• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Demokrasi

Menurut alfian (1985: 59) “Demokrasi adalah suatu sistem politik dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran

yang wajar”. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa

“demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu”.

Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa

“demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan

antara konflik dan konsesus”. Demokrasi dengan demikian, memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri.

Setiap negara demokrasi pasti terdapat partai politik lebih dari satu, hal ini merupakan persyaratan yang paling menonjol. Mengingat rakyat mempunyai beberapa alternatif maka rakyat akan sukar untuk menyalurkan aspirasi-aspirasinya yang paling cocok pada dirinya. Dengan demikian adanya wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan suatu conditio since qua non (kondisi yang mau tidak mau harus ada). Tanpa adanya partai politik yang lebih dari satu, maka demokrasi tidak dapat ditegakkan. Maka

untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23)

Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.

b. Demokrasi di Indonesia

Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu:

1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Periode pemerintahan dalam masa ini disebut sebagai pemerintahan Parlementer. Pada masa Demokrasi Parlementer lembaga Perwakilan Rakyat atau Parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Disamping itu, kehidupan kepartaian memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem banyak partai (multy party system). (A.Gaffar karim, 1999: 12). Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui partai-partai politik ini ternyata menimbulkan labilitas nasional, sehingga dalam masa berlakunya UUDS 1950 telah terjadi jatuh bangunnya kabinet sebanyak 7 kali. Karena sering terjadi jatuh bangunnya kabinet telah menimbulkan rasa tidak puas dikalangan politisi Indonesia. Selain itu, sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontan didaerah yang mengancam keutuhan republik Indonesia (Moh. Mahfud, 2000: 43).

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Kemudian Soekarno mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” melalui konsepsi tersebut maka Dewan Nasional.

Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan yang kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan PSI. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul secara hampir bersamaan. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara. Ketika dilakukan voting, ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak tercapai. Berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, Soekarno kemudian pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali pada UUD 1945. Dengan Dekrit Presiden tersebut, menandai berahirnya masa Demokrasi Parlementer dan memasuki era baru demokrasi yang kemudian oleh Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 24-25). Pada pidato

kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi Terpimpin sebagai berikut:

1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara.

2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat, bangsa dan negara.

Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto. Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dengan adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30).

3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan Orde Baru hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan dapat melenyapkan rezim Orde Lama. Soeharto kemudian mencoba menerapkan Demokrasi Pancasila. Inti Demokrasi Pancasila adalah seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan

kembali azas-azas negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin dan dimana penyalagunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional (Moh. Mahfud, 2000: 36). Sedangkan Amir Machmud (1986: 87) berpendapat bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Ini berarti menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing, menjunjung tinggi nilai-nilai manusia, menjamin persatuan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.

Dokumen terkait