangan Cak Nur, adalah keinsafan yang mendalam akan pertang-gung jawab semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan, dalam peng-adilan Ilahi yang tak terelakan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi.88 Di sinilah—dalam keyakinan Cak Nur, se-perti tertulis dalam banyak entri—makna ibadat sebagai instrumen pendidikan moral dan etik pada seorang pribadi itu, akan menjadi sesuatu yang sangat efektif, kalau dimengerti dan dihayati makna in-trisik dan instrumentalnya sekaligus. Bahkan seperti dikatakan Al-Quran, salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Ditegaskan: tanpa tumbuhnya solidaritas sosial itu,

ibadat tersebut bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malah terkutuk Tuhan.89

a. Menghayati Pengalaman Keagamaan melalui Nama-Nama-Nya Dalam pandangan keagamaan Cak Nur, pada dasarnya setiap perco-baan untuk memahami agama Islam, adalah juga percoperco-baan untuk memahami kehendak Allah, percobaan untuk memetik sebagian dari ilmu Allah.90 Tetapi ada syarat mendasar yang dituntut dalam me-nuntut ilmu ketuhanan ini, yaitu kerendahan hati (tawadldlu‘), yaitu suatu keinsafan bahwa diri kita sendiri tidak pernah sempurna. Bah-kan, menurut Cak Nur, Rasulullah pun, sebagai makhluk yang paling sempurna, masih diajari oleh Tuhan supaya berdoa agar ilmunya di-tambah: “Waqul rabbî zidnî ‘ilman” (“Dan katakanlah Muhammad, Ya Tuhanku tambahilah aku dengan ilmu pengetahuan”).

Dalam pandangan keagamaan, salah satu cara untuk mengerti ilmu ketuhanan ini—dan sekaligus menghayati kehadiran Tuhan, adalah melalui nama-namanya yang baik (al-asmâ’ al-husnâ), yang disebut dalam suatu ayat dalam Al-Quran: “Dan Allah mempunyai nama yang baik, maka berdoalah kamu sekalian dengan nama-nama yang baik itu.” Melalui al-asmâ’ al-husnâ dapat diperolehlah gambaran tentang Tuhan secara total. Sehingga persepsi mengenai Tuhan itu akan terefleksi kepada sikap seorang yang beriman yang seolah-olah mengalami semacam emanasi, penyinaran oleh Tuhan (rabbânî). Menurut Cak Nur, kalimat (seruan) “Berdoalah kamu sekalian dengan nama-nama yang baik itu,” adalah sama dengan mengatakan “Serulah Tuhan melalui Al-Asmâ’ Al-Husnâ”. Menurut Cak Nur, melalui pembacaan terhadap Al-Quran, kita mengetahui bahwa nama-nama Tuhan yang baik itu, di satu pihak digambarkan dengan sifat-sifat-Nya yang serba-halus, feminin, seperti Al-Ha-lîm, Al-Wadûd, Al-Rahmân, Al-Rahîm, Al-Lathîf, tetapi di lain

pi-hak, Allah juga melukiskan diri-Nya dengan sifat-sifat yang keras, maskulin, seperti Al-Jabbâr (“Pemaksa”), Al-Qahhar (“Penakluk”), Al-Muntaqîm (“Pendendam”), Dzû intiqâm (mempunyai sifat “den-dam”), dan lain-lain.91

Sifat-sifat yang “halus” dan “keras”—feminin dan maskulin—se-kaligus pada Tuhan itu, misalnya terlihat dalam ayat berikut, “Beri tahu kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku ini adalah Maha Pengam-pun dan Penyayang, tetapi beri tahu juga bahwa siksa-Ku sangat pe-dih.” Ayat ini di satu sisi Tuhan memiliki sifat Mahakasih dan Sa-yang, Pengampun dan sebagainya, tapi di sisi lain Dia juga memiliki sifat yang keras: menyediakan azab atau siksa yang amat pedih ke-pada orang yang bersalah.

Dalam gambaran Cak Nur, seorang Muslim diperintahkan Tu-han agar menyeru-Nya melalui nama-nama-Nya yang baik. Artinya, ketika menyeru Tuhan, misalnya Yâ Ghafûr, maka dibayangkanlah Tuhan yang selalu mengampuni dosa hamba-hamba-Nya, seraya ha-rus berharap kepada Allah sedemikian itu.92 Allah—dengan kualitas-kualitas yang dinyatakan dalam nama-nama yang baik itu—berfung-si sebagai pedoman bagi pembinaan moral dari orang-orang yang beriman. Dan moral yang sempurna adalah moral yang seimbang di antara semua potensi manusia. Moral yang sempurna adalah moral yang tidak mengutamakan salah satu dari potensi manusia, tetapi ke-seluruhannya yang utuh. Penghayatan keagamaan bahwa Tuhan itu Maha Pengampun dan Penyayang, misalnya, sesungguhnya secara psikologis akan ditransfer kepada sikap yang mengarah kepada sifat seperti itu: suka mengampuni orang dan kasih kepada setiap orang. Bagaimana dengan sifat-sifat “keras” Tuhan? Apakah juga harus meniru sifat-sifat keras-Nya itu? Apakah sifat-sifat itu perlu ditrans-fer juga? Cak Nur dalam sebuah entri mengatakan, secara spontan, mungkin pada umumnya orang lebih cenderung untuk mengatakan “Tidak”. Tetapi itu belum tentu. Misalnya mengenai rasa harga diri,

itu sebetulnya mengandung unsur kesombongan. Orang yang punya rasa harga diri adalah orang yang sedikit banyak mempunyai unsur kesombongan. Allah berfirman, “Jangan biarkan pipimu ditampar orang tanpa rasa harga diri.” Meski demikian, ayat itu segera diikuti pesan, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong dengan penuh kebanggaan pada diri sendiri.” Ketika menyeru kepada Allah, Yâ ayyuhâ Al-Mutakabbir, wahai Zat yang “sombong” (kata al-mutakabbir diterjemahkan dengan “sombong” karena menurut Cak Nur, belum ada terjemahan Indonesianya yang tepat), maka terbayang Tuhan yang tegak penuh dengan harga diri. Dan itu bisa ditransfer dengan menghayati Tuhan seperti itu, yang kemudian juga mempengaruhi sikap kita. Demikian pula dengan sifat Muntaqîm (“Pendendam”). Ini pun, kalau kita teliti, misalnya, dalam kasus se-orang hakim yang adil yang dengan tegas menghukum se-orang yang salah, itu ada unsur dendamnya, yakni ketegasan untuk melihat ke-salahan orang yang salah.

Jadi akhirnya, ditegaskan oleh Cak Nur, seorang beragama per-lu itu agar tidak menjadi lemah dalam menghadapi kesalahan orang yang bersalah. Apabila seorang beragama lemah, maka sebenarnya ia sedang mendukung proses pelemahan moral dalam masyarakat. Dengan menghayati Tuhan melalui nama-nama yang baik itu, agama diharapkan bisa menjadi sarana pengembangan kepribadian seorang yang beriman secara utuh dan seimbang.

Menurut Cak Nur, penggambaran “berakhlaklah dengan akhlak Tuhan” tentu saja menuntut kesadaran bahwa mustahil bagi manusia untuk bisa menjadi seperti Tuhan. Tetapi walaupun bersifat “teolo-gis-negatif”, menurut Cak Nur, manusia—dengan imannya itu—bisa mengarah kepada-Nya, yang dalam bahasa agama disebut “mende-katkan diri kepada Tuhan” (taqarrub ilallâh). Dan ini adalah pro-ses yang tak pernah berhenti, terus-menerus. Kalau berhenti, maka pilihannya adalah satu dari dua: Seseorang tidak pernah mencapai

Allah, atau malah menganggap bahwa perjalanannya sudah sampai pada titik penghabisan. Dan ini mustahil, sebab manusia sebenarnya tidak akan pernah mencapai kepada Allah.93 Allah tidak bisa kita asosiasikan dengan pengetahuan yang sudah ada dalam diri seorang manusia. Proses mengetahui itu adalah proses mengasosiasikan sua-tu informasi baru dengan informasi yang sudah ada dalam sel otak seseorang. Dan karena Allah sudah digambarkan demikian, maka itu berarti mustahil untuk mengetahui Tuhan. Karena itulah, agama tidak mengajarkan bagaimana manusia bisa mengetahui Tuhan, me-lainkan bagaimana kita mendekati Tuhan (taqarrub ilallâh). Sejalan dengan pandangan ini, jika dalam Al-Quran ada perkataan liqâ’ (ber-temu) itu, menurut Cak Nur, harus diartikan secara alegoris: Tidak berarti bertemu seperti kita bertemu teman, tetapi bertemu dalam arti mendapat ridla (kerelaan) Allah. Inilah dalam banyak entri di-sebut: tujuan dari iman itu.

Iman adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Iman itu sekali tumbuh dalam jiwa, perlu dipelihara terus-menerus. Sebabnya iman bisa mengalami pertumbuhan negatif atau positif, melemah atau se-makin kuat. Cara menumbuhkan iman, menurut Cak Nur, adalah melalui ibadah, yang memang bertujuan untuk memelihara iman. Penjelasan filosofis tentang ibadah ini sudah dijelaskan di atas. Jika diringkas kembali: Pada hakikatnya seluruh ibadah mempunyai tu-juan membina hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manu-sia-Allah ini dalam Islam, menurut Cak Nur, akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-si-fat-Nya yang baik. Allah dihadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas, agar kualitas-kualitas tersebut ditularkan ke dalam diri kita. Dari sudut keagamaan, dengan cara ini—seperti sudah dikemukakan di atas—pengembangan pribadi yang sempurna dalam agama menjadi dimungkinkan. Sebuah kutipan entri dalam ensiklopedi ini:

Al-Asmâ’ Al-Husnâ yang 99 itu kemudian seolah menjadi

jendela-jen-dela bagi kita untuk masuk secara khusus masuk kepada pengalaman Allah sesuai dengan pengalaman subjektif kita. Kalau kita dalam kondisi kekurangan rezeki maka kita masuk melalui al-razzâq dan meminta kepada Allah untuk memberikan rezeki. Kalau kita berada dalam dosa, maka kita masuk melalui al-ghafûr untuk meminta am-punan kepada-Nya, dan begitu seterusnya. Dengan begitu, kita mem-punyai channel khusus yang mengintensifkan zikir kita sesuai dengan pengalaman kita. Tetapi Nabi mengatakan bahwa zikir yang baik ada-lah Lâ ilâha illâllâh, meniadakan semuanya, dan pasrah kepada Alada-lah sama sekali. Inilah tauhid. Zikir yang membawa kepada tauhid ini, di samping bersifat lahiriah, bisa juga bersifat khafî.

Dilihat dari namanya yang khafî, rahasia, sebenarnya zikir ini merupakan sesuatu yang sangat rahasia, sangat pribadi, berada da-lam lubuk hati masing-masing. Dada-lam bahasa Arab, hal itu disebut lubb, dan itu bisa tidak berbahasa, tanpa bahasa, karena yang pen-ting adalah menghayati kehadiran Tuhan dalam diri kita. Rasakanlah bahwa Allah sendiri berfirman bahwa Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri.

b. Sifat Kasih dan “Teologi Pengharapan”

Menurut Cak Nur, sifat Tuhan yang paling dominan dari semua si-fat-Nya adalah sifat kasih (rahmah).94 Dengan sifat Tuhan yang pa-radoks—feminin dan maskulin sekaligus—memang menjadi sulit merangkum seluruh kualitas ketuhanan itu dalam diri seutuhnya itu dalam sifatnya yang paradoks, itu sebabnya seluruh kualitas Tuhan itu biasanya cuma bisa kita hafal secara verbal saja. Tetapi ternya-ta ada indikasi bahwa cukup mempersepsikan Tuhan sebagai Yang Mahakasih (Al-Rahmân; Al-Rahîm) saja untuk mengembangkan atau sebagai titik tolak pengembangan diri dan moral keagamaan.

Sehingga dalam Al-Quran, selain perkataan Allah, yang paling se-ring disebut adalah perkataan al-rahmân. Inilah, menurut Cak Nur, merupakan rahmat Tuhan yang paling penting berkenaan dengan sifat Allah Swt. Tentu saja, yang paling penting dan inti dari segala-nya adalah Allah itu sendiri. Allah artisegala-nya yang harus disembah, atau yang paling berhak untuk disembah (Al-Wadûd). Selain itu, tidak boleh disembah sama sekali.

Karena itu, menurut Cak Nur, kalau dalam doa Tuhan bisa di-hadirkan lewat kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik—yang, menurut Cak Nur, setelah dihitung-hitung para ulama berjumlah 99—maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja—tentu dengan segala pengertian-nya yang luas—sudah cukup. Diharapkan kualitas-kualitas kasih itu kemudian tertransfer ke dalam diri, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan kepribadian selanjutnya.

Inilah, menurut Cak Nur, moralitas ketuhanan, yang penubuh-annya pada diri seorang yang beriman akan menjadikan seorang ma-nusia itu utuh, integral, dan paripurna (insân kâmil). Dalam bahasa teologis, manusia akan utuh hanya apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Seba-liknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang utuh. Lupa kepada Allah, maka akan lupa kepada diri sendiri—yang bisa berakibat kehilangan makna dan tujuan hidup, kehilangan integritas kepribadian—yang disebab-kan tidak berhasilnya mengkaitdisebab-kan wujud ini dengan wujud Yang Mahatinggi, yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia itu tidak mungkin—dan tidak akan kuat—hidup sendirian. Manusia, menu-rut Cak Nur, hanya dapat bertahan hidup, tidak lain adalah karena adanya harapan.95 Dalam “teologi pengharapan” inilah, termuatlah kemungkinan rahmat itu.

Rahmat itu artinya kasih Tuhan dan kasih merupakan sifat Tuhan yang paling utama. Dalam Al-Quran sendiri disebutkan, “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” Ada juga dalam Al-Quran disebutkan, “Allah mewajibkan pada diri-Nya sifat kasih.” Tidak ada sifat Allah yang disebut seperti itu, kecuali kasih atau rahmat.96 Di sinilah, menurut Cak Nur, satu fungsi iman kepada Allah, yaitu harapan kepada rahmat. Maka dari itu Allah dilukiskan sebagai al-shamad (tempat menggantungkan harapan). Kalau orang lupa ke-pada Allah, salah satu akibat yang akan berat sekali ditanggungnya ialah hilangnya harapan. Dan itu akan membuat hidupnya sengsara. Harapan itu, menurut Cak Nur, adalah bagian dari iman, dan putus harapan itu adalah bagian dari kekafiran.97 Manusia yang utuh ada-lah manusia yang sanggup membina hubungan dengan Alada-lah. Ke-adaan tanpa harapan, makna, dan tujuan hidup mengingatkan kita pada pernyataan terkenal dari failasuf besar abad ke-20, Bertrand Russell, “Anda tidak akan pernah tahu rasa putus asa yang menda-lam, yang diderita oleh orang-orang yang hidupnya tanpa tujuan dan kehilangan makna.”98

Dari sini menarik melihat penggambaran Cak Nur bahwa mele-takkan harapan kepada Allah itu pada dasarnya berkaitan dengan ajar-an mengenai percaya kepada takdir. Tetapi di sini tidak perlu kita me-lihat soal yang rumit secara filosofis ini dengan cara yang sederhana. Dalam rumusan Cak Nur, paham takdir itu berkenaan dengan masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan masa depan yang masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qadlâ dan qadar, tapi dengan kewajiban ikhtiar (ikhtiyâr). Ikhtiar artinya memilih-memilih di antara berbagai kemungkinan yang tersedia di depan kehidupan manusia.

Pandangan sederhana perihal takdir dan kebebasan ini rupanya dari sudut keagamaan mempunyai implikasi psikologis yang begitu mendalam. Memang difirmankan dalam Al-Quran: “Tidak ada

se-suatu yang menimpa dunia ini ataupun dirimu sendiri, kecuali sudah ada catatannya dalam Kitab sebelum kami laksanakan”—inilah pre-destination. Bagaimana ini bisa terjadi, menurut Cak Nur, ayat ter-sebut selanjutnya menjawab: “Sesungguhnya hal itu mudah saja bagi Allah.” Kalimat terakhir ini memang sulit dipahami karena itu adalah rahasia Tuhan. Tetapi yang lebih penting untuk diperhatikan, menu-rut Cak Nur, adalah: Mengapa Allah membuat ketetapan seperti itu? Al-Quran, menurut Cak Nur, menjawab, “Supaya kamu tidak terlalu sedih atas kegagalan yang menimpamu, dan tidak menjadi sombong karena keberhasilan atau sukses yang kamu peroleh.” Artinya kalau gagal, tidak berputus asa, dan kalau berhasil, tidak sombong.

Dari situ, manusia dilatih menjadi seimbang. Ini penting sekali untuk kesehatan psikologis dan ruhani. Secara teologis, maka iman kepada takdir atau ketentuan Tuhan akhirnya memang menyangkut harapan kepada Allah.

Sebagai lawan dari sikap pasrah kepada ketentuan Allah itu, se-lalu ada godaan untuk putus asa.99 Menurut Cak Nur, kalau ditim-pa suatu kemalangan, janganlah samditim-pai kehilangan haraditim-pan keditim-pada Allah. Sebabnya orang yang beriman adalah orang yang apabila di-timpa kemalangan dia tidak menerimanya hanya sebagai bagian dari nasibnya sendiri, tetapi dia sanggup untuk melihat bahwa itu adalah sesuatu yang biasa, yang bisa terjadi juga pada orang lain. Dan ka-lau kita menderita, kemudian kita mengatakan, mengapa kita yang menderita, mengapa bukan orang lain, ini secara moral, menurut Cak Nur, sulit dipertanggungjawabkan. Ini berarti kita mau orang lain yang menderita, bukan kita. Allah berfirman, “Kalau kamu di-timpa oleh sesuatu yang kurang menyenangkan, maka orang lain pun

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 93-110)