4. Pemantauan, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum
5.9. Desain kelembagaan pengelola terumbu karang di daerah perlindungan laut di pulau Kaledupa
Berdasarkan analisis sebelumnya terlihat bahwa sistem tata kelola kelambagaan pengelola terumbu karang DPL-BM di Pulau Kaledupa masih menimbulkan berbagai permasalahan khususnya disetiap aktor pengelola. Berakhirnya program COREMAP II pada tahun 2011 berimplikasi terhadap program kegiatan pengelolaan yang akan berhenti. Para aktor, seperti PMU, senior fasilitator, fasilitator masyarakat, motivator desa dan lembaga LPSTK masa kontarknya akan ikut berakhir. Oleh sebab itu dalam mengantisipasi proses pengelolaan terumbu karang di DPL tidak ikut berhenti diperlukan format atau mekanisme kelambagaan formal yang lebih baik berdasarkan permasalahan yang terjadi.
Sementara itu berdasarkan hasil kerangka IAD keterkaitan antara kondisi fisik (biophysical), sosial masyarakat (attribute of community) dan aturan yang digunakan (rule-in-use) terlihat jelas dalam arena aksi dan pola interaksi antar aktor. Selama ini pola interaksi antar aktor tersebut belum mampu memperbaiki atau mempertahankan kondisi sumberdaya (ekosistem terumbu karang) terutama di lokasi DPL. Hal ini diakibatkan aturan yang digunakan belum secara baik dilaksanakan khususnya dalam proses pengawasan serta tranpaansi pendanaan program dalam kegiatan sering dikeluhkan oleh kelompok masyarakat. Berdasarkan kondisi yang ada sehingga diperlukan peningkatan sistem kelambagaan pengelola terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa. Sehingga kehadiran kelompok masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang DPL di Pulau Kaledupa dapat berlangsung dengan lebih produktif dan efektif.
Selain itu penguatan Kelembagaan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi aturan-aturan yang dibuat. Oleh sebab itu untuk mencapai hal tersebut terlebih dahulu format desain kelembagaan harus dibuat berdasarkan karakteristik masyarakat disetiap lokasi, secara lengkap usulan desain kelambagaan pengelolaan terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa dapat dilihat pada Gambar 39.
Keterangan : Intruksi Pengawasan Koordinasi
Gambar 39 Desain kelambagaan pengelola terumbu karang daerah perlindungan laut di Pulau Kaledupa.
Komponen utama yang perlu diperhatikan dalam peningkatan sistem kelembagaan pengelola tersebut adalah (1) wewenang (authority); (2) Hak (right); (3) aturan (rules); (4) pemantauan dan penegakan hukum (monitoring accountability &enferocement) dan (5) sanksi (sanctions). Dari kelima komponen tersebut diharapkan sistem kelembagaan dapat berjalan dengan baik sehingga terwujud pengelolaan yang berdasarkan pada keterpaduan (integrated) keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).
Collective Choice
Balai Taman Nasional Kabupaten Wakatobi
BUPATI Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
(CCEB)
Opreational Choice
Pemerintah Desa Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi Badan Perwakilan Desa Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang Kelompok Nelayan Bidang Produksi Kelompok Nelayan Bidang Konservasi Pengawas Sumberdaya Tingkat Kabupaten Pengawas Sumberdaya Tingkat Desa Lembaga Pengawas Keuangan DPRD
Hasil analisis sebelumnya lembaga yang direkomendasikan untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut Pulau Kaledupa harus berawal dari inisiasi masyarakat. Pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan lembaga lain akan berperan sebagai pendamping. Sehingga tercipta keterpaduan pengelolaan antara masyarakat dan pemerintah (ko-manajemen).
Berdasarkan Gambar 35 terlihat bahwa peran pemerintah dan masyarakat adalah saling berkoordinasi atau bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan. Sehingga masyarakat ditempatkan pada posisi yang sama dengan pemerintah. Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir merupakan wakil masyarakat atau kelompok nelayan serta beberapa unsur lain, seperti LSM,
Pemerintah. desa sebagai penghubung pada level oprasional sangat vital dalam pengelolaan DPL di Pulau Kaledupa. Hal ini disebabkan keberadaan pemerintah desa tersebut menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi ditingkat masyarakat dalam hal ini Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Oleh sebab itu untuk memperkuat eksistensi badan tersebut harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu pemerintah desa bersama LPSTK harus merumuskan aturan main bagi masing-masing aktor yang menjadi anggotanya agar interaksi antar aktor dalam lembaga dapat berjalan dengan baik. Selain itu juga aturan main tersebut berfungsi untuk menghindari berbagai konflik kepentingan pada masing-masing aktor.
Permasalahan utama yang dihadapi di daerah perlindungan laut adalah kurangnya pengawasan. Oleh sebab itu pada collective choice level terdapat usulan baru untuk meningkatkan sistem pengawasan yaitu penggabungan team pengawas sumberdaya ditingkat kabupaten yang bekerja bersama dalam melakukan pengawasan. Komposisi team pengawas tersebut merupakan unsur pemerintahan, seperti DKP, Polairut, TNW dan Kepolisian. Penggabungan ini dimaksudkan agar patroli pengawas lebih efisien dan terjalin kerjasama antar personil sehingga memudahkan koordinasi dilapangan. Pada opreational choice level terdapat team pengawas tingkat desa dari unsur masyarakat dan nelayan. Setiap pengawasan yang dilakukan akan selalu berkoordinasi kepada team pengawas pada tingkat kabupaten sehingga dalam proses pelaporan lebih cepat.
Sebelumnya pengambilan kebijakan penuh dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang DPL di P.Kaledupa berada ditangan pemerintah. Namun, dalam prinsip ko-manajemen pemerintah dan masyarakat memiliki tugas dan fungsi yang sama dalam pengelolaan. Oleh sebab itu untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah dan masyarakat memiliki wewenang dan otoritas yang sama karena memiliki kepemilikan hak atas sumberdaya, hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan yang dikemukakan oleh Ruddle & Satria (2010) yaitu salah satu pemberian wewenang pengelolaan sumberdaya dapat diberikan kepada kepemilikan hak atas sumberdaya. Jika dihubungkan dalam ko-manajemen berarti pemerintah dan masyarakatlah yang memeiliki kepemilikan hak atas sumberdaya tersebut.
2. Hak (Right)
Proses pengelolaan berawal dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Dalam proses tersebut keterlibatan masyarakat sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hasil identifikasi hak pengelolaan ekosistem terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa, masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam pengelolaan. Namun, kenyataannya masyarakat hanya berperan aktif dalam proses perencanaan setelah itu pemerintah yang mengambil alih seluruh proses pengelolaan. Oleh sebab itu agar lebih efektif masyarakat harus memiliki hak pengelolaan yang sama dengan pemerintah karena terbukti kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan menyebabkan kegiatan pengawasan tidak berjalan dengan optimal.