• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BATALNYA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU AKIBAT

C. Pertanggungjawaban Hukum Bagi Perusahaan Atas Batalnya Perjanjian Kerja

Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan tinjauan hukum, istilah perusahaan mengacu pada badan hukum dan perbuatan badan usaha dalam menjalankan usahanya. Lebih lanjut, perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produsi.71

Secara jelas pengertian perusahaan ini dijumpai dalam Pasal 1 UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yang menyatakan sebagai berikut.72

“Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan/laba”.

Dari pengertian di atas ada dua unsur pokok yang terkandung dalam suatu perusahaan, yaitu:73

71 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas. 2014. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Cet 4. Jakarta:

Salemba Empat. Halaman 29.

72 Zaeni Asyhadie. Op.,Cit. Halaman 32.

73 Ibid.

1. Bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha, baik berupa suatu persekutuan atau badan usaha yang didirikan, bekerja, dan berkedudukan di Indonesia;

2. Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang bisnis, yang dijalankan secara terus-menerus untuk mencari keuntungan.

Dengan demikian, suatu perusahaan harus mempunyai unsur-unsur antara lain:74

a. Terus-menerus atau tidak terputus-putus;

b. Secara terang-terangan (karena berhubungan dengan pihak ketiga);

c. Dalam kualitas tertentu (karena dalam lapangan perniagaan);

d. Mengadakan perjanjian perdagangan;

e. Harus bermaksud memperoleh laba.

Dari unsur-unsur perusahaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dirumuskan bahwa suatu perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang dibuktikan dengan pembukuan.75

Perusahaan sebagai wahana/liar pembangunan perekonomian ini telah diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan berbagai bentuk hukum. Bentuk-bentuk hukum badan usaha

74 Ibid.

75 Ibid. Halaman 33.

tersebut adalah persekutuan perdata, firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara.76

Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia, UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan Pasal 1 huruf b, dirumuskan bahwa perusahaan adalah77

“Setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang tetap dan terus- menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.”

Perusahaan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu berdasarkan jumlah pemiliknya, status hukumnya, dan pemilik modalnya.

Bedasarkan Status Hukumnya :

Apabila perusahaan dibedakan berdasarkan bentuk hukumnya maka terdapat dua jenis perusahaan. Pertama adalah perusahaan yang berstatus badan hukum, yaitu perseroan terbatas (PT). Kedua adalah perusahaan yang tidak berbadan hukum yang terdiri atas perusahaan dagang, persekutuan firma (Fa), dan persekutuan komanditer (CV).78

Dalam ilmu hukum, dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Badan hukum atau legal entily atau legal person dalam Black’s Law Dictonary dinyatakan sebagai “A body, other than a natural person, that can

76 Ibid.

77 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas.Op.,Cit. Halaman 30.

78 Ibid.

function legally, sue or be sued, and make decisions through agents”. Sementara itu, dalam kamus hukum versi bahasa Indonesia, badan hukum diartikan sebagai organisasi, perkumpulan, atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta autentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau orang. Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat dalam Pasal 1654 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang pribadi, dapat melakukan tindakan-tindakan perdata.79

Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri sebuah badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur, antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, memepunyai kepentingan sendiri, dan adanya organisasi yang teratur. Lebih lanjut, aturan untuk menentukan kedudukan sebuah perusahaan sebagai badan hukum biasanya ditetapkan oleh perundang-undangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.80

Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang. Akan tetapi, perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum

79 Ibid.

80 Ibid. Halaman 31.

adalah sebagai badan atau lembaga maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.81

Dalam pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan atas batalnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu akibat dari pandemi covid-19 termasuk dalam peristiwa force majeure atau keadaan memaksa yang dialami oleh pemberi kerja untuk mempertahankan perusahaan.

Istilah “keadaan memaksa”, yang berasal dari istilah overmacht atau force majeure, dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya secara khusus dalam Undang-Undang, tetapi disimpulkan dari beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dari pasal-pasal KUHPerdata, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa overmacht adalah keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (si berutang atau debitur), yang tidak atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk member ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.82

1. Keadaan Memaksa dalam KUHPerdata83

Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majure (dalam kajian ini selanjutnya disebut keadaan memaksa) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:

81 Ibid.

82 Rahmat S.S. Soemadipadja. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-syarat Pemabatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure). Jakarta:

Nasional Legal Reform Program. Halaman 3.

83 Ibid. Halaman 4.

a. Pasal 1244 KUH Perdata

“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.”

b. Pasal 1245 KUH Perdata

“Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak sengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesutau yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

Selain kedua ketentuan tersebut, konsep keadaan memaksa juga diacu dalam Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut.

a. Pasal 1444 KUH Perdata

“(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.

(3) Si berutang diwajibakan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.”

b. Pasal 1445 KUH Perdata

“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.”

2. Unsur-Unsur Keadaan Memaksa84

Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unsur-unsur keadaan memaksa meliputi

a. Peristiwa yang tidak terduga;

b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;

c. Tidak ada itikad buruk dari debitur;

d. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;

e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;

f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;

g. Keadaan di luar kesalahan debitur;

84 Ibid. Halaman 5.

h. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);

i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain);

j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi.85

Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.

M. Yahya Harahap memberikan pendapatnya mengenai akibat dari keadaan memaksa. Bedasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, keadaan memaksa telah ditetapkan sebagai alasan hukum yang membebaskan debitur dari kewajiban melaksanakan pemenuhan (nakoming) dang anti rugi (schadevergoeding) sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum/onrechtmatig. Itulah sebabnya keadaan memaksa disebut sebagai dasar hukum yang membenarkan atau rechtvaardigings-grond. Ada dua hal yang menjadi akibat overmacht, yaitu sebagai berikut:86

1) Membebaskan debitur dari membayar ganti rugi (schadevergoeding).

Dalam hal ini, hak kreditur untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya.

85 Ibid. Halaman 10.

86 Ibid. Halaman 12-13.

Jadi, pembebasan ganti rugi sebagai akibat keadaan memaksa adalah pembebasan mutlak;

2) Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi (nakoming). Pembebasan pemenuhan (nakoming) bersifat relatif.

Pembebasan itu pada umumnya hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi tidak gugur selama-lamanya, hanya tertunda, sementara keadaan memaksa masih ada.

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Atas Batalnya Perjanjian Kerja