• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Relasi Romantis

1. Definisi kepuasan relasi romantis

Kepuasan relasi romantis terdiri dari kata kepuasan dan frasa relasi romantis. Berdasarkan hal tersebut, ada baiknya arti kata kepuasan dan frasa relasi romantis diketahui terlebih dahulu sebelum memahami lebih lanjut mengenai arti kepuasan relasi romantis.

Kepuasan didefinisikan sebagai perasaan puas, kesenangan, dan kelegaan (https://kbbi.web.id/puas). Kepuasan juga dapat merujuk pada evaluasi subjek terhadap relasi yang berlandaskan pada teori kesetaraan dan pertukaran sosial (Vaughn & Baier, 1999). Sementara itu, relasi romantis berkaitan dengan keterhubungan dan ikatan yang disertai hasrat dan keintiman untuk menjalin hubungan (Sternberg, dalam Florsheim, 2003). Relasi romantis diartikan sebagai suatu hubungan romantis yang pasti dialami seseorang dengan orang yang disukainya (Florsheim, 2003).

Relasi romantis atau yang dapat disebut sebagai relasi yang intim juga dapat didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap perubahan hubungan yang mendapat timbal balik, emosional, dan erotis dengan pasangannya (Karney, Beckett, Collins, Shaw, 2007). Relasi romantis juga dimaknai sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh afeksi serta disposisi umum individu mengenai cinta,

perkawinan, dan keluarga (De Munck, 1998). Relasi romantis yang dijalin oleh individu pada masa dewasa juga dapat diartikan sebagai ikatan baik pada sesama maupun lawan jenis yang mengarah pada pacaran, tinggal bersama, bertunangan, atau menikah (Mollen & Domingue, 2009).

Paparan terkait pengertian kepuasan dan relasi romantis yang telah diuraikan di atas selaras dengan definisi kepuasan relasi romantis menurut beberapa ahli. Kepuasan relasi romantis diartikan sebagai evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap jalinan relasi romantis bersama pasangan (Hendrick, Dicke, & Hendrick, 1998; Mattson, Rogge, Johnson, & Davidson, & Fincham, 2012). Kepuasan relasi romantis juga dapat dianggap sebagai salah satu area penting dari penilaian relasi untuk menilai perasaan, pikiran, dan perilaku dalam relasi (Hendrick, 1988).

Kepuasan relasi romantis memiliki perbedaan makna dengan kualitas relasi romantis. Kualitas relasi romantis diartikan sebagai baik atau buruknya evaluasi individu mengenai relasi yang dijalin bersama pasangan (Rogge, Fincham, Crasta, & Maniaci, 2016).

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan relasi romantis merupakan evaluasi subjektif individu terhadap dimensi-dimensi relasi romantis bersama pasangan yang melibatkan pikiran, perasaan, dan perilaku.

2. Pengukuran kepuasan relasi romantis

Pada bagian sebelumnya, telah dipaparkan bahwa kepuasan relasi romantis diartikan sebagai kepuasan yang dirasakan individu terhadap

hasil evaluasinya akan dimensi-dimensi dalam relasi romantis. Terkait dengan pengukuran, kepuasan dalam penelitian ini bersifat unidimensional dan unifaktorial (Hendrick et al., 1998) serta direpresentasikan dalam satu pernyataan tunggal, yaitu seberapa puas subjek terhadap djmensi-dimensi relasi romantis. Adapun dimensi-dimensi dalam relasi romantis menurut Hendrick (1988) beserta indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Cinta

Cinta dianggap sebagai emosi yang paling mendasar pada manusia dalam suatu hubungan intim yang meliputi kombinasi kognisi, emosi, dan perilaku (Baron & Byrne, 2005; Mapalad, 2014).

Cinta juga dapat diartikan sebagai sikap individu meliputi kecenderungan berpikir, merasakan, bertindak dengan cara tertentu pada individu lain (Rubin, 1970).

Cinta dapat dimanifestasikan melalui komunikasi karena komunikasi adalah cara bagi pasangan untuk saling menyampaikan hal-hal yang diharapkan satu sama lain untuk dilakukan. Hal ini akan membuat pasangan saling memahami serta memotivasi pasangan untuk mempertahankan dan menperkuat ikatan relasi romantis (Lucido 2015).

Individu akan merasa puas ketika keinginan akan interaksi terpenuhi dan dipahami oleh pasangan (Anderson & Emmers-Sommer, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa kualitas komunikasi daring yang baik juga mendukung kepuasan relasi romantis (Sánchez,

Muñoz-Fernández, & Ortega-Ruiz, 2017). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa berkirim pesan untuk menyampaikan hal-hal positif, seperti ekspresi kasih sayang akan meningkatkan kepuasan relasi romantis, sebaliknya tindakan berkirim pesan untuk menyampaikan konfrontasi dapat menurunkan kepuasan relasi romantis (Lucido 2015).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi cinta meliputi beberapa indikator, yaitu (1) komunikasi verbal dengan cara mengungkapkan kasih sayang; (2) komunikasi nonverbal melalui ekspresi afeksi dan penerimaan reward; (3) memenuhi kebutuhan pasangan; (4) saling percaya; (5) saling terbuka, dan; (6) saling memperlakukan pasangan secara adil.

b. Masalah

Masalah atau yang sering disebut sebagai konflik terjadi ketika tindakan seseorang bertentangan dengan tindakan orang lain.

Frekuensi konflik relatif rendah pada relasi romantis dijalin, kemudian akan meningkat secara signifikan seiring dengan semakin seriusnya relasi romantis tersebut dijalin (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Hal ini disebabkan semakin meningkatnya potensi konflik ketika dua orang semakin saling tergantung (Miller 2015; Taylor, et al., 2006). Konflik dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu (1) perilaku spesifik pasangan; (2) norma dan peran yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pasangan dalam relasi romantis, serta; (3) disposisi pribadi

yang berfokus pada niat dan kepribadian pasangan (Taylor et al., 2006).

Pada dasarnya, masalah dapat mengembangkan relasi romantis apabila diatasi dengan tepat. Masalah merujuk pada usaha mengatasi konflik akibat adanya perbedaan pendapat dan perilaku antarindividu dalam suatu hubungan (Taylor, et al., 2006; William, Sawyer, &

Wahlstorm, 2006). Masalah akan mendewasakan pasangan apabila pasangan dapat saling berlatih untuk mengatasinya dan menemukan cara yang tepat untuk saling mengungkapkan hambatan yang dialami dalam menyelesaikan masalah (Miller, 2015). Teratasinya masalah akan meminimalisir konflik dalam relasi romantis, sehingga individu merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan (Hendrick, 1988).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi masalah meliputi beberapa indikator, yaitu (1) pasangan saling berlatih mengatasi masalah, dan; (2) cara untuk saling mengungkapkan hambatan yang dialami dalam menyelesaikan masalah.

c. Harapan

Faktor lain yang berkaitan dengan kepuasan relasi romantis adalah harapan (Indrawati, Sani, & Ariela, 2018; Merolla, 2014).

Harapan dapat diartikan sebagai proses mental terkait niat dan cara individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan dalam konteks pacaran merujuk pada

tujuan yang dicapai individu bersama pasangannya, seperti menikah (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan membuat pasangan bertekad untuk merencanakan dan menyepakati tujuan bersama beserta cara terbaik untuk mewujudkannya (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan juga memotivasi pasangan untuk menjaga dan mempertahankan relasi romantis yang dijalin, sehingga meningkatkan kepuasan relasi romantis (Hendrick, 1988; Merolla, 2014).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi harapan meliputi beberapa indikator, yaitu 1) bertekad untuk mendiskusikan dan menyepakati tujuan bersama pasangan; (2) memikirkan cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama, serta; (3) berusaha menjaga dan mempertahankan hubungan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan di atas adalah bahwa kepuasan relasi romantis bersifat unidimensional dan unifaktorial yang direpresentasikan dalam pernyataan seberapa puas subjek terhadap dimensi-dimensi relasi romantis, meliputi cinta, masalah, dan harapan.

3. Prediktor kepuasan relasi romantis

Terdapat beberapa hal yang menjadi prediktor kepuasan relasi romantis, yaitu:

a. Tipe kepribadian

Malouff, Thorsteinsson, Schutte, Bhullar, dan Rooke (2010) menemukan dalam penelitiannya bahwa tipe kepribadian lima-faktor berhubungan dengan kepuasan seseorang terhadap relasi romantis

yang dijalin bersama pasangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara neuroticism dan kepuasan relasi romantis. Hal ini selaras dengan penjelasan Gottman (dalam Malouff et al., 2010) yang menyatakan bahwa individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung mengekspresikan kritik, celaan, dan sikap pertahanan diri yang dapat mengganggu jalinan relasi romantis.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malouff et al (2010) juga membuktikan bahwa agreeableness, conscientiousness, dan extraversion berkorelasi secara positif dengan kepuasan relasi romantis yang tinggi cenderung merasa lebih puas dengan relasi romantisnya.

Meski demikian, korelasi signifikan antara tipe kepribadian extraversion dan kepuasan relasi romantis hanya terjadi di beberapa negara, sehingga tidak bebas budaya dan menjadi kelemahan dari hasil penelitian ini (Malouff et al., 2010).

b. Efikasi diri

Individu dengan kemampuan efikasi diri yang baik cenderung berhasil melakukan negosiasi terkait konflik yang sedang dihadapi.

Teratasinya konflik dalam relasi akan meningkatkan kepuasan relasi romantis. Individu dengan kemampuan efikasi diri yang baik memiliki keyakinan bahwa ia mampu melakukan suatu hal dengan baik. Hal ini akan mengarah pada hasil yang diinginkan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa efikasi diri mendorong individu untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang mengarah pada keutuhan relasi

romantis. Hal tersebut akan meningkatkan kepuasan relasi romantis (Weiser & Weigel, 2016).

Keterbatasan dari hasil penelitian ini adalah tidak terlibatnya faktor-faktor lain yang memediasi efikasi diri dengan kepuasan relasi romantis, seperti konflik, self-esteem, dan kelekatan (Weiser &

Weigel, 2016).

c. Status finansial

Status finansial juga turut memengaruhi kepuasan relasi romantis. Hal ini disebabkan oleh tingginya tekanan ekonomi yang dialami pasangan dapat berpotensi meningkatkan emotional distress, seperti mudah marah, perasaan cemas, alienasi, hingga depresi.

Tekanan ekonomi juga dapat menimbulkan masalah perilaku, seperti perilaku anti sosial dan penggunaan obat-obatan. Tekanan emosional dan masalah perilaku dapat berdampak pada konflik (Fincham & Cui, 2011). Hal ini selaras dengan penelitian yang menyatakan bahwa status tidak bekerja dapat meningkatkan konflik dan menurunkan kepuasan relasi romantis (Taylor et al., 2006). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa argumen mengenai kondisi keuangan dapat mengikis kepuasan dalam pernikahan (Miller, 2015). Meski demikian, peran status finansial terhadap kepuasan relasi romantis hanya ditemukan pada pasangan menikah dan pasangan yang tinggal bersama (Miller, 2015; Taylor et al., 2006).

d. Kualitas relasi romantis

Terdapat empat dimensi kualitas relasi romantis yang memengaruhi kepuasan relasi romantis, yaitu keintiman, kesepakatan, kemandirian, dan seksualitas. Dimensi yang memiliki korelasi tertinggi dengan kepuasan relasi romantis adalah keintiman (Hassebrauck &

Fehr, 2002). Keintiman merujuk pada kedekatan, ikatan, dan keterhubungan (Sternberg, 1986). Minimnya keintiman dalam relasi romantis berdampak pada berakhirnya hubungan (Yoo, 2013). Relasi romantis dengan keintiman yang baik akan membuat individu merasa puas dan menjaga stabilitas relasi romantis yang dijalin (Acker &

Davis, 1992; Greef & Malherbe, Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013).

Hal ini disebabkan oleh kebutuhan pasangan akan keintiman mendukung komitmen (Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013). Hal ini terkait dengan teori cinta segitiga milik Sternberg (1986) yang menyatakan bahwa komitmen melibatkan aspek kognitif yang dalam jangka pendek memiliki arti keputusan yang diambil seseorang untuk mencintai orang lain dan komitmen dalam jangka panjang merujuk pada sikap mempertahankan cinta.

Dimensi pada urutan kedua yang berkorelasi dengan kepuasan relasi romantis adalah kesepakatan, kemudian diikuti oleh kemandirian dan seksualitas pada urutan ketiga (Hassebrauck & Fehr, 2002).

Seksualitas terkait dengan gairah pada teori cinta segitiga milik

Sternberg (1986). Gairah merujuk pada ketertarikan fisik dan seksual, sehingga hanya terdapat dalam relasi romantis (Sternberg, 1986).

Hasil penelitian Hassebrauck dan Fehr (2002) memang menunjukkan bahwa keintiman lebih berkontribusi terhadap kepuasan relasi romantis dibandingkan seksualitas atau gairah, namun penelitian tersebut dilakukan pada subjek dewasa yang berusia 18-61 tahun dengan rentang durasi relasi romantis 1 bulan hingga 38,08 tahun.

Luasnya rentang durasi relasi romantis memengaruhi hasil penelitian mengingat adanya perbedaan dinamika gairah dan keintiman.

Keintiman membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang dan memudar sementara gairah bersifat cepat berkembang dan memudar (Hatfield, dalam Sternberg, 1988; Sternberg, 1986). Hal tersebut membuat relasi romantis yang sudah dijalin dalam waktu yang lama memiliki keintiman yang tinggi, namun rendah dalah hal gairah (Stenberg, 1986).

Celah yang terdapat antara dinamika gairah dan keintiman dapat dijawab melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Aykutgolu dan Uysal (2017). Penelitian ini membuktikan bahwa gairah dapat meningkatkan keintiman. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa gairah merupakan elemen yang paling berpengaruh terhadap perkembangan relasi romantis karena bersifat cepat berkembang dan mampu membangkitkan keintiman yang akan berdampak pada

komitmen bersama untuk mempertahankan relasi romantis (Aykutgolu

& Uysal, 2017; Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013; Sternberg, 1986).

Uraian di atas memaparkan bahwa kepuasan relasi romantis dipengaruhi oleh tipe kepribadian, efikasi diri, status finansial, keintiman, komitmen, kesepakatan, kemandirian, dan seksualitas atau gairah.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan pula bahwa gairah merupakan elemen yang paling menentukan kelangsungan relasi romantis.

4. Dampak positif kepuasan yang dialami individu dalam relasi romantis

Pasangan yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin akan cenderung menghabiskan waktu bersama dan melakukan aktivitas bersama. Pasangan juga akan cenderung lebih sering bercanda dan lebih jarang menyampaikan kritik serta perilaku kekerasan (Taylor et al., 2006).

Relasi romantis yang memuaskan mendukung relasi romantis yang stabil dan langgeng dengan kualitas yang baik (Gottman & Levenson, 1992;

Wildsmith, Manlove, Steward-Streng, & Cook, 2013). Individu yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam relasi romantis dengan baik (Malouff et al., 2010).

Kepuasan yang dirasakan oleh individu terhadap relasi romantis yang dijalin mampu memotivasi individu untuk mengubah kebiasaan dan perilaku yang tidak menyehatkan, seperti mengonsumsi alkohol. Individu

Dokumen terkait