• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Fusi Partai Politik

1. Kampanye Pemilu 1977

Persiapan pemilu 1977 dimulai tahun 1975, pemerintah mengajukan ke DPR UU organisasi partai politik dan tata cara penyelenggaraan pemilu. Tujuan utama kedua UU tersebut adalah membatasi kemampuan partai politik untuk bersaing dengan golkar. Pembatasan gerak partai diantaranya mencegah pegawai negeri sipil bergabung dengan partai kecuali Golkar, membatasi pilihan asas ideologi partai pada UUD 1945 dan Pancasila, sehingga kedua partai tidak bisa dibedakan dengan Golkar, khususnya PPP. UU pemilu dirancang dalam rangka mempertahankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971 (Liddle, 1992: 40). Tahun 1976, PPP mengeluarkan maklumat politik tentang dasar-dasar pendirian politik dan pembangunan menyangkut asas negara hukum, kedudukan partai

politik, penyelenggaraan pemilu, kesejahteraan rakyat, kerjasama internasional, politik Hankam, pola pembangunan dan peranan agama (Saifuddin Zuhri, 1981: 70).

Isu tentang simbol partai dan Golkar mulai muncul menjelang pemilu 1977. PDI diharuskan mengubah rancangan aslinya dengan perisai yang mencerminkan salah satu gambar pancasila yang dapat memperkuat identifikasi partai dengan seekor banteng yang menjadi simbol PNI lama. Pertentangan juga terjadi antara PPP dan Amir Machmud sebagai ketua LPU tentang simbol Ka‟bah sebagai symbol PPP. Penolakan simbol PPP oleh Amir Machmud ditujukan untuk mengaburkan pengakuan pemilih akan sifat Islamis PPP. Pertentangan ini akhirnya dimenangkan oleh PPP, pihak LPU menyetujui simbol Ka‟bah tersebut (Liddle, 1992: 41)

Kampanye pemilu dilakukan oleh Organisasi Peserta Pemilu berlangsung selama enam puluh hari mulai 24 Februari-24 April 1977 (Sinar Harapan, 23 April 1977). Minggu terakhir sebelum tanggal pemungutan suara 2 Mei direncanakan sebagai “minggu tenang”, saat ketegangan yang timbul selama kampanye mereda dan kesempatan bagi para pemilih untuk mempertimbangkan kembali pilihan mereka (Liddle,1992: 41). Semua partai (PDI, PPP, Golkar) merupakan partner agar kampanye berjalan baik dan terlaksana kompetisi yang sehat. Kontestan pemilu diberi kebebasan penuh untuk menilai pelaksaan program pembangunan. Tidak diberinya kesempatan untuk mempersoalkan pembangunan dengan segala aspeknya, kontestan pemilu cenderung untuk mencari-cari dan mengajukan program yang kurang riil atau isu-isu yang saling menjatuhkan, seperti agama, kafir, Orde Baru (Kompas, 9 April 1977).

Selama masa kampanye ketiga kontestan diberi hak yang sama untuk memanfaatkan semua media komunikasi berupa pertemuan-pertemuan, rapat umum, ceramah, diskusi, film, slide, kaset maupun fasilitas RRI dan TVRI yang masing-masing diatur menurut peraturan tersendiri. Melalui media massa tersebut ketiga kontestan dapat menampaikan program masing-masing dan mengajak calon pemilih untuk mencoblos tanda gambar PPP (nomor 1), Golkar (nomor 2) dan PDI (nomor 3) pada tanggal 2 Mei 1977 (Umaidi Radi, 1984: 141).

Kampanye PDI dalam pemilu 1977 lebih ditekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Perjuangan PDI tidak lepas dari cita-cita bangsa Indonesia yang berusaha membebaskan dirinya dari kemiskinan, tekanan dan kebodohan yang menyelimuti hidup bangsa Indonesia (Merdeka, 19 April 1977). PDI tampil dengan membawa tema “Mengamalkan Pancasila Melalui Pembangunan Nasional” yang disebutkan bahwa PDI adalah sarana penegak Demokrasi Pancasila, pemersatu rakyat dan sarana perjuangan rakyat. Program perjuangan berisi tentang program pembangunan nasional seperti pemerataan lapangan kerja, kesempatan usaha, pembangunan pertanian dan pedesaan serta kesempatan usaha bagi rakyat (Rusli Karim, 1983: 54).

Keanggotaan PDI terbuka bagi segenap warga negara RI, tanpa membedakan suku, keturunan, kedudukan atau agama. PDI merupakan sarana dan penegak Demokrasi Pancasila sehingga PDI mengemban tugas luhur untuk mempertahankan, mengawali serta mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan UU 1945. Tujuan PDI adalah mewujudkan mayarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tekad PDI adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan sosial sebagai arah harus ditegakkan dan keadilan sebagai landasan harus diletakkan dan dimantapkan. (Suara Merdeka, 7 Maret 1977). Partai Demokrasi Indonesia yang berwatak serta bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia dan berkedilan sosial mencoba membangun citranya sebagai partai rakyat kecil (Daniel Dhakidae, 1981: 32).

Kampanye PDI di Jakarta Utara disemarakkan dengan melakukan pawai keliling becak, ojek sejauh 10 KM. Pawai tersebut dimulai di Lapangan Mini Yos Sudarso sampai Lapangan Bola Kramat Jaya. Dalam orasinya, PDI menyatakan perang terhadap koruptor, PDI menghendaki pejabat yang melakukan korupsi disingkirkan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, dalam bidang pendidikan, pabila PDI menang alam pemilu 1977, SPP akan dibebaskan. Slogan “Hidup -hidup PDI” selalu mewarnai setiap kampanye PDI (Sinar Harapan, 5 Maret 1977). Kampanye PPP dalam pemilu 1977 menekankan tentang makna tanda gambar Ka‟bah dalam lambang PPP. Ka‟bah yang dua sisi sampingnya tegak lurus dari atas kebawah menunjukkan bahwa PPP menghendaki sama rata

orang-orang yang ada diatas dan bawah, yaitu antara para pemimpin dan orang-orang-orang-orang kecil. Kampanye yang diadakan di Lapangan Stasiun Senen Jakarta, ditekankan pada makna dari pemilu sendiri, pemilu adalah untuk rakyat, bukan rakyat untuk pemilu. Pemilu merupakan kewajiban mutlak untuk penduduk Indonesia belajar berpolitik. Slogan PPP yang sering digunakan untuk menarik simpati umat Islam adalah “Hidup-Hidup Umat Islam, Hidup Orde Baru!” dan “Cobloslah Tanda Gambar Ka‟bahYang Jelas Islam!” (Kedaulatan Rakyat, 20 April 1977). Dalam menghadapi pemilihan umum 1977, PPP sejak awal-awal kampanyenya sudah menangkap isyu agama sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya. Sasaran kampanye PPP adalah memusatkan diri pada para pemilih tradisional yaitu umat Islam yang selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam (organisasi massa Islam) atau organisasi yang bernaung dibawah organisasi pendukung PPP seperti, NU, PSII, Parmusi, dan Perti. Dalam kampanyenya Partai Persatuan Pembangunan selalu mengemukakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam. Dalam rangka menggalang pemilih tradisional inilah Kyai Bisjri Syamsuri, Rois „Aam, Ketua Umum Majelis Syuro Partai dan juga Rois „Aam Syuriah PBNU menjelang pemilu 1977 menyampaikan seruannya :

“…wajib hukumnya bagi setiap peserta pemilihan umum 1977 dari kalangan umat Islam pria maupun wanita, terutama warga Partai Persatuan Pembangunan untuk turut menegakkan hukum dari agama Allah dalam kehidupan bangsa kita, dengan jalan menusuk tanda gambar Ka‟bah pada waktunya nanti” (Daniel Dhakidae, 1981: 36).

Pada pemilu 1977, PPP beruntung karena banyaknya tawaran sukarelawan juru kampanye dari orang-orang di luar partai, seperti Nurcholis Majid, Rhoma Irama dan lain-lain. PPP juga mendapat dukungan sukarelawan dari kalangan pemuda dan Mahasiswa untuk menjadi saksi di TPS-TPS pada waktu pelaksanaan pemungutan suara, terutama di kota-kota. Dengan organisasi dan keuangan yang serba terbatas PPP memasuki masa kampanye dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada. Diluar dugaan ternyata hampir seluruh

kampanye yang diselenggarakan oleh PPP mendapat sambutan dan bantuan spontan dari massa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

a. PPP dapat meyakinkan para pemilih tradisional kalangan umat Islam. Pimpinan PPP terlihat kompak dalam menangani semua permasalahan yang timbul. Hal ini memberikan harapan dan keyakinan bagi umat Islam baik di dalam maupun di luar partai. b. Berhasilnya para juru kampanye PPP meyakinkan bahwa PPP

sebagai pewaris dan penerus sah perjuangan partai-partai Islam yang berfusi (NU, Parmusi, PSII dan Perti).

c. Adanya kecenderungan dikalangan Mahasiswa dan pemuda di perkotaan untuk mengharapkan agar PPP sebagai kekuatan alternatif yang dapat mengimbangi dominasi Golkar (Umaidi Radi, 1984: 142).

PPP sebagai partai gabungan partai-partai Islam mempunyai keuntungan besar dalam pemilu 1977, diantaranya:

a. PPP tampil sebagai partai Islam, kekuatan Islam sebagai agama dan cara hidup mampu menarik rakyat Indonesia yang mayoritas Islam untuk masuk dalam PPP.

b. PPP memperoleh sebagian struktur kader NU, satu-satunya partai yang mampu menahan serangan Golkar pada tahun 1971. Jaringan kepemimpinan NU dibangun oleh guru-guru agama yang tidak menduduki jabatan pemerintahan dan karenanya bebas dari kontrol Golkar.

c. Fusi partai menghasilkan keberuntungan yang tidak sengaja, karena menjadi lebih mudah menyatukan seluruh umat Islam dibelakang PPP (Liddle, 1992: 66-67).

Golongan Karya sadar benar bahwa taruhan PPP dalam Islam bisa menjadi senjata yang ampuh melawannya. Oleh karena itu, seruan tersebut dibalas dengan semacam pembelaan diri misalnya dalam spanduk-spanduk yang bertuliskan : “ Tidak benar bahwa orang yang masuk Golkar adalah kafir” Usaha Golkar tidak lain adalah mementahkan identitas dan proses identifikasi massa

Islam PPP. Di pihak lain Golkar berusaha keras untuk mengidentikkan dirinya dengan suatu partai yang terdiri dari manusia-manusia modern yang mengusahakan modernisasi dan pembangunan Indonesia, dan hanya golongan itu yang mengusahakan kedua tujuan tersebut. Melawan ideologis dan agama Golkar tidak punya cara lain dari pada bersandar pada pembangunan dan modernisasi (Daniel Dhakidae, 1981: 37).

Golkar dalam kampanye bertekad bulat untuk mempertahankan Pancasila serta mengusahakan dengan segala daya dan upaya agar pengalaman Pancasila menjiwai segala aspek kehidupan manusia dan bangsa Indonesia. Apabila ada usaha merongrong Pancasila, maka Golkar akan tampil paling depan untuk senantiasa mengamankan pancasila (Suara Merdeka, 3 Maret 1977). Di dalam kampanyenya Golkar menyatakan selalu mengamalkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad, dibuktikan oleh Golkar dengan tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakan pembangunan yang merupakan amal sholeh dan karya nyata yang hasilnya mau tidak mau harus diakui manfaatnya bagi masyarakat Indonesia (Suara Karya, 14 Maret 1977).

Beberapa slogan Golkar yang dipakai dalam kampanye yang dicantumkan dalam surat kabar atau spanduk:

“Pilih Golkar: Golkar adalah tempat dimana semua warga negara dari suku manapun, dari keturunan apapun berkumpul untuk bahu membahu memikirkan dan melaksanakan pembangunan bangsa untuk seluruh Republik Indonesia” (Suara Karya, 3 Maret 1977). Pada akhir kampanye, partai politik mengalami perdebatan sengit tentang isu laporan tanda tangan saksi pada pemungutan suara. Menurut UU Pemilu, formulir harus ditandatangani oleh saksi-saksi partai politik dan Golkar setelah penghitungan suara dan pencatan suara (Liddle, 1992: 45). Pemilu 1977 berahir pada tanggal 24 april 1977, selama satu minggu dari tanggal 2 April 1977 sampai 1 Mei 1977 merupakan minggu tenang, dimana setiap OPP dilarang melakukan kampanye pemilu berupa rapat-rapat, pawai, pesta umum, penempelan poster, plakat, spanduk, tulisan-tulisan di tempat-tempat umum, serta dilarang

mengadakan segala macam dan bentuk pertunjukkan yang bersifat umum (Sinar Harapan, 23 April 1977).

Dokumen terkait