• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Oleh:

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010 ARI WAHYUTI

(2)

ii Oleh:

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010 ARI WAHYUTI

(3)
(4)
(5)

v

Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

(6)

vi Sebelas Maret University, July 2010.

The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to voice for the party election in 1977 to political parties that fusion.

This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.

(7)

vii

(8)

viii

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan dan cita-cataku.

2. Kang Wan’s dan adikku Ria yang telah memberikan dukungan dan semangat kepadaku. 3. Sahabat-sahabatku

(9)

ix

sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

(10)

x

membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Juli 2010

(11)

xi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

(12)

xii

C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan Suara Pemilu 1977

Bagi Partai Yang Berfusi ... 68

1. Kampanye Pemilu 1977 ... 68

2. Hasil Pemilu 1977 ... 74

BAB V PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Implikasi ... 88

C. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(13)

xiii

(14)

xiv

Lampiran 3 : Munas PNI ... 99

Lampiran 4 : Kampanye Golkar ... 100

Lampiran 5 : Kampanye PDI ... 101

Lampiran 6 : Kampanye PPP ... 102

Lampiran 7 : Pidato Kampanye PPP ... 103

Lampiran 8 : Pidato Kampanye PDI ... 104

Lampiran 9 : Pelaksanaan Pemilu 1977 ... 105

Lampiran 10 : Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977 ... 106

Lampiran 11 : Hasil Pemilu 1977 ... 107

Lampiran 12 : Jurnal ... 108 Lampiran 13 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ... 109

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno, Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik

Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi (demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil,

1974: 25).

Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo, demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut : Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8).

(16)

berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61).

Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No. XIII/MPRS/1968 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-Undang pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C. S. T. Kansil, 1974: 86).

Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan

(17)

terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16). Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71).

(18)

(6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara jumlah kursi yang diperoleh PNI sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert Feith, 1957: 58).

Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436).

Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 224).

(19)

presiden Soekarno yang membuat mereka mengikuti dan mendukung apa yang dikatakan oleh Soekarno (Maswadi Rauf, 2001: 124).

Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42)

Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98).

Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127)

(20)

mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan perwakilan-perwakilan rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan di Indonesia. (Ali Moertopo, 1974: 65). Banyak kemungkinan yang dapat berpengaruh dalam kehidupan surutnya kepartaian di Indonesia. Faktor dari sifat-sifat hubungan dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit dan Ideologi partai. Akan tetapi, pengaruh yang lebih tampak yang melatar belakangi kelemahan partai diantaranya jumlah partai yang terlalu banyak sehinggga diperlukan pengurangan jumlah partai politik (Arbi Sanit, 1995: 43).

Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu, golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud, 2000: 90)

(21)

dari sikap tersebut adalah kebebasan terhadap partai politik. Suasana politik lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilihan umum yang dilangsungkan pada tanggal 3 juli 1971 (Maswadi Rauf, 2001: 127-128).

Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517). Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67).

Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Mas‟oed dan Mac Andrews, Colin, 2006: 263).

(22)

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum 1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat, efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam Budiardjo, 2008: 446 ).

Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik) dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun 1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9).

(23)

Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi

Partai Politik)”.

B. Perumusan Masalah

Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain:

1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik?

2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977?

3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun

1973-1977.

(24)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977).

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam penulisan sejarah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(25)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Partai Politik a. Pengertian Partai Politik

Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat “Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan partai”. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91), “partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara”. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik pada umumnya.

Inu Kencana. S (2003: 104), “Partai politik adalah sekelompok orang-orang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat) negara”. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.

Sukarna (1990: 45), berpendapat “Partai politik adalah sekumpulan orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha

(26)

untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orang-orangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup d‟etat”. Menurut Haryanto (1982: 88) “Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan-jabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatan-jabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui cara-cara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum, maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan kekuasaan.

b. Fungsi Partai Politik

Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi adalah sebagai berikut:

1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik

(27)

yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang menampung arus informasi, baik informasi yang berasal dari pihak penguasa kepada masyarakat maupun yang berasal dari masyarakat kepada pihak penguasa. Oleh karena partai politik menyalurkan informasi dari masyarakat kepada pihak penguasa, maka berarti partai politik mempunyai tugas untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat, serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua pendapat dan asprasi masyarakat itu dapat tersalurkan. Sebaliknya partai politik juga menyalurkan informasi yang datang dari pihak penguasa kepada masyarakat. Rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa.

2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinan-keyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya.

(28)

3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menjadi anggota partai. Partai politik berusaha untuk menarik minat warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga negara dalam bidang politik.

Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi calon-calon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin.

Rekrutmen politik juga dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin.

4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan

Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi, maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah. 5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik

(29)

memang sering muncul. Perbedaan pendapat dan persaingan tersebut sering sekali mengakibatkan terjadinya konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan diantara mereka. Apabila tejadi konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan antara para warga negara atau golongan-golongan dapat diselesaikan melalui partai politik.

c. Klasifikasi Partai

Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Sistem Partai-Tunggal

(30)

Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.

2) Sistem Dwi-Partai

(31)

Sistem dwi-partai pernah disebut “a convenient system for contented people” dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.

3) Sistem Multi-Partai

(32)

partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai-partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam partai hilang.

Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

(33)

1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut.

Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya. Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh kontestan. Selanjutnya pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum 1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar).

2. Pemilu a. Pengertian Pemilu

(34)

Arifin Rahman (1998: 194), “Pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan

rakyat”. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), “Pemilihan

umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya”.

Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal “pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi dizaman modern”. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), “Pemilihan umum adalah tindakan melakukan pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang diletakkan pada kekuasaan rakyat.

b. Fungsi Pemilu

Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai sarana legitimasi politik

Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya.

2) Sebagai perwakilan politik

(35)

mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan maupun lembaga legislatif.

3) Sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi di pihak lain. Pemerintah ingin memperoleh kesepakatan dan dukungan bagi kelangsungan otoritasnya dan kepatuhan terhadapnya, sedang pihak-pihak kepentingan partai dan warga negara meninginkan semakin kuatnya kontrol mereka serta pertanggungjawaban pihak pemerintah akan kiprah yang dilakukannya.

Pemilihan umum tahun 1977 merupakan pemilihan umum kedua sejak Orde Baru. Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan berdasarkan UU No. 4 tahun 1975 Jo. UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pemilihan umum tahun 1977 maupun sesudahnya didasarkan pada asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, yang sering disebut asas LUBER. Yang dimaksud pemilihan umum yang bersifat:

1. Langsung ialah rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

2. Umum ialah pada dasarnya semua warga negara Indonesia yang mempunyai persyaratan minimal usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum, dan yang telah berusia 21 berhak dipilih.

3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara berhak memilih dan menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan ataupun paksaan dari siapapun atau dengan apapun juga.

(36)

dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya kepada kotak suara dengan tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan (C.S.T. Kansil, 1974: 86).

3. Demokrasi a. Pengertian Demokrasi

Menurut alfian (1985: 59) “Demokrasi adalah suatu sistem politik dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran

yang wajar”. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa

“demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu”.

Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa

“demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan

antara konflik dan konsesus”. Demokrasi dengan demikian, memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri.

(37)

untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23)

Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.

b. Demokrasi di Indonesia

Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu:

1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959)

(38)

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Kemudian Soekarno mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” melalui konsepsi tersebut maka Dewan Nasional.

(39)

kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi Terpimpin sebagai berikut:

1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara.

2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat, bangsa dan negara.

Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto. Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dengan adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30).

3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)

(40)
(41)

B. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Setelah Indonesia merdeka, gagasan demokrasi tercantum dengan jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pasal-pasal dalam batang tubuhnya. Sila keempat pancasila dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat (2) dalam batang tubuh itu menunjukkan bahwa negara republik Indonesia

Pemilu 1971

Kebijakan Politik Orde Baru

Fusi Partai Politik

(Nasionalis, Spiritual, dan Golongan Karya)

PDI PPP Golkar

Pemilihan Umum 1977 Demokrasi

Pemilu

Sistem Multi Partai

Partai Politik

(42)

menganut asas kedaulatan rakyat. Dalam asas ini terkandung unsur pokok bahwa rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan yang bersifat politik atau dengan kata lain negara Indonesia adalah negara demokratis. Dalam pelaksanaan demokrasi ini, menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 negara Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Hal ini terbukti adanya lembaga-lembaga negara yaitu MPR dan DPR serta adanya pemilihan umum dan partai-partai politik. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut.

Bentrokan antar partai politik dan pasukan milisi masing-masing yang mempunyai ideologi Islam dan nasionalis membuat konflik politik semakin memanas. Pola konflik antar partai politik yang terjadi selama tahun 1950-1957 adalah kelanjutan dari pola konflik antar partai politik pada masa sebelumnya. Ideologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan faktor penyebab terjadinya konflik yang hebat antara partai-partai politik. Sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955 menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering berubah. Kehidupan politik dengan sistem multi partai ini berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.

(43)

Masyumi dibubarkan. Dalam hal penyederhanaan partai, pada tanggal 14 April 1961 diumumkan bahwa hanya sepuluh partai yang mendapatkan pengakuan, masing-masing adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, partai katolik, Perti, Murba dan Partindo. Pada tanggal 21 September 1965 Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno. Namun memasuki Orde Baru, pada tanggal 7 Februari 1970 Presiden Soeharto menyerukan kepada partai-partai agar dalam menghadapi pemilihan umum, partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan, dan memikirkan pengelompokan diri partai-partai, disamping adanya Golongan karya. Sebelum diselenggarakan pemilu tahun 1971, yakni pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan karya.

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

a. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan, maupun sumber tertulis lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan, koleksi swasta maupun perorangan dan ditempat yang menyimpan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan untuk melaksanaan penelitian ini, antara lain:

1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

6. Perpustakaan Daerah Surakarta 7. Kolese St. Ignatius Yogyakarta

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya proposal skripsi hingga penulisan ini selesai, yaitu pada bulan Januari 2010 sampai bulan Juli 2010.

(45)

b. Metodologi Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methode, yang berarti cara atau jalan, dan theodos yang berarti masalah. Jadi metode dapat diartikan menjadi cara atau jalan untuk menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah-masalah, cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 8). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan masa lampau. Dengan kata lain metode sejarah merupakan metode pemecahan masalah dengan menggunakan data dan peninggalan masa lalu untuk memahami keadaan masa sekarang dengan hubungannya dengan peristiwa-peristiwa masa lampau (Louis Gottschalk. 1975: 32)

Menurut Hadari Nawawi (1998: 81), “Metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang maupun untuk memahami dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu”. Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo (1992: 37), “Metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut”.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini dilakukan kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisa secara kritis mengenai data dan peninggalan-peninggalan masa lampau serta melakukan sintesa dan menyajikan dalam bentuk tulisan sejarah mengenai pemilu di Indonesia tahun 1977 (tentang fusi partai politik ).

c. Sumber Data

(46)

menurut (Dudung Abdurrahman, 1999: 30), “Data sejarah berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian sejumlah sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal, sehingga membuka kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal”. Adapun klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan sumber-sumber menurut penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Dan menurut tujuannya sumber-sumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber-sumber-sumber formal dan informal.

Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Sumber tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis sekunder yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa yang dikisahkan. Sumber tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar (Nugroho Notosusanto, 1979: 26). Sedangkan Menurut Louis Gottschalk (1975: 35), “Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritaannya. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak hadir pada peristiwa itu”.

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip dan dokumen antara lain : Kedaulatan Rakyat, edisi 4 Januari 1973. Kedaulatan Rakyat, edisi 6 Februari 1973. Kompas, edisi 22 Februari 1973. Kompas, edisi 6 Januari 1973. Sinar Harapan, edisi 2 Mei 1977. Suara Merdeka, edisi 8 Januari 1973. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : buku yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik , karangan Miriam Budiardjo. Strategi Politik Nasional karangan Ali Moertopo. Pembangunan Politik Dalam

(47)

Arifin Rahman. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia, karangan Eep Saefulloh Fattah. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, karangan Eep Saefulloh Fattah. The Indonesian Election Of 1955, karangan Herbert Feith. Inti Pengetahuan Pemilihan Umum, karangan C. S. T. Kansil. Partai Politik dan

Golkar, karangan C. S. T. Kansil. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi),

karangan Miriam Budiardjo. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, karangan Moh. Mahfud. Perbandingan Sistem Politik, karangan Mohtar Mas‟oed dan Colin Mac Andrews. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia, karangan Muhammad A.S Hikam. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut, karangan Rusli Karim. Menggugat Pemilihan Umum Orde

Baru. karangan Syamsuddin Haris dkk . Konsesus Politik, karangan Maswadi

Rauf. Sejarah Nasional VI, karangan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto.

d. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik. Pengumpulan data (heuristik) merupakan bagian penting dalam suatu penelitian. Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar, atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan (Koentjoroningrat, 1983: 3). Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : (1) Mengumpulkan buku-buku, majalah, surat kabar, yang relevan dengan masalah yang diteliti. (2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. (3) Memfotokopi dan mencatat literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.

e. Teknik Analisis Data

(48)

sistematis baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data sejarah yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat-sifat yang kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Oleh karena itu fakta-fakta yang diperoleh harus dirangkaikan dengan fakta-fakta yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang urut dan memiliki makna (Louis Gottschalk, 1975: 95).

Fakta merupakan bahan utama sejarawan dalam menyusun historiografi. Fakta itu hasil pemikiran para sejarawan sehingga fakta yang terkumpul mengandung subyektivitas. Setiap fakta yang terekonstruksikan oleh sejarawan akan menghasilkan konstruksi. Setiap konstruksi mengandung unsur-unsur dari penyusunan konstruksi tersebut, sehigga dalam menganalisis diperlukan konsep seperti penyeleksian, pengidentifikasian (Sartono kartodirdjo, 1992: 92). Dengan demikian tujuan analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh (Dudung Abdurrahman, 1999: 64)

(49)

bahasa, dan ide yang digunakan penulis, kecenderungan politik dan pendidikan penulis, siasat disaat penulisan, dan tujuan penulis dalam mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema pemilihan umum di Indonesia tahun 1977 tentang fusi partai politik. Kemudian isi dan pernyataan penulis sumber data yang satu dibandingkan dengan isi dan pernyataan penulis sumber data yang lain. Berdasarkan seleksi data tersebut dihasilkan fakta. (3) Interpretasi fakta dilakukan dengan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain. Fakta-fakta tersebut ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis, dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Fakta sejarah yang sudah ditemukan dihubungkan dengan konsep atau teori sebagai alat analisis.

f. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti sebelum menghasilkan sebuah penelitian yang diharapkan. Prosedur penelitian tampak pada skema sebagai berikut:

Keterangan:

1. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang berarti memperoleh. Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber tidak tertulis serta sumber yang relevan dengan penelitian ini (Nugroho Notosusanto, 1978: 36). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 99), “Heuristik adalah

Heuristik Kritik Sumber

Fakta Sejarah

(50)

pengumpulan sumber-sumber sejarah”. Pada tahap ini peneliti berusaha untuk menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti. Dalam tahap ini hal pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan mengadakan studi tentang buku-buku literatur yang tersimpan di perpustakaan.

2. Kritik Sumber

Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber (kritik ekstern) dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kritik intern) (Dudung Abdurrahman, 1999: 58). Dengan langkah-langkah:

a. Kritik sumber ekstern

Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti : bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Uji otentik minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, di mana, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat (Dudung Abdurrahman, 1999: 59). Fungsi kritik ekstern adalah memeriksa sejumlah sumber atas dua butir pertama dan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan integritas sumber itu (Helius Syamsuddin, 1996: 105). Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu pemeriksaan terhadap catatan dan peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan tidak untuk mengetahui sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan menyeleksi sumber data sejarah tertulis berupa buku-buku literatur, surat kabar dan majalah. Uji otentisitas dilakukan dengan melihat jenis kertas, bentuk tulisan, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, serta dimana arsip, buku, majalah, dan surat kabar dibuat. b. Kritik sumber intern

(51)

digunakan untuk menguji kredibilitas sumber apakah isi, fakta, atau ceritanya dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada langkah kritik intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain, dari tahap ini akan didapat validitas data. Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain (surat kabar, majalah, dan buku-buku). Sumber tersebut sesuai dengan yang ada atau banyak dipengaruhi oleh subjektifitas pengarang, dan apakah sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Misalnya buku “Pemilu-Pemilu Orde Baru” karangan R.William Liddle yang memuat tentang persiapan menjelang pemilihan umum 1977 serta hasil pemilihan umum 1977 dibandingkan dengan majalah yang berjudul “pemilihan umum di Indonesia, saksi pasang naik dan surut partai politik” karangan Daniel Dhakidae yang memuat tentang hasil pemilihan umum 1977.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sejarah sering kali disebut analisis sejarah. Analisis ini berarti menguraikan, secara terminologi, berbeda dengan sistematis yang berarti menyatukan. Namun adanya, analisis dan sintetis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995: 100).

(52)

4. Historiografi

(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Fusi Partai Politik 1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik

Upaya penataan struktur politik yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru diawal kelahirannya menjadi faktor pendorong utama penyederhanaan partai politik. Pengalaman kepartaian di masa Orde Lama yang didominasi oleh banyak partai politik dengan ideologinya yang berbeda-beda telah menimbulkan citra buruk bagi partai politik di Indonesia yaitu sering terjadinya konflik antar partai. Ada tiga penyakit partai-partai politik yang menyebabkan sering timbulkan konflik. Pertama, partai politik terlalu berorientasi pada ideologi. Kedua, mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok dan menggunakan dukungan rakyat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Ketiga, cara pengangkatan pemimpin partai karena melalui pimpinan pusat dan tidak bertanggung jawab kepada pemilih, telah menjadikan pemimpin partai ini suatu olygarkhi yang tidak bertanggung jawab terhadap pemilih mereka (Mochtar Mas‟oed, 1989: 23). Dan karena keadaan yang seperti itulah menyebabkan pembangunan ekonomi cenderung terabaikan, karena tiap-tiap partai hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Atas dasar pernyataan tersebut maka tidak mengherankan apabila arah penataan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah menyederhanakan struktur kepartaian, baik dari segi jumlah, basis massa, pola dukungan, maupun pola aliran ideologi yang dipakai partai. Pemerintah Orde Baru bepikiran bahwa pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan penyebab dari konflik-konflik politik yang terjadi sebelumnya (Ali Moertopo, 1982: 47). Sebelumnya jalan kearah penyederhanaan partai politik sudah dirintis oleh presiden Soekarno. Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi Terpimpin serta UUD 1945 presiden Soekarno membentuk alat-alat kenegaraan seperti MPR dan DPA. Selain itu, dimulailah beberapa usaha untuk menyederhanakan sistem partai melalui Penpres No. 7/1959. Maklumat

(54)

Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diketahui oleh pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Parkindo, Partai Murba, PSII, IPKI, Perti, sedangkan beberapa lain dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960 tinggal sepuluh partai politik saja (Miriam Budiardjo, 1998: 440-441).

Penyederhanaan partai politik ini berarti mengerahkan sikap dan pola kerja menuju pada orientasi progam. Tindakan yang pertama adalah merehabilitas partai Murba, dan mengumumkan berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 20 Februari 1968. Secara sepintas pendirian partai baru ini bertentangan dengan gagasan penyederhanaan partai politik. Namun pada dasarnya merupakan pertimbangan perlunya suatu wadah bagi peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tapi selama ini aspirasi-aspirasi politiknya belum tersalur secara efektif. Penyederhaaan partai politik ini dimaksudkan untuk memberikan corak baru pada kehidupan kepartaian di Indonesia, disesuaikan dengan kebutuhan baru yang pada dasarnya merupakan ukuran-ukuran pada hak hidup suatu partai, yakni mengabdi pada pembangunan bangsa dan negara. Tujuan jangka pendek pengelompokan ini adalah untuk mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan (Ali Moertopo, 1974: 73-74 ).

(55)

kelompok material-spiritual, yang terdiri atas partai-partai yang menekankan pembangunan material tanpa mengabaikan asas spiritual, tediri atas PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan partai Katolik; dan (b) kelompok spiritual–material, yang menekankan pembangunan spiritual tanpa mengabaikan aspek material, terdiri atas NU, Parmusi, PSII dan Perti (Prisma, tahun 1971-1991). Gagasan tersebut diikuti oleh sikap pro dan kontra. Yang pertama kali menyambut ialah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Lukman Harun (Parmusi), gagasan pengelompokan partai dapat memberikan keuntungan bagi partai politik Islam. Dengan pengelompokan tersebut partai Islam akan bersatu dari yang semula terpecah-pecah berdasarkan kepentingan kelompok masing-masing. Sedangkan menurut Subhan Z.E., seorang tokoh NU, pengelompokan partai akan memudahkan proses pengambilan keputusan sehingga alternatif pendapat-pendapat dalam masyarakat dapat diperkecil.

Golongan yang menentang pengelompokan partai politik adalah Parkindo dan Partai Katolik. Alasan penolakan mereka karena dikelompokannya kedua partai ini dalam golongan spiritual dan bukan kepada ide pengelompokan itu sendiri. Mereka lebih senang jika dimasukkan ke dalam golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis. Bahkan Partai Katolik menegaskan lebih baik membubarkan diri daripada masuk ke kelompok Spiritual. Akhirnya, pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, , Murba, IPKI , Partai Katolik dan Parkindo. Dan pada tanggal 14 maret 1970 terbentuk Golongan Spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Golongan Nasionalis kemudian diberi nama “Kelompok Demokrasi

Pembangunan”, dan kelompok spiritual diberi nama “Kelompok Persatuan” (Arif

Zulkifli, 1996: 56-57). Dalam pengelompokan seperti itulah partai-partai ikut tampil dalam pemilihan umum tahun 1971.

(56)

setelah melalui persiapan-persiapan dan serangkaian usaha yang harus dapat menjamin Orde Baru dan mempertahankan kekuatan-kekuaan pancasila. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1971 sejumlah 34.696.387 orang untuk kedua kalinya sejak kemerdekaan, enam belas tahun sejak pemilihan umum yang pertama berbondong-bondong menuju kotak suara. Angka tersebut merupakan sebagian besar dari sejumlah 57.537.752 yang berhak memilih. Bilamana dibandingkan dengan pemilihan umum yang pertama maka ini merupakan angka yang sangat besar yang bisa dicapai, karena dalam pemilihan umum pertama tahun 1955 tercatat 87,65 % yang ikut memberikan suaranya. Salah satu alasannya karena keamanan yang tidak terjamin. Pada pemilihan umum 1971 ini, keamanan tidak menjadi alasan untuk mengahalangi orang dalam pemilihan umum nasional kedua (Prisma, No. 9 tahun 1981).

2. Pemilihan Umum 1971

Pemilihan umum tahun 1971 merupakan hasil persiapan yang telah dilaksanakan oleh Orde Baru sejak tahun 1966. Dalam ketetapan No XI/MPRS/1966 telah dinyatakan partimbangan-paerimbangan konstitusional yang mendasarinya, yakni (a) bahwa negara republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam asas Pancasila dan UUD 1945; (b) bahwa untuk pelaksanaan asas kedaulatan rakyat itu diperlukan lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang dibentuk dengan pemilihan umum; (c) bahwa hingga kini lembaga-lembaga tersebut belum terbentuk dengan pemilihan umum; (d) bahwa akibat daripada belum terbentuknya tersebut dengan pemilihan umum, kehidupan demokrasi Indonesia belum berjalan lancar; (e) bahwa dalam rangka kembali pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, perlu segera dibentuk lembaga-lembaga dalam pemilihan umum (Ali Moertopo, 1974: 63).

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.

Referensi

Dokumen terkait

PENYELENGGARAAN PROGRAM ART EDUCATION BIDANG INDUSTRI BATIK FRAKTAL DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS MASYARAKAT PENGRAJIN BATIK.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Kemiringan dasar saluran diusahakan sedemikian rupa, sehingga pada bagian udiknya berlereng landai, akan tetapi semakin ke hilir semakin curam, agar kecepatan aliran

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir dalam rangka memenuhi persyaratan Strudi Strata 1 (S1)

The analysis showed that non-cash payment transactions using APMK (credit cards, ATM cards, debit cards) has a negative and significant impact in the short term and the long term

dengan ini Pejabat Pengadaan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebong Tahun Anggaran 2014 mengumumkan Penyedia Untuk:. Nama Paket

This article has reviewed various issues of vocabulary teaching in the broader context of ESL/EFL teaching as well as in the Indonesian context and has indicated that

Dengan ini Pejabat Pengadaan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lebong Tahun Anggaran 2074 ruengumumkan Penyedia PengadaanRarang untuk :.. P ekerjaan Y ang dihasilkan

Pada Loligo edulis dan Sepia officinalis ditemukan tiga jenis makanan, sedangkan pada Sepioteuthis lessoniana hanya dua jenis saja, dimana ikan dan udang adalah