• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PASSIONATE LOVE DAN KEPUASAN RELASI ROMANTIS PADA DEWASA AWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PASSIONATE LOVE DAN KEPUASAN RELASI ROMANTIS PADA DEWASA AWAL"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PASSIONATE LOVE DAN KEPUASAN RELASI ROMANTIS PADA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Oleh:

Athanasia Dianri Susetiya Putri 159114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019

(2)

.

(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

If you want to fly, give up everything that weighs you down – Buddha The mind is like water. When it’s turbulent, it’s difficult to see.

When it’s calm, everything becomes clear – Buddha.

The best way to get things done is to simply begin – Unknown Don’t be busy, be productive – Unknown

Your only limit is your mind – Unknown

We fear the future because we are wasting the today – Ibu Teresa You never fail until you stop trying – Albert Einstein Nothing happens until something moves – Albert Einstein

Nothing that’s worthwhile is ever easy – Nicholas Sparks Without action, a door is just a wall - JmStorm

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dipersembahkan untuk kedua orangtua dan adikku.

Papa, Mama, dan Evan, terima kasih atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan kalian padaku selama ini.

Serta para sahabat yang selalu ada di kala suka dan duka.

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA PASSIONATE LOVE DAN KEPUASAN RELASI ROMANTIS PADA DEWASA AWAL

Athanasia Dianri Susetiya Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara passionate love dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara passionate love dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal yang sedang berpacaran. Subjek dalam penelitian ini adalah 511 dewasa awal baik pria maupun wanita berusia 18-29 tahun yang sedang berpacaran. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling dan convenience sampling. Metode pengumpulan skala dalam penelitian ini menggunakan dua skala model Likert, yaitu skala passionate love dan skala kepuasan relasi romantis. Uji coba skala menghasilkan koefisien reliabilitas pada skala passionate love sebesar 0,855 dan pada skala kepuasan relasi romantis sebesar 0,944. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Spearman’s Rho one-tailed karena data tidak terdistribusi normal. Hasil uji korelasi menunjukkan skor koefisien korelasi sebesar 0,410 dan nilai signifikansi sebesar p = 0,00 (p < 0,01). Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang sigifikan antara passionate love dan kepuasan relasi romantis.

Kata kunci: dewasa awal, kepuasan relasi romantis, passionate love.

(8)

viii

CORRELATION BETWEEN PASSIONATE LOVE AND ROMANTIC RELATIONSHIP SATISFACTION IN EMERGING ADULTHOOD

Athanasia Dianri Susetiya Putri

ABSTRACT

This research aimed to know the correlation between passionate love and romantic relationship satisfaction in emerging adulthood. The hypothesis proposed in this research that there was a positive correlation between passionate love and romantic relationship satisfaction in emerging adulthoods who were in a dating relationship. The subjects of this research were 511 emerging adulthoods both male and female who were 18-29 years old and in a dating relationship.

This research was a quantitative research with purposive sampling and convenience sample. The method of data collection in this research used two Likert model scales, namely the scale of passionate love and the scale of romantic relationship satisfaction. The tryout of scales get reliability of coefficients on passionate love scale was 0,855 and romantic relationship satisfaction scale was 0,944. The research data was analyzed using the Spearman’s Rho one-tailed correlation technique because the data was not normally distributed. The result showed that the value of Spearman’s Rho correlation test was r = 0,410 with significance level p = 0,00 (p < 0,01). Based on this, can be concluded that there was a significant positive relationship between passionate love and satisfaction of romantic relationship.

Keywords: emerging adulthood, passionate love, romantic relationship satisfaction.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi ini. Melalui kasih dan tuntunan-Nya, penulis dapat mengikuti seluruh dinamika dalam studi ini dengan lancar.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Titik Kristiyanti, M. Psi., Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Monica E. Madyaningrum, M. App., Ph. D selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Dr. Maria Laksmi Anantasari, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih atas segala waktu, pengertian, dukungan, pengorbanan, bimbingan, dan kasih sayang yang senantiasa Ibu berikan secara tulus demi kelancaran dinamika proses penulisan skripsi selama ini. Berkat Ibu, dinamika penyusunan skripsi ini terasa menenangkan dan bermakna.

4. Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas segala perhatian yang Ibu berikan pada saya.

5. Bapak Agung Santoso Ph.D atas waktu dan masukan yang Bapak berikan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas berbagai ilmu mengenai psikologi yang telah diajarkan kepada saya.

7. Karyawan-karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala pelayanan yang diberikan selama masa studi saya.

8. Bapak Fransiskus Bandung dan Ibu Veronica Ery selaku orangtua saya, serta Redemptus Evan selaku adik saya. Terima kasih atas segala bentuk dukungan yang diberikan kepada saya. Berkat kasih sayang dan ketulusan kalian, penulis selalu termotivasi untuk mengusahakan yang terbaik, khususnya terkait dengan penyusunan tugas akhir ini.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN MOTTO ……….... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………... vi

ABSTRAK ………. vii

ABSTRACT ………... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………….. ix

KATA PENGANTAR ………... x

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL ……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvii

DAFTAR GAMBAR ………. xviii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Kebaruan Penelitian ………... 12

C. Rumusan Masalah ……….. 14

D. Tujuan Penelitian ………... 14

E. Manfaat Penelitian ………. 14

1. Manfaat teoretis ……… 14

2. Manfaat praktis ……….... 14

a. Dewasa awal ……….. 14

b. Instansi ………... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 16

A. Kepuasan Relasi Romantis ………... 16

1. Definisi kepuasan relasi romantis ……….... 16

2. Pengukuran relasi romantis ..……… 17

a. Cinta ………... 18

(13)

xiii

b. Masalah ……….. 19

c. Harapan ……….. 20

3. Prediktor kepuasan relasi romantis ……….. 21

a. Tipe kepribadian ……….... 21

b. Efikasi diri ……….. 22

c. Status finansial ………... 23

d. Kualitas relasi romantis ………... 24

4. Dampak positif kepuasan yang dialami individu dalam relasi romantis ……….. 26

B. Passionate Love ………. 27

1. Definisi passionate love ………... 27

2. Aspek passionate love ……….. 28

a. Kognitif ……….. 28

b. Emosional ………... 28

c. Perilaku ……….. 28

3. Dampak positif passionate love ………... 29

4. Dinamika perkembangan passionate love ……….... 30

C. Relasi Romantis pada Dewasa Awal ………. 32

D. Dinamika Hubungan Passionate Love dan Kepuasan Relasi Romantis pada Dewasa Awal yang Menjalin Relasi Romantis …... 35

E. Skema Teoretis Penelitian ……….. 40

F. Hipotesis Penelitian ……… 41

BAB III METODE PENELITIAN ……….... 42

A. Jenis dan Desain Penelitian ……… 42

B. Variabel Penelitian ………... 42

1. Variabel bebas (independent) ………... 42

2. Variabel tergantung (dependent) ……….. 42

C. Definisi Operasional ……….. 43

1. Passionate love ……….... 43

2. Kepuasan relasi romantis ………. 43

D. Subjek Penelitian ……… 43

(14)

xiv

1. Populasi ……… 43

2. Subjek penelitian dan teknik pengambilan sampel ……….. 44

E. Prosedur Penelitian ……….... 45

1. Penyusunan item ……….. 45

2. Uji validitas ……….. 45

3. Penyusunan kuesioner ……….. 45

4. Pra uji coba ………... 46

5. Uji coba ……….... 46

6. Penyebaran data penelitian ……….. 46

F. Metode Pengumpulan Data ……… 47

1. Skala passionate love ………... 47

2. Skala kepuasan relasi romantis ……….... 49

G. Pengujian Alat Ukur Penelitian ……….. 51

1. Validitas ………... 51

a. Validitas isi ……….... 51

b. Validitas tampang ……….. 51

2. Seleksi item ……….. 52

a. Skala passionate love ………. 53

b. Skala kepuasan relasi romantis ……….. 54

3. Reliabilitas ………... 56

H. Teknik Analisis Data ………. 56

1. Uji asumsi ……….... 56

a. Uji normalitas ………... 56

b. Uji linearitas ………... 57

2. Uji hipotesis ………. 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 58

A. Pelaksanaan Penelitian ………... 58

B. Deskripsi Subjek Penelitian ………... 58

C. Deskripsi Data Penelitian ………... 62

D. Analisis Data ……….. 65

1. Uji normalitas ………... 65

(15)

xv

2. Uji linearitas ………... 66

3. Uji hipotesis ………. 67

E. Analisis Tambahan ………... 68

F. Pembahasan ……… 70

G. Keterbatasan Penelitian ……….. 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 84

A. Kesimpulan ……….... 84

B. Saran ………... 84

1. Bagi dewasa awal yang sedang berpacaran ………... 84

2. Bagi instansi ………... 85

3. Bagi peneliti selanjutnya ……….. 85

DAFTAR PUSTAKA ……….... 87

LAMPIRAN ………... 95

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitian Ini ………. 13

Tabel 2. Skor Skala Passionate Love ………. 48

Tabel 3. Distribusi Item Skala Passionate Love Sebelum Uji Coba ..… 48

Tabel 4. Skor Skala Kepuasan Relasi Romantis ……… 49

Tabel 5. Distribusi Item Skala Kepuasan Relasi Romantis Sebelum Uji Coba ………. 50

Tabel 6. Blueprint Skala Passionate Love Setelah Uji Coba ………….. 53

Tabel 7. Blueprint Skala Kepuasan Relasi Romantis Setelah Uji Coba ... 55

Tabel 8. Data Demografis Subjek ………. 59

Tabel 9. Hasil Mean Empirik dan Mean Teoretik ……… 62

Tabel 10. Kategori Passionate Love Subjek ……… 63

Tabel 11. Kategori Kepuasan Relasi Romantis ……… 64

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas ……… 65

Tabel 13. Hasil Uji Linearitas ………. 66

Tabel 14. Kriteria Korelasi ………. 67

Tabel 15. Hasil Uji Korelasi Spearman’s Rho Passionate Love dan Kepuasan Relasi Romantis ...……….. 67

Tabel 16. Hasil Uji Perbedaan Passionate Love Berdasarkan Kategori Data Demografis ...………. 68

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji Coba Penelitian ……… 96

Lampiran 2. Reliabilitas Skala ………. 106

Lampiran 3. Skala Penelitian ………... 112

Lampiran 4. Hasil Uji Beda Mean ………... 119

Lampiran 5. Uji Normalitas ………. 121

Lampiran 6. Uji Linearitas ………... 124

Lampiran 7. Hasil Uji Hipotesis ………... 126

Lampiran 8. Hasil Uji Beda Passionate Love Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 128

Lampiran 9. Hasil Uji Beda Passionate Love Berdasarkan Durasi Berpacaran ………... 130

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Konseptual Hubungan Passionate Love dan

Kepuasan Relasi Romantis ……….. 40

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Individu yang berusia 18-29 tahun dikategorikan sebagai dewasa awal.

Salah satu karakteristik dewasa awal adalah instabilitas. Instabilitas tersebut terkait dengan eksplorasi yang dilakukan oleh dewasa awal dalam hal percintaan dan pekerjaan untuk menemukan identitasnya. Eksplorasi dalam hal percintaan membuat relasi romantis yang dijalin oleh dewasa awal umumnya bersifat sementara, sehingga dewasa awal dapat menjalin relasi romantis dengan beberapa orang pada waktu yang berbeda. Jalinan relasi romantis dengan beberapa orang pada waktu yang berbeda membuat dewasa awal lebih mengenal diri sendiri melalui evaluasi pasangan terhadap dirinya serta memahami karakteristik yang ia inginkan maupun yang tidak ia inginkan ada di dalam diri pasangannya (Arnett, 2015).

Pada masa dewasa awal, individu mencari pasangan secara serius demi memenuhi tuntutan masyarakat untuk menikah yang akan semakin tinggi ketika individu berusia 30 tahun (Braithwaite, Delevi, & Fincham, 2010;

Santrock, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, individu perlu merasa puas dengan relasi romantisnya agar relasi romantis yang dijalin bersama pasangan dapat berjalan stabil dan langgeng (Gottman & Levenson, 1992; Wildsmith, Manlove, Steward-Streng, & Cook, 2013). Relasi romantis adalah ikatan antara dua individu yang mengarah pada pacaran, tinggal bersama,

(20)

bertunangan, atau menikah (Mollen & Domingue, 2009), sedangkan kepuasan relasi romantis adalah evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap pasangan dan relasi romantis yang dijalin bersama (Hendrick, Dicke,

& Hendrick, 1998; Mattson, Rogge, Johnson, & Davidson, & Fincham, 2012).

Kepuasan relasi romantis dianggap sebagai salah satu area penting dari penilaian relasi untuk menilai perasaan, pikiran, dan perilaku dalam relasi yang dijalin karena kepuasan relasi romantis dapat mendukung stabilitas dan langgengnya jalinan relasi romantis (Gottman & Levenson, 1992; Hendrick, 1988; Wildsmith et al., 2013). Selain itu, individu yang merasa puas dengan relasi romantisnya akan memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan kesiapan yang lebih tinggi untuk mengubah perilaku yang tidak menyehatkan (Khaddouma, Shorey, Brasfield, Febres, Zapor, Elmquist, & Stuart, 2016;

Malouff, Thorsteinsson, Schutte, Bhullar, & Rooke, 2010).

Pada kenyataannya, kepuasan relasi romantis tidak mudah untuk diwujudkan karena buruknya jalinan relasi romantis. Relasi romantis yang terjalin dengan kurang baik tampak dari adanya iritasi, tingginya konflik, antagonisme, perilaku mengatur (Collins, 2003), persepsi individu akan minimnya dukungan yang diterima, buruknya interaksi, dan tingginya persepsi dominasi dari pasangan (Yu, Branje, Keijsers, & Meeus, 2014). Hal ini berdampak pada kecemasan dan depresi yang akan mempersulit individu dalam mempertahankan relasi romantis, serta dapat berujung pada penggunaan obat-obatan terlarang yang dilakukan sebagai bentuk coping

(21)

untuk mengatasi ketidakpuasan dalam relasi romantis yang dijalin (Collibe &

Furman, 2015).

Rusbult (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2006) menyatakan bahwa individu yang merasa tidak puas dengan relasi romantisnya akan memunculkan beberapa respon, yaitu menyuarakan, loyalitas, pengabaian, dan pengakhiran hubungan. Respon pertama, yaitu respon menyuarakan terkait dengan usaha individu mencari solusi dari permasalahan yang terjadi dalam relasi romantis dengan cara mendiskusikan masalah bersama pasangan;

mencari bantuan profesional; hingga berusaha untuk mengubah diri, pasangan, atau situasi. Respon kedua, yaitu respon loyalitas merujuk pada sikap pasif individu yang tetap optimis dalam menantikan adanya perubahan positif yang terjadi dalam relasi romantisnya, seperti menunggu, berharap, dan berdoa.

Respon ketiga, yaitu respon pengabaian berkaitan dengan sikap individu yang membiarkan jalinan relasi romantis kian memburuk. Hal ini tampak dari semakin sedikitnya waktu yang dihabiskan bersama pasangan, mengabaikan pasangan, memperlakukan pasangan secara buruk, dan menolak untuk mendiskusikan masalah. Respon keempat, yaitu respon pengakhiran hubungan terkait dengan sikap individu yang mengakhiri relasi romantis. Respon ini dapat disertai kekerasan fisik.

Respon-respon ketidakpuasan yang dirasakan individu terhadap jalinan relasi romantisnya perlu diperhatikan mengingat ketidakpuasan relasi romantis dapat mengakibatkan perselingkuhan (Taylor et al., 2006). Rendahnya kepuasan relasi romantis juga berdampak negatif pada aspek emosional

(22)

individu, seperti tingginya konflik yang bersifat destruktif, kereaktifan psikologis, kesedihan, dan hilangnya minat untuk melakukan hubungan seks (Beach & Katz, 2003). Lebih lanjut, individu yang merasa tidak puas dengan relasi romantisnya bersama pasangan sangat berpotensi mengalami gejala depresi yang dapat muncul dalam waktu dekat maupun di kemudian hari (Beach & Katz, 2003; DiBello, Preddy, Øverup, Neighbors, 2017).

Ketidakpuasan yang dirasakan individu terhadap relasi romantis yang dijalin juga berdampak buruk pada kesehatan fisik individu. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang menunjukkan adanya penurunan sistem imun (Beach &

Katz, 2003; Kiecolt-Glaser & Wilson, 2017). Penelitian lain membuktikan bahwa rendahnya kepuasan relasi romantis berkaitan dengan rendahnya kesiapan individu untuk mengurangi konsumsi alkohol dan perilaku tidak menyehatkan lainnya dibandingkan individu yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan (Khaddouma et al., 2016).

Uraian mengenai respon dan dampak dari ketidakpuasan relasi romantis didukung oleh hasil temuan lapangan yang peneliti lakukan dengan metode wawancara pada tiga responden perempuan dewasa awal. Wawancara ini dilakukan di rumah masing-masing subjek pada tanggal 13-20 Maret 2019.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa buruknya jalinan relasi romantis responden bersama pasangan membuat responden merasa tidak puas dengan relasi romantisnya. Akibatnya, responden merasa tertekan. Dua orang responden memberikan respon loyalitas dengan menanti dan berharap bahwa jalinan relasi romantis akan membaik. Seorang responden bahkan menyatakan

(23)

bahwa dirinya ingin mengakhiri jalinan relasi romantis bersama pasangan.

Hasil temuan lapangan yang telah dipaparkan menunjukkan pentingnya kepuasan relasi romantis terhadap kelangsungan jalinan relasi romantis beserta kesehatan fisik dan psikologis individu.

Telaah pustaka yang didukung oleh temuan lapangan mengenai dampak buruk ketidakpuasan relasi romantis membuat dewasa awal kesulitan dalam memenuhi tugas perkembangannya. Hal tersebut disebabkan bahwa pada hakekatnya, relasi romantis merupakan tugas perkembangan transisi menuju dewasa (Anett, dalam Demir, 2008). Teori ini selaras dengan teori psikososial yang menjelaskan bahwa pada masa dewasa awal, seseorang untuk pertama kalinya terdorong dan mampu untuk menjalin hubungan secara intim dengan mengembangkan genitalitas seksual dalam hubungan timbal balik dengan orang yang dicintainya. Keintiman tersebut dapat diperoleh melalui relasi romantis (Erikson, dalam Hall & Lindzey, 1993).

Relasi romantis juga diperlukan oleh dewasa awal untuk membantunya terbebas dari isolasi emosional yang dapat mengakibatkan seseorang enggan berhubungan dengan orang lain karena tidak ingin terlibat dalam suatu hubungan yang bersifat intim (Erikson, dalam Hall & Lindzey, 1993). Hal ini didukung oleh penelitian Berscheid, Synder, dan Omoto (dalam Demir, 2008) yang membuktikan bahwa relasi romantis adalah relasi terdekat yang dimiliki oleh dewasa muda. Hasil penelitian tersebut selaras dengan penelitian lain yang membuktikan bahwa 70% individu usia 18 tahun menjalin relasi

(24)

romantis. Relasi romantis juga menjadi status bagi dewasa muda dalam pertemanan (Collins, 2003).

Uraian berdasarkan berbagai teori perkembangan menekankan betapa pentingnya bagi dewasa awal untuk menjalin relasi romantis. Argumen lain dari pentingnya relasi romantis bagi dewasa awal adalah bahwa relasi romantis dapat meningkatkan kesejahteraan (Demir, 2008), konsep diri romantis, self-worth (Collins, 2003), dan kebahagiaan (Demir, 2008;

Kawamichi, Sugawara, Hamano, Makita, Matsunaga, Tanabe, Ogino, Salto, &

Sadato, 2016) apabila dijalin dengan baik. Relasi romantis yang terjalin dengan baik tampak dari dukungan pasangan, sehingga meminimalisir potensi salah seorang dari pasangan terlibat dalam kasus kriminalitas (Collibee &

Furman, 2015). Baiknya jalinan relasi romantis juga tercermin dari afeksi dan pengasuhan yang terdapat di dalamnya (Collins, 2003). Hal ini perlu diwujudkan karena relasi romantis yang dijalin dengan baik dapat meningkatkan kepuasan relasi romantis (Collibe & Furman, 2015;

Hassebrauck & Fehr, 2002; Sánchez, Muñoz-Fernández, & Ortega-Ruiz, 2017).

Terkait dengan definisi kepuasan relasi romantis yang telah dipaparkan sebelumnya oleh Hendrick et al (1998) dan Matson et al (2012) sebagai evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap pasangan dan relasi romantis yang dijalin bersama, maka kepuasan relasi romantis juga dapat dimaknai sebagai kepuasan terhadap dimensi-dimensi relasi romantis.

Hendrick (1988) menyatakan adanya tiga dimensi dalam relasi romantis, yaitu

(25)

cinta, masalah, dan harapan. Baron dan Byrne (2005) serta Rubin (1970) menegaskan bahwa cinta merujuk pada kombinasi kognisi, emosi, dan perilaku yang terkandung dalam hubungan intim dan membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk berpikir, merasakan, dan bertindak dengan cara tertentu pada individu lain. Hal ini terkait dengan hasil penelitian Anderson dan Emmers-Sommer (2006) serta Lucido (2015) yang menunjukkan bahwa komunikasi menjadi sarana bagi pasangan untuk saling mengutarakan ekspektasi terkait relasi romantis yang dijalin. Individu akan merasa puas ketika keinginan akan interaksi terpenuhi dan dipahami oleh pasangan. Sanchez et al (2017) juga menemukan bahwa kualitas komunikasi daring yang baik turut mendukung kepuasan relasi romantis.

Dimensi kedua dari relasi romantis adalah masalah. Masalah terjadi ketika tindakan seseorang bertentangan dengan tindakan orang lain (Taylor et al., 2006). Masalah dapat mendewasakan pasangan apabila diatasi dengan tepat, seperti kesediaan untuk berlatih mengatasinya dan menemukan cara yang tepat untuk saling mengungkapkan hambatan dalam menyelesaikan masalah (Miller, 2015; Taylor et al., 2006). Terpecahkannya permasalahan akan meminimalisir konflik yang terjadi dalam relasi romantis, sehingga individu akan merasa puas dengan jalinan relasi romantisnya (Hendrick, 1988).

Dimensi ketiga dalam relasi romantis adalah harapan. Harapan dapat dipandang sebagai tujuan yang ingin diraih individu bersama pasangannya (Snyder, dalam Indrawati, Sani, & Ariela, 2018). Harapan membantu

(26)

pasangan untuk merencanakan dan menyepakati tujuan bersama beserta cara untuk mewujudkannya serta mendorong pasangan untuk mempertahankan relasi romantis yang dijalin, sehingga meningkatkan kepuasan relasi romantis (Hendrick, 1988; Merolla, 2014; Snyder, dalam Indrawati et al., 2018).

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hassebrauck dan Fehr (2002) menunjukkan bahwa kualitas relasi romantis adalah faktor yang memengaruhi kepuasan relasi romantis. Penelitian tersebut menemukan adanya empat dimensi kualitas relasi romantis yang memengaruhi kepuasan relasi romantis, yaitu keintiman, kesepakatan, kemandirian, dan seksualitas atau gairah.

Dimensi yang memiliki korelasi tertinggi dengan kepuasan relasi romantis adalah keintiman, kemudian diikuti oleh kesepakatan pada posisi kedua, serta kemandirian dan seksualitas atau gairah pada posisi ketiga.

Hasil temuan Hassebrauck dan Fehr (2002) memang menunjukkan bahwa keintiman merupakan komponen relasi romantis yang paling berkontribusi terhadap kepuasan relasi romantis, namun hasil penelitian tersebut kurang spesifik karena rentang usia subjek yang terlalu luas, yaitu masa dewasa dengan rentang 18-61 tahun. Rentang durasi relasi romantis yang dijalin oleh subjek dalam penelitian tersebut juga sangat luas, yaitu 1 bulan hingga 38,08 tahun. Rentang usia dan rentang durasi jalinan relasi romantis yang terlalu luas tentu memengaruhi hasil penelitian tersebut mengingat adanya perbedaan dinamika perkembangan antara gairah dan keintiman (Hatfield, dalam Sternberg, 1988; Sternberg, 1986).

(27)

Sternberg (1986) dalam teori cinta segitiga miliknya menegaskan bahwa gairah merupakan komponen relasi romantis yang paling cepat berkembang, namun cepat memudar pula, berbeda halnya dengan keintiman yang bersifat lambat untuk berkembang, namun akan memudar secara perlahan pula. Dinamika gairah dan keintiman tersebut didukung oleh teori Solomon (1980) mengenai opponent-process. Sifat keintiman yang membutuhkan waktu relatif lama untuk berkembang dan sifat gairah yang cepat memudar membuat relasi romantis yang sudah dijalin dalam waktu relatif lama didominasi oleh keintiman dan minimnya gairah (Hatfield, dalam Sternberg, 1988; Sternberg, 1986). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Aykutgolu dan Uysal (2017) menyempurnakan dinamika antara gairah dan keintiman. Penelitian tersebut membuktikan bahwa gairah dapat meningkatkan keintiman dalam relasi romantis.

Berdasarkan analisis kritis di atas, dapat disimpulkan bahwa gairah merupakan komponen pertama yang berkembang dengan cepat dalam relasi romantis. Perkembangan gairah tersebut akan membangkitkan keintiman, sehingga individu merasa puas dengan relasi romantisnya (Aykutgolu &

Uysal, 2017; Sternberg, 1986). Sebaliknya, gairah juga akan meningkat ketika terjadi peningkatan keintiman antara dua individu, namun gairah akan menurun ketika keintiman bersifat stabil baik dalam tingkat tinggi maupun rendah (Baumeister & Bratslavsky, 1999).

Karakteristik gairah yang tumbuh dengan cepat selaras dengan teori yang mengatakan bahwa relasi romantis yang dijalin oleh dewasa awal relatif

(28)

singkat dan eksploratif (Arnett, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa relasi romantis yang dijalin oleh dewasa awal umumnya didominasi oleh gairah.

Tingginya gairah seseorang dalam mencintai pasangannya terkait dengan salah satu tipe cinta menurut Hatfield (dalam Sternberg, 1988), yaitu passionate love yang terjadi pada masa awal relasi romantis dijalin (Hatfield, dalam Sternberg, 1988; Sternberg, 1986). Passionate love diketahui berkorelasi dengan salah satu dimensi kesejahteraan subjektif, yaitu emosi positif (Kim & Hatfield, 2004). Lebih lanjut, passionate love bersifat universal yang dapat dijumpai di seluruh budaya (Hatfield & Rapson, 1993a, 1996). Berdasarkan hal tersebut, passionate love dipilih menjadi variabel bebas dalam penelitian ini.

Hatfield (dalam Sternberg, 1988) mendefinisikan passionate love sebagai suatu emosi intens yang membara dan memiliki ciri kerinduan untuk selalu bersatu dengan pasangannya. Ketika keinginan tersebut terwujud, maka individu akan merasa lengkap. Sebaliknya, individu akan merasa hampa, cemas, dan putus asa ketika berpisah dengan pasangannya. Passionate love memiliki tiga aspek, yaitu (1) aspek kognitif terkait kecenderungan individu untuk fokus memikirkan pasangan dan hubungan yang dijalin; (2) aspek emosional yang berkaitan dengan perasaan positif dan negatif yang dirasakan individu terhadap pasangan dan hubungan asmara yang dijalin; (3) aspek perilaku yang merujuk pada tindakan individu untuk mempertahankan kedekatan fisik dan membahagiakan pasangan.

(29)

Penelitian terdahulu terkait passionate love dan kepuasan relasi romantis mayoritas dilakukan di negara-negara Barat (Chonody, Gabb, &

Killian, 2016; Dandurand, 2013; Demir, 2008; Hassebrauck & Fehr, 2002;

Khaddouma, et al., 2016; Sánchez, et al., 2017; Weiser & Weigel, 2016; Yoo, 2013) dengan jangkauan usia partisipan yang terlalu luas, yaitu masa dewasa (Hassebrauck & Fehr, 2002).

Berdasarkan defisiensi tersebut, peneliti berinisiatif meneliti hubungan passionate love dan kepuasan relasi romantis. Penelitian ini akan dilakukan pada dewasa awal berusia 18-29 tahun (Arnett, 2015) yang sedang menjalin relasi romantis. Relasi romantis dibatasi pada relasi berkencan serta partisipan yang terlibat belum dan sedang tidak terikat pernikahan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Creswell (2014) menyatakan bahwa penelitian kuantitatif bertujuan untuk menguji teori secara objektif dengan cara meneliti hubungan antar variabel melalui pengukuran variabel dan prosedur analisis statistik. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Creswell (2014) mendefinisikan metode survey sebagai deskripsi numerik mengenai nilai, keyakinan, dan sikap populasi dengan cara meneliti sampel dari populasi tersebut.

Penelitian ini penting dilakukan karena dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antara passionate love dan kepuasan relasi romantis.

Dewasa awal akan memahami dinamika passionate love yang dimilikinya dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kepuasan subjek terhadap relasi romantis yang dijalin bersama pasangan. Hal ini akan berguna bagi pasangan

(30)

yang sedang menjalin kasih untuk meningkatkan kepuasan yang mereka rasakan terhadap relasi romantis yang dijalin. Relasi romantis yang memuaskan perlu diwujudkan karena dapat meningkatkan stabilitas relasi, menurunkan potensi putusnya ikatan, dan meningkatkan kesehatan mental (Malouff et al., 2010).

Hasil penelitian ini juga dapat membantu dewasa awal dalam memahami perilaku cinta yang ditunjukkan pasangannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian penelitian ilmiah terkait passionate love dan kepuasan relasi romantis serta menjadi referensi bagi para praktisi dalam menangani kasus relasi romantis, khususnya pada dewasa awal.

B. Kebaruan Penelitian

Penelitian terkait passionate love dan kepuasan relasi romantis masih jarang diteliti di Indonesia. Terdapat beberapa persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terkait dengan variabel kepuasan relasi romantis, yaitu (1) subjek dewasa yang sedang menjalin relasi romantis dan belum menikah (DiBello et al., 2017; Khaddouma et al., 2016; Sánchez, et al., 2017;

Weiser & Weigel, 2016); (2) kepuasan relasi romantis sebagai variabel tergantung (Kochhar & Sharma, 2015; Renanda, 2018; Weiser & Weigel, 2016), dan; (3) penelitian menggunakan metode kuantitatif korelasional.

Lebih lanjut, terdapat pula beberapa perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini terkait variabel kepuasan relasi romantis dan variabel passionate love, yaitu seperti yang tertera pada tabel 1:

(31)

Tabel 1.

Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Penelitian Ini

No Penelitian Terdahulu Penelitian Ini

Kepuasan relasi romantis

1. Kepuasan relasi romantis sebagai variabel bebas yang memengaruhi motivasi individu untuk mengubah kebiasaan yang tidak menyehatkan (Khaddouma et al., 2016), serta memengaruhi kesehatan mental dan fisik (Beach & Katz, 2003;

Kiecolt-Glaser & Wilson, 2017).

Kepuasan relasi romantis sebagai variabel tergantung.

2. Kepuasan relasi romantis sebagai variabel tergantung yang berhubungan dengan tipe kepribadian (Malouff et al., 2010), efikasi diri (Weiser & Weigel, 2016), dan status finansial (Fincham & Cui, 2011; Miller, 2015; Taylor et al., 2006).

Kepuasan relasi romantis sebagai variabel tergantung yang dihubungkan dengan passionate love.

3. Kepuasan relasi romantis dalam konteks pernikahan (Aron &

Henkemeyer, 1995; Beach & Katz, 2003; Gottman &

Levenson, 1992; Sakinah & Kinanthi, 2018).

Kepuasan relasi romantis dalam konteks pacaran.

4. Penelitian kepuasan relasi romanis yang berkonteks pada pacaran terbatas pada mahasiswa (Khaddouma et al., 2016;

Öner, 2000; Weiser & Weigel, 2016).

Berkonteks pada dewasa awal usia 18-29 tahun yang sedang berpacaran.

5. Penelitian kepuasan relasi romantis umumnya dilakukan di negara bagian Barat (Chonody, Gabb, & Killian, 2016;

Dandurand, 2013; Demir, 2008; Hassebrauck & Fehr, 2002;

Khaddouma, et al., 2016; Sánchez, et al., 2017; Weiser &

Weigel, 2016; Yoo, 2013).

Penelitian dilakukan di Indonesia.

6. Penelitian kepuasan relasi romantis di Indonesia dikaitkan dengan kelekatan pada mahasiswa (Renanda, 2018) dan pengungkapan diri pada individu yang menikah melalui proses ta’aruf. (Sakinah & Kinanthi, 2018).

Kepuasan relasi romantis sebagai variabel dependen dikaitkan dengan passionate love sebagai variabel independen.

Passionate love

7. Mayoritas penelitian passionate love dilakukan di negara Barat (Acevedo & Aron, 2009; Baumeister & Bratslavsky, 1999;

Hatfield, Pillemer, O’Brien, & Le, 2008; Kim & Hatfield, 2004).

Dilakukan di Indonesia.

8. Bertujuan untuk membandingkan dinamika passionate love dan companionate love pada pasangan suami istri yang baru menikah dengan pasangan suami istri yang relatif lama terikat dalam ikatan pernikahan (Hatfield, et al., 2008).

Bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara passionate love dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal yang berpacaran.

9. Penelitian lain terkait passionate love dilakukan di Amerika dan menunjukkan adanya korelasi antara passionate love dengan kepuasan relasi romantis jangka pendek, yaitu kurang dari empat tahun (Acevedo & Aron, 2009).

Penelitian dilakukan di Indonesia.

Passionate love dan kepuasan relasi romantis

10 Hubungan antara keintiman, komitmen, dan gairah dengan kepuasan relasi romantis, namun dengan subjek dewasa dan bertempat di negara bagian Barat (Acker & Davis, 1992;

Kochar & Sharma, 2015; Overbeek, Ha, Scholte, de Kemp &

Engels, 2007).

Penelitian dilakukan di Indonesia dengan subjek dewasa awal yang sedang berpacaran.

11 Passionate love dan kepuasan pernikahan pada individu menikah dan bertempat di negara bagian Barat (Aron &

Henkemeyer, 1995).

Passionate love dan kepuasan relasi romantis dengan subjek dewasa awal usia 18-29 tahun yang sedang berpacaran.

(32)

C. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan positif antara passionate love dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal yang sedang berpacaran?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara passionate love dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal yang sedang berpacaran.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ilmu Psikologi Positif mengingat kepuasan relasi romantis berdampak positif pada kesehatan fisik dan mental individu serta mendukung stabilitas relasi romantis dalam waktu yang lama. Temuan dalam penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap kajian ilmu Psikologi Perkembangan terkait passionate love dalam diri dewasa awal beserta kepuasan yang dirasakannya terhadap relasi romantis bersama pasangan.

Penelitian yang berfokus pada passionate love ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian penelitian tipe cinta passionate love, khususnya tipe cinta menurut Hatfield (dalam Sternberg, 1988).

2. Manfaat praktis a. Dewasa awal

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para dewasa awal yang sedang menjalin relasi romantis bersama pasangan untuk

(33)

lebih memahami dinamika passionate love dalam dirinya dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kepuasan yang dirasakan terhadap relasi romantis yang sedang dijalin. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi pasangan dalam menjalani dinamika relasi romantis dan meningkatkan kepuasan yang dirasakan terhadap relasi romantis yang dijalin.

b. Instansi

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi bagi instansi, seperti biro-biro perjodohan serta praktisi terkait seperti psikolog dan konselor untuk mengadakan kelas pra pernikahan mengenai pentingnya kepuasan relasi romantis beserta cara mewujudkannya demi terjalinnya relasi romantis yang stabil dalam jangka waktu yang lama. Temuan dalam penelititian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi praktisi terkait dalam menangani kasus percintaan, khususnya relasi romantis yang dijalin oleh dewasa awal.

(34)

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Relasi Romantis

1. Definisi kepuasan relasi romantis

Kepuasan relasi romantis terdiri dari kata kepuasan dan frasa relasi romantis. Berdasarkan hal tersebut, ada baiknya arti kata kepuasan dan frasa relasi romantis diketahui terlebih dahulu sebelum memahami lebih lanjut mengenai arti kepuasan relasi romantis.

Kepuasan didefinisikan sebagai perasaan puas, kesenangan, dan kelegaan (https://kbbi.web.id/puas). Kepuasan juga dapat merujuk pada evaluasi subjek terhadap relasi yang berlandaskan pada teori kesetaraan dan pertukaran sosial (Vaughn & Baier, 1999). Sementara itu, relasi romantis berkaitan dengan keterhubungan dan ikatan yang disertai hasrat dan keintiman untuk menjalin hubungan (Sternberg, dalam Florsheim, 2003). Relasi romantis diartikan sebagai suatu hubungan romantis yang pasti dialami seseorang dengan orang yang disukainya (Florsheim, 2003).

Relasi romantis atau yang dapat disebut sebagai relasi yang intim juga dapat didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap perubahan hubungan yang mendapat timbal balik, emosional, dan erotis dengan pasangannya (Karney, Beckett, Collins, Shaw, 2007). Relasi romantis juga dimaknai sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh afeksi serta disposisi umum individu mengenai cinta,

(35)

perkawinan, dan keluarga (De Munck, 1998). Relasi romantis yang dijalin oleh individu pada masa dewasa juga dapat diartikan sebagai ikatan baik pada sesama maupun lawan jenis yang mengarah pada pacaran, tinggal bersama, bertunangan, atau menikah (Mollen & Domingue, 2009).

Paparan terkait pengertian kepuasan dan relasi romantis yang telah diuraikan di atas selaras dengan definisi kepuasan relasi romantis menurut beberapa ahli. Kepuasan relasi romantis diartikan sebagai evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap jalinan relasi romantis bersama pasangan (Hendrick, Dicke, & Hendrick, 1998; Mattson, Rogge, Johnson, & Davidson, & Fincham, 2012). Kepuasan relasi romantis juga dapat dianggap sebagai salah satu area penting dari penilaian relasi untuk menilai perasaan, pikiran, dan perilaku dalam relasi (Hendrick, 1988).

Kepuasan relasi romantis memiliki perbedaan makna dengan kualitas relasi romantis. Kualitas relasi romantis diartikan sebagai baik atau buruknya evaluasi individu mengenai relasi yang dijalin bersama pasangan (Rogge, Fincham, Crasta, & Maniaci, 2016).

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan relasi romantis merupakan evaluasi subjektif individu terhadap dimensi-dimensi relasi romantis bersama pasangan yang melibatkan pikiran, perasaan, dan perilaku.

2. Pengukuran kepuasan relasi romantis

Pada bagian sebelumnya, telah dipaparkan bahwa kepuasan relasi romantis diartikan sebagai kepuasan yang dirasakan individu terhadap

(36)

hasil evaluasinya akan dimensi-dimensi dalam relasi romantis. Terkait dengan pengukuran, kepuasan dalam penelitian ini bersifat unidimensional dan unifaktorial (Hendrick et al., 1998) serta direpresentasikan dalam satu pernyataan tunggal, yaitu seberapa puas subjek terhadap djmensi-dimensi relasi romantis. Adapun dimensi-dimensi dalam relasi romantis menurut Hendrick (1988) beserta indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Cinta

Cinta dianggap sebagai emosi yang paling mendasar pada manusia dalam suatu hubungan intim yang meliputi kombinasi kognisi, emosi, dan perilaku (Baron & Byrne, 2005; Mapalad, 2014).

Cinta juga dapat diartikan sebagai sikap individu meliputi kecenderungan berpikir, merasakan, bertindak dengan cara tertentu pada individu lain (Rubin, 1970).

Cinta dapat dimanifestasikan melalui komunikasi karena komunikasi adalah cara bagi pasangan untuk saling menyampaikan hal-hal yang diharapkan satu sama lain untuk dilakukan. Hal ini akan membuat pasangan saling memahami serta memotivasi pasangan untuk mempertahankan dan menperkuat ikatan relasi romantis (Lucido 2015).

Individu akan merasa puas ketika keinginan akan interaksi terpenuhi dan dipahami oleh pasangan (Anderson & Emmers-Sommer, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa kualitas komunikasi daring yang baik juga mendukung kepuasan relasi romantis (Sánchez,

(37)

Muñoz-Fernández, & Ortega-Ruiz, 2017). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa berkirim pesan untuk menyampaikan hal-hal positif, seperti ekspresi kasih sayang akan meningkatkan kepuasan relasi romantis, sebaliknya tindakan berkirim pesan untuk menyampaikan konfrontasi dapat menurunkan kepuasan relasi romantis (Lucido 2015).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi cinta meliputi beberapa indikator, yaitu (1) komunikasi verbal dengan cara mengungkapkan kasih sayang; (2) komunikasi nonverbal melalui ekspresi afeksi dan penerimaan reward; (3) memenuhi kebutuhan pasangan; (4) saling percaya; (5) saling terbuka, dan; (6) saling memperlakukan pasangan secara adil.

b. Masalah

Masalah atau yang sering disebut sebagai konflik terjadi ketika tindakan seseorang bertentangan dengan tindakan orang lain.

Frekuensi konflik relatif rendah pada relasi romantis dijalin, kemudian akan meningkat secara signifikan seiring dengan semakin seriusnya relasi romantis tersebut dijalin (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Hal ini disebabkan semakin meningkatnya potensi konflik ketika dua orang semakin saling tergantung (Miller 2015; Taylor, et al., 2006). Konflik dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu (1) perilaku spesifik pasangan; (2) norma dan peran yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pasangan dalam relasi romantis, serta; (3) disposisi pribadi

(38)

yang berfokus pada niat dan kepribadian pasangan (Taylor et al., 2006).

Pada dasarnya, masalah dapat mengembangkan relasi romantis apabila diatasi dengan tepat. Masalah merujuk pada usaha mengatasi konflik akibat adanya perbedaan pendapat dan perilaku antarindividu dalam suatu hubungan (Taylor, et al., 2006; William, Sawyer, &

Wahlstorm, 2006). Masalah akan mendewasakan pasangan apabila pasangan dapat saling berlatih untuk mengatasinya dan menemukan cara yang tepat untuk saling mengungkapkan hambatan yang dialami dalam menyelesaikan masalah (Miller, 2015). Teratasinya masalah akan meminimalisir konflik dalam relasi romantis, sehingga individu merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan (Hendrick, 1988).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi masalah meliputi beberapa indikator, yaitu (1) pasangan saling berlatih mengatasi masalah, dan; (2) cara untuk saling mengungkapkan hambatan yang dialami dalam menyelesaikan masalah.

c. Harapan

Faktor lain yang berkaitan dengan kepuasan relasi romantis adalah harapan (Indrawati, Sani, & Ariela, 2018; Merolla, 2014).

Harapan dapat diartikan sebagai proses mental terkait niat dan cara individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan dalam konteks pacaran merujuk pada

(39)

tujuan yang dicapai individu bersama pasangannya, seperti menikah (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan membuat pasangan bertekad untuk merencanakan dan menyepakati tujuan bersama beserta cara terbaik untuk mewujudkannya (Snyder, dalam Indrawati et al., 2018). Harapan juga memotivasi pasangan untuk menjaga dan mempertahankan relasi romantis yang dijalin, sehingga meningkatkan kepuasan relasi romantis (Hendrick, 1988; Merolla, 2014).

Pengukuran kepuasan terhadap relasi romantis dalam dimensi harapan meliputi beberapa indikator, yaitu 1) bertekad untuk mendiskusikan dan menyepakati tujuan bersama pasangan; (2) memikirkan cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama, serta; (3) berusaha menjaga dan mempertahankan hubungan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan di atas adalah bahwa kepuasan relasi romantis bersifat unidimensional dan unifaktorial yang direpresentasikan dalam pernyataan seberapa puas subjek terhadap dimensi-dimensi relasi romantis, meliputi cinta, masalah, dan harapan.

3. Prediktor kepuasan relasi romantis

Terdapat beberapa hal yang menjadi prediktor kepuasan relasi romantis, yaitu:

a. Tipe kepribadian

Malouff, Thorsteinsson, Schutte, Bhullar, dan Rooke (2010) menemukan dalam penelitiannya bahwa tipe kepribadian lima-faktor berhubungan dengan kepuasan seseorang terhadap relasi romantis

(40)

yang dijalin bersama pasangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara neuroticism dan kepuasan relasi romantis. Hal ini selaras dengan penjelasan Gottman (dalam Malouff et al., 2010) yang menyatakan bahwa individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung mengekspresikan kritik, celaan, dan sikap pertahanan diri yang dapat mengganggu jalinan relasi romantis.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malouff et al (2010) juga membuktikan bahwa agreeableness, conscientiousness, dan extraversion berkorelasi secara positif dengan kepuasan relasi romantis yang tinggi cenderung merasa lebih puas dengan relasi romantisnya.

Meski demikian, korelasi signifikan antara tipe kepribadian extraversion dan kepuasan relasi romantis hanya terjadi di beberapa negara, sehingga tidak bebas budaya dan menjadi kelemahan dari hasil penelitian ini (Malouff et al., 2010).

b. Efikasi diri

Individu dengan kemampuan efikasi diri yang baik cenderung berhasil melakukan negosiasi terkait konflik yang sedang dihadapi.

Teratasinya konflik dalam relasi akan meningkatkan kepuasan relasi romantis. Individu dengan kemampuan efikasi diri yang baik memiliki keyakinan bahwa ia mampu melakukan suatu hal dengan baik. Hal ini akan mengarah pada hasil yang diinginkan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa efikasi diri mendorong individu untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang mengarah pada keutuhan relasi

(41)

romantis. Hal tersebut akan meningkatkan kepuasan relasi romantis (Weiser & Weigel, 2016).

Keterbatasan dari hasil penelitian ini adalah tidak terlibatnya faktor-faktor lain yang memediasi efikasi diri dengan kepuasan relasi romantis, seperti konflik, self-esteem, dan kelekatan (Weiser &

Weigel, 2016).

c. Status finansial

Status finansial juga turut memengaruhi kepuasan relasi romantis. Hal ini disebabkan oleh tingginya tekanan ekonomi yang dialami pasangan dapat berpotensi meningkatkan emotional distress, seperti mudah marah, perasaan cemas, alienasi, hingga depresi.

Tekanan ekonomi juga dapat menimbulkan masalah perilaku, seperti perilaku anti sosial dan penggunaan obat-obatan. Tekanan emosional dan masalah perilaku dapat berdampak pada konflik (Fincham & Cui, 2011). Hal ini selaras dengan penelitian yang menyatakan bahwa status tidak bekerja dapat meningkatkan konflik dan menurunkan kepuasan relasi romantis (Taylor et al., 2006). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa argumen mengenai kondisi keuangan dapat mengikis kepuasan dalam pernikahan (Miller, 2015). Meski demikian, peran status finansial terhadap kepuasan relasi romantis hanya ditemukan pada pasangan menikah dan pasangan yang tinggal bersama (Miller, 2015; Taylor et al., 2006).

(42)

d. Kualitas relasi romantis

Terdapat empat dimensi kualitas relasi romantis yang memengaruhi kepuasan relasi romantis, yaitu keintiman, kesepakatan, kemandirian, dan seksualitas. Dimensi yang memiliki korelasi tertinggi dengan kepuasan relasi romantis adalah keintiman (Hassebrauck &

Fehr, 2002). Keintiman merujuk pada kedekatan, ikatan, dan keterhubungan (Sternberg, 1986). Minimnya keintiman dalam relasi romantis berdampak pada berakhirnya hubungan (Yoo, 2013). Relasi romantis dengan keintiman yang baik akan membuat individu merasa puas dan menjaga stabilitas relasi romantis yang dijalin (Acker &

Davis, 1992; Greef & Malherbe, Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013).

Hal ini disebabkan oleh kebutuhan pasangan akan keintiman mendukung komitmen (Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013). Hal ini terkait dengan teori cinta segitiga milik Sternberg (1986) yang menyatakan bahwa komitmen melibatkan aspek kognitif yang dalam jangka pendek memiliki arti keputusan yang diambil seseorang untuk mencintai orang lain dan komitmen dalam jangka panjang merujuk pada sikap mempertahankan cinta.

Dimensi pada urutan kedua yang berkorelasi dengan kepuasan relasi romantis adalah kesepakatan, kemudian diikuti oleh kemandirian dan seksualitas pada urutan ketiga (Hassebrauck & Fehr, 2002).

Seksualitas terkait dengan gairah pada teori cinta segitiga milik

(43)

Sternberg (1986). Gairah merujuk pada ketertarikan fisik dan seksual, sehingga hanya terdapat dalam relasi romantis (Sternberg, 1986).

Hasil penelitian Hassebrauck dan Fehr (2002) memang menunjukkan bahwa keintiman lebih berkontribusi terhadap kepuasan relasi romantis dibandingkan seksualitas atau gairah, namun penelitian tersebut dilakukan pada subjek dewasa yang berusia 18-61 tahun dengan rentang durasi relasi romantis 1 bulan hingga 38,08 tahun.

Luasnya rentang durasi relasi romantis memengaruhi hasil penelitian mengingat adanya perbedaan dinamika gairah dan keintiman.

Keintiman membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang dan memudar sementara gairah bersifat cepat berkembang dan memudar (Hatfield, dalam Sternberg, 1988; Sternberg, 1986). Hal tersebut membuat relasi romantis yang sudah dijalin dalam waktu yang lama memiliki keintiman yang tinggi, namun rendah dalah hal gairah (Stenberg, 1986).

Celah yang terdapat antara dinamika gairah dan keintiman dapat dijawab melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Aykutgolu dan Uysal (2017). Penelitian ini membuktikan bahwa gairah dapat meningkatkan keintiman. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa gairah merupakan elemen yang paling berpengaruh terhadap perkembangan relasi romantis karena bersifat cepat berkembang dan mampu membangkitkan keintiman yang akan berdampak pada

(44)

komitmen bersama untuk mempertahankan relasi romantis (Aykutgolu

& Uysal, 2017; Schaefer & Olson, dalam Yoo, 2013; Sternberg, 1986).

Uraian di atas memaparkan bahwa kepuasan relasi romantis dipengaruhi oleh tipe kepribadian, efikasi diri, status finansial, keintiman, komitmen, kesepakatan, kemandirian, dan seksualitas atau gairah.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan pula bahwa gairah merupakan elemen yang paling menentukan kelangsungan relasi romantis.

4. Dampak positif kepuasan yang dialami individu dalam relasi romantis

Pasangan yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin akan cenderung menghabiskan waktu bersama dan melakukan aktivitas bersama. Pasangan juga akan cenderung lebih sering bercanda dan lebih jarang menyampaikan kritik serta perilaku kekerasan (Taylor et al., 2006).

Relasi romantis yang memuaskan mendukung relasi romantis yang stabil dan langgeng dengan kualitas yang baik (Gottman & Levenson, 1992;

Wildsmith, Manlove, Steward-Streng, & Cook, 2013). Individu yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam relasi romantis dengan baik (Malouff et al., 2010).

Kepuasan yang dirasakan oleh individu terhadap relasi romantis yang dijalin mampu memotivasi individu untuk mengubah kebiasaan dan perilaku yang tidak menyehatkan, seperti mengonsumsi alkohol. Individu

(45)

dengan kepuasan relasi romantis yang tinggi memiliki kesiapan yang lebih tinggi untuk mengurangi konsumsi alkohol dibandingkan individu dengan kepuasan relasi romantis yang rendah (Khaddouma, Shorey, Brasfield, Febres, Zapor, Elmquist, & Stuart, 2016).

B. Passionate Love

1. Definisi passionate love

Hatfield (dalam Sternberg, 1988) mendefinisikan passionate love sebagai suatu emosi intens yang membara untuk selalu bersatu dengan pasangannya. Hatfield (dalam Hatfield & Rapson, 199c) menyatakan bahwa terdapatnya emosi intens dalam tipe cinta ini membuat passionate love juga disebut sebagai cinta obsesif, tergila-gila (infatuation), mabuk cinta (lovesickness), dan being-in love. Sternberg (1986) menyatakan bahwa passionate love serupa dengan cinta pada pandangan pertama.

Hatfield (dalam Sternberg, 1988) menekankan tingginya tingkat gairah pada passionate love. Sternberg (1986) berpendapat bahwa gairah merujuk pada ketertarikan dalam hal fisik dan seksual. Hatfield dan Rapson (1993b) memandang passionate love sebagai purwarupa dari kelekatan yang dimiliki bayi pada orangtuanya. Shaver, Murdaya, dan Fraley (2001) menyatakan bahwa konsep passionate love di Indonesia sama halnya dengan asmara.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa passionate love merujuk pada tingginya gairah individu dalam mencintai pasangannya.

(46)

2. Aspek passionate love

Hatfield (dalam Sternberg, 1988) memaparkan tiga aspek passionate love, yaitu:

a. Kognitif

Aspek kognitif meliputi pemikiran tentang pasangan secara terus-menerus dan memiliki angan-angan tentang relasi romantis yang dijalin. Individu juga berhasrat untuk selalu mengetahui dan diketahui oleh pasangan. Hal ini menunjukkan tingginya hasrat individu untuk segera bersatu bersama pasangan.

b. Emosional

Aspek emosional terdiri dari perasaan tertarik pada pasangan, khususnya dalam hal seksual. Individu akan merasakan perasaan negatif ketika mengalami masalah, menginginkan timbal balik akan perasaan cintanya, memiliki hasrat untuk bersatu dengan pasangan secara utuh dan permanen, serta merasakan kebangkitan psikologis.

Hal ini menunjukkan membaranya gairah individu untuk bersatu bersama pasangan secara utuh dan dalam waktu yang lama.

c. Perilaku

Aspek perilaku merujuk pada tindakan individu yang bertujuan untuk menentukan perasaan pasangan, mempelajari pasangan, melayani pasangan, dan mempertahankan kedekatan fisik dengan pasangan. Perilaku individu tersebut merefleksikan tingginya gairah

(47)

individu untuk membahagiakan pasangan dan besarnya hasrat untuk selalu bersatu dengan pasangan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa passionate love terdiri dari aspek kognitif, emosional, dan perilaku.

3. Dampak positif passionate love

Hatfield dan Rapson (1993b) menyatakan bahwa passionate love dapat membawa hal-hal positif, seperti perasaan sangat berbahagia, perasaan dipahami dan diterima, saling berbagi keinginan untuk bersatu, perasaan aman dan nyaman, berusaha melampaui keterbatasannya atau transendensi, dan meningkatkan sistem imun. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hatfield dan Rapson (1993c) yang mengatakan bahwa adanya timbal balik dari hasrat yang dimiliki seseorang dalam passionate love membuat individu merasa lengkap dan utuh. Individu yang cintanya mendapat timbal balik juga akan merasa percaya diri. Hatfield (dalam Sternberg, 1988) juga menyatakan bahwa timbal balik akan menjadi sumber pemenuhan yang menggairahkan. Hasil penelitian yang dilakukan Smith dan Hoklund (dalam Hatfield & Rapson, 1993b) menunjukkan rendahnya aktivitas sel pembunuh yang mengindikasikan sistem imun orang yang mencintai dalam kondisi penuh kekuatan ketika perasaan cintanya mendapat timbal balik. Hal ini diperkuat oleh tidak adanya keluhan radang tenggorokan dan masuk angin.

Dampak positif lain dari passionate love adalah menstimulasi gairah pasangan terhadap individu. Tingginya gairah dari kedua belah

(48)

pihak akan meningkatkan kualitas relasi romantis, sehingga membuat individu merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan (Ratelle, Carbonneau, Valleran, & Mageau, 2013).

Dominasi gairah dalam passionate love juga terbukti dapat mengembangkan keintiman pasangan. Sebaliknya, peningkatan keintiman akan meningkatkan gairah pula (Aykutgolu & Uysal, 2017). Hubungan bidireksional tersebut akan membuat tingkat gairah dan keintiman dalam relasi romantis terjaga, sehingga berkontribusi terhadap kepuasan relasi romantis (Hassebrauck & Fehr, 2002).

4. Dinamika perkembangan passionate love

Passionate love menekankan pada gairah yang membara dalam diri individu untuk bersatu dengan orang yang dicintainya (Hatfield, dalam Sternberg, 1988). Ketertarikan tersebut bersifat seksual dan dapat muncul seketika. Gairah yang dirasakan akan berkembang dengan cepat, namun akan memudar dengan cepat pula (Hatfield & Rapson, 1994;

Sternberg, 1986). Passionate love umumnya berlangsung selama 24 bulan (Myers, 2008). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang melibatkan 5000 responden dari 37 budaya yang berbeda bahwa gairah yang tinggi dalam relasi romantis yang mereka jalin hanya berlangsung selama 18 – 30 bulan (Harlow, Juli 25, 1999). Gairah yang cepat menurun selaras dengan salah satu teori opponent – process, yaitu proses positif yang menegaskan bahwa sesuatu yang berkembang dengan cepat akan memudar dengan cepat pula (Solomon, 1980). Gairah yang tinggi hanya

(49)

berlangsung sementara pada masa awal terjalinnya relasi romantis sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan reproduksi (Harlow, Juli 25, 1999). Meski demikian, gairah dapat berkembang ketika keintiman dalam relasi romantis meningkat (Aykutgolu & Uysal, 2017).

Hatfield (dalam Sternberg, 1988) menjelaskan bahwa perasaan yang timbul dari passionate love serupa dengan perasaan yang dialami ketika menaiki wahana roller coaster. Perasaan tersebut meliputi lonjakan perasaan positif dan negatif yang bercampur menjadi satu.

Individu yang memiliki passionate love terhadap pasangannya dapat merasa bahagia, antusias, dan euphoria. Di sisi lain, sikap mencintai pasangan dalam bentuk passionate love juga dapat menimbulkan perasaan kesepian, cemburu, kesedihan, dan teror. Pada kenyataannya, individu cenderung mencintai pasangannya dengan tipe cinta passionate love bukan alih-alih kesedihan yang dirasakan, namun justru karena adanya penderitaan tersebut.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa passionate love hanya berlangsung sementara pada awal relasi romantis dijalin sesuai dengan karakteristik gairah yang berkembang dan memudar dalam waktu singkat. Passionate love juga dapat menimbulkan emosi positif dan negatif dalam diri individu dan dapat berkembang ketika keintiman dalam relasi romantis meningkat.

(50)

C. Relasi Romantis pada Dewasa Awal

Penelitian ini akan mengangkat topik terkait passionate love pada dewasa awal dan hubungannya dengan kepuasan relasi romantis yang dijalinnya bersama pasangan. Arnett (2015) mengklasifikasikan masa dewasa awal pada rentang usia 18-29 tahun. Terdapat lima hal yang menjadi ciri khas masa dewasa awal, yaitu (1) eksplorasi identitas yang tampak dari sikap individu untuk mencoba berbagai peluang dan pilihan hidup, khususnya dalam hal percintaan dan pekerjaan; (2) instabilitas terkait relasi romantis, pekerjaan, dan tempat tinggal; (3) fokus diri sebagai kewajiban pada orang lain mencapai titik terendah rentang hidup; (4) feeling in-between yang merujuk pada masa transisi; (5) peluang/optimisme meliputi berkembangnya harapan individu untuk memanfaatkan peluang dalam mentransformasikan kehidupannya.

Pada masa dewasa awal, kemampuan fisik individu akan mencapai puncaknya sebelum usia 30 tahun, tepatnya pada usia 19-26 tahun. Lebih lanjut, kemampuan fisik akan mulai menurun ketika individu mulai menginjak usia di atas 30 tahun (Santrock, 2011). Selain dalam hal fisik, individu juga akan mencapai masa puncak dalam hal seksual dan belum terikat pernikahan pada masa dewasa awal (Lefkowitz & Gillen, dalam Santrock, 2011).

Arnett (2015) menyatakan bahwa pada masa dewasa awal, individu memiliki harapan yang tinggi untuk menjalin relasi percintaan dan bekerja sesuai dengan impiannya. Keinginan tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri mengingat masa dewasa awal merupakan transisi dari masa remaja yang belum terarah. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan. Erikson (dalam

(51)

Santrock, 2011) menetapkan masa dewasa pada tahap yang keenam, yaitu keintiman versus isolasi. Relasi romantis dapat membantu seseorang memeroleh keintiman dan terbebas dari isolasi.

Dewasa awal yang tidak menjalin relasi romantis cenderung mengalami kesulitan menjalin kedekatan dengan dewasa awal lainnya, mengalami kesepian, dan sulit menemukan tempat dalam masyarakat yang berorientasi pernikahan (Santrock, 2011). Tidak menjalin relasi romantis juga dapat membuat dewasa awal mengalami stres. Hal ini ditunjukkan oleh survey nasional yang membuktikan bahwa dewasa muda yang tidak menjalin relasi romantis mengalami stres yang lebih berat daripada individu yang menikah dan yang bercerai (American Psychological Asssociation, dalam Santrock, 2011).

Individu mulai mencari pasangan secara serius pada masa dewasa awal (Braithwaite, Delevi, & Fincham, 2010). Hal ini disebabkan adanya tuntutan untuk menikah pada usia 30 tahun (Santrock, 2011). Terkait dengan proses pencarian pasangan, laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan yang dapat diandalkan, memiliki stabilitas emosional yang baik, menunjukkan kedewasaan, dan memiliki watak yang menyenangkan (Buss, dalam Karandashev, 2015; Hatfield, Luckhurst, & Rapson, 2010). Walaupun terdapat beberapa sifat yang diinginkan baik pria maupun wanita dalam memilih pasangan, namun pria dan wanita memiliki preferensi yang berbeda dalam menyeleksi pasangan mengenai beberapa trait, seperti penampilan dan prospek finansial (Karandashev, 2015). Hal tersebut membuat passionate love

(52)

cenderung dikembangkan oleh pria. Hal itu didukung oleh hasil penelitian lintas budaya yang membuktikan bahwa tipe cinta memiliki korelasi dengan kesejahteraan subjektif secara berbeda pada laki-laki dan perempuan.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan passionate love dan afeksi positif atau negatif lebih kuat pada laki-laki daripada perempuan (Kim &

Hatfield, 2004). Penelitian lintas budaya tersebut sekaligus membuktikan bahwa passionate love bersifat universal. Hal ini didukung pernyataan Hatfield dan Rapson (1993a, 1996) yang menegaskan bahwa passionate love dapat dijumpai di budaya manapun.

Pria menitik beratkan penampilan fisik dan usia dalam memilih wanita menjadi pasangannya (Buss, dalam Karandashev, 2015). Pria cenderung tertarik pada wanita yang berpenampilan menarik karena merefleksikan status kesehatan yang baik. Hal itu didukung oleh teori evolusi yang menjelaskan bahwa pria lebih memprioritaskan untuk memiliki keturunan sebanyak mungkin demi menjaga kelangsungan generasinya (Kim & Hatfield, 2004).

Perempuan menekankan kondisi finansial yang mendukung dari pria yang menjadi pasangannya (Buss, dalam Karandashev, 2015). Perempuan juga menginginkan laki-laki yang mampu mengurus anak dan melindungi keluarga (Hatfield et al., 2010). Hal ini didukung oleh teori evolusi yang menjelaskan bahwa perempuan cenderung memprioritaskan untuk membesarkan dan mengasuh anak dalam lingkungan yang aman dan nyaman (Kim & Hatfield, 2004). Perempuan juga memiliki kecenderungan untuk mengasuh (Fehr, Harasymuck, & Sprecher, 2014).

Referensi

Dokumen terkait

dengan kekasihnya, dapat menimbulkan emosi yang kuat dalam passionate love. (Sears

HUBUNGAN KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN DEWASA

Ada hubungan positif antara citra tubuh ( body image) dengan konsep diri yang dimiliki oleh perempuan dewasa awal. Semakinpositif konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan kecemasan menghadapi pernikahan pada wanita dewasa awal, tingkat kematangan emosi pada wanita

Proses membangun worldviews dan menemukan tujuan hidup merupakan proses yang cukup penting bagi masa perkembangan dewasa awal, namun tidak semua orang dapat melewati proses

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara kelekatan dengan orangtua dan keintiman dalam berpacaran pada dewasa awal, diperoleh hasil yang

Dapat pula agar pembaca penelitian ini memiliki wawasan yang lebih luas mengenai pentingnya harga diri dan optimisme pada life satisfaction individu terkhususnya dewasa

© 2023 PSIKODIMENSIA Kajian Ilmiah Psikologi, Volume 22, Nomor 1 yang baik, ketika berada dalam situasi yang penuh tekanan akan lebih mampu mengendalikan emosinya, tetap optimis dalam