• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Definisi Istilah Kunci

Pada penelitian ini, terdapat beberapa istilah kunci yang digunakan. Berikut merupakan penjelasan mengenai istilah-istilah kunci dalam penelitian ini.

1. Stilistika

Stilistika merupakan salah satu kajian ilmu linguistik yang menganalisis gaya bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra.

2. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah suatu cara khusus yang dilakukan oleh penulis karya sastra dalam mengungkapkan atau mengekspresikan pikirannya melalui pemilhan kata-kata yang bersifat puitis dan menarik hati para penikmat karyanya.

3. Citraan

Imaji atau citraan adalah sebuah gambaran yang dihasilkan oleh alat indera yang dimiliki oleh manusia pada saat membaca atau mendengarkan suatu karya sastra.

4. Lagu

Lagu adalah sebuah karya sastra yang memiliki nilai keindahan yang berasal dari seni dan lirik lagu yang mencakup gaya bahasa.

5. Lirik Lagu

Lirik adalah pesan yang berupa kata-kata kiasan yang terkandung di dalam sebuah lagu.

6. Album Chambre 12 karya Louane

Album Chambre 12 ini merupakan album pertama dari musisi wanita Prancis bernama Louane. Louane mengeluarkan album lagu ini di bawah label rekaman Universal Music France/ Mercury Music Group. Dalam album ini terdapat 17 lagu (sumber www.amazon.com).

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Stilistika

Menurut Shipley dalam Ratna (2013, hal 8), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style). Style itu sendiri berasal dari akar kata stilus (bahasa Latin) yang berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Benda runcing sebagai alat untuk menulis ini dapat diartikan bermacam-macam, diantaranya yaitu menggores, melukai, menembus, dan menusuk bidang datar sebagai tulisan. Dengan konotasi lain, stilus memiliki arti

“menggores” atau “menusuk” perasaan pembaca, bahkan juga penulis itu sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu. Dari pengertian dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa kata stilus memiliki arti gaya bahasa sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas.

Stilistika (stylistic) merupakan ilmu tentang gaya. Ratna (2013, hal 5) menjelaskan bahwa gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara berekspresi. Pada umumnya, gaya dianggap sebagai sebuah istilah khusus yang dapat dibicarakan dan dimanfaatkan dalam bidang tertentu, misalnya bahasa dan sastra. Dalam hal ini dengan pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara khusus dan karya sastra yang dianggap sebagai sumber data utamanya. Pada dasarnya, gaya ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap tingkah laku dan perbuatan tanpa kita sadari kita melakukan aktivitas tersebut menggunakan cara tertentu. Dengan demikian, semua hasil

aktivitas manusia yang dijadikan sebagai suatu kebiasaan atau kebudayaan diwujudkan melalui cara tertentu sesuai dengan minat, selera, dan kemauan penciptanya. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan.

Berdasarkan pengertian stilistika yang dijabarkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan salah satu kajian ilmu linguistik yang mempelajari atau menganalisis jenis gaya bahasa yang digunakan di dalam karya sastra. Dalam membuat suatu karya sastra, seorang penulis ataupun penyair pasti selalu menggunakan gaya bahasa dengan tujuan untuk menimbulkan efek tertentu yang berhubungan dengan faktor keindahan dan artistik yang dapat dirasakan oleh para penikmat karya sastra tersebut.

2.2 Gaya Bahasa

Keraf (1984, hal 112) menjelaskan bahwa gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah Style. Kata Style itu berasal dari kata Latin “stilus”

yang berarti alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian, style berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Seiring perkembangan waktu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.

Menurut Ratna (2013, hal 161), proses penciptaan gaya bahasa jelas disadari oleh penulisnya. Dalam penulisan, untuk memperoleh aspek keindahan secara

maksimal dalam menemukan satu atau kelompok kata-kata yang dianggap tepat, penulis melakukannya berulang kali. Peristiwa seperti ini dapat dibuktikan dengan adanya konsep yang dibuat oleh penulis dengan penuh coretan, penghapusan, dan penggantian dengan kata-kata yang baru.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan suatu cara khusus yang dilakukan oleh penulis dalam mengungkapkan atau mengekspresikan pikirannya melalui pemilihan kata-kata yang bersifat puitis dan menarik hati para penikmat karyanya.

2.3 Jenis-jenis Gaya Bahasa

Keraf (1984, hal 115) menjelaskan bahwa gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Pandangan-pandangan tentang gaya bahasa sejauh ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu pertama dilihat dari segi non bahasa dan kedua dilihat dari segi bahasanya. Dari segi non bahasa, Keraf membagi 7 kelompok yaitu diantaranya: a) berdasarkan pengarang, b) berdasarkan masa, c) berdasarkan medium, d) berdasarkan subyek, e) berdasarkan tempat, f) berdasarkan hadirin, dan g) berdasarkan tujuan. Dari segi bahasa, Keraf membagi 4 kelompok berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang digunakan yaitu diantaranya: a) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, b) gaya bahasa yang terkandung dalam wacana, c) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan d) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Pada penelitian ini, penulis memilih analisa jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Menurut Keraf (1984, hal 129), gaya bahasa berdasarkan

ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut Trope atau Figure of Speech. Istilah Trope atau Figure of Speech ini sudah terkenal sejak dulu hingga abad XVIII. Trope atau Figure of Speech memiliki banyak fungsi diantaranya yaitu menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak tawa, dan juga untuk hiasan. Dalam hal ini, Keraf membagi 2 kelompok gaya bahasa yang disebut dengan Trope atau Figure of speech ini, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

a. Gaya Bahasa Retoris

Menurut Keraf (1984, hal 130), gaya bahasa retoris adalah sebuah gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai suatu efek tertentu. Keraf membagi menjadi 21 kelompok jenis gaya bahasa retoris yaitu diantaranya: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, plenasme dan tautologi, perifrasis, proplepsi atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsi dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron.

1. Aliterasi

Keraf (1984, hal 130) menjelaskan bahwa aliterasi adalah jenis gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Aliterasi biasa digunakan dalam puisi atau prosa agar berfungsi sebagai suatu perhiasan atau untuk penekanan.

(1) Keras-keras kerak kena air lembut juga. (Keraf 1984, hal 130)

Pada kalimat (1) terdapat pengulangan huruf konsonan yaitu huruf konsonan [k] dan konsonan [r].

2. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya terdapat dalam puisi dan juga prosa agar memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan (Keraf 1984, hal 130).

(2) Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

(Keraf 1984, hal 130) Pada kalimat (2) terdapat pengulangan huruf vokal yaitu vokal [a] dan [u].

3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf 1984, hal 130).

(3) Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

(Keraf 1984, hal 130) Pada kalimat (3) menunjukkan adanya gaya bahasa anastrof karena terdapat pembalikan kata yaitu “bersorak-sorak orang di tepi jalan …” seharusnya kalimat tersebut ditulis menjadi “orang bersorak-sorak di tepi jalan …”.

4. Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkal (Keraf 1984, hal 130).

(4) Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

(Keraf 1984, hal 131)

Pada kalimat (4) juga terdapat gaya bahasa apofasis atau preterisio karena penulis seolah-olah berpura-pura menyembunyikan sesuatu akan tetapi ia justru mengatakannya.

5. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir (Keraf 1984, hal 131).

(5) Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.

(Keraf 1984, hal 131) Pada contoh kalimat (5) juga terdapat gaya bahasa apostrof karena di dalam kalimat pidato tersebut terdapat suatu penyampaian langsung kepada sesuatu yang tidak hadir. Kalimat tersebut adalah “hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini,…”.

6. Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf 1984, hal 131).

(6) Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur, dijungkir balik, masih itu-itu juga. (Keraf 1984, hal 131) Pada contoh kalimat (6) menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena pada kedua kalimat tersebut ditandai dengan tidak digunakannya kata sambung melainkan menggunakan tanda koma (,) sebagai pemisah antara kata atau frasa pada kalimat tersebut.

7. Polisindeton

Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton, yaitu menggunakan kata sambung untuk menggabungkan beberapa kata, klausa, dan frasa yang berurutan dalam suatu kalimat (Keraf 1984, hal 131).

(7) Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya.

(Keraf 1984, hal 131) Pada contoh kalimat (7) terdapat gaya bahasa polisindeton karena ditandai dengan penggunaan kata sambung “dan” dan “yang” pada kalimat tersebut.

8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari 2 bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain tetapi susunan frasa dan klausanya terbalik jika dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya (Keraf 1984, hal 132).

(8) Sudah lazim dalam hidup ini bahwa orang pintar mengaku bodoh, tetapi orang bodoh mengaku dirinya pintar.

(Tarigan 1985, hal 187) Pada contoh kalimat (8), terdapat gaya bahasa kiasmus yaitu pada kata

“pintar” dan “bodoh”. Kedua kata tersebut saling dipertentangkan dalam klausa pertama dan klausa kedua pada kalimat tersebut.

9. Elipsis

Ellipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf 1984, hal 132).

(9) Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa apa, badanmu sehat; tetapi psikis … (Keraf 1984, hal 132)

Pada contoh kalimat (9) terdapat gaya bahasa elipsis yaitu ditandai dengan adanya penghilangan suatu unsur kalimat. Seharusnya kalimat tersebut tersusun rapi seperti ini “Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat tetapi psikismu tidak sehat”.

10. Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani yaitu euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf 1984, hal 132).

(10) Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka.

(Keraf 1984, hal 132) Pada contoh kalimat (10) terdapat gaya bahasa eufismus. Makna sebenarnya dalam kalimat tersebut adalah ayahnya sudah meninggal.

11. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri atau suatu pikiran yang dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya (Keraf 1984, hal 133).

(11) Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya. (Keraf 1984, hal 133)

Pada contoh kalimat (11) terdapat gaya bahasa litotes. Penulis ingin menyampaikan sesuatu hal yang bersifat positif namun melalui pernyataan yang bersifat negatif.

12. Histeron Proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan pada awal peristiwa sesuatu yang sebenarnya terjadi di kemudian.

(Keraf 1984, hal 133).

(12) Setelah berhasil mendaki bukit pasir itu, sampailah ia di padang rumput yang sangat hijau dan subur. (https://haloedukasi.com/)

Pada contoh kalimat (12) tersebut terdapat gaya bahasa histeron proteron karena terdapat ungkapan sesuatu yang tidak logis. Secara logika, bukit pasir tidak memiliki rumput hijau yang subur.

13. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah sebuah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari pada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walau secara praktis kedua istilah itu sama saja namun ada yang membedakan dari keduanya. Suatu acuan dapat dikatakan pleonasme jika kata yang berlebihan itu dihilangkan namun artinya tetap utuh.

Sebaliknya, acuan tersebut dikatakan tautologi jika kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari kata yang lain (Keraf 1984, hal 133).

(13) Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.

(Keraf 1984, hal 133) Pada contoh kalimat (13) terdapat gaya bahasa pleonasme karena semua kalimat tersebut akan tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun sudah dihilangkan kata-kata sebagai berikut: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah itu.

14. Perifrasis

Perifrasis adalah sebuah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata yang lebih banyak dari yang diperlukan namun perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja (Keraf 1984, hal 134).

(14) Ia telah beristirahat dengan damai. (Keraf 1984, hal 134) Pada contoh kalimat (14) terdapat gaya bahasa perifrasis karena kalimat tersebut sebenarnya bisa dipersingkat menjadi “ia telah meninggal dunia”.

15. Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa dimana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi (Keraf 1984, hal 134).

(15) Mobil yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang.

(Tarigan 1985, hal 33) Pada contoh kalimat (15) juga terdapat gaya bahasa prolepsis atau antisipasi.

Pada kalimat tersebut penulis sudah menggunakan kata mobil yang malang untuk mengungkapkan rasa prihatin yang ditujukan untuk sebuah mobil yang mengalami kecelakaan tersebut.

16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin (Keraf 1984, hal 134).

(16) Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? (Keraf 1984, hal 135)

Pada contoh kalimat (16) tersebut terdapat gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris karena terdapat tanda tanya (?) yang menunjukkan adanya pertanyaan retoris. Pertanyaan dalam kalimat tersebut sebenarnya sudah memiliki jawaban dan sudah dijabarkan oleh penutur sebelum mengajukan pertanyaan.

17. Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah sebuah gaya dimana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf 1984, hal 135).

(17) Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. (Keraf 1984, hal 135) Pada contoh kalimat (17) terdapat gaya bahasa silepsis. Dalam silepsis, konstruksi kalimat yang dipergunakan yaitu secara gramatikal benar namun secara semantik tidak benar. Konstruksi pada kalimat tersebut adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional dan yang satu lagi memiliki makna kiasan.

18. Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang mula-mula menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaikinya (Keraf, 1984 hal, 135).

(18) Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima

kali. (Keraf 1984, hal 135)

Pada contoh kalimat (18) terdapat gaya bahasa koreksio atau epanortosis karena penulis awalnya menegaskan sudah empat kali mengunjungi daerah itu namun kemudian penulis memperbaiki kalimat tersebut dengan memberikan kata ah bukan, sudah lima kali.

19. Hiperbol

Hiperbol adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Keraf 1984, hal 135).

(19) Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak

aku. (Keraf 1984, hal 135)

Pada contoh kalimat (19) terdapat gaya bahasa hiperbol karna ditandai dengan kata meledak. Kata meledak tersebut mengandung makna yang berlebihan karena menggambarkan seseorang yang dapat meledak karena amarah yang berlebihan.

20. Paradoks

Paradoks adalah jenis gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada, biasanya paradoks juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf 1984, hal 136).

(20) Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang

berlimpah-limpah. (Keraf 1984, hal 136)

Pada contoh kalimat (20) terdapat gaya bahasa paradoks yaitu terletak pada kata “kelaparan” dan “kekayaan yang berlimpah-limpah”. Kedua kata tersebut bertentangan karena kekayaan yang berlimpah-limpah tidak akan menyebabkan seseorang menjadi kelaparan.

21. Oksimoron

Oksimoron terdiri dari kata okys yang berarti tajam dan moros yang berarti gila atau tolol. Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan (Keraf 1984, hal 136).

(21) Keramah-tamahan yang bengis. (Keraf 1984, hal 136)

Pada contoh kalimat (21) terdapat gaya bahasa oksimoron yang ditandai dengan adanya kata-kata yang saling bertentangan di dalam satu kalimat yaitu pada kata “keramah-tamahan” yang berarti suatu sikap atau perilaku yang baik dan kata

“bengis” yang berarti keras atau kejam.

b. Gaya Bahasa Kiasan

Menurut Keraf (1984, hal 136), gaya bahasa kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Berikut merupakan jenis-jenis gaya bahasa kiasan menurut Keraf (1984, hal 138).

1. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.

Biasanya kata-kata yang digunakan adalah: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana dan lain sebagainya (Keraf 1984, hal 138).

(22) Bibirnya seperti delima merekah. (Keraf 1984, hal 138)

Pada contoh kalimat (22) mengandung gaya bahasa kiasan persamaan atau simile karena ditandai dengan membandingkan bagian tubuh manusia yaitu bibir dengan buah delima yang merekah atau yang berwarna merah.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf 1984, hal 139).

(23) Perpustakaan gudang ilmu. (Tarigan 1985, hal 16) Kalimat (23) mengandung gaya bahasa metafora karena ditandai dengan perbandingan antara perpustakaan dengan gudang ilmu. Jadi perpustakaan diibaratkan sebagai tempat atau sebuah bangunan yang memiliki beberapa koleksi dari berbagai sumber ilmu seperti buku, koran, majalah, jurnal dan lain sebagainya.

3. Alegori, Parabel, dan Fabel

Menurut Keraf (1984, hal 140) alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan biasanya makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Biasanya di dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak serta tujuannya selalu jelas tersurat.

(24) Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?

Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu. (Dee 2006, hal 97)

Parabel atau parabola adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual (Keraf 1984, hal 140). Misalnya dalam cerita rakyat “Malin Kundang” terdapat nilai moral yang ingin disampaikan yaitu sebagai manusia kita harus berbakti dan menghormati kedua orang tua. Selain itu, kita harus mengakui keberadaan seorang ibu dalam hidup kita, bagaimanapun keadaanya, beliaulah yang telah melahirkan kita dari rahimnya.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel sama seperti parabel yaitu ingin menyampaikan nilai-nilai moral atau budi pekerti (Keraf 1984, hal 140).

Misalnya dalam cerita fabel Si Kancil dan Harimau. Dalam cerita tersebut terdapat pesan moral yang ingin disampaikan penulis untuk pembaca yaitu jika mendapat masalah gunakan akal sehatmu untuk menghadapinya, dan jika masalahnya sulit, mintalah bantuan orang tuamu untuk menyelesaikannya.

4. Personifikasi atau Prosopopoeia

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf 1984, hal 140).

(25) Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi

ketakutan kami. (Keraf 1984, hal 140)

Pada contoh kalimat (25) terdapat gaya bahasa personifikasi karena ditandai dengan kalimat “angin yang meraung”. Angin merupakan benda mati dan meraung hanya dilakukan oleh makhluk hidup saja.

5. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata (Keraf 1984, hal 141).

(26) Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

(Keraf 1984, hal 141).

Kalimat (26) menggunakan gaya bahasa alusi karena penulis mensugestikan persamaan kepada seorang tokoh yang terkenal yaitu “Kartini”. Tokoh Kartini mempunyai sifat yang ingin memperjuangkan kesamaan hak-hak wanita.

6. Eponim

Eponim adalah gaya bahasa dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu (Keraf 1984, hal 141). Misalnya, penggunaan kata Hercules untuk

menyatakan kekuatan kemudian penggunaan kata Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan (Keraf 1984, hal 141).

7. Epitet

Epitet (epiteta) adalah acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif

Epitet (epiteta) adalah acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif

Dokumen terkait