• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

6.8. Dekomposisi global Effect Multiplier m HjA39

Analisis dekomposisi multiplier income rumah tangga dimaksudkan untuk

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Gambar 13. Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 

global effect tersebut belum memberikan informasi tentang kontribusi relatif dan uraian dari pengaruh langsung dan tidak langsung dari injeksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap pendapatan setiap golongan rumah tangga (Pansini and Vega, 2008). Analisis ini juga dikaji mengenai dekomposisi global effect untuk masing masing golongan rumah tangga akibat adanya injeksi berupa investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat pada tahun 2010.

Berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat 2010, diketahui bahwa

total multiplier investasi intrastuktur transportasi terhadap seluruh golongan

rumah tangga adalah 1.09249. Nilai tertinggi diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota (0.18354), sedangkan terendah diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa (0.01642). Perbandingan nilai mutiplier yang tertinggi dan terendah adalah sebesar 11.18, yang berarti apabila dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota nilainya 11.18 kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa.

Secara umum nilai multiplier yang diterima oleh golongan rumah tangga

pengusaha/golongan atas jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diterima oleh golongan rumah tangga buruh pertanian/golongan bawah, yang berarti bahwa golongan atas akan memperoleh penciptaan pendapatan yang lebih besar dibandingkan golongan yang lebih rendah. Hasil ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Harrod-Domar (1946) dan Arthur Lewis (1954) yang secara implisit menyatakan bahwa golongan atas memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pembentukan tabungan yang berfungsi sebagai sumber investasi, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

Hasil ini juga membawa konsekwensi bahwa teori trickle down effect tidak dapat bekerja dengan baik bila diterapkan di Jawa Barat. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada mengejar pertumbuhan ekonomi agregat semata terbukti secara tidak akan memperbaiki struktur distribusi pendapatan. Nilai multiplier yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga secara tidak merata membawa implikasi bahwa intervensi kebijakan melalui neraca eksogen (sektor produksi) memang akan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga yang berarti juga akan menigkatkan taraf hidup seluruh golongan rumah tangga. Namun di saat yang sama hal ini juga diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga.

Multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat menunjukan perbandingan-perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga, yaitu:

• Rumah tangga pengusaha pertanian menerima pendapatan 2.97 kali lipat

dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga buruh pertanian;

• Rumah tangga industri golongan atas di desa menerima pendapatan 4.96

kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa;

• Rumah tangga industri golongan atas di kota menerima pendapatan yang

5.21 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah atas di kota;

• Rumah tangga bukan industri golongan atas di desa menerima pendapatan

9.41 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa; dan

• Rumah tangga bukan industri golongan atas di kota menerima pendapatan 5.32 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di kota.

Gambaran lengkap dari Dekomposisi global effect multiplier pendapatan rumah

tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel

23. Sedangkan hasil lengkap dekomposisi global effect multiplier pendapatan

pada masing-masing kelompok rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 16.

Hasil ini menunjukan bukti kuantitatif tentang adanya kesenjangan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga golongan atas dan rumah tangga golongan bawah di Jawa Barat, dimana kesenjangan yang paling tinggi terjadi pada rumah tangga bukan industri di desa.

Berbeda dengan perbandingan antara golongan pengusaha pertanian dan buruh pertanian atau antara golongan atas dan golongan bawah, perbandingan multiplier pendapatan rumah tangga desa dan kota menunjukan bahwa rumah tangga di desa menerima manfaat yang lebih besar dari investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat (dengan asumsi bahwa rumah tangga pertanian

berada di desa). Multiplier pendapatan rumah tangga desa adalah sebesar

0.55936 sedangkan rumah tangga di kota adalah sebesar 0.53313, yang berarti apabila dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga di desa nilainya 1.05 kali dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga di kota.

Hasil dari analisis ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Banister and Berechman (2000) yang menyatakan bahwa investasi infrastruktur transportasi akan memperlancar jalur distribusi antara wilayah desa dan kota

meningkatnya mobilitas dan akses faktor produksi tenaga kerja dan modal, maupun dalam memasarkan hasil-hasil produksi.

Tabel 23. Dekomposisi global effect multiplier mHjA39 dari matriks Ma

Pengaruh injeksi pada rumah tangga Direct- direct effect Indirect- direct effect Direct- indirect effect Indirect- indirect effect Global Effect mHjA39 (1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Rumah tangga buruh pertanian 0.00006 0.02512 0.00003 0.02492 0.05014 (0.12) (50.10) (0.06) (49.70) (100.00) 2. Rumah tangga pengusaha pertanian 0.00001 0.00390 0.00034 0.14457 0.14881 (0.01) (2.62) (0.23) (97.15) (100.00) 3. Rumah tangga industri golongan bawah

di desa

0.00000 0.00045 0.00005 0.01592 0.01642

(0.00) (2.74) (0.30) (96.95) (100.00) 4. Rumah tangga industri golongan

menengah di desa

0.00000 0.00078 0.00007 0.03122 0.03207

(0.00) (2.43) (0.22) (97.35) (100.00) 5. Rumah tangga industri golongan atas di

desa

0.00000 0.00155 0.0001 0.07978 0.08144

(0.00) (1.90) (0.12) (97.96) (100.00) 6. Rumah tangga industri golongan bawah

di kota

0.00000 0.00057 0.00002 0.03006 0.03065

(0.00) (1.86) (0.07) (98.08) (100.00) 7. Rumah tangga industri golongan

menengah di kota

0.00000 0.00112 0.00005 0.05536 0.05653

(0.00) (1.98) (0.09) (97.93) (100.00) 8. Rumah tangga industri golongan atas di

kota

0.00001 0.00262 0.0001 0.15694 0.15966

(0.01) (1.64) (0.06) (98.30) (100.00) 9. Rumah tangga bukan industri golongan

bawah di desa

0.00000 0.00043 0.00004 0.01755 0.01802

(0.00) (2.39) (0.22) (97.39) (100.00) 10. Rumah tangga bukan industri golongan

menengah di desa

0.00000 0.00103 0.00008 0.04173 0.04284

(0.00) (2.40) (0.19) (97.41) (100.00) 11. Rumah tangga bukan industri golongan

atas di desa

0.00001 0.00372 0.00026 0.16563 0.16962

(0.01) (2.19) (0.15) (97.65) (100.00) 12. Rumah tangga bukan industri golongan

bawah di kota

0.00000 0.00072 0.00003 0.03373 0.03447

(0.00) (2.09) (0.09) (97.85) (100.00) 13. Rumah tangga bukan industri golongan

menengah di kota

0.00000 0.00145 0.00006 0.06677 0.06828

(0.00) (2.12) (0.09) (97.79) (100.00) 14. Rumah tangga bukan industri golongan

atas di kota

0.00001 0.00362 0.00016 0.17976 0.18354

(0.01) (1.97) (0.09) (97.94) (100.00) Total pengaruh injeksi pada seluruh

rumah tangga

1.09249

Sumber : diolah dari SNSE Jawa Barat 2010. Keterangan : angka dalam kurung menunjukan persentase.

A39 adalah sektor infrastuktur transportasi.

dibandingkan rumah tangga kota. Civardi (2010) mengungkapkan bahwa hal ini terkait dengan populasi penduduk di Vietnam yang sebagian besar bermukim di daerah perdesaaan. Alasan yang sama nampaknya juga relevan untuk kasus Jawa Barat, dimana populasi penduduk Jawa Barat sebagian besar juga berada di daerah perdesaan.

Selanjutnya, apabila dilihat bagaimana proses terjadinya multiplier dengan

penghitungan dekomposisi matriks income multiplier diketahui bahwa pengaruh

investasi infrastuktur transportasi tidak memiliki pengaruh yang paling besar

secara direct-direct terhadap seluruh golongan rumah tangga. Hal ini berarti

bahwa pengaruh peningkatan pendapatan seluruh golongan rumah tangga di Jawa Barat tidak langsung disebabkan oleh peningkatan aktifitas produksi yang disebabkan oleh investasi infrastruktur transportasi, namun melalui stimulasi dari sektor-sektor dan atau golongan rumah tangga lain.

Hasil ini sangat relevan mengingat peran sektor infrastuktur transportasi yang relatif tidak dominan dibandingkan sektor-sektor lain. Di lain sisi sifat struktur produksi sektor infrastruktur transportsi yang lebih banyak menggunakan outpur sektor-sektor lain sebagai input (62.5%) membuat sektor infrastruktur akan menstimulasi aktifitas produksi di sektor-sektor lain.

Keberadaan direct-direct effect yang tidak dominan dalam dekomposisi

income multiplier juga pernah diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pyatt dan Round dalam Pansini and Vega (2008) untuk level nasional Indonesia pada intervensi terhadap sektor industri makanan dan minuman. Penelitian ini menyimpulkan bahwa intervensi pada sektor indutri makanan dan minuman memiliki dampak yang signifikan dalam peningkatan pendapatan rumah tangga golongan miskin sehingga dapat menjadi strategi yang tepat dalam mengurangi

Pada rumah tangga buruh pertanian, peningkatan aktifitas di sektor

infrastruktur transportasi berperan paling besar secara indirect-direct (50.10%),

yaitu sektor infrastruktur transportasi berdampak kepada sektor-sektor lain, kemudian aktifitas di sektor-sektror lain tersebut memberikan pengaruh kepada rumah tangga buruh pertanian di Jawa Barat. Pengaruh berikutnya yang tidak

jauh berbeda nilainya adalah secara indirect-indirect (49.70%), yaitu investasi

infrastuktur transportasi akan menstimulasi aktifitas produksi di sektor-sektor lain, kemudian menstimulasi pendapatan rumah tangga lain dan akhirnya meningkatkan pendapatan golongan rumaht angga buruh pertanian. Dari sudut kebijakan, upaya intervensi dalam membantu rumah tangga buruh pertanian melalui investasi infrastruktur trasportasi merupakan strategi yang cukup baik karena akan menstimulasi sektor dan rumah tangga lain.

Pengaruh peningkatan aktifitas produksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap golongan-golongan rumah tangga selain buruh pertanian yang paling

besar dirasakan adalah secara indirect-indirect. Artinya peningkatan aktifitas

produksi di sektor konstruksi transportasi berpengaruh terhadap aktifitas di sektor-sektor lainnya, selanjutnya pengaruh tersebut berdampak kepada rumah tangga selain rumah tangga yang terkena dampak kangsung. Misalkan untuk dampak investasi transportasi terhadap golongan rumah tangga industri

golongan bawah di desa yang 96.95% dampaknya terjadi secara indirect-indirect,

dampaknya dimulai dari peningkatan aktifitas di sektor infrastruktur transportasi, kemudian berpengaruh terhadap sektor-sektor selain infrastruktur transportasi, baru kemudian berdampak kepada selain golongan rumah tangga industri golongan bawah di desa.

berdampak kepada rumah tangga yang dituju. Hal ini menunjukan bahwa investasi infrastruktur merupakan strategi yang tepat dalam menstimulasi perekonomian dan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga. Namun demikian harus disadarai bahwa investasi infrastruktur tentunya bukanlah solusi tunggal dari sisi ekonomi untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan rumah tangga.

Sebagaimana disebutkan hasil sebelumnya bahwa intervensi apapun pada neraca eksogen selain meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga juga akan meningkatkan tingkat kesenjangan. Dengan demikian intervensi pada neraca eksogen (termasuk investasi infratruktur transportasi) bukan solusi dalam mengurangi kesenjangan antar golongan pendapatan rumah tangga. Investasi infrastuktur transportasi harus diikuti dengan kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat memperoleh balas jasa faktor produksi tenaga kerja yang lebih baik modal. Selain itu juga dilengkapi dengan kebijakan yang mempu merubah komposisi kepemilikan faktor produksi, karena kesenjangan yang muncul disebabkan oleh tidak seimbangnya balas jasa yang diterima faktor produksi tenaga kerja dan modal.