• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM KEUANGAN NEGARA DAN PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH

A. Konsep Pengelolaan Keuangan Negara

1. Defenisi Keuangan Negara

a. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Istilah atau pendefenisian perihal keuangan Negara, sesuai hirearkinya, diatur dalam :

1.

Dalam kedudukan tinggi hirearki peraturan perUndang-undangan, istilah keuangan Negara tercantum dalam pasal 23 ayat 4 Undang – Undang Dasar pra-amandemen yang berbunyi “Hal Keuangan Negara Selanjutnya Diatur Dengan Undang – Undang”. Nebilik bunyi pasal 23 Undang – Undang Dasar 1945 pasca amandemen, terjadi beberapa penambahan.

Undang – Undang Dasar 1945

2. Undang – Undang Keuangan Negara

Dapat dilihat pasal 23 C mengamanahkan kepada peraturan perundangan di bawahnya, yakni Undang – Undang untuk segera melakukan pengaturan terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban. Amanah ini dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara. Di samping itu dalam dictum Undang – Undang tersebut juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang.38

Defenisi keuangan Negara menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah39

Dengan demikian pengertian keuangan Negara di atas meliputi hal – hal sebagai berikut :

“semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

40

a) Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b) Kewajiban Negara untuk melakukan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c) Penerimaan Negara;

d) Pengeluaran Negara;

38 Soepomo, Pemahaman Keuangan Negara, http://www.djkn.depkeu.go.id/ di unduh pada tanggal 16 Sepetember 2014

39 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

40 Soepomo, Op.Cit.

e) Penerimaan Daerah;

f) Pengeluaran Daerah;

g) Kekayaan Negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak – hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara;41

h) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau kepentingan umum;

i) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pendekatan yang digunakan dalam meumuskan keuangan Negara pada Undang – Undang nomor 17 Tahun 2003 adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.

Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi semua hak dan kewjiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang

41 Menurut Arifin P. Soeria Atmadja dalam Format Fungsi Publik Pemerintah dan Badan-Badan Hukum, bahwa BUMN/BUMD itu merupakan badan hukum perdata yang tidak mempunyai kewenangan publik. Kekayaan Negara/daerah yang menjadi modal dalam bentuk saham dari badan usaha tersebut tidak lagi merupakan kekayaan Negara/daerah tetapi telah berubah status hukumnya menjadi kekayaan badan usaha tersebut (terjadi transformasi hukum atas keuangan publik). Begitu pula dengan pejabat pemerintah yang duduk sebagai pemegang saham atau komisaris berkedudukan hukum sama dengan masyarakat biasa, yang berarti imunitas publiknya sebagai penguasa tidak berlaku lagi dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat.

dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uan, maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaiman tersebut di atas yang dimiliki Negara dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/ daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara.

Dari sisi proses, keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

Dari sisi tujuan, keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.42

3.

Sebagaimana amanah pasal 23 ayat (5) UUD 1945 pra-Amandemen, maka Badan Pemeriksa Keuangan didudukkan pada posisi dan fungsinya sebagai suatu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang dituangkan dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Undang – Undang Badan Pemeriksa Keuangan

42 Penjelasan Umum angka 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.

Perubahan ketiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah meperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga Negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai lembaga Negara pemeriksa keuangan Negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.43 Terkait reformasi atas ketentuan pasal 23 ayat (5), Undang – Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan system ketataNegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah,44

4.

maka dibentuklah Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai pengganti.

Istilah mengenai keuangan Negara dicantum dalam pasal 1 angka 7 Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai “semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

43 Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

44 Diktum menimbang butir c UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dituangkan dalam Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana telah diubah oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001.

Istilah keuangan Negara tercantum dalam undang – undang ini antara lain pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Adapun pengertian perihal keuangan Negara didefenisikan pada penjelasan umum Undang – Undang tersebut, yakni “ seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah;

(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

b. Berdasarkan Pendapat Ahli Hukum di Indonesia

Terdapat beberapa ahli hukum di Indonesia memberikan kontribusi pemikiran terhadap tatanan hukum keuangan publik, khususnya terhadap hukum tentang keuangan Negara, antara lain:45

45 Berbagai doktrin tersebut disarikan dari Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum_Praktik dan Kritik, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, serta resume perkuliahan Hukum Keuangan Publik pada program Magister Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia.

1.

Penafsiran dilakukan dengan beberapa metode penafsiran terhadap pengertian dan ruag lingkup keuangan Negara pra dan pasca amandemen UUD 1945. Adapun metode penafsiran yang digunakan yaitu metode interpretasi teleologis (teleologische interpretatie),

Arifin. P. Soeria Atmadja

46

Pertama, dalam arti sempit. Sudut pandang yang digunakan ditinjau dari pengurusan dan/atau pengelolaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur antara lain pada ICW, Undang-Undang tentang APBN dan Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara. Keuangan Negara adalah urat nadi Negara, tanpa uang Negara tidak dapat menjalankan hidupnya. Keuangan dari rumah tangga Negara ini dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun hakikat atau falsafah APBN itu menurut Rene Stourm adalah kedaulatan. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pra-Amandemen memiliki hak begrooting Dewan Perwakilan disamping interpretasi sistematik (systematische interpretative), interpretasi gramatikal (grammaticale interpretatie), dan interpretasi sejarah (historische interpretatie). Keuangan Negara dapat didefiniskan secara garis besar dalam dua makna yaitu dalam arti sempit dan arti luas, tergantung dari sudat pandang yang digunakan.

46 Dalam kalangan ilmuwan hukum ada yang tidak setuju penggunaan metode interpretasi teleologis karena didasarkan atas kehendak sendiri dari yang menginterpretasikan, bukan dari kehendak pembuat Undang-Undang, sehingga dianggap tidak objektif. Akan tetapi, Arifin Soeria Atmadja tetap berpendapat metode interpretasi teleologis tetap dapat dibenarkan sepanjang menggunakan logika dan bersamaan penggunaannya dengan metode interpretasi lainnya. Metode interpretasi teleologis harus pula dikaitkan dengan pendekatan badan hukum yang merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban.

Rakyat (DPR), yang menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat.

Pertanggungjawaban Keuangan Negara dapat dilihat dari dua pandangan, yakni secara horizontal dan vertikal. Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara horizontal adalah pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR, sedangkan Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara vertikal adalah pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh setiapotorisator atau ordonator dari setiap Kementerian atau Lembaga Negaranon-kementerian yang menguasai bagian anggaran. Tampak dari konseppertanggungjawaban tersebut di atas bahwa pertanggungjawaban atas Keuangan Negara merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN.

Terkait pertanggungjawaban tersebut di atas, tersirat pula pada pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa apa yang disebut sebagai tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara adalah APBN.Definisi dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.

Kedua, karena sifat plastis dari definisi Keuangan Negara yang ada maka keuangan Negara pun dapat didefinisikan dalam arti luas. Sudut pandang yang digunakan ditinjau dari sudut pemeriksaan dan/atau jangkauan ruang lingkup pengawasan/pemeriksaan atau dengan kata lain apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui

sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan Negara itu adalah termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN serta BUMD.

Pengertian keuangan Negara di atas sebagai hasil amandemen ketiga UUD 1945 atas pasal 23 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang mendistorsi pengertian keuangan Negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi pengertian keuangan daerah, keuangan BUMN (Persero) dan BUMD, bahkan keuangan badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, dimana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti keuangan Negara demikian hanya mengaburkan esensi otonomi daerah dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri dasar suatu badan hukum dan badan usaha.

Amandemen ketiga dan diundangkannya paket peraturan keuangan Negara menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan Negara karena semua keuangan dalam APBD dan BUMN (Persero) serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan Negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis dan fungsinya sangat berbeda antara Keuangan Negara, keuangan daerah maupun keuangan BUMN (Persero) dan BUMD.

BUMN (Persero) menjadi tidak jelas karena BUMN (Persero) masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan BUMN (Persero) dilakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 (kini Undang-Undang-Undang-Undang No. 40 Tahun 2007) tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.

Kondisi demikian pun telah diadopsi oleh pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara.” Secara yuridis, pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan Negara melalui pasal 23E ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga Negara.

Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi Negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi Negara menjadi organisasi administrasi Negara.

2.

Penafsiran dilakukan atas pasal 23 UUD 1945 pra-amandemen. Untuk dapat menentukan apakah kata-kata keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam ayat (5) pasal 23 UUD 1945 tersebut harus diartikan APBN semata-mata ataukah APBN

“plus” lainnya. Terdapat 2 (dua) konstruksi hukum yang dapat digunakan untuk menjelaskan definisi keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

A. Hamid. S. Attamimi

Konstruksi pertama: Ayat (1) menetapkan APBN harus ditetapkan dengan Undang – Undang. Ayat (5) menetapkan BPK diadakan untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang Keuangan Negara. Penjelasan ayat (5) menyebutkan untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang tata mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui DPR itu, perlu adanya BPK. Jadi, meskipun di dalam ayat (5) sendiri tidak disebut APBN melainkan hanya keuangan Negara, tetapi penjelasan ayat tersebut menunjukan kepada APBN. Dengan demikian, yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah APBN.

Konstruksi kedua: Ayat (1) menyatakan APBN harus ditetapkan dengan Undang – Undang dan ayat (4) menetapkan hal keuangan Negara harus diatur dengan Undang-Undang. Pengertian keuangan Negara dan APBN perlu dikaji kembali sebab apabila keduanya memiliki arti yang sama tidak perlu diatur dalam ayat terpisah.

Pengertian kata ditetapkan pada ayat (1) berarti Undang – Undang tersebut bersifat formal, sedangkan pada ayat (4) pengertian diatur berarti Undang – Undang tersebut bersifat material disamping formal.

Penjelasan ayat (5) menyebutkan bidang konkret tanggung jawab Pemerintah dalam keuangan Negara (cara mempergunakan uang belanja Negara yang sudah disetujui DPR agar sepadan dengan Undang – UndangAPBN). Karena ayat (5) yang menyebut tentang “Keuangan Negara” itu oleh penjelasannya disebut bidang konkret penggunaan APBN, dalam pengertian keuangan Negara sebagaimana terdapat dalam ayat (4) dan demikian juga dengan ayat (5) dapat ditarik kesimpulan lebih lanjut yang

dimaksud dengan keuangan Negara ialah antara lain APBN. Dengan kata lain, pengertian keuangan Negara meliput i APBN “plus” lainnya.

Pendapat yang menggunakan penafsiran historis dan integralistik ini dikaitkan dengan penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK.

Penjelasan pasal ini mengartikan keuangan Negara tidak hanya APBN melainkan juga APBD dan anggaran perusahaan milik Negara. Dilihat dari teknik perundang-undangan, dicantumkannnya pengertian tentang keuangan Negara di dalam penjelasan Undang – Undang tersebut adalah tidak tepat, karena semestinya berada pada batang tubuh. Namun secara substansi pengertian tersebut dipandang tepat sebab pengawasan APBD yang dilaksanakan oleh DPRD merupakan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap dirinya sendiri. Begitu pula dengan pengawasan yang dilakukan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) suatu perusahaan milik Negara yang praktis merupakan bagian dari badan usaha bersangkutan.

Sehingga pendapat ini memandang bahwa keuangan Negara pada hakikatnya adalah seluruh kekayaan dan/atau asset Negara.