perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Menurutnya, salah satu pengembangan model keislaman tersebut seharusnya dapat melalui lembaga pendidikan Islam. UIN Syarif Hidayatullah yang kompatibel dengan modernitas sebagai contohnya. “Pendidikan agama bukan tanggung jawab lembaga- lembaga pendidikan saja. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang utama. Pendidikan agama pertama kali harus dimulai dari rumah dan masyarakat, sedangkan sekolah hanya sekunder, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan dalam keluarga. Segala perilaku, cara berpikir baik, dan memberi teladan dalam keluarga merupakan pendidikan agama,” jelas pria yang hobi berjoging dan nonton sepak bola itu.
Ilmu Selalu Menyertai Kehidupannya
Azyumardi tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang agamis dan lingkungan Islam modernis. Ia lahir pada 4 Maret 1955 dari rahim seorang guru agama yang bernama Ramlah, dan seorang ayah bernama Azikar. Ayahnya adalah seorang tukang kayu, pedagang kopra dan cengkih, yang sangat menekankan pendidikan pada anak-anaknya. Bersama kelima saudaranya, ia berhasil menjadi sarjana.
Berbeda dengan orang Minang umumnya, Azyumardi lebih banyak mendapatkan pendidikan agama bukan di surau atau di langgar, melainkan dari ibundanya yang memberikan pelajaran agama langsung padanya di rumah. Kebetulan ibundanya adalah lulusan madrasah Al-Manar, sekolah yang juga didirikan kalangan modernis Sumatera Barat. Tetapi kakeknya dari pihak ibu adalah seorang syaikh tarekat di kampungnya, yang kemudian mengalir dalam dirinya dalam dorongan yang kuat untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan tasawuf.
Setelah mengecap pendidikan formal sekolah dasar yang berada di dekat Pasar Lubukalung, Azyumardi kemudian meneruskan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Setelah tamat dari PGAN pada tahun 1975, Azyumardi memilih kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)—sekarang UIN—Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara ayahnya menginginkan ia melanjutkan sekolah ke IAIN Padang. Kemauannya yang keras tidak dapat menghalangi keinginannya. Akhirnya orang tuanya mengizinkan Azyumardi untuk meneruskan sekolah di Jakarta, tahun 1976. Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, menjadi pilihannya.
Berbagai organisasi kemahasiswaan banyak diikutinya selama kuliah di Jakarta. Sebagai ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah pernah dilakoninya pada 1979-1982. Bahkan pernah pula menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada 1981-1982. Kesukaannya dalam menulis mengantarnya untuk menjadi wartawan Panji Masyarakat antara 1979- 1985. Ia pun pernah mencoba untuk bekerja di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1982-1985. Tetapi kemudian memutuskan kembali ke almamaternya untuk menjadi dosen sesuai permintaan gurunya yang juga pernah menjadi Rektor, Profesor Harun Nasution.
Setelah sempat bertugas sebagai dosen selama setahun, pada awal 1986 Azyumardi memperoleh beasiswa Fulbright dari Pemerintah Amerika Serikat untuk melanjutkan program S2 di Columbia University, New York, AS. Gelar MA diperolehnya pada 1988 dari Departemen Bahasa-bahasa dan Kebudayan Timur Tengah. Setelah menyelesaikan S2, ia tidak berhasrat segera kembali ke tanah air, sebaliknya ia mencari beasiswa S3 ke berbagai lembaga, yang akhirnya ia peroleh dari Rektor Columbia University dalam bentuk Columbia University President Fellowship Departemen Sejarah, dengan gelar MPhil yang diperolehnya pada tahun1990. Sementara, gelar PhD diraihnya dari departemen yang sama pada akhir 1992.
Jiwa Azyumardi yang haus akan ilmu yang menjadikannya cendekiawan Muslim yang cukup dikenal tidak hanya di Indonesia tetapi juga internasional, tak lain karena pengaruh pemikiran dan jalan hidup ulama dan budayawan besar Indonesia, Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrulloh atau yang dikenal dengan Buya Hamka. “Buya Hamka menjadi role model saya karena kedalaman dan keluasan ilmunya, kefasihannya bertutur kata, keteguhan integritasnya, ketidaktergodaannya pada politik kekuasaan, dan kepengasihannya kepada anak- anak muda,” ungkapnya.
Selain itu, Presiden pertama yang juga Proklamator Indonesia Ir Soekarno, menjadi inspirasi Azyumardi untuk terus memperjuangkan pembangunan Indonesia melalui pemikiran-pemikiran intelektualnya. “Saya mengidolakan Soekarno karena kedalaman dan ekletisisme keilmuannya, perjuangannya yang tidak pernah henti membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan, dan kefasihan tutur katanya untuk membangun bangsa memiliki jati diri Indonesia,” ujarnya.
‘Menulis’ untuk Dunia Keislaman Indonesia
Untuk memperoleh gelar PhD, Azyumardi menulis disertasi dengan judul, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, dan juga dalam bahasa Inggris dengan judul The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, dan dalam bahasa Arab dengan judul Shibkah al-‘Ulama’. Buku tersebut setebal 300 halaman dan disponsori penerbitannya oleh Australian Association of Asian Studies (AAAS) yang diterbitkan oleh penerbit komersial Allen dan Unwin Australia, kemudian Hawai University Press dan KITLV Leiden, Belanda.
Karya ini dipandang banyak kalangan sarjana sebagai terobosan akademik dan landmark kajian Islam Indonesia. Karya yang menggunakan banyak sumber Arab, Indonesia, Belanda, Persia, Prancis dan Jerman ini berhasil menempatkan Indonesia dengan Islamnya yang distingtif dalam kaitannya dengan Islam global. Karena itu, setelah kajian ini, muncul berbagai kajian akademis tentang jaringan lokal dan jaringan global dalam intelektualisme Islam secara keseluruhan. Disertasinya merupakan hasil penelitian di beberapa tempat, antara lain di Mesir, Belanda, dan Arab Saudi. Penelitian tersebut atas biaya Ford Foundation, yang menghabiskan waktu setahun. Karena pengalamanya sebagai wartawan, memudahkan Azyumardi untuk menganalisis data dan menulisnya menjadi sebuah disertasi dengan tebal 600 halaman dalam waktu relatif cepat (September 1991 sampai Juni 1992).
Pria pemikir berpenampilan sederhana ini banyak mencurahkan waktunya untuk membuat banyak karya terutama karya-karyanya dalam kehidupan dan pendidikan Islam di Indonesia. Goresan penanya telah banyak dibaca orang. Begitu banyak pendapat orang yang pro dan kontra terhadap pandangannya tentang Islam, tetapi ia tetap memiliki obsesi untuk mengubah pemikiran Islam di Indonesia. Azyumardi tetap semangat untuk menorehkan semua yang ada dalam benaknya tentang Islam melalui bentuk tulisan artikel dan essay yang dimuat di berbagai media massa maupun sejumlah buku yang pernah diterbitkannya. Kemampuannya dalam menulis, khususnya perkembangan Islam dalam kaitan dengan berbagai
aspek kehidupan lain memang patut diacungi jempol karena ia menulis selalu menggunakan data yang valid. Bahkan seorang Taufik Abdullah, sang sejarawan Indonesia pun memuji bakatnya, tetapi Azyumardi menolak untuk disebut sebagai sejarawan.
Padahal tulisan sejarahnya tidak hanya sekedar cerita dari tafsir atas setiap kejadian. Dari beberapa bukunya terlihat paparan analisis atas berbagai peristiwa sejarah sehingga apa yang ditulisnya tidak sekedar tulisan biasa tetapi mengandung banyak makna yang dalam.
Azyumardi, seorang pria yang menjalani prinsip hidup yang dipilihnya, akan terus menulis bagi dunia keislaman di Indonesia karena baginya menulis adalah sebuah keharusan. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang bahkan pro dan kontra yang diberikan banyak orang terhadap tulisan yang berisi pandangan dan pemikiran tentang Islam yang dimilikinya, dia akan terus menghadirkan karya-karyanya hingga obsesinya tercapai, bahwa Islam Indonesia adalah Islam Al Wasathiyyah.
Pemikir dan Praktisi Pendidikan
Setelah menyelesaikan program S3, ternyata sebuah kesempatan mendatanginya kembali. Azyumardi mendapat kesempatan untuk mengikuti program postdoctoral di Oxford University dengan berafiliasi pada Oxford Centre for Islamic Studies selama setahun (1994-1995). Bagi Azyumardi, semua yang dialaminya merupakan anugerah yang sudah diatur Allah.
Ketika menempuh pendidikan untuk meraih gelar MA dan Ph.D., Azyumardi mendalami Islam bukan dengan pendekatan dogmatis, tetapi historis. Saat itu konsentrasi studinya memang sejarah Islam, lebih khusus lagi mengenai tradisi ulama. Ia sangat tertarik
DOK. SETW
APRES
> ISTIMEW
A
Azyumardi Azra menerima gelar CBE ditemani keluarganya di kediaman
Dubes Inggris untuk Indonesia Martin Maltfull
dengan kecenderungan para ulama yang sufistis. Sejak itulah Azyumardi mulai banyak mempelajari ilmu tasawuf. Ia merasakan sesuatu menyegarkan dirinya. Kini, dia merasa lebih dapat mengapresiasi tasawuf beserta amalannya yang sangat berwarna. Bagimya, betapa penting tasawuf itu bagi kehidupan. Ia pernah dua kali dibaiat almarhum Abah Anom ke dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah; dan pernah pula dibaiat Syaikh Hisham al-Kabbani al-Naqsyabandi yang menetap di AS dalam kunjungannya ke Indonesia. Ia memang kelihatan merasa nyaman dalam tradisi Islam tradisional, karena menurutnya, pengalaman keislaman yang lebih intens justru didapatkan setelah ia mempelajari tradisi ulama dengan kecenderungan intelektual sufistik mereka.
Pada 1997 Azyumardi menjadi guru besar sejarah pada Fakultas Adab. Selanjutnya ia menjadi birokrat dan praktisi pendidikan sebagai Pembantu Rektor I pada 1996 dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 14 Oktober 1998 menggantikan Quraish Shihab (yang terangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet terakhir Presiden Soeharto). Dalam masa kepemimpinannya, status IAIN Jakarta secara resmi berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berubahnya IAIN menjadi UIN merupakan keberhasilannya yang besar. Perubahan tersebut menurutnya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Oleh karena itu dalam IAIN muncullah fakultas sains dan teknologi, ekonomi dan bisnis, psikologi, kedokteran dan ilmu kesehatan, dengan berbagai jurusan dan prodi yang membuat UIN Jakarta menjadi satu-satunya eks institut (baik IAIN maupun IKIP) yang oleh kalangan perguruan tinggi Eropa dapat disebut sebagai ‘Comprehensive University’ karena memiliki Prodi Kedokteran.
Di antara berbagai kesibukkan yang dijalaninya, Azyumardi pun aktif menjadi Anggota dewan redaksi jurnal Ulumul Qur’an; Islamika; editor-in-chief Studia Islamika dan sejumlah jurnal internasional lain yang diterbitkan di Inggris, Australia, Pakistan dan Malaysia. Ia pernah pula menjabat Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM ) IAIN Jakarta. Ia pun dipercaya menjadi dosen tamu di sejumlah universitas
seperti University of Philippines, University of Malaya, University of Melbourne, Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Leiden, New York University, Columbia University, Harvard University dan banyak lagi.
Azyumardi aktif pula sebagai anggota pada Southeast Asian Studies Regional Exchange Program (SC SEASREP) Toyota Foundation & The Japan Foundation dan sejumlah lembaga donor untuk penelitian di berbagai negara, sejak 1998 sampai sekarang. Selain itu, ia pun termasuk salah seorang pimpinan pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS).
Membangun Biduk Keluarga
Raushanfikr Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra dan Emily Sakina Azra adalah buah hati hasil pernikahan Azyumardi dengan adik kelasnya di Fakultas Syariah yang aktif di IMM Cabang Ciputat, Ipah Farihah. Pernikahan mereka awalnya terbentur kendala karena adanya perbedaan adat istiadat. Azyumardi sebagai seorang Minang tidak berhak melamar tetapi pihak perempuanlah yag harus melamar laki-laki. Sedangkan Ipah yang berasal dari suku Sunda tidak wajar melamar laki-laki. Mereka tidak patah semangat karena pada akhirnya Ipah dilamar dengan diwakili meskipun keluarga besar Azyumardi sempat gusar tetapi hubungan menjadi terjalin baik kembali dengan keluarga besar Azyumardi setelah mereka mempunyai anak.
Menumbuhkan minat baca adalah dorongan dan pembiasaan yang diajarkan pada anak-anaknya karena ia ingin mereka mempunyai wawasan luas selain berprestasi. Hadiah dalam bentuk belanja buku sepuasnya yang diberikan pada anak-anaknya bila ulang tahun dan berprestasi adalah sebuah kebiasaan untuk memberikan motivasi dalam mengejar prestasi. Dengan adanya pengaruh televisi dan lain-lain, ia memberikan kesadaran pada anak-anaknya untuk membatasi dan mengendalikan diri terhadap gaya hidup konsumtif dan materialistik. Baginya fungsi orang tua adalah selalu mendisiplinkan dan mengingatkan mereka karena anak-anak mempunyai kecenderungan untuk tidak teratur. Dengan kedisiplinan akan mengurangi pelanggaran yang berujung pada kebebasan melanggar. “Saya berusaha menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak saya. Setelah shalat Maghrib, misalnya, biasanya saya dan isteri saya mengajarkan Al Quran pada mereka. Peran keluarga sangat vital untuk membina moral,” tuturnya. (SK)