• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Deradikalisasi Paham Keagamaan

Deradikalisasi agama dilakukan untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme yang sering mengatasnamakan agama. Pendekatan melalui pendidi-kan sangat penting untuk memberipendidi-kan pemahaman agama yang tepat, konteks-tual dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama kepada

75 Ahmad Gunaryo, dkk, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,” Laporan Penelitian, IAIN Walisongo, 2011, hlm. 40-46.

masyarakat. Pemahaman kontekstual dan pembumian nilai humanitas agama akan melahirkan aksi atau implementasi beragama yang jauh dari aksi-aksi kekerasan, radikalisme dan terorisme.76

Makna deradikalisasi belakangan ini mengalami perluasaan, sebagai-mana yang disampaikan oleh Syamsul Arif, bahwa yang dimaksud dengan perluasan makna ialah deradikalisasi tidak melulu dipahami sebagai proses moderasi terhadap keyakinan dan perilaku seseorang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi radikal, tetapi sebagai: "Deteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagaim lapisan potensial dengan beragam bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing kelompok yang menjadi sasaran”. Pemaknaan seperti ini mulai berkembang di Indonesia sehingga deradikalisasi tidak hanya terbatas dilakukan pada bekas kombatan yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, tetapi juga dapat dilakukan di berbagai ruang publik serta melalui berbagai media.77

Deradikalisasi merupakan perubahan pola dan menjadi formula terbaru dalam penanganan terorisme saat ini. Deradikalisasi adalah upaya untuk membendung laju radikalisme. Radikalisme ini perlu dibendung, karena gerakan dan pemikiran individu maupun kelompok yang berorientasi pada aktivitas radikal, seperti yang mengarah pada kekerasan, peperangan dan teror, mengancam bagi kehidupan masyarakat.

76 Imam Mustofa, “Deradikalisasi Ajaran Agama: Urgensi, Problem dan Solusinya”, Jurnal Akademika, Vol.16, No. 2, hlm.10

77 Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer; Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia, hlm. 33.

Deradikalisasi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pendidikan per-damaian merupakan salah satu cara yang efektif. Pendidikan ini berproses dalam pembelajaran yang mengajarkan realitas keragaman (pluralisme) agama, ras, suku, budaya, dan bahasa yang harus dikelola dan dihormati. Peserta didik akan dapat menjauhkan diri dari sikap dan tindakan-tindakan ekstrem dan radikal, terutama yang mengatasnamakan agama. Pendidikan perdamaian (pea-ce education) dapat menjadi proses deradikalisasi umat beragama.78

Jalan yang terbaik ke depan untuk mengusung deradikalisasi adalah dengan membangun deradikalisasi paham keagamaan melalui lembaga pendidikan. Kiranya sangat perlu digerakkan review kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan antiradikalisasi agama. Program deradikalisasi ini harus digalakkan sejak dini kalau perlu sejak pendidikan dasar. Bukan hanya terfokus pada perguruan tinggi sebagaimana berlangsung selama ini. Brosur atau sosialisasi program deradikalisasi disediakan di ruang publik. Keluarga sebagai institusi dasar dan terkecil dalam sistem sosial perlu dilibatkan dalam program ini. Intinya segala sesuatu yang berpotensi menumbuhkan terorisme secara sosial, politik, ekonomi dan sebagainya harus diantisipasi.79

Radikalisme erat kaitannya dengan sikap intoleransi. Laporan survei LaKIP menunjukan 62,7 persen guru dan 40,7 persen siswa menolak berdirinya tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka. Sebanyk 57,1 persen guru dan

78 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013, h. 50.

79

36,9 persen siswa juga menolak bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Lebih jauh lagi, dari hasil survei itu juga ditemukan fakta yang menarik bahwa 21,1 persen guru dan 25,8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Guru dan siswa pun menganggap persoalan bangsa akan teratasi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia (65 persen). Bahkan menurut hasil survei LaKIP hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama.80

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi terhadap perbedaan etnis, budaya dan agama yang selama terdapat dalam sistem pendidikan agama Islam masih jauh dari harapan. Dengan perkataan lain pema-haman keagamaan yang dibangun melalui proses pendidikan agama Islam masih jauh dari nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang merupakan bagian dari nilai-nilai humanisme.

Nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme berpengaruh signifikan dalam upaya membentuk pola pemahaman keagamaan di kalangan peserta didik. Nilai- nilai tersebut tidak hanya tertuang dalam muatan kurikulum pendi-dikan agama Islam, namun juga tercermin dari pemahaman guru yang diapli-kasikan dengan pendekatan dan metode yang digunakan dalam proses pendi-dikan agama Islam. Pandangan dan pemahaman yang positif bagi guru agama terhadap paham pluralisme dan multikulturalisme pada gilirannya akan mampu mentransformasikan pola pemahaman keagamaan yang inklusif di kalangan

80 Hasil survei LaKIP yang ditulis M. Bambang pranowo, Direktur LaKIP, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Lihat Koran Tempo, 29 April 2011.

peserta didik. Pada posisi ini, pendidikan agama Islam memegang peranan kunci dalam menginternalisasikan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme di kalangan peserta didik.81

Dengan mengacu pada pemahaman terhadap arti deradikalisasi sebagaimana yang dikemukakan pada bagian pendahuluan, maka setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh institusi pendidikan. Pertama melakukan deteksi secara dini (early warning) terhadap pergerakan paham radikal baik yang melalui proses dari atas ke bawah (top-down process) yang dilakukan oleh pihak luar, maupun yang dilakukan dari bawah ke atas (bottom-up process) yakni individu sendiri mengekplorasi paham radikal melalui berbagai sumber sehingga dirinya terinfiltrasi. Kemudian langkah kedua yang perlu dilakukan oleh institusi pendidikan dalam rangka deradikalisasi adalah dengan mengembangkan suatu model pendidikan yang dapat mencegah terjadinya infiltrasi paham radikal. Model ini perlu mangacu pada suatu desain utuh yang memuat; kerangka pandang yang mendasar (philosophical foundation) terhadap Islam; materi; model pembelajaran; serta lingkungan yang dapat menum-buhkan pengetahuan dan sikap pengakuan, toleran, dan kooperatif

81 Suyatno, “Multikulturalisme Dalam Sistem Pendidikan Agama Islam : Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Jurnal ADDIN, Vol. 7, No. 1, Februari 2013, hlm. 98.

terhadap pihak yang berbeda baik karena alasan agama, paham keagamaan, budaya, dan lain sebagainya.82

Bila dibuat suatu konseptualisasi, maka model pendidikan ini dapat disebut dengan model pendidikan multikultural. Dengan demikian dapat dipertegas di sini, model pendidikan yang perlu dikembangkan dalam rangka deradikalisasi adalah model pendidikan multikultural. Model deradikalisasi melalui pendidikan multikultural selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah.83

Gambar 2.1

Model Deradikalisasi Lewat Pendidikan

82 Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer; Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia, hlm. 65. 83 Syamsul Arifin, hlm. 71 Radikalisasi Islam: 1. Pembacaan radikal terhadap Islam. 2. Objektivitas pembacaan Islam radikal. 3. Rekruitmen dan pelatihan.

4. Kondisi dalam negeri (transisi demokrasi) 5. Pengaruh

perkembangan global (isu-isu krusial dunia Islam) 6. Dampak teknologi informasi Kekerasan: 1. Wacana 2. Ketegangan dan konflik 3. Terorisme Hard Power (Security) Deradikalisasi Soft Power (Civil Socieity) Pendidikan Multikultural : 1. Pembacaan moderat dan toleran 2. Dekonstruksi dan rekonstruksi doktrin-doktrin 3. Materi 4. Pembelajaran dan lingkungan Muslim, Moderat, Inklusif, Kooperati f, Tegas