• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BATALNYA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU AKIBAT

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Atas Batalnya Perjanjian Kerja Waktu

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Demi Hukum, PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia. Bedasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja berakhir apabila: 87

1. Pekerja meninggal dunia

2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja

3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

87 Asri Wijayanti. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Cet 2. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 161.

4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Pada saat ini yang sedang terjadi wabah penyakit virus covid-19 termasuk dalam hal terpenuhinya unsur pemutusan hubungan kerja yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang sering disebut force majeure dalam batalnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Untuk istilah force majeure dalam perjanjian ini sering juga disebut dengan istilah-istilah:88

a. Overmacht b. Act of God

c. Keadaan Memaksa d. Keadaan Darurat e. Keadaan Kahar

f. Keadaan di Luar Kemampuan Manusia.

Adapun yang merupakan syarat dan akibat yang harus dipenuhi agar suatu kejadian oleh hukum dapat dianggap sebagai force majeure, sehingga

88 Munir Fuady. 2015. Konsep Hukum Perdata. Cet 2. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman 214.

membebaskan debitur untuk melaksanakan kewajiban yang telah sebelumnya diperjanjikan, adalah sebagai berikut:89

1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah tidak terduga pada waktu dibuatnya perjanjian yang bersangkutan (vide Pasal 1244 KUHPerdata)

2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (debitur) (vide Pasal 1244 KUHPerdata)

3. Peristiwa tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUHPerdata).

4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan karena kesalahan debitur (vide Pasal 1245 KUHPerdata juncto Pasal 1545 KUHPerdata)

5. Debitor tidak dalam keadan beriktikad buruk (vide Pasal 1244 KUHPerdata) 6. Jika terjadi force majeure, perjanjian menjadi gugur, dan sedapat mungkin para

pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah ada perjanjian (vide Pasal 1545 KUHPerdata)

7. Tidak ada tuntutan ganti rugi jika terjadi force majeure (vide Pasal 1244, 1245, dan 1553 ayat (2) KUHPerdata). Akan tetapi, karena perjanjian yang bersangkutan menjadi gugur, demi menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, maka masih dimungkinkan pemberian restitusi (pengembalian benda) atau quantum meruit (pengembalian harga barang). Lihat misalnya Pasal 1545

89 Ibid. Halaman 215-216.

KUHPerdata. Sehingga pada prinsipnya, hukum membebankan “risiko” secara adil bagi masing-masing pihak. Tidak boleh ada satu pihak yang memetik manfaat dari terjadinya risiko sebagai akibat dari peristiwa yang disebut dengan keadaan memaksa (force majeure) tersebut

8. Risiko dari force majeure ditanggung oleh kreditor sejak saat seharusnya barang objek jual beli diserahkan, vide Pasal 1545 KUHPerdata. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 1460 (tentang jual beli), yang mengalihkan risiko sejak saat perjanjian obligatoir (bukan sejak saat pengalihan benda) adalah merupakan ketentuan yang tidak taat asas.

Keadaan force majeure dalam Pembagian kepada force majeure (a) ketidakmungkinan (impossibility), (b) ketidakpraktisan (impracticability) dan (c) keprustasian (frustration) maksud perjanjian.90

Terjadinya peristiwa berupa force majeure dalam bentuk ketidakmungkinan (impossibility) untuk melaksanakan prestasi adalah dalam hal sama sekali dalam keadaan apa pun pihak debitur tidak mungkin lagi memenuhi prestasinya.

Ketidakmungkinan menjalankan perjanjian ini dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain sebagai berikut:91

1) Kematian debitur atau berada dalam keadaan sakit parah untuk perjanjian-perjanjian tertentu

2) Kepailitan atau ketidakmampuan finansial 3) Mogok karyawan yang terus-menerus

90 Ibid. Halaman 221-223.

91 Ibid.

4) Huru hara

5) Munculnya larangan oleh hukum 6) Musnahnya barang objek perjanjian

7) Berbagai peristiwa alam, seperti banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya.

Sedangkan dengan force majeure berupa “ketidakpraktisan” melaksanakan prestasi, terjadi suatu peristiwa yang juga tanpa kesalahan dari para pihak dalam perjanjian tersebut, peristiwa tersebut terjadi sedemikian rupa, di mana dengan peristiwa tersebut para pihak sebenarnya secara teoritis, masih mungkin melakukan prestasi perjanjian, tetapi secara praktis terjadi sedemikian rupa, sehingga kalaupun dilaksanakan prestasinya itu, akan memerlukan pengorbanan yang sangat besar dan tidak layak dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Karena itu pelaksanaan perjanjian seperti ini oleh hukum dianggap “tidak praktis”

(impracticable) atau “susah dijalankan” (hardship).

Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan “kefrustasian” terhadap maksud suatu perjanjian sehingga dapat juga menjadi suatu force majeure adalah terjadinya suatu peristiwa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak dalam perjanjian, kejadian mana menyebabkan tidak mungkin lagi dicapainya tujuan terhadap mana perjanjian tersebut dibuat, sedangkan maksud pembuatan perjanjian (yang tidak tercapai) tersebut menjadi asumsi dasar untuk mana perjanjian tersebut dibuat. Dalam hal ini, sungguh pun perjanjian masih dapat dilanjutkan, tetapi tujuan dibuatnya perjanjian tersebut sudah tidak ada, sehingga pelaksanaan perjanjian tersebut menjadi tidak bermakna dan tidak berguna sama sekali.

Penyelesaian sengketa force majeure dalam hal atas batalnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu ini yaitu :

1. Debitur tidak perlu lagi membayar ganti rugi;

2. Membatalkan atau memutus perjanjian lewat hakim;

3. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim.

Keadaan memaksa yang bersifat mutlak adalah keadaan memaksa yang sama sekali mustahil untuk dapat melaksanakan prestasi dalam keadaan tersebut, seperti halnya barang yang diperjanjikan hilang karena bencana alam. Dalam keadaan memaksa yang bersifat mutlak tersebut tentu pihak yang tidak dapat melaksanakan prestasinya secara otomatis tidak dapat digugat karena tidak dapat memenuhi prestasinya tersebut hal ini sesuai dengan pasal 1444 KUH Perdata

78 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat dikualifikasikan sebagai Bencana Non Alam. Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terdapat pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu : Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tertentu, lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.

3. Batalnya perjanjian kerja waktu tertentu akibat dari pandemi covid-19, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengusaha pada masa pandemi Covid 19. Pandemi Covid 19 dijadikan alasan Force Majeure bagi pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja. Force Majeure secara sah dapat dijadikan alasan oleh para pelaku usaha untuk melakukan PHK kepada pekerjanya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

B. Saran

1. Pada masa pandemi Covid 19 diharapkan kepada pemerintah untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan yang terbaik dalam penanganan wabah virus Covid 19 dengan didukung oleh masyarakat agar tetap menjaga protokol kesehatan dan selalu mengikuti anjuran pemerintah agar tidak berkerumun, guna mengurangi penyebaran wabah viru Covid 19 ini.

2. Diharapkan kepada pengusaha yang melakukan PKWT agar tetap memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika terpaksa harus melakukan pemutusan hubungan kerja.

3. Diharapkan kepada lembaga legislatif agar dapat merevisi UU Ketenagakerjaan khusus mengenai PKWT, dengan membuat aturan-aturan mengenai PKWT yang lebih mendetail dan memberi perlindungan hukum kepada pekerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT).

80

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU :

Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Abdul Rachmad Budiono. 1995. Hukum Perburuhan Di Indonesia. Cet 1. Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada.

Aries Harianto. 2016. Hukum Ketenagakerjaan: Makna Kesusilaan Dalam Perjanjian Kerja. Cet 1. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas. 2014. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Cet 4. Jakarta: Salemba Empat.

Asri Wijayanti. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Cet 2. Jakarta:

Sinar Grafika.

Bahder Johan Nasution. 2016. Metode Penelitian Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju.

Cecep Triwibowo. 2014. Etika Dan Hukum Kesehatan. Cet 1. Yogyakarta: Nuha Medika.

Deni Damayanti. 2016. Pintar Menulis Karya Ilmiah Sejak Bangku Kuliah Esai, Jurnal, Skripsi, Tesis, Dan Karya Ilmiah Populer. Yogyakarta : Araska.

Gunawan Widjaja. 2006. Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Handri Raharjo. 2009. Hukum Perusahaan. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.

Kamisa. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Cahaya Agency.

81

Lalu Husni. 2014. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Cet 12. Jakarta:

Rajawali Pers.

Muhammad Luthfi Hidayat. 2015. Virus Influenza Penegur Anthroposentrisme Manusia. Yogyakarta : Misterluthfi Self Publishing.

Munir Fuady. 2015. Konsep Hukum Perdata. Cet 2. Jakarta: Rajawali Pers.

Rahmat S.S. Soemadipadja. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-syarat Pemabatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure). Jakarta: Nasional Legal Reform Program.

Shidarta dkk. 2019. Aspek Hukum Ekonomi Dan Bisnis. Cet 2. Jakarta:

Prenadamedia Group.

Toman Sony Tambunan Dan Wilson R.G Tambunan. 2019. Hukum Bisnis. Cet 1.

Jakarta: Prenadamedia Group.

F.X. Djumialdji. 2010. Perjanjian Kerja. Edisi Revisi. Cet 4. Jakarta: Sinar Grafika.

Zaeni Asyhadie. 2008. Hukum Kerja. Jakarta : Rajawali Pers.

---2012. Hukum Bisnis: Prinsip Dan Pelaksanannya Di Indonesia. Edisi Revisi. Cet 6. Jakarta: Rajawali Pers.

A. JURNAL/WEBSITE :

Adityo Susilo, dkk. “Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini”. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 7 No. 1. Maret 2020.

Ari Fadli. “Mengenal Covid-19 Dan Cegah Penyebarannya Dengan “Peduli Lindungi” Aplikasi Berbasis Andorid”. Artikel Pengabdian Kepada

82

Masyarakat Jurusan Teknik Elektro, Di Desa Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga Selasa, 21 April 2020.

https://www.researchgate.net/publication/340790225. Diakses pada Tanggal 24 Juli 2020, Pada Jam 20.00 WIB.

M. Arie Wuryanto. “Dasar Epidemiologi”.

http://arie_wuryanto.blog.undip.ac.id/files/2009/10/definisi-epidemiologi.

Diakses Pada Tanggal 4 Agustus 2020. Pada Jam 14.00 WIB.

Wardatul Fitri. “Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan”. Supremasi Hukum. Vol. 9, No. 1, Juni 2020.

Anonym. https://id.wikipedia.org/wiki/Pandemi. Diakses Pada Tanggal 13 Agustus 2020. Pada Jam 21.00 WIB.

Anonym. https://id.wikipedia.org/wiki/Koronavirus. Diakses Pada Tanggal 13 Agustus 2020. pada jam 22.00 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Flu_burung, diakses tanggal 8 Januari 2021, pukul 16.10 WIB.

https://en.wikipedia.org/wiki/Spanish_flu, diakses tanggal 8 Januari 2021, pukul 16.00 WIB.

https://en.wikipedia.org/wiki/Spanish_flu, diakses tanggal 8 Januari 2021, pukul 16.00 WIB.

83 B. LAINNYA :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Kesehatan.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.100/Men/Vi/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Pedoman penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, 2005. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.