• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERSELA v.01 DES15 PAGES 250116

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MERSELA v.01 DES15 PAGES 250116"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

M A J A L A H T R I W U L A N S E K R E T A R I A T W A K I L P R E S I D E N

MEDAN MERDEKA SELATAN

EdisiDesember 2015

Indonesia, Kiblat Pemikiran Islam

Tokoh Kita

Azyumardi Azra

PEMIKIRANNYA WARNAI DUNIA

KEISLAMAN INDONESIA

Liputan Khusus

Lawatan Wapres Jusuf Kalla ke New York, AS

PERAN AKTIF INDONESIA

(2)

DEWAN REDAKSI

Penasehat MOHAMAD OEMAR

Kepala Sekretariat Wakil Presiden

Penanggung Jawab DEWI FORTUNA ANWAR Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan

Penanggung Jawab Redaksi RUSMIN NURYADIN Asisten Deputi Komunikasi dan Informasi Publik SITI KHODIJAH, MEILANI SAECIRIA, GITA SAVITRI, INDRA PUTRA, RAHMADI HIDAYAT,

KWINTA MASALIT, DIAN SIANIPAR

Fotografer T. [021] 384 2780 ext. 1132 F. [021] 381 1774

Redaksi menerima sumbangan artikel, masukan dan saran. Silakan kirim ke:

Sekretariat Redaksi MERSELA, Asdep Komunikasi dan Informasi Publik, Sekretariat Wakil Presiden

Keterangan Foto: Wapres menyampaikan ceramah Ramadhan di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta

Fotografer: Yohanes Liniandus

Akhir-akhir ini, dunia kembali dikejutkan dengan berbagai tindakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Mulai dari berkembangnya kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Iraq dan Suriah, Boko Haram di Afrika, hingga tindakan brutal yang terjadi di Perancis. Tidak hanya itu, berbagai konflik juga terjadi di negara-negara Islam seperti di Yaman, Libya, dan Mesir.

Hal ini tentu saja menjadi kegelisahan, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga masyarakat di berbagai penjuru dunia. Mengapa Islam yang hakikinya membawa perdamaian dan kesejukan harus tercoreng dengan berbagai tindakan dan aksi kekerasan yang dilakukan demi kepentingan golongan?

Wakil Presiden Jusuf Kalla memandang, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah waktunya bagi Indonesia memainkan peranannya untuk berkontribusi terhadap perdamaian dunia. Salah satunya Indonesia harus mempunyai pusat penelitian, pusat pengembangan pikiran-pikiran agama Islam untuk dunia internasional, meski membutuhkan biaya yang besar. Untuk itu, tema yang diambil dalam edisi Mersela kali ini, Indonesia, Kiblat Pemikiran Islam.

Pandangan Wapres tidak hanya menjadi wacana. Dengan komitmen dan semangat yang dimilikinya, Wapres mengajak tokoh-tokoh Islam di tanah air untuk bersama-sama mengimplementasikannya. Visi dan misi Wapres dalam mewujudkan Indonesia menjadi role model pemikiran

Islam di dunia tersebut dapat disimak dalam Kiprah Wapres.

Misi Wapres ini mendapatkan dukungan tidak hanya dari para cendekiawan Muslim, tetapi juga tokoh non Muslim. Siapa dan bagaimana dukungan tersebut diberikan, dapat diikuti pada

Liputan Utama.

Untuk rubrik Tokoh Kita, tidak salah kiranya bagi Tim Mersela mengangkat profil Azyumardi Azra. Sebagai orang Indonesia pertama yang menerima gelar Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE), karena dedikasinya memajukan toleransi beragama, ia turut membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia layak jadi kiblat pemikiran Islam.

Terkait dengan tema yang diangkat kali ini, Serbaneka juga menampilkan wajah Indonesia yang menyatukan keunikan budaya dengan tradisi Islam. Kampung Sade yang terletak di Lombok Tengah, NTB ini akan membawa pembaca memahami tradisi yang berbaur dengan agama.

Dengan segala ciri khas, karakter, dan keunikan yang dimiliki, sudah waktunya negara ini menunjukkan di mata internasional bahwa Indonesia memang layak menjadi barometer bagaimana praktek Islam seharusnya, bagaimana Islam sangat menjunjung toleransi beragama, dan bagaimana Islam menjadi rahmat bagi semesta. Kini, saatnya Indonesia berjaya menjadi kiblat pemikiran Islam di dunia!

(3)

46

04

DAFTAR ISI

40

32

04

KIPRAH WAPRES

Indonesia

Layak Jadi

Kiblat Pemikiran Islam

10

LIPUTAN UTAMA

Mencari Ilmu

Keislaman yang

Moderat,

Datanglah ke

Indonesia

32

LIPUTAN KHUSUS

Lawatan Wapres Jusuf Kalla ke New York, Amerika Serikat

Peran Aktif

Indonesia Wujudkan

Perdamaian Dunia

40

TOKOH KITA

Prof. DR. Azyumardi Azra, MA

Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Pemikirannya Warnai

Dunia Keislaman

Indonesia

45

PENDAPAT MEREKA

46

SERBANEKA

Kampung Sade

Ketika Tradisi Berbaur

dengan Agama

48

GALERI FOTO

52

OPINI

Peran Indonesia

dalam Dunia Islam

56

FORUM DISKUSI

Strategi Penguatan

Pengelolaan Website

dan Media Sosial

dalam Mendukung

Diseminasi

(4)

Selama ini negara-negara di Timur Tengah dijadikan pusat pemikiran Islam di dunia, tetapi

sayangnya, negara-negara tersebut tidak dapat dijadikan gambaran ideal wajah Muslim yang

rahmatan lil ’alamin. Mengapa demikian? Karena begitu banyak pertikaian dan pembunuhan yang

masih terjadi di sana. Begitu tragis terlihat.

“Islam di Indonesia dan juga negara-negara di kawasan Asia Tenggara disebarkan dengan cara yang damai. Cara penyebaran ini berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang dilakukan dengan pendudukan suatu wilayah. Dengan penyebaran agama Islam yang damai ini, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, bukan hanya besar, tapi juga merupakan negara yang paling harmonis. Tidak ada yang lebih harmonis daripada kita di dunia ini,” ucap Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menutup Musyawarah Kerja Indonesia, negara yang penduduknya

beragama Islam terbesar di dunia, menganut Islam yang paling diterima secara internasional karena dianggap paling rasional dan paling moderat. Bangsa Indonesia dengan beragam agama, budaya, suku, dan bahasa hidup berdampingan dan harmonis. Nilai-nilai Islam tersebut tergambar di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, apakah Indonesia dapat menjadi pusat pemikiran Islam di dunia?

DOK. SETWAPRES > JERI WONGIYANTO

Indonesia Layak Jadi

(5)

Nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP) I di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis 19 Februari 2015. Keharmonisan itu terlihat dari kebhinekaan yang dimiliki Indonesia yang membuat bangsa tetap bersatu, yang dapat menjadi contoh bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara Islam di Timur Tengah.

“Indonesia adalah contoh dari negara yang berhasil mewujudkan ketenteraman dan kedamaian bagi masyarakatnya, meski memiliki keragaman agama, suku, budaya dan keragaman lainnya. Keberhasilan ini karena Indonesia sangat menjaga keharmonisan secara politik dan ekonomi,” ujar Wapres ketika berbicara dalam Pembukaan Pertemuan Komite Eksekutif Asian Conference of Religions for Peace, dan seminar internasional “Asian Multi-religious Action to Overcome Violent Religious Extremism”, di Gedung Merdeka Bandung, 3 Juni 2015. Contoh konkrit terlihat bagaimana perayaan Hari Raya Waisyak menjadi hari libur nasional. “Padahal umat Budha di Indonesia kurang dari 1 persen, tapi kami menghargai dengan menjadikannya hari libur nasional,” lanjut Wapres. Tidak hanya Waisyak, tapi semua hari raya keagamaan lainnya juga menjadi hari libur nasional, tanpa melihat jumlah pemeluknya. Harmoni pun ditunjukkan oleh anggota Kabinet Kerja. “34 menteri itu, berasal dari berbagai macam latar belakang, profesional, suku dan juga merepresentasikan agama yang ada di Indonesia,” tutur Wapres. Tidak ada negara di dunia ini seperti di Indonesia,

Wapres Jusuf Kalla menutup Musyawarah Kerja Nasional PPP I di Hotel Bidakara Jakarta

DOK. SETW

APRES

> Y

OHANES LINIANDUS

di mana semua hari raya keagamaan menjadi hari raya nasional, begitu juga anggota kabinetnya sebagai pemeluk agama yang merepresentasikan agama yang ada di negara tersebut. “Inilah cara menuju kehidupan yang harmonis. Kita menghormati, memberikan saling pengertian, serta menjaga harmoni dan kedamaian,” ucap Wapres. Selain itu pula keharmonian yang perlu dilihat oleh negara-negara di dunia adalah pertemuan lintas agama, yang dilakukan di tempat peribadatan. Mempromosikan Indonesia dengan menampilkan keindahan candi Borobudur dan Bali. Padahal keduanya merupakan tempat ibadah bagi penganut agama Budha dan Hindu.

Di Indonesia, Islam diajarkan dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga menimbulkan ketenteraman dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. “Oleh karena itu, Islam di Indonesia sering disebut orang dengan istilah Islam Indonesia, atau Islam Nusantara, atau Islam Moderat,” ungkap Wapres ketika memberikan sambutan pada acara buka bersama dengan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) pada 8 Juli 2015 di Istana Wapres.

Begitu berkebangsaan dan tolerannya kehidupan masyarakat di Indonesia sehingga dapat menjadi referensi pemikiran Islam bagi negara-negara di dunia, oleh karena itu, Wapres Jusuf Kalla ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat

(6)

pemikiran Islam yang moderat dan menjadi contoh di dunia. “Karena kita berbeda dengan negara-negara lain di dunia, apalagi negara di Timur Tengah,” kata Wapres Jusuf Kalla saat menutup Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan I di Hotel Bidakara Jakarta, 19 Februari 2015.

Citra Islam

Bila menilik sejenak pada tampilan Islam, Indonesia dinilai layak mewakili citra Islam di dunia meskipun saat ini citra Islam justru didominasi oleh apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah, di mana muncul persepsi buruk bahwa Islam adalah teroris, konflik, dan kekerasan, meskipun hal tersebut menular ke Indonesia, tetapi tidak sampai menjadi tampilan umum. Siapapun tidak dapat menghentikan suatu konflik yang disebabkan oleh perbedaan ideologi atau agama dengan menggunakan senjata. Tetap harus diselesaikan dengan perdamaian. “Ini terjadi di mana pun, kita semua belajar dari konflik dan terorisme antarnegara, karena masyarakat membutuhkan satu hal, yaitu hidup yang lebih baik. Tidak ada yang tidak menginginkan itu,” ucap Wapres Jusuf Kalla. Konflik, terorisme adalah ancaman yang sebenarnya dapat diselesaikan oleh harmoni antar manusia dan harmoni antarnegara.

“Dewasa ini umat Islam di dunia sedang mengalami cobaan berat, yakni jutaan dari mereka berhijrah ke negara lain, dan tragisnya, justru meminta perlindungan ke negara non Islam karena di negara-negara Islam sedang mengalami konflik dan kekerasan, sehingga hidup mereka tidak nyaman sebagaimana terjadi di Suriah, Libya, Afghanistan, Yaman, dan di banyak negara Islam lainnya yang selama ini menjadi lambang kebesaran negara Islam,” ujar Wapres Jusuf Kalla ketika meresmikan Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) IV Tahun 2015 Lembaga Dakwah Islam Hidayatullah di Pondok Pesantren Hidayatullah Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada hari Sabtu, 7 November 2015.

Saat ini banyak orang membicarakan

tentang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), di mana kelompok yang dibicarakan sebelumnya adalah Al Qaeda. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan ISIS, yang menganut radikalisme agama, radikalisme politik, dan radikalisme kapital? “ISIS berkembang karena negara-negara itu gagal dalam menjalankan pemerintahannya sehingga sistemnya hancur, begitu timbul ajaran ekstrem, dengan mudah diterima karena pemerintah tidak melindungi umat dan bangsanya. Di saat seperti itu, orang lain datang untuk melindungi mereka dengan membawa ideologi ekstrem atau radikal. ISIS ingin menghancurkan negara itu karena berbagai macam alasan, yakni ekonomi, sosial, dan sumber daya alam yang biasa menjadi isu utama dalam konflik dunia. Oleh karena itu tanpa harmoni, suatu negara mudah dihancurkan dan itulah yang memicu perang. Perang adalah akhir perdamaian sama seperti perdamaian adalah akhir dari peperangan. Namun perdamaian tetap lebih baik dari perang,” tegas Wapres.

Selama 70 tahun Indonesia merdeka, banyak konflik besar yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa lebih dari 1000 orang. Konflik-konflik tersebut diantaranya pemberontakan Madiun, RMS, DI/TII, Permesta, Poso, Aceh, Papua, Maluku, Timor Timur dan lainnya. Dari 15 kasus besar, 10 diantaranya adalah masalah ketidakadilan. “Ketidakadilan di bidang politik, ada ketidakadilan ekonomi dan sosial,” ucap Wapres Jusuf Kalla ketika memberikan kuliah umum kepada 250

DOK. SETW

APRES

> Y

OHANES LINIANDUS

Wapres Jusuf Kalla meresmikan Pembukaan

(7)

perlindungan dan rasa aman. Walaupun relatif aman, konflik tetap harus dihindari yaitu dengan menciptakan keadilan. “Artinya apabila ingin menghindari konflik berarti menjaga keadilan bangsa ini,” jelas Wapres. Lebih lanjut Wapres mengakui bahwa di Indonesia masih terdapat hal-hal yang cukup menyita perhatian selain masalah-masalah tersebut, seperti insiden pembakaran masjid di Tolikara, Papua, dan yang baru saja terjadi, pembakaran gereja di Aceh Singkil, Aceh. Namun, Wapres meyakini, Indonesia tetap damai, selama masyarakatnya saling menghargai. “Indonesia negara toleransi dan berpedoman pada Pancasila yang menghargai seluruh agama dan masyarakat. Karena itu harus dijaga dengan cara menghargai sesama, menuju pembangunan yang lebih baik. Kita hijrah dari satu kesulitan menjadi kebaikan,” imbau Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya pada acara Hijrah Nasional Menuju Indonesia Bermartabat yang Berkah, di Masjid Istiqlal, 14 Oktober 2015. Indonesia memegang teguh pada

Wapres Jusuf Kalla dalam acara Hijrah Nasional menuju Indonesia Bermartabat yang Berkah

DOK. SETW

APRES

> Y

OHANES LINIANDUS

Sehingga bila ingin cepat menyelesaikan konlik, lihat dulu akar masalahnya,

selesai.

(8)

DOK. SETW

APRES

> Y

OHANES LINIANDUS

Wapres Jusuf Kalla menjadi pembicara kunci pada Universal Peace Federation World Summit 2015 and Sunhak Peace Prize di Seoul, Korea Selatan

perdamaian dari keberagaman masyarakat yang ada karena perdamaian penting untuk diwujudkan. Dengan perdamaian berarti terwujudnya harmoni sesama manusia, harmoni antarnegara, dan harmoni untuk semua dan pribadi. “Sangatlah mudah berbicara mengenai keselarasan atau harmoni. Namun bagaimana kita menciptakan harmoni saat ini? Karena tanpa harmoni dapat menyebabkan peperangan sehingga dapat mengakibatkan kemiskinan dan ketidakharmonisan. Saya harap kedamaian dan harmoni menjadi tujuan antar sesama,” kata Wapres Jusuf Kalla ketika menjadi pembicara kunci pada Universal Peace Federation World Summit 2015 and Sunhak Peace Prize di Hotel Grand Intercontinental, Seoul Korea Selatan, 28 Agustus 2015.

Indonesia harus Memiliki Peran Penting di Dunia

Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia harus memiliki peran penting dan kontribusi bagi dunia. “Seyogyanya Indonesia memiliki tanggungjawab yang besar bagi dunia, sebagaimana kebesaran negara itu. Jumlah kita besar, cuma masih kurang menjadi referensi pemikiran-pemikiran Islam di dunia,” jelas Wapres saat memberikan sambutan pada Hari Kelahiran NU ke-89 dan Launching Muktamar NU ke-33 di Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), 31 Januari 2015. Wapres Jusuf Kalla berharap agar Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim dapat menjadi referensi tentang pemikiran Islam yang moderat, Islam jalan tengah, Islam yang memberikan rahmatan lil ’alamin, pemikiran yang lil ‘alamin. “Bagaimana kita membuat pusat-pusat pemikiran Islam ke depan, pemikiran Islam yang moderat dan berbobot dan mempunyai semangat yang lebih baik ke depan,” lanjut Wapres.

Terkait dengan tanggung jawab dan harapan tersebut, lebih jauh Wapres

menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya mempunyai beban berat, namun beban yang baik. Salah satu beban yang baik ialah diantara semua negara Islam, banyak yang ingin mencontoh Indonesia sebagai negara Islam yang toleran. “Memang, ini yang harus kita pertahankan,” tegas Wapres ketika membuka Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia ke-5 di Pondok Pesantren Attauhidiyah Tegal Jawa Tengah, 8 Juni 2015. “Bahwa di lain pihak, yang harus dipertahankan yaitu negara dan juga pemahaman serta kemampuan kita. Kalau melihat negara-negara Islam di dunia, sungguh sedih melihat keadaan ini pada saat kita memperingati hijriah, bagaimana Rosullullah hijrah ke Madinah, tapi yang kita lihat orang Islam hijrah dari Irak, Syria ke Eropa dengan segala pengorbanannya. Zaman Rosullulah Muhammad SAW, mungkin hanya 500-an, ini jutaan. Semua negara Islam, yang stabil cuma satu negara, tidak ada di tempat lain,” ungkap Wapres.

(9)

karena konflik yang kerap melanda negara-negara tersebut. Pandangan tersebut disampaikan Wapres ketika menerima Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, MA. di Kantor Wakil Presiden, Merdeka Utara, 13 Oktober 2015. Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) yang akan didirikan Pemerintah tersebut, akan dibangun di luar Jakarta, dengan kapasitas 3000 mahasiswa, yang dikhususkan sebagai postgraduate untuk menghasilkan lulusan S2 dan S3 saja. Untuk program S1 akan menjadi konsentrasi dari PTIN yang sudah ada sekarang ini seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN). Untuk tenaga pengajar akan melibatkan banyak guru besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan diundang pula syeikh-syeikh internasional. Pendirian PTIN ini, sama sekali tidak akan mengganggu jalannya program dan kegiatan PTIN yang telah ada, termasuk mengenai anggaran pembiayaannya, sehingga benar-benar murni anggaran tersendiri, yang nantinya akan dibiayai pula dari APBN.

Tindak lanjut dari rencana tersebut mendapat dukungan dari berbagai kalangan, mengingat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, diharapkan dapat mengembangkan Islam yang damai dan rahmatan lil ’alamin, sehingga dapat menjadi model dan rujukan bagi masyarakat dunia dalam mempelajari dan mengembangkan Islam yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia dapat memiliki hal tersebut karena memiliki pengalaman panjang dan cukup berhasil dalam menerapkan nilai-nilai keislaman, meskipun masih terdapat kelemahan dan kekurangan di tengah-tengah kemajemukan.

Terkait dengan PTIN tersebut, terlebih dahulu akan dibuat konsepsi yang matang dari sisi akademik. Misalnya

disiplin keilmuan seperti apa yang akan dikembangkan, lalu bagaimana hal ikhwal yang terkait dengan akademis. “Jadi itu satu bagian yang harus dipersiapkan,” ucap Wapres ketika menerima Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefuddin beserta para tokoh agama Islam di Kantor Wakil Presiden, 17 Juni 2015. Selanjutnya yang harus menjadi perhatian pula adalah fisiknya, karena ada berbagai alternatif dengan fisik tersebut, yakni diperlukan lahan sangat luas untuk menunjukkan kebesaran dari perguruan tinggi tersebut, atau tidak perlu terlalu besar, tapi betul-betul efisien, dan betul-betul-betul-betul fungsional namun keilmuan yang dikembangkan dapat diwujudkan secara spesifik dan khas Indonesia yang damai, rahmatan lil ’alamin, dan moderat. “Jadi secara fisik itu juga harus dipikirkan secara matang. Oleh karena itu, pembangunan ini nantinya selain dibiayai dari APBN juga perlu dicarikan sumber lain, sehingga perlu adanya peraturan tersendiri, agar alokasi anggarannya selain dari APBN juga mendapat dukungan dari pihak-pihak luar yang mempunyai kepedulian cukup tinggi untuk terwujudnya PTIN ini,” lanjut Wapres.

Wapres menekankan bahwa Indonesia lebih beradab dan berahlak dari sisi agama. Untuk itulah Indonesia harus menjelaskan kepada dunia, bahwa Islam yang moderat di Indonesia merupakan jalan tengah. “Kita harus jadi pusat pemikiran dan pengembangan untuk itu. Kita tidak kekurangan para ahli, dan tenaga. Hanya saja kita suka rendah diri,” tutur Wapres. Indonesia dapat menjadi kompas baru Islam moderat. Oleh karena itu, Wapres mengharapkan dalam waktu singkat, akan meminta kepada Gubernur Jawa Barat untuk menyiapkan lahan yang luas untuk mengumpulkan para kyai. “Supaya kita bisa berkiblat pada waktunya. Apabila orang ingin cari ilmu Islam yang moderat, datanglah ke Indonesia,” pungkas Wapres Jusuf Kalla. (BM/SY/TH/SK)

(10)

DOK. SETWAPRES > UMAR RAHMAT

Mencari Ilmu Keislaman yang Moderat,

Datanglah ke Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab

yang besar pula bagi dunia. Perannya sebagai kiblat referensi pemikiran-pemikiran Islam di dunia

akan dapat terlaksana dengan berbagai dukungan dan kontribusi dari pemerintah, organisasi

keagamaan, dan masyarakat. “Peran” itu tidak hanya akan menjadi mimpi, tetapi sebuah perwujudan

nyata yang membuat dunia akan melihat bahwa untuk mencari ilmu keislaman yang moderat,

(11)

Jusuf Kalla juga memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap hal itu. Oleh karena itu gagasan atau ide tersebut dicoba untuk diwujudkan. Kementerian Agama ditunjuk sebagai penanggung jawab kegiatan ini dan melibatkan banyak pihak karena ini terkait dengan program internasional. Selain melibatkan para pakar, para ahli, guru besar Islam, para ulama, juga melibatkan kementerian terkait, misalnya Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Para menterinya dijadikan sebagai pengarah.

Menurut Lukman, untuk merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah sebuah tim kerja semacam task force yang terdiri dari beberapa gugus tugas. Tim kerja inilah yang menyiapkan desain perguruan tinggi tersebut, tidak hanya secara fisik, tetapi juga non fisiknya, yaitu naskah akademiknya. Selain itu pula, yang terkait dengan kelengkapan fisiknya, seperti letak area, luas lokasi, dan lain-lain, “Jadi, tim inilah yang di bawah koordinasi Pak Komaruddin Hidayat (Red: Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah 2006-2015), yang sehari-hari menyiapkan desain dari perguruan tinggi ini,” jelas Lukman.

Hingga sekarang terdapat beberapa alternatif untuk area perguruan tinggi tersebut. Masih terus mencari lahan yang tepat, idealnya harus minimal sekurang-kurangnya 100-200 hektar. Meskipun tentu tidak mudah mencari lahan seperti itu di pulau Jawa, tetapi jika letaknya di luar pulau Jawa, maka terlalu jauh dari pusat pemerintahan, sehingga kendalanya pun tidak sederhana. Hal inilah yang menjadi pertimbangan. Selain itu, di sisi lain, perguruan tinggi yang mau dikembangkan tersebut bukanlah learning university seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), tetapi lebih kepada research university atau kajian karena memang diperuntukkan bagi postgraduate, S2-S3

DOK. SETW

APRES

> ISTIMEW

A

Drs. H. Lukman Hakim Syaifuddin

Menteri Agama

Sebagai sebuah bangsa yang besar dimana bangsa Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, memang sudah semestinya dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi dunia. Menteri Agama Drs. H. Lukman Hakim Syaifuddin menggambarkan bahwa Indonesia juga dapat memberikan contoh atau sebagai model dimana penerapan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan masyarakat ikut membentuk dan mengembangkan peradaban dunia. “Oleh karenanya sebagai bentuk tanggung jawab bangsa Indonesia maka kita merasa sudah waktunya Indonesia memiliki perguruan tinggi berskala dunia. Di mana perguruan tinggi itu juga berfungsi sebagai pusat pengembangan peradaban Islam. Kenapa perguruan tinggi? Karena memang melalui perguruan tinggi, nilai-nilai Islam itu bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia secara lebih efektif,” jelas Lukman. Dengan latar belakang tersebut, perguruan tinggi berskala dunia dipilih dengan harapan mahasiswanya lebih banyak mengakomodasi dari mancanegara, tidak dari dalam negeri meskipun dimungkinkan warga Indonesia untuk ikut di dalamnya, tetapi perguruan tinggi ini lebih didesain untuk konsumsi mahasiswa-mahasiswa internasional. Begitu pula dengan dosen-dosen atau para pengajarnya adalah sejumlah guru besar ternama di dunia.

“Selama ini orang belajar mendalami, menggali nilai-nilai Islam itu dari negara-negara Timur Tengah. Sekarang kita ingin juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu model. Tentu dengan rendah hati kita menawarkan diri bagi dunia yang ingin mendalami ajaran Islam, bisa menjadikan Indonesia sebagai alternatif, sebagai salah satu pilihan opsi model bagaimana nilai-nilai Islam itu diterapkan dalam masyarakat,” lanjut Lukman.

Gagasan untuk membangun sebuah perguruan tinggi Islam ini sudah cukup lama berada di benak sebagian akademisi Indonesia, tokoh-tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh Muslim. Bukan hanya gagasan saja yang mereka miliki, tetapi juga tekad yang sangat tinggi. Kemudian ketika Lukman mendapatkan amanah menjadi menteri Agama, Presiden Jokowi - Wapres

Melalui Perguruan Tinggi,

(12)

saja. Jadi sesungguhnya tidak terlalu memerlukan lahan yang begitu luas.

Sejak April 2015, Kementerian Agama sudah menerbitkan Surat Keputusan untuk gugus tugas dalam tim kerja tersebut untuk bekerja, untuk sejak awal dapat memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan merealisasikan gagasan tersebut sambil memfinalisasikan naskah akademik, dan persiapan fisiknya. “Jadi penetapan lokasi lahan yang akan dijadikan tempat bangunan perguruan tinggi saat ini sedang diproses,” jelas Lukman. Bangunan perguruan tinggi ini diharapkan akan terlihat sosoknya pada tahun 2016. Bentuk bangunan perguruan tinggi ini tidak seperti bangunan modern, tetapi lebih merefleksikan keindonesiannya, seperti bangunan rumah Minang, rumah Batak atau rumah Toraja. “Harapannya, mimpinya seperti itu, jadi ini tidak hanya pusat keilmuan keislaman tapi juga pusat peradaban. Islam Indonesia begitu, jadi keindonesiannya juga ingin kita tampilkan,” tegas Lukman. Sementara untuk anggarannya, Lukman menjelaskan bahwa hal itu masih belum dibahas secara mendalam karena lokasinya pun belum ada.

Harapan dari pembangunan perguruan tinggi tersebut, yang pertama adalah membuat terobosan dalam pola didik dengan mengedepankan materi-materi keislaman yang moderat, yang sesuai dengan Pancasila, dan yang kedua, ingin melahirkan ilmuwan seperti pakar sains zaman dahulu seperti Ibnu Sina dan dari bidang kedokteran Ibnu Rusyid yang juga seorang filsuf. Harapan tersebut dapat terwujud karena gagasan ini merupakan salah satu model alternatif bagi dunia dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam itu diimplementasikan.

“Kita ingin menunjukkan pada dunia melalui perguruan tinggi ini bagaimana nilai-nilai Islam itu diterapkan. Islam yang kita maksud adalah Islam yang rahmatan lil ’alamin. Islam yang moderat, Islam yang sejak ratusan tahun yang lalu didakwahkan oleh para juru dakwah kita dengan penuh kearifan. Jargon-jargonnya kalau kita lihat di lapangan, dai-dai kita itu’kan selalu mengatakan kita itu harus merangkul jangan memukul, kita harus mengajak jangan mengejek. Ungkapan-ungkapan kita harus ramah, jangan marah adalah ungkapan-ungkapan yang banyak sekali disampaikan oleh para dai-dai kita di lapangan, di daerah daerah, di kampung-kampung, dan itulah warna corak Islam yang memang rahmatan lil ’alamin, yang memanusiakan manusia. Islam yang dengan rendah hati bisa duduk bersama-sama di tengah-tengah keragaman. Bukan Islam yang merasa jumawa dan merasa dirinya yang paling benar lalu memutlakkan kebenaran itu, memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak lain yang berbeda dengan dirinya, harus sama dengan dirinya. Apalagi upaya pemaksaan itu dengan penggunaan cara-cara kekerasan, misalnya seperti yang dilakukan di tempat-tempat lain,” papar Lukman.

Intinya adalah Indonesia ingin memberitahukan kepada dunia bahwa Islam rahmatan lil ’alamin. Islam yang berkembang di Indonesia sejak ratusan tahun lalu adalah Islam yang penuh kedamaian, Islam yang bisa juga kompatibel, cocok dan sesuai dengan tuntutan demokrasi, Islam yang menghormati hak-hak asasi manusia, dan Islam yang penuh toleransi hidup di tengah tengah keragaman. Itulah yang ingin ditawarkan kepada dunia.

Bila gagasan tersebut telah terlaksana maka anggapan Islam yang identik dengan terorisme dan radikalisme dapat dipatahkan. Pada era globalisasi ini muncul paham-paham yang mengatasnamakan Islam tetapi sesungguhnya ajaran dan paham tersebut bertolak belakang dengan substansi atau esensi Islam itu sendiri. Islam yang rahmatan lil ’alamin, Islam yang sesungguhnya memanusiakan manusia, Islam yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat derajat kemanusiaan, dan bukan sebaliknya, yang justru memunafikan kemanusiaan, menumpahkan darah antar sesama hanya karena perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya tidak terlalu prinsipil. “Terorisme itu perilaku ekstrem, merasa hanya dirinyalah yang paling benar, lalu memutlakkan kebenaran yang ada pada dirinya dan memaksakan orang lain harus ikut dengan dirinya, apalagi dengan

(13)

cara-cara kekerasan. Inilah yang harus disikapi karena tindakan ekstrem, praktek-praktek teroris seperti ini yang merusak Islam dan persepsi orang akan Islam, maka munculah Islamophobia. Orang lalu menjadi takut dengan Islam karena Islam yang dibayangkan dan dipersepsikan adalah Islam yang seperti itu, sementara di Indonesia Islam tidak seperti itu. Inilah yang ingin disumbangkan kepada dunia,” ujar Lukman.

Selain membangun sebuah universitas Islam yang bertaraf internasional, persiapan-persiapan yang sedang dilaksanakan Kementerian Agama untuk menjadikan Indonesia siap menjadi pusat Islam moderat di dunia, khususnya ketika negara-negara di Timur Tengah sedang dilanda sejumlah konflik adalah

pertama, di jalur pendidikan, terus mengembangkan pesantren-pesantren karena pesantren adalah lembaga pendidikan khas Indonesia yang sangat tua, lalu mengembangkan madrasah-madrasah.

Kedua, memperkuat ormas-ormas keagamaan dan memperkuat legislasi, yaitu RUU tentang perlindungan

umat beragama sesuai amanah konstitusi pasal 29 ayat 2. Ada jaminan perlindungan, kemerdekaan untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama. “Kita sedang memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap propinsi, dan kabupaten/ kota. Serta melakukan penguatan forum kerukunan umat beragama yang terdiri dari wakil-wakil majelis agama. Merekalah yang kemudian berkomunikasi antar tokoh-tokoh beragama yang ada di suatu daerah untuk bagaimana bisa menjembatani potensi konflik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan persoalan agama,” terang Lukman.

Selanjutnya menurut Lukman, yang akan dipromosikan dan dikampanyekan adalah toleransi. Seringkali toleransi ini disalahpahami, dinilai sebagai upaya untuk mencairkan kekakuan sehingga keimanan semakin menjadi lemah, goyah karena menganggap semua agama itu sama. Padahal semestinya toleransi adalah kesediaan diri untuk menghargai dan menghormati perbedaan yang dimiliki pihak lain. (PI)

DOK. SETW

APRES

> NO

VIA ANGGI

Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A

Gubernur NTB

sekarang dan masa yang akan datang. Ketiga, Karya-karya ulama dan pujangga di saat itu berupa lagu-lagu perjuangan dalam berbagai bahasa, yaitu Indonesia, Arab dan Sasak. Hal ini menunjukkan patriotisme masyarakat NTB sebagai simbol persatuan.

Oleh karena itu dari ketiga ilustrasi tersebut dapat digambarkan bahwa keislaman dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan. Bagi masyarakat NTB, konsepsi Islam adalah Islam yang cinta kepada bangsa dan negara, yang menghormati kontrak sosial yang ada.

Berdasarkan pengalamannya di tahun 1992 ketika melanjutkan program S1, yang kemudian dilanjutkan

Keislaman dan Kebangsaan

Tidak Dapat Dipisahkan

Sebagai orang yang lahir dari lingkungan para tokoh yang Islami, seperti pendiri organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB), Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain, bagi

Gubernur NTB, Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A (Tuan Guru Bajang) konsepsi Islam dapat digambarkan dalam 3 ilustrasi, yaitu: Pertama, Nahdlatul Wathan (NW) terdiri dari 2 (dua) suku kata, nahdlatul: kebangkitan, wathan: tanah air. Perjuangan Islam itu bernuansa kebangsaan dan keislaman. Keislaman di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan. Tidak ada kesulitan bagi kalangan santri dan masyarakat umum untuk memahami pokok ajaran agama, tidak ada pertentangan antara nasionalisme dan Islam. Dengan konsepsi NW tidak ada ketegangan, yang ada adalah upaya membangun masyarakat.

(14)

dengan program S2, dan pada tahun 2002 dilanjutkan program S3 di Al Azhar, menurut Zainul Majdi ilmu-ilmu yang diterimanya selama kuliah di sana dalam rangka memperkaya konsepsi Islam secara komprehensif memberinya pengaruh positif. Baginya, tidak dapat dibantah bahwa keterlibatan NW untuk NTB merupakan fardlu ain. Semangat itu pula yang melatarinya menjadi gubernur. “Pengabdian saya sebagai gubenur merupakan ibadah yang sangat besar,” ucap Zainul Majdi. Selain itu pula, baginya, nilai menjadi pondasi. Di Cairo, Al Azhar menjadi kiblat, sebagai tempat pemikiran Islam yang berkembang secara dinamis. Terdapat inklusivitas, ada ruang, sikap, pikiran atau tindakan yang open minded sehingga gagasan radikal sulit berkembang di sana. Sedangkan dalam era globalisasi ini Indonesia tidak dapat menutup diri dari pemikiran dari luar, harus selalu memegang teguh nilai original, dan sikap-sikap nilai ulama tetap menjadi pedoman.

Pada tahun 2008, terjadi black campaign ketika Zainul Majdi mencalonkan diri menjadi Gubernur NTB, daerah tersebut akan menjadi Islami, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini tidak terbukti. Yang terjadi adalah Islam yang mengayomi, dan sektor-sektir ekonomi rakyat saling melengkapi. Sehingga, dalam ajang bergengsi di bidang pariwisata World Halal Travel Summit 2015 yang diselenggarakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Oktober 2015, NTB meraih 2 predikat sekaligus, yaitu World’s Best Halal Honeymoon Destination dan World’s Best Halal Tourism Destination.

Ketika menghadiri Konferensi Internasional Dunia Islam yang diselenggarakan oleh World Moslem League di Mekkah, dengan tajuk “Islam dan Penanggulangan Terorisme” tanggal 22-25 Februari 2015, Zainul Majdi ikut ambil bagian. Perannya dalam konferensi tersebut adalah dengan memberi penegasan pada dunia bahwa Islam jauh dari terorisme, menjelaskan kepada pihak dalam dan luar negeri bahwa Islam itu adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Hasil dari konferensi tersebut perlu dibicarakan secara massive tentang peran Islam melawan terorisme, pentingnya dialog lintas agama, serta inward looking berupa koreksi internal dan penanaman nilai-nilai yang diteladani kepada umat Muslim di seluruh dunia.

Menurut Zainul Majdi, Indonesia mempunyai tanggungjawab sejarah, Islam Indonesia saatnya menjadi produsen pemikiran untuk ditawarkan kepada

dunia karena Islam Indonesia Islam Assalam, yaitu hidup dengan damai, Islam yang harmonis, meskipun terdiri dari ratusan pulau, etnis, 6 (enam) agama yang berbeda tetapi dapat hidup secara berdampingan dan harmonis. Saling membunuh di luar negeri tidak perlu ditiru. Kejadian di Timur Tengah tidak semuanya buruk. Untuk mewujudkannya, melalui pendidikan secara kultural dan struktural, Islam yang tasamuh, rahmatan lil ‘alamin. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Menteri Agama menyuplai konsepsi tersebut. Sementara, Kemendikbud menanamkan nilai-nilai modernisasi Islam.

Dinamika apa pun, kondisi apa pun penegakan terhadap nilai Islam yang moderat harus terus disuarakan. Toleransi clear hanya untuk hal muamalah, aqidah tidak boleh, tidak ada nego, muamalah harus saling menghormati, melihat non Muslim di-bully harus dibela. ”Toleransi memastikan agar keadilan dan penghormatan terhadap agama lain tanpa harus gadaikan agama kita sendiri,” ucap Zainul Majdi. NTB siap menjadi menara mercusuar untuk menyampaikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Jalur yang penting adalah transformasi melalui pendidikan. Zainul ber-husnudzon, saat ini proses transformasi melalui jalur pendidikan sedang berjalan melalui majelisnya masing-masing. Salah satu majelis yang cukup signifikan dalam berperan mentransformasi pendidikan, yaitu Majelis Rasulullah di Jakarta.

Proses yang sedang berjalan, yang perlu di-massive-kan menurut Zainul Majdi adalah kebijadi-massive-kan dari Kementerian Agama yaitu promosi konsepsi dalam pengajaran agama lain pun harusnya berperan sama.

(15)

untuk membangun sebuah institusi yang excellent untuk pengajaran Islam yang terbaik, dan memberi konstributif bagi peradaban dunia. Perguruan tinggi Islam moderat bertaraf internasional tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah wadah untuk mewujudkan konsepsi tersebut. Sedangkan pihak yang diharapkan dapat mengakselerasinya adalah Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tokoh umat Islam yang baik, cendekiawan,

dan umat Islam. Dalam membangun, expertist dari Saudi Arabia, Maroko, Tunisia, Mesir, dan Malaysia hanya sebagai bahan pelengkap. Bahan utama adalah pilar dan pondasi nilai keislaman Indonesia. Zainul Majdi merasa optimis bahwa pendirian perguruan tinggi Islam moderat bertaraf internasional di Indonesia akan menjadi titik tonggak milestone dari upaya terwujudnya Indonesia sebagai kiblat Islam moderat dunia. (PI/GS)

DOK. SETW

APRES

> NO

VIA ANGGI

DR. Alwi Shihab

Utusan Presiden untuk Timur Tengah dan OKI

konflik Sunni-Syiah di Yaman, yang menyebabkan perang tak terelakan.

Dengan kondisi negara-negara Timur Tengah yang dipenuhi konflik saat ini, maka pemahaman Islam di Indonesia menjadi sangat menarik untuk dijadikan role model. Meskipun banyak penduduk yang beragama Islam, tetapi kebebasan beragama tetap terjamin. “Indonesia sesungguhnya dapat menjadi reklame yang ditonjolkan untuk dunia luar. Dengan keragaman yang dimiliki di Indonesia, negara ini mampu menjaga toleransi beragama, yang belum tentu dimiliki negara-negara lain. Tokoh-tokoh Muslim Indonesia juga harus memainkan peranannya dalam mempertahankan Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujar Alwi.

Selanjutnya Alwi menjelaskan, konsep Islam Al Wasathiyyah tidak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga diterapkan oleh para Syeikh dari Universitas Islam terbesar di Mesir, Universitas Al-Azhar. Universitas ini dianggap sebagai gerbang utama dunia melawan terorisme, melalui pemikiran moderat, sesuai dengan konsep Wasathiyyah. Konsep ini mengedepankan perdamaian dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan Islam. Tidak mudah mengkafirkan golongan Inisiatif pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai

kiblat pemikiran Islam mendapat dukungan penuh dari seorang tokoh yang sudah sangat berpengalaman dengan dunia Timur Tengah. Menurut Utusan Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), DR. Alwi Shihab Indonesia dapat mewujudkannya karena negara ini memiliki model Islam terbaik. “Indonesia yang mempunyai penduduk beragama Islam terbesar di dunia dapat menjadi sorotan dunia Islam karena Indonesia menerapkan Islam dengan model yang terbaik, yaitu Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ucap Alwi.

Menurut Alwi, gejolak yang saat ini terjadi di dunia Islam tak lepas dari keinginan Barat yang berambisi melemahkan posisi umat Islam karena mereka menyadari betul kekuatan Islam. Hal ini berdasarkan kesimpulan alami dan berbagai realita yang ada. Campur tangan Barat dengan berbagai alasan menyebabkan negara-negara Islam lemah dan kehilangan kedaulatannya. Namun, Alwi mengkritik umat Islam itu sendiri. Mereka membiarkan kelompok radikal menyebar di negara mereka mengatasnamakan agama, mereka tidak berupaya keras memberikan pencerahan dan penyadaran untuk warga mereka sendiri. “Di Indonesia, juga ada kelompok ekstrem, tetapi kita sangat tegas menghadapinya,” ungkap tokoh yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri ini.

Selain itu, lanjut Alwi, perbedaan mazhab dan sektarianisme di Timur Tengah masih sangat kental. Masing-masing golongan berupaya menunjukkan siapa yang paling benar, sehingga semua berjalan sendiri-sendiri tanda ada kesepakatan. Maka yang terjadi adalah mereka berlomba-lomba menjadi penguasa. Seperti

(16)

yang bukan bagiannya. Sementara di beberapa negara Timur Tengah, masih banyak terdapat perbedaan antara Sunni-Syiah, perbedaan mazhab, aliran garis keras, pemikiran-pemikiran yang ekstrem, saling membunuh, dan sebagainya. Banyak gerakan radikalisme dan terorisme menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam. Padahal, sesungguhnya Islam adalah agama yang bernapaskan cinta dan damai. Inti dari ajaran Islam adalah cinta dan identik dengan perdamaian. “Sepuluh tahun lalu bangsa Indonesia tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikal, terutama ISIS. Mereka telah mencederai Islam bahkan menjadi ancaman nyata, dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah. Untuk menangkal gerakan mereka, kita tidak boleh tinggal diam,” ucap Alwi.

Alwi melihat ISIS memang sebuah realita, tapi itu hanya gejala, bukan penyakitnya. Penyakitnya adalah ideologi. Indonesia dapat mengatasi masalah tersebut karena kehadiran dua kelompok besar Muslim di Indonesia yang saling melengkapi dan mengimbangi, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Alwi mengakui di luar negeri masih ada yang menganggap Islam Indonesia sebagai radikal. Padahal Islam Indonesia adalah cinta dan damai. Citra kekerasan ini harus diubah umat Islam menjadi Islam yang toleran dan damai. Oleh karena itu, ia mengajak umat Muslim di Indonesia untuk bertanggung jawab sebagai Muslim dengan mempromosikan dan mendidik anak-anak mereka untuk memahami Islam yang sebenarnya, Islam yang cinta damai dan tidak mengajarkan aliran-aliran radikal.

Terkait keinginan pemerintah agar Indonesia dapat memainkan peran penting dalam dunia Islam, menurut Alwi, pemerintah dapat melakukan usaha melalui pendidikan yang benar-benar sesuai dengan apa yang diperlukan. Usaha pemerintah membangun perguruan tinggi Islam bertaraf internasional, merupakan prakarsa yang harus didukung oleh seluruh pihak baik moril maupun materil, terutama oleh umat Muslim di seluruh Indonesia.

Walaupun diperlukan persiapan yang matang dalam jangka panjang, Alwi meyakini rencana pembangunan perguruan tinggi tersebut dapat dilaksanakan dengan membuka jaringan seluas-luasnya. Menentukan siapa calon-calon pendidik yang kompeten dan siap ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya. Misalnya, siapa yang bertanggung jawab dalam pembangunan

fisik, siapa yang bertanggung jawab dalam substansi. Kendala pembangunan sudah pasti ada karena memerlukan lokasi dan waktu yang cukup panjang. “Solusinya dengan menentukan dari awal siapa mengerjakan

apa. Langkah-langkah yang harus diambil, baik langkah utama maupun langkah pendukung. Dan pemerintah sangat berkompeten untuk mewujudkan universitas tersebut,” tutur Alwi bersemangat.

Menurut Alwi, Ka’bah, Masjidil Haram yang di Mekkah, Masjidil Nabawi yang di Madinah dan Masjidil Aqsa, memang identik sebagai kiblat Islam untuk ibadah, dan juga Universitas Al-Azhar sebagai pusat pemikiran Islam. Namun, kini Indonesia yang berada di kawasan Asia juga bisa menjadi kiblat pemikiran Islam dengan dibangunnya perguruan tinggi bertaraf internasional. Selain itu, dapat didukung dengan berkontribusi secara positif dan aktif mempromosikan Islam yang mencerminkan suasana dan karakter pengikutnya yang baik, terciptanya persaudaraan antar umat, dan saling menghormati.

Alwi pun juga akan mendukung mewujudkan Indonesia sebagai kiblat pemikiran Islam. Melalui posisi dan pengalaman yang dimilikinya, Alwi akan berkontribusi dengan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh dari Timur Tengah. “Melalui jaringan yang saya miliki, saya dapat mencari SDM yang diperlukan, misalnya pengajar-pengajar dari Timur Tengah dan luarnya,” pungkas Alwi. (SK)

(17)

DOK. SETW

APRES

> NO

VIA

ANGGI

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE

Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

mengalami instabilitas politik, bertikai, dan berperang. Negara seperti Yaman, Syria, Irak, Mesir, Tunisia, dan Libya, bergejolak terus dan melibatkan pertikaian di antara berbagai kelompok Islam dan pemerintah. Indonesia diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif untuk memediasi kelompok-kelompok bertikai tersebut. Eropa dan Amerika pun memerlukan Islam yang Wasathiyyah karena mereka menghadapi masalah dengan segelintir orang Islam atau keturunan orang Islam yang menetap di sana. Seperti anak-anak muda di Inggris keturunan India atau Pakistan, mereka fasih berbahasa Inggris karena British-born, lahir di Inggris, tetapi dengan mudah ikut bergabung ke ISIS. Amerika Serikat dan Kanada juga mencoba mengembangkan dan menerapkan Islam Wasathiyyah, misalnya dengan memperkenalkan berbagai kearifan lokal Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan.

Menurut Azyumardi, konsep Islam Wasathiyyah tersebut muncul dari Indonesia. “Saya belum pernah mendengar munculnya secara solid dari Timur Tengah baik dalam konsep maupun praktek. Sesungguhnya konsep Islam Wasathiyyah di Indonesia itu sendiri sudah diperkenalkan Pak Tarmizi Taher (alm) pada 1996 ketika beliau menjabat Menteri Agama. Beliau menulis buku tentang Islam Wasathiyyah Indonesia yang dalam bahasa Inggris berjudul Aspiring for the Middle Path yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Islam Wasathiyyah menemukan momentumnya ketika radikalisasi meningkat di kalangan kaum Muslimin, baik di Asia Selatan dan Timur Tengah setelah peristiwa 11 September 2001 di AS, maupun di Indonesia, setelah peristiwa pemboman Bali tahun 2003. Kemudian, konsep Islam Wasathiyyah itu kembali diingatkan dan didengungkan belakangan ini supaya umat Islam menyadari bahwa kaum Muslimin itu seharusnya memahami dan mempraktekkan Islam

Islam Indonesia – Islam Wasathiyyah

untuk Rahmatan lil ’Alamin

Indonesia dapat menjadi kiblat pemikiran Islam dunia karena Indonesia dihormati negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang tidak berdasarkan Islam. Hal ini menjadi pandangan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. Menurutnya, pendapat ini didasari beberapa faktor. Pertama, Indonesia negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Kedua, pemikiran dan praktek tradisi Islam Indonesia adalah Islam moderat sehingga Islam Indonesia disebut sebagai Islam Wasathiyyah, yang dalam bahasa Inggris disebut ‘justly balanced Islam’, Islam jalan tengah yang berimbang, Islam yang umatnya tidak radikal; tetapi Islam yang umatnya itu disebut di dalam al-Quran sebagai umatan wasathan (umat jalan tengah), selalu bersifat tawazun (seimbang atau adil) dan tawasuth (selalu di tengah, tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri).

“Dengan karakter Islam yang Wasathiyyah, Indonesia sangat dihormati kaum Muslimin mancanegara, karena sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia aman dan damai. Aman, umat Islamnya tidak ribut, tidak ada sektarianisme yang sangat menyala-nyala seperti di banyak negara Muslim Timur Tengah atau Asia Selatan, yang membuat kelompok-kelompok Islam berkelahi terus menerus bahkan berlanjut dengan perang. Jadi dengan Islam Wasathiyyah itu, Indonesia menjadi negara yang stabil secara politik, sehingga dapat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Meskipun masih banyak warga kita yang miskin, tetapi Indonesia menjadi negara yang sedang bangkit, emerging country. Hasilnya, di Indonesia juga terus bangkit dan tumbuh kelas menengah; kelas menengah Muslim juga makin banyak. Oleh karena itu Indonesia disegani, dihormati negara-negara lain,” ucap Azyumardi.

(18)

Wasathiyyah. Jadi jangan main bom, main kekerasan; coba selesaikan masalah dan konflik secara damai,” jelas Azyumardi.

Azyumardi menekankan, sesungguhnya upaya menanamkan pemahaman dan praktek Islam Wasathiyyah itu harus melibatkan tiga lokus pendidikan. Pertama, dimulai dari keluarga. Ayah dan ibu dalam rumahtangga harus mengajari anak-anaknya dengan pemahaman dan pengamalan Islam Wasathiyyah. Islam tidak ekstrem, yang mengarahkan mereka untuk bersikap inklusif, akomodatif, dan toleran terhadap berbagai perbedaan baik sesama Muslim maupun dengan non Muslim. Hal ini bisa dimulai dari hal kecil, misalnya bila nonton TV bersama, jika ada orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam, orangtua harus langsung menjelaskan, mengarahkan anak bahwa tindakan seperti itu bukan tindakan yang diajarkan Islam. Islam itu sendiri artinya damai. Oleh karena itu bila ada perbedaan jangan main hakim sendiri. Hal-hal seperti itu dapat dimulai dari rumah tangga.

Kedua, lingkungan sekolah. Menurut Azyumardi, sekolah lebih sistematis dalam proses pembelajaran karena terdapat kurikulum, guru, fasilitas dan sebagainya. Bila dipandang dari sudut kurikulum dan silabus, sebetulnya Pelajaran Agama Islam (PAI) telah mengajarkan Islam Wasathiyyah; hanya perlu disempurnakan terus menerus. PAI sering terlalu normatif, tidak dikontekstualisasikan dengan Indonesia. “Karena kita perlu memberikan pelajaran pemahaman kepada murid-murid kita di sekolah, misalnya cinta tanah air itu bagian dari iman—hubbul wathan minal iman. Oleh karena itu jangan kita lebih mencintai tanah air yang lain, orang-orang Islam lain di tempat lain. Kita sering sangat terpesona pada orang Islam lain, katakanlah Muslim Arab, sehingga segala sesuatu yang berbau Arab kita anggap itulah Islam paling baik. Padahal tidak begitu. Kita patut juga mengatakan pertama-tama kita lahir sebagai orang Indonesia, lahir sebagai orang Minang, sebagai orang Sunda, atau sebagai orang Jawa. Setelah kita atau anak laki-laki kita diadzankan oleh ayah kita, atau anak perempuan kita setelah diiqamatkan oleh ayah kita, barulah kita secara ‘resmi’ menjadi orang Islam. Hal ini yang tidak dipahami oleh banyak orang, bahwa kita tidak otomatis lahir langsung jadi Islam, walaupun memang keturunan orangtua Muslim,” papar Azyumardi.

Di sekolah-sekolah, para pengajar atau guru pun harus diberikan pemahaman yang benar mengenai Islam

Wasathiyyah, karena ada pula guru-guru yang orientasi ideologisnya lain, misalnya tidak mau menghormati Pancasila, dan bendera merah putih, tidak menerima NKRI dengan sebaliknya menyerukan pembentukan khilafah atau Daulah Islamiyyah. Hal tersebut karena mereka dirasuki faham-faham transnasional dari Timur Tengah atau Asia Selatan atau lainnya.

Ketiga, adalah masyarakat. “Masyarakat ini lingkungan mesjid, mushala, ormas, Karang Taruna dan sebagainya. Kita harus memastikan orang yang memberi ceramah atau mengajar di sana itu tidak mengajarkan paham radikal asal Timur Tengah atau orientasinya ke Timur Tengah. Kita harus memastikan penceramah atau khatib itu adalah orang-orang yang paham Islam Wasathiyyah yang bisa mensosialisasikan paham Wasathiyyah, dan sekaligus tahu cara mempraktekan Islam Wasathiyyah,” ucap Azyumardi.

Peran Kementerian Pendidikan Kebudayaan serta Kementerian Agama belum ada atau masih belum signifikan dalam memberikan penataran bagi guru-guru. Meskipun ada tetapi tidak sistematis. Dari anggaran yang ada mungkin telah dibuat hal seperti itu, tetapi tidak sistematis. Seperti layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada jenjang pelatihan sebelum naik pangkat guru-guru perlu diberi pelatihan dan perspektif kebangsaan atau keindonesiaan. Untuk itu, terdapat pelatihan mengenai nasionalisme, kebangsaan, dan 4 pilar atau 4 prinsip dasar, Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi semacam UIN, hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari, yang diselenggarakan melalui bentuk seminar dan konferensi. Tapi tetap saja dibutuhkan sosialisasi bagi para mahasiwa dan dosen secara keseluruhan.

(19)

itu mempermudah mereka bisa terekrut. Oleh karena itu, selain guru-guru yang harus ditatar mengenai Islam Wasathiyyah, para dosen juga. Sebagian dosen, terutama dalam ilmu eksakta atau ilmu alam, ada yang berpikir tentang Islam secara hitam putih. Sesuai dengan ilmunya, ilmu-ilmu alam yang sifatnya hitam putih. Padahal agama itu tidak hitam putih. Di dalam Islam tidak hanya ada wajib dan haram tetapi juga mubah boleh dikerjakan atau tidak, makruh dan lain-lain,” tegas Azyumardi.

Terhadap rencana pemerintah untuk mendirikan perguruan tinggi negeri Islam bertaraf internasional sebagai implementasi Indonesia menjadi kiblat pemikiran Islam di dunia, menurut Azyumardi rencana tersebut bagus tetapi harus serius dan berkelanjutan meskipun pemerintahan nanti datang silih berganti. “Supaya kalau berganti pemerintahan, pemerintahan yang akan datang empat tahun lagi tetap memiliki komitmen sehingga Universitas Islam Internasional itu tidak hanya ada semangatnya saja sekarang tetapi nanti tidak lagi,” saran Azyumardi.

Ia melanjutkan, Indonesia mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membangun universitas seperti itu. SDM Indonesia kini jauh lebih memadai. Masalahnya bila ingin universitas tersebut maju harus diberikan otonomi luas. Tidak dipersulit dalam membuat program study dan mengembangkan kurikulum. Perguruan tinggi di luar negeri dapat maju, selain karena fasilitasnya memadai tetapi juga diberikan kebebasan otonomi. Hal ini harus menjadi perhatian Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Tenaga pengajar di Indonesia melimpah tetapi tetap memerlukan tenaga dari luar agar terjadi pertukaran keilmuan. Mengapa? Pertama, bila terdapat pengajar dari Timur Tengah, dosen di Indonesia hendaknya melakukan pertukaran keilmuan dari ilmu yang dibawanya, begitu pula sebaliknya. Selain itu, juga terjadi pertukaran sosial budaya. Jadi dosen tamu dari Timur Tengah, Amerika, Australia, dan Eropa sangat penting, karena ilmu pengetahuan itu bisa maju kalau terjadi interaksi antara ilmuwan, antara akademisi, antara scholars.

“Interaksi semacam itu mempercepat pertumbuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Itu perlu, perlu sekali. Kalau bisa tiap semester selalu ada yang namanya visiting professor. Terutama dari Timur Tengah, seleksilah yang kita cari, profesor atau doktor yang Wasathiyyah bukan yang radikal,” tutur Azyumardi.

Kedua, Membuat jaringan. Karena dengan mempunyai jaringan yang luas, perguruan tinggi bisa terangkat ke tingkat yang diakui berkelas dunia. Jadi dosen-dosen tamu, guru besar tamu itu penting dalam rangka membangun jaringan, di mana jaringan itu perlu untuk mengakselerasikan pencapaian perguruan tinggi menjadi bertaraf internasional. Kementerian Keuangan harus mendukung rencana ini. Tidak boleh kaku dalam melakukan pemberian fasilitas misalnya gaji bagi tenaga pengajar ataupun dosen tamu dari luar. Selain itu harus lebih fleksibel dalam hal membiayai, mendanai program-program, termasuk memfasilitasi untuk mendatangkan satu atau dua orang profesor dari luar setiap semester.

Kiblat pemikiran itu jauh lebih dinamik. Hanya sayangnya, para sarjana Indonesia tidak menulis dengan bahasa internasional, terutama dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Padahal banyak menulis dengan bahasa internasional membuat dikenal di dunia dan terjadilah internasionalisasi para sarjana kita. Dari sudut kapasitas kemampuan, sarjana Indonesia tidak kalah dengan sarjana luar. Untuk mengubah pola pikir dunia, mereka harus aktif menulis, lebih sering datang ke konferensi di dunia, dan pemerintah pun harus lebih giat mengirim mereka ke luar negeri, menjadi visiting fellow di Eropa ataupun Australia dan sebagainya.

“Indonesia harus melangkah lebih jauh lagi mensosialisasikan Islam Wasathiyyah, mempromosikan sarjana-sarjana yang ahli, misalnya kalau yang lulusan Timur Tengah, seperti tamatan Arab Saudi atau Mesir itu bisa dikirim pemerintah Indonesia untuk mengajar 3 bulan atau 2 semester di Al-Azhar atau di perguruan tinggi lain di Timur Tengah,” saran Azyumardi.

Pengalaman dalam mengelola universitas, dalam manajemen, dan jaringan yang luas menjadi kontribusi Azyumardi bagi terlaksananya Perguruan Tinggi Islam internasional. Pengalaman mencari dana, mengembangkan kurikulum, merekrut dosen tamu dapat disumbangkannya. Selain itu pula pengalaman keilmuan sebagai akademisi.

(20)

DOK. SETW

APRES

> Y

OHANES LINIANDUS

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2006-2015

Islam dan Kristen adalah agama misionaris, yang melewati batas-batas etnis wilayah budaya dan berkembang transnasional bahkan mengglobal. Dua agama tersebut mempunyai sejarah panjang, dan semakin berkembang justru ketika keluar dari tempat kelahirannya, Timur Tengah. Agama Kristen berkembang di Eropa dan Amerika, sedangkan agama Islam berkembang saat keluar dari jazirah Arab, seperti ke Persia, Mesir dan Indonesia, bahkan sekarang ke berbagai belahan dunia. Sehingga, menurut Prof. DR. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah (2006-2015), pengaruhnya dapat dilihat dewasa ini. Pertama, bahwa perjumpaan antar pemeluk agama itu semakin intensif, tidak dapat dielakkan. Hal tersebut akan menimbulkan orang yang tidak siap menghadapi pluralisme perjumpaan, akan menyikapinya dengan curiga, konflik dan kebencian, serta orang yang bersikap inklusif, toleran, dialogis sehingga akan memperkaya wawasan. Kedua, karena umat beragama itu tidak dapat lepas dari pergaulan dengan agama lain. Jadi agama Islam dan Kristen mau tidak mau harus masuk pada pergaulan global yang plural. Ketiga, karena agama itu pemeluknya cukup militan. Berbagai konflik disebabkan karena agama tetapi di sisi lain pemeluknya juga menuntut kontribusi agama pada pembangunan, peradaban bangsa dan negara di dunia ini. “Oleh karena itu sekarang, yang namanya Paus Vatikan pun juga bicara perdamaian, bicara politik. Jadi agama itu mempunyai tanggung jawab moral peradaban pada dunia. Jangan agama itu sibuk konflik dengan dirinya. Itu sudah berlalu. Saatnya sekarang ini kerjasama karena problem manusia ini tidak bisa dipecahkan oleh satu kelompok negara saja, harus kerjasama, sebagaimana tidak bisa diselesaikan oleh satu agama saja,” ucap Komaruddin.

Agama hendaknya melakukan kerjasama untuk membangun peradaban, bukannya saling konflik seperti yang terjadi di Timur Tengah. Konflik, radikalisme, terorisme yang selalu terjadi, padahal agama apapun, apalagi Islam, seharusnya memberikan kontribusi peradaban. “Tapi sekarang ini saya sangat sedih, mengapa terjadi konflik antar penguasanya, pimpinannya? Yang menyedihkan lagi, rakyat yang menderita meminta suaka perlindungan ke Eropa itu bukan Muslim. Suasana yang sesungguhnya membuat

malu karena Islam seharusnya menciptakan perdamaian,” ungkap Komaruddin.

Bersyukurlah sebagai bangsa Indonesia, meskipun pengaruh-pengaruh tersebut selalu sampai tetapi karena letak Indonesia yang jauh secara geografis dan paham Islamnya yang moderat, maka imbas konflik di Timur Tengah tersebut tidak begitu besar. Namun karena gerakan agama itu transnasional sehingga harus selalu direspon agar tidak bisa membesar pengaruhnya. Untuk mengatasi konflik, Indonesia sudah jauh lebih matang dibanding negara-negara Timur Tengah. Belum lagi dalam mengatasi terorisme keagamaan, Indonesia termasuk berhasil. Oleh karena itu hendaknya umat Islam Indonesia dapat memberikan perhatian, kontribusi, inspirasi pada dunia Islam. “Bahwa Islam itu pro-peradaban, Islam itu damai, dan lebih dari itu Indonesia mempunyai pengalaman yang unik, sehingga dunia Islam harus mengetahuinya, misalnya, Islam dan demokrasi. Ini khas pengalaman Indonesia. Mengapa? Ciri demokrasi adalah partisipasi gerakan masyarakat di luar negara. Di Indonesia dari dulu umat Islam itu bergerak. Pergerakan Muhammadiyah, NU, dan sekian ormas Islam ikut bergerak melawan penjajah untuk mendirikan republik, dan republik pun bukan negara Islam tetapi Pancasila. Ini adalah pengalaman yang khas, yang unik, yang dunia hendaknya tahu. Dunia Islam hendaknya tahu, bagaimana Islam Indonesia mempunyai pengalaman menghadapi keragaman etnis, budaya, agama dan isu-isu gender,” tegas Komaruddin.

Pengalaman-pengalaman unik yang dimiliki Indonesia tersebut selama ini lebih banyak menjadi objek riset oleh orang luar, sehingga banyak ilmuwan dunia datang ke Indonesia untuk melakukan riset tentang

(21)

Islam Indonesia, sementara ilmuwan luar tesebut menjadi ahli Islam dan ahli tentang Indonesia, orang Indonesia justru belajar ke luar negeri pada ilmuwan asing yang ahli tentang Indonesia. Apakah Indonesia akan terus seperti ini? Tentu saja tidak. Inilah peluang bagi Indonesia untuk tampil mendirikan pusat kajian keislaman yang sekelas dunia, dengan tujuan untuk meningkatkan langit keilmuan perguruan tinggi Islam Indonesia. Adapun caranya dengan mengundang profesor ahli dari luar, dan mengundang mahasiswa dari seluruh dunia, perwakilan berbagai negara untuk mempelajari Islam dan Indonesia. Sehingga biarkan mereka yang belajar di luar negeri menjadi duta perwakilan, juru bicara Indonesia ke dunia. Banyak faktor yang memungkinkan hal ini terjadi.

Pertama, Indonesia mempunyai pengalaman yang unik tentang kekayaan kebudayaan, peradaban sejarah, pengalaman politik, ekonomi, dan sejarah, yang selama ini ditulis orang banyak sekali dan belum habis-habisnya. Kedua, banyak profesor dan dosen dari luar yang tertarik ke Indonesia menjadi profesor dan dosen, begitu pula dengan mahasiswa asing yang ingin belajar ke Indonesia. “Jadi kalau dikumpulkan dan diberikan tempat, bahannya ada, mahasiswanya ada, dosennya ada. Ini akan mengangkat karena ilmu itu mempunyai jaringan kemana-mana. Ini kesempatan Indonesia untuk memberikan kontribusi pada dunia, pada dunia Islam, ini loh Islam Indonesia, Islam yang tumbuh di Indonesia yang diperkaya dengan peradaban Indonesia, yang memberikan kontribusi pada Indonesia dan Islam dalam membangun demokrasi, kerukunan, dan ketahanan. Bukan Islam yang memecah belah bangsa tapi keislaman yang di sini mempunyai kekuatan akan binding power, ini harus dijelaskan pada dunia, sebagai kontribusi tanpa mengurangi standar ilmiah akademis,” jelas Komaruddin.

Pusat kajian keislaman yang sekelas dunia, yang menjadi keinginan pemerintah sebagai kontribusi Indonesia pada dunia Islam dan dunia akan direalisasikan melalui pembangunan sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) yang bertaraf Internasional. Perguruan tinggi negeri ini akan difokuskan pada S2 dan S3 karena selama ini peminat yang ingin melanjutkan S2 dan S3 di perguruan tinggi negeri di Indonesia kurang dan bukan perguruan tinggi Islam negeri yang terbaik, sehingga S2 dan S3 kiblatnya bukan lagi ke negeri asing. Yang menjadi standar kajiannya adalah TOEFL, bahasa, profesor, buku-buku, infrastruktur, perpustakaan, dan rasio mahasiswanya,

Tim untuk pembangunan perguruan tinggi Islam tersebut sudah dibentuk, dengan Prof. DR. Komaruddin Hidayat sebagai ketuanya, dan dibantu oleh teman-temannya, tetapi nantinya akan melibatkan orang-orang yang mempunyai reputasi, pengalaman peduli membangun perguruan tinggi keilmuan bukan politik. “Nanti bayangan saya harus ada peraturan khusus, ada satu badan, badan pengelola pengawas, pembina. Dikti tidak cukup. Melibatkan Kementerian Agama, Kemenristek, Kementerian Luar Negeri, swasta, dan para ilmuwan. Harus ada badan khusus,” ungkap Komaruddin.

Selain mulai dipersiapkan dosen pengajar, juga akan dipersiapkan perpustakaan yang bagus, ruang kuliah, asrama, dan apartemen dosen. Harus dibuat pula regulasi yang standar internasional, regulasi yang khusus karena bila peraturannya menggunakan regulasi yang ada, tidak akan jadi. Karena apa? “Karena dari segi fasilitas saja, dosen kita jauh dibanding dosen luar negeri. Tidak usah Amerika, dibanding Malaysia saja kita kalah. Bagaimana kita mengharapkan kualitas bagus kalau fasilitasnya saja jelek, ini harus bagus berstandar internasional,” tegas Komaruddin.

Wapres Jusuf Kalla mendengarkan penjelasan mengenai site plan pembangunan gedung Pascasarjana dan RS Islam Universitas Islam Malang (UNISMA)

DOK. SETW

APRES

>

Y

(22)

Sedangkan untuk dana, pemerintah harus berani mengeluarkan dana untuk pembangunan PTIN tersebut karena dampaknya jauh ke dalam untuk meningkatkan kualitas. Untuk targetnya, pada 2016 diharapkan sudah ground breaking. Pada 2017 sudah dapat menerima mahasiswa. Untuk infrastrukturnya, lahan negara di sekitar Jakarta atau sekitar Bogor untuk tempat pembangunannya.

PTIN bertaraf internasional yang akan dibangun ini tidak akan mengancam PTIN yang ada. Sesungguhnya akan meningkatkan kualitas yang ada karena kuliah dalam satu lokasi dengan asrama dan dosennya pun didatangkan ke perguruan tinggi tersebut. Harapan Komaruddin dengan dibangunnya PTIN ini, antara lain Pertama, standar naskah akademik harus betul-betul standar dan diakui oleh komunitas jaringan internasional. Itu konsepnya. Kedua, bagaimana konsep tersebut akan dikawal oleh peraturan pemerintah. Ada regulasi khusus yang mengawal.

Ketiga, merekrut dosen-dosen dan mahasiswa yang kualitasnya bagus. Keempat, harus ada dukungan dana dari negara. Kelima, ada partisipasi non pemerintah dan beberapa negara sahabat yang ternyata sudah ada yang mau membantu.

Bila PTIN ini mempunyai tujuan dan regulasi yang jelas maka menurut Komaruddin, optimis para pengusaha akan mendukung karena pembangunan ini untuk bangsa Indonesia dan mereka membutuhkan suasana tenang, aman dan tidak ada radikalisme dalam melakukan usahanya. “Kalau ini melahirkan suatu pusat peradaban untuk mengerem radikalisme, mereka mau saja. Ini bukan kepentingan Islam semata-mata tetapi kepentingan bangsa, negara dan martabat. Malu dong kita haji terbesar, masa tidak punya kampus yang sekelas dunia, kalah dengan Mesir, Malaysia. Masa kalah dengan negara non Muslim yang punya kampus Islamic studies. Para pengusaha juga akan membantu, misalnya untuk asrama, perpustakaan. Pemerintah harus mau keluar modal dahulu karena nantinya di luar pemerintah banyak yang akan membantu,” jelasnya.

Selanjutnya menurut Komaruddin, kendala yang ditakutkannya adalah menyangkut peraturan dan birokrasi. Bila birokrasinya itu standar berpikirnya lokal, maka akan menghambat. Harus diamankan bahwa hal tersebut untuk kepentingan bangsa, harus dipegang, standard ilmiah, dan tidak memihak politik manapun.

Perguruan tinggi negeri Islam ini adalah lembaga independen, yang menjadi ikon kebanggaan Indonesia, seperti Universitas Stanford di Amerika. Oleh karena itu dibutuhkan 150 ha lahan untuk membangun perguruan tinggi negeri Islam tersebut dengan gaya arsitektur khas Indonesia. Akan ada gedung pertemuannya, sehingga bila ormas-ormas, NU, Muhammadiyah akan muktamar dapat dilakukan di situ.

Regulasi yang perlu diperjuangkan menurut Komaruddin, pertama, otonomi perguruan tinggi tidak boleh dicampur aduk. Dosen tidak boleh merangkap mengajar ke sana kemari. Oleh karena itu fasilitas harus baik seperti apartemen dan gaji yang memadai. Sehingga dosen akan fokus di kampus. Kedua, dimungkinkan partisipasi rakyat. Dana masyarakat tidak boleh masuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), harus luwes tetapi akuntabel, profesional, dan jangan dibuat rumit. Dimungkinkan pengurusnya mencari dana untuk pembangunan kampus.

Perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan perusahaan harus bersinergi. Produk riset yang dilakukan peguruan tinggi akan dimanfaatkan perusahaan dan pemerintah. Pemerintah dan perusahaan yang akan mengeluarkan dana, seperti di Jepang dimana kampus dan perusahaan melakukan kerjasama.

Seharusnya Perguruan tinggi negeri itu ‘menciptakan uang’ atau berbisnis karena yang menciptakan uang itu adalah science sehingga kampus-kampus semacam Universitas Indonesia (UI) di dorong science-nya berkembang agar dapat menjadi teknokrat, dan dapat berbisnis. Sedangkan perguruan tinggi negeri Islam tidak, karena masih di bidang sosial.

(23)

DOK. SETW

APRES

> HENDRA

DR. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil.

(Putra Pendiri Ponpes Gontor)

Pembantu Rektor Bidang Akademik Univ Darussalam Gontor

Kepakaran para intelektualnya harus berkelas internasional sehingga mampu bersaing dengan ilmuwan negara-negara Islam bahkan dengan intelektual negara-negara Barat. Masalahnya, belum banyak ilmuwan Indonesia yang mampu menulis karya-karya monumental berbahasa Arab atau Inggris di negara-negara Arab maupun negara-negara Barat. “Ini fakta yang harus kita akui,” ujar Hamid.

Dalam bidang pemikiran Islam, Indonesia belum memiliki cendekiawan sekelas Mohammad Iqbal al-Maududi, Abdul Kalam Azad, al-Nadawi, Fazlurrahman, Seyyed Hossein Nasr, Naquib al-Attas, Khursyid Ahmad, dan Umer Chapra. Demikian pula penguasaan ulama Indonesia dalam ilmu-ilmu syariah dan aqidah, serta ilmu-ilmu yang berkaitan seperti tafsir, hadits, fiqih, filsafat Islam, tasawwuf, nahwu, sastra Arab masih belum sekaliber ulama Mesir, Qatar, Syiria, Sudan dll. Umat Islam masih banyak merujuk ulama-ulama seperti Yusuf Qaradhowi, Wahbah Zuhaili, al-Buthi dan sebagainya.

Untuk itu, Hamid menyarankan agar ulama dan cendekiawan Muslim meningkatkan kemampuan berbahasa Arab dan Inggris. Kemampuan berbahasa Arab dan Inggris para dosen di Indonesia masih sangat minim. Seminar-seminar studi Islam internasional yang mengggunakan bahasa Arab dan Inggris banyak yang tidak dihadiri oleh ulama atau intelektual Islam Indonesia. Ini artinya, ilmuwan Indonesia belum banyak menghiasi forum-forum internasional. Ilmuwan Indonesia masih kalah dominan dengan para profesor dari Timur Tengah yang menjadi dosen di Leiden, Harvard, New York, serta kalah dengan intelektual India, Pakistan dan Turki yang menguasai bahasa Inggris dan dapat “menjual” pemikiran mereka ke forum-forum internasional.

Demi mewujudkan Indonesia menjadi pusat studi Islam dunia, para pengasuh pesantren ikut mendukung dengan beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan dengan serius. Salah satunya adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed., M.Phil. Pimpinan Universitas Darussalam Gontor, yang juga putra pendiri Pondok Modern Gontor. Menurut Hamid untuk sampai kepada cita-cita itu Indonesia perlu melakukan introspeksi sekaligus mengukur potensi diri. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia terbesar di dunia, memiliki 25 ribu pondok pesantren, 600-an perguruan tinggi Islam dan sekolah-sekolah Islam negeri maupun swasta. Karena potensi inilah pemikiran Islam di Indonesia relatif lebih dinamis dibanding Malaysia, Pakistan, Turkey, Bangladesh dan India.

Usia lembaga pendidikan Islam di Indonesia juga lebih tua dibanding negara-negara tersebut. Pesantren berdiri sejak abad ke 17, dan perguruan tinggi Islam berdiri sejak awal masa kemerdekaan. Di Turkey lembaga pendidikan Islam dan studi Islam telah lama dibekukan oleh rezim Kemal Attaturk, dan baru 5 tahun lalu Fakultas Agama Islam boleh dibuka di berbagai perguruan tinggi.

Namun meski telah cukup tua, perkembangan dunia pendidikan Islam di Indonesia termasuk sangat lambat. Perhatian pemerintah dan masyarakat masih kurang optimal. Di Malaysia, perhatian terhadap sarana prasarana sangat tinggi, perpustakaannya berkembang pesat, dana penelitiannya maksimal. Di Saudi, jurnal-jurnal dalam bidang sains lebih banyak yang terakreditasi internasional dibanding jurnal-jurnal di Indonesia. Di Qatar, saat ini terdapat sebuah komplek pendidikan dan riset yang di dalamnya terdapat kampus-kampus universitas dunia, seperti Harvard, Oxford, Cambridge dan juga lembaga-lembaga riset terkenal di dunia. Dengan dana tak terbatas, mereka membiayai riset-riset strategis dalam berbagai bidang yang kemudian hasilnya diambil dan dimanfaatkan untuk pembangunan Qatar. Turki juga tidak kalah majunya karena banyak universitas di sana yang sudah menjadi bagian dari Erasmus, dan terakreditasi dengan standar Uni Eropa.

Hamid mengingatkan, jika Indonesia ingin menjadi pusat studi Islam dunia maka kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) umat Islam harus ditingkatkan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai antara lain; untuk membuat bahan magnet berperekat karet (komposit magnet) yang ringan, tidak mudah patah, daD memiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan karbohidrat dan lemak dengan kejadian overweight pada remaja di SMA Muhammadiyah 4 Kartasura Kabupaten

Pada Foto hasil Elektroforesis polyacrilamide terlihat bahwa jarak antara Band – Band DNA sangat dekat.Hal tersebut dapat disebabkan karena waktu yang digunakan untuk

Dengan demikian kita harus menentukan metode weight factor. Dengan demikian kuat dan keras bahan pisau menjadi prioritas dalam matrial yang kemudian ketahanan terhadap

kemampuan tenaga teknis dan manajerial yang tersedia, yang terkait pada kemampuan dalam penerapan sistem pengendalian proyek, kualiti cek; dan kinerja proyek yang terkait

Sediaan padat terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut5. Cangkang

PERANAN MEDIA FILM PADA PROSES PEMBELAJARAN PKN DALAM MENGEMBANGKAN SEMANGAT NASIONALISME SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |