• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BATALNYA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU AKIBAT

A. Definisi Batal Dan Pembatalan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Dalam perjanjian konsensuil keabsahannya ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang yang dalam hal ini Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian tersebut menjadi tidak sah yang berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, nulitas atau kebatalan sutau perjanjian juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sampai seberapa jauh suatu nulitas atau kebatalan dapat dianggap ada pada suatu perjanjian itu sendiri.

Namun, ini tidaklah berarti kita tidak dapat menarik suatu garis umum mengenai hal ini.58

1. Macam-macam Kebatalan

58 Gunawan Widjaja. 2006. Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Halaman 287.

Dengan berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan dan perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.59 a. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan

Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini, yang berhak untuk meminta pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian tersebut dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat tersebut dilaksanakan.

Dari alasan-alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pembatalan perjanjian tersebut, maka sesungguhnya, secara garis besar, alasan pembatalan perjanjian dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian.60

Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan alasan tertentu kepada salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat olehnya. Alasan-alasan tersebut, seperti telah diuraikan secara panjang lebar, pada

59 Ibid. Halaman 288.

60 Ibid. Halaman 289.

saat membahas persyaratan sahnya perjanjian, doktrin Ilmu Hukum yang berkembang, sering kali disebut dengan alasan subjektif. Disebut dengan subjektif karena berhubungan dengan cirri dari subjek yang menerbitkan perikatan tersebut.

Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan jika: 61

(a) Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

(b) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum (Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam rumusan Pasal 1266 dan Pasal 1267 menyatakan sebagai berikut.62

Pasal 1266

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

61 Ibid. Halaman 290

62 Ibid. Halaman 295.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

Pasal 1267

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memiliki, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Kedua rumusan tersebut memberikan syarat limitatif lainnya untuk menghapuskan perikatan (termasuk membatalkan perjanjian). Dalam rumusan tersebut dapat kita diketahui bahwa wanprestasi dapat menjadi alasan dimajukannya gugatan pembatalan, walaupun tidak semua gugatan atau tuntutan pembatalan harus dipenuhi. Hal yang jelas harus diperhatikan di sini adalah bahwa pembatalan perjanjian hanya dapat dimajukan oleh para pihak dalam perjanjian ke hadapan pengadilan yang berwenang, kecuali jika hal tersebut (pembatalan perjanjian) memang dikehendaki secara bersama oleh para pihak (lihat ketentuan Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 63

63 Ibid. Halaman 296.

b. Perjanjian yang Batal Demi Hukum

Dalam hal ini, maka yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Hal yang menjadi tolok ukur konkret di sini adalah apakah pelaksanaan prestasi tersebut akan melanggar undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum?

Jika tidak, maka tentunya kita tidak dapat menduga-duga ada causa yang dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum dalam suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menetukan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Perjanjian yang dibuat dengan causa yang tidak halal hanya akan menerbitkan perikatan alamiah yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di hadapan hukum. 64

c. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak

Di samping pembedaan tersebut di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke dalam nulitas atau kebatalan relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan relatif jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang-perorangan tertentu saja dan disebut dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Di sini

64 Ibid. Halaman 299.

perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak memiliki hubungan apa pun dengan jelas kebatalan ini. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.65

Di samping pemberlakuan mulitas yang relatif dan mutlak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur ketentuan mengenai pengeculian pemberlakuan nulitas, seperti yang diatur dalam Pasal 1341 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi pokok perjanjian yang batal tersebut.

Pembatalan perjanjian, seperti telah dibahas dalam bab III ini, menguraikan mengenai masalah keabsahan suatu perjanjian yang dibuat, baik keabsahan yang dipertanyakan oleh salah satu pihak karena kurangnya kapasitas atau karena tidak adanya kesepakatan bebas, maupun yang digugat oleh pihak ketiga karena perjanjian tersebut telah dibuat dengan merugikan kepentingannya yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam kedua hal ini, maka jelas pembatalan perjanjian masuk dalam lapangan hukum perjanjian, karena masalah pembatalan perjanjian ini sama sekali tidak berbicara soal pelaksanaan prestasi, pemenuhan kewajiban, atau pembayaran utang. Pembatalan perjanjian justru bermaksud untuk menggugat pelaksanaan prestasi, pemenuhan kewajiban atau pembayaran suatu utang yang tengah dituntut pelaksanaannya, karena sesungguhnya prestasi, kewajiban, atau

65 Ibid. Halaman 300.

utang tersebut tidak pernah ada sejak awal. Untuk menilai akan kebenaran tidak terpenuhinya syarat subjektif tersebut, bahwa ia telah dibuat oleh orang yang tidak cakap dan atau tidak wenang, atau telah dibuat tanpa kesepakatan bebas, atau telah dibuat dengan merugikan kepentingan subjektif kreditor atas harta kekayaan debitor tertentu, maka, kecuali disepakati secara bersama, dengan segala kosekuensi hukumnya, pembatalan hanya dapat ditujukan dan diputuskan oleh hakim pengadilan.66

Dalam pandangan penulis tidak layak, jika suatu pembatalan perjanjian disepakati lebih dahulu di awal perjanjian, karena yang dinamakan dengan pembatalan adalah mengembalikan segala sesuatu kepada keadaannya seperti semula, seperti pada saat perjanjian pertama kali disepakati; dan hal tersebut tidak mungkin sama sekali ketika sudah ada usaha dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut untuk melaksanakan kewajibannya.67

Pembatalan perjanjian dalam konteks hukum perjanjian ini agak berbeda dari pembatalan yang terjadi karena dipenuhinya syarat batal menurut perikatan bersyarat. Dalam konteks ini, pembatalan berada dalam lapangan hukum perikatan dan bukan hukum perjajian. Bahkan untuk pembatalan perjanjian yang berada dalam lapangan hukum perjanjian pun sering kali orang memasukkannya dalam lapangan hukum perikatan, karena pembatalan perjanjian, didasari atau tidak, mengakibatkan hapusnya perikatan yang telah lahir dari perjanjian yang (akan) dibatalkan tersebut. Bahkan dengan mempertimbangkan bahwa dalam pembatalan

66 Ibid. Halaman 305.

67 Ibid. Halaman 306.

perjanjian para pihak tidak bebas lagi untuk menentukan kehendak mereka, tepat juga jika masalah pembatalan perjanjian ini masuk dalam lapangan hukum perikatan. Dalam pandangan penulis, masalah pembatalan perjanjian, sejalan dengan nama yang diberikan kepadanya seharusnya masuk dalam lapangan hukum perjanjian karena meskipun pembatalan perjanjian demi hukum menghapuskan perikatan yang dibuat oleh para pihak, dalam menilai ada tidaknya syarat yang terpenuhi untuk membatalkan perjanjian, hakim pengadilan akan menilai berdasarkan pada ketentuan yang berlaku dalam lapangan hukum perjanjian yang dalam hal ini meliputi pemenuhan syarat subjektif sahnya perjanjian.

Jadi jelaslah bahwa hukum perjanjian hanya bersifat terbuka sebatas pada saat pembentukan perjanjian berdasarkan kesepakatan bebas, mengenai suatu hal tertentu yang berada dalam lapangan harta kekayaan, serta yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Segera setelah perjanjian dibentuk, para pihak tidak lagi bebas untuk menentukan kehendaknya. Bahkan untuk membatalkannya, dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif, para pihak memerlukan bantuan hakim pengadilan.68

d. Pembatalan Perjanjian Kerja Menurut Pasal 1267 KUHPerdata

Di dalam pasal 1603 w ditegaskan bahwa wewenang para pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian berdasarkan pasal 1267 disertai penggantian biaya kerugian dan bunga tidak hapus karena ketentuan dalam bagian ini. Ini berarti pihak-pihak yang berkepentingan dapat juga mengajukan hak yang tercantum

68 Ibid. Halaman 307.

dalam pasal 1267 untuk minta kepada hakim supaya membatalkan hubungan kerja, jika pihak lawan tidak memenuhi sesuatu yang telah diperjanjikan.69

B. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Batalnya Perjanjian Kerja