• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.3. Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah

Pembangunan wilayah antar provinsi yang berdekatan akan dapat mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan suatu provinsi dan dapat pula perkembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) secara saling menguntungkan (mutual regional cooperation). Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan.

Menurut Adisasmita (2005), keterkaitan atau keterhubungan (inter- relationship) dan ketergantungan (interdependency) antar wilayah dapat diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah (termasuk didalamnya arus perdagangan). Dalam suatu negara, arus perdagangan antar wilayah tidak dapat berlangsung berdasarkan keuntungan mutlak (absolute advantage), melainkan didasarkan pada keuntungan komparatif (comparative advantage) saja sudah cukup beralasan untuk melangsungkan perdagangan antar wilayah. Suatu wilayah akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keuntungan produksi

yang relatif lebih kecil atau mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar (comparative disadvantage). Masing-masing wilayah akan menspesialisasikan produksi pada satu atau beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang yang dibutuhkan akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya dan sedemikian rupa akan menciptakan suatu pola perdagangan antar wilayah.

Lebih lanjut Adisasmita (2005) menyampaikan bahwa regionalisme termasuk dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam pengelompokkan itu dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik dan pola kegiatan. Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk permukiman penduduk, fasilitas-fasiilitas produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah, dan lain-lainnya. Sedangkan pola kegiatan terdiri dari arus modal, tenaga kerja, komoditas dan komunikasi yang menghubungkan elemen-elemen fisik dalam tata ruang. Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan antar wilayah yang berspesialisasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan baik sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efisien.

Sebuah pendekatan untuk menentukan batas-batas wilayah pada umumnya digunakan jarak (Adisasmita, 2005). Selanjutnya keterkaitan antara wilayah dapat ditunjukkan dalam suatu matrik jarak antar wilayah. Kriteria yang

digunakan adalah homogenitas kondisi wilayah, kriteria tersebut dapat dinyatakan sebagai karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi. Suatu perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis ekonomi. Untuk menentukan homogenitas ekonomi dapat digunakan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan produksi, tingkat keterampilan tenaga kerja, dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu wilayah didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial mempunyai kegiatan-kegiatan produksi yang serupa atau tingkat pendapatan per kapita yang sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah yang berorientasi pada sektor tersier. Dapat dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) dan wilayah dengan tingkat pendapatan tinggi (kaya).

Adisasmita (2008) mengatakan bahwa wilayah dapat pula ditentukan batas-batasnya berdasarkan kriteria interpretasi suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai suatu sistem yang terpadu secara spasial. Suatu sistem diartikan sebagai suatu kumpulan variabel-variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan kriteria ini tidak boleh mengkonsentrasikan semata-mata pada ketergantungan yang berat sebelah pada segi suplai (wilayah suplai dari suatu pusat permintaan) atau hanya pada segi permintaan (wilayah permintaan dari suatu pusat suplai). Jadi ketergantungan antar wilayah tersebut harus didasarkan pula pada kedua segi yaitu segi permmintaan dan suplai (penawaran). Selanjutnya ketergantungan antar wilayah dapat dilihat dari arus pertukaran dan lalu lintas perdagangannya.

Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata ruang-tata ruang yang pada umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan urbanisasi ke kota-kota berlangsung terus dan meningkat. Tiap-tiap kota-kota besar mempunyai kota satelit, dan selanjutnya kota-kota satelit tersebut mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting dalam perkembangan peradaban manusia, perkembangan industri dan perdagangan, dimana pertumbuhan kota telah meningkat pesat.

Interdependensi pertukaran (pembelian dan penjualan) mencerminkan karakteristik suatu perangkat kota-kota regional dalam suatu perangkat yang lebih besar yaitu suatu bangsa atau Negara (Adisasmita, 2005). Wilayah polarisasi didefinisikan sebagai perangkat kota-kota dengan daerah-daerah disekitarnya yang mengadakan pertukaran lebih banyak dengan metropolis tingkat regional dari kota-kota lainnya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari pengertian wilayah polarisasi adalah sifat empirik. Daerah-daerah di sekitar pusat mempunyai keterhubungan dan ketergantungan yang sangat erat dengan pusatnya. Jadi wilayah polarisasi berarti tidak autarkis. Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah komplementernya.

Jaringan transportasi berfungsi menjembatani antara konsep wilayah polarisasi dan pengertian kutub-kutub pertumbuhan (Adisasmita, 2005). Konsep- konsep tersebut merupakan salah satu kunci permasalahan pengembangan wilayah. Suatu kutub pertumbuhan regional merupakan suatu perangkat industri- industri yang berkembang dan terletak di daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut kegiatan-kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya ke seluruh wilayah pelayanannya. Jaringan dapat disusun secara sederhana yaitu menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya

antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Pola transportasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan pada susunan pohon, yang terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan jalan raya meliputi jalan arteri (urat nadi), jalan kolektor dan jalan lokal.

Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilisasi yang semakin meningkat dan meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan selaras dengan tingkat pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan transportasi yang menghubungkan masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai “polygrid pattern” atau pola segala jurusan seperti penerapan di Negara-negara maju (Adisasmita, 2005).