• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coral reef Ecosystem Management of Marine Protected Areas in Kaledupa Island Central Wakatobi District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Coral reef Ecosystem Management of Marine Protected Areas in Kaledupa Island Central Wakatobi District"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN WAKATOBI

HASAN ELDIN ADIMU

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir ditesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Hasan Eldin Adimu

(3)

iii

HASAN ELDIN ADIMU. Coral reef Ecosystem Management of Marine Protected Areas in Kaledupa Island Central Wakatobi District. Under direction of ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and TARYONO.

The study concerned to analyze the management of coral reef ecosystems in Marine Protected Areas (MPAs) Kaledupa Wakatobi. The used analytical frame work of Institutional Analysis and Development (IAD), development institutional concerd IAD is used to analyze the performance and structure of the management institutional MPAs. This will be evaluated by ecological, social, and institutional (rules used). Ecological aspects represented by changes in life of coral cover on the date of and after the MPAs formed, the social aspect is represented by the condition of society and people's perceptions, institutional aspect will focus on rules that used in the institutional structure and performance. The results showed that the location of the general conditions study and life of coral cover have decreased in the early establishment by 35.5% 51.3% (mediumwell) to 17.2% -39.9% (broken-being) after MPAs runs. The decline was caused by the activities of overfishing and the use of fishing tools that are not environmentally friendly. From the institutional aspect, still can’t protect the resources. This can be seen from the surveillance sistem which is weak, the punishment didn’t work properly, and so the rules haven’t fully accepted by society.

(4)

iv

HASAN ELDIN ADIMU. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan TARYONO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan ekosistem terumbu karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Kajian penelitian menggunakan frame work analisis Institutional Analysis and Development (IAD), Konsep IAD ini merupakan pengembangan kelembagaan yang digunakan untuk menganalisis performa dan struktur kelembagaan dalam pengelolaan DPL. Dalam Kajian tersebut akan ditinjau dari aspek ekologi, sosial, dan kelembagaan (aturan yang digunakan). Aspek ekologi diwakili oleh perubahan tutupan karang hidup pada saat penetapan DPL dan setelah DPL terbentuk, aspek sosial diwakili oleh kondisi masyarakat dan persepsi masyarakat, aspek kelembagaan akan fokus terhadap aturan yang digunakan dalam struktur dan performa kelembagaan. Hasil penelitian dilokasi kajian menunjukan bahwa secara umum kondisi tutupan karang hidup mengalami penurunan, dimana pada awal penetapannya sebesar 51,3%-35,5% (baik-sedang) menjadi 39,9%-17,2% (sedang-rusak) setelah DPL ditetapkan. Penurunan terjadi masih disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan secara berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Persepsi masyarakat tentang keberadaan DPL saat ini perlu dipertahankan namun, dengan perbaikan sistem pengelolaannya. Karena masyarakat menganggap pada saat penetapan DPL peningkatan pendapatan cukup dirasakan.

Dari aspek kelembagaan belum dapat memberikan pengaruh terhadap perlindungan sumberdaya, hal ini dapat dilihat dari sistem pengawasan yang lemah, sanksi yang diterapkan tidak berjalan dengan baik serta aturan yang digunakan belum dapat diterima secara penuh oleh masyarakat. Hal ini disebabkan hubungan antar kelembagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolaan DPL belum berjalan dengan baik. Dalam rekomendasi pengelolaan peningkatan performa kelembagaan akan terjadi apabila struktur kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Sehingga rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah perlindungan laut Pulau Kaledupa dapat dilakukan dengan memperhatikan, wewenang yang jelas dalam pengelolaan, hak pemanfaatan, aturan yang digunakan, monitoring, sistem sanksi, dan pendanaan.

(5)

v

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(6)

vi

DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DI PULAU KALEDUPA

KABUPATEN WAKATOBI

HASAN ELDIN ADIMU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vii

(8)

viii

NIM : C252100071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Taryono, S.Pi, M.Si Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr.H. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(9)

ix

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini ialah Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi.

Penulis sangat menyadari karya ini dapat dirampungkan berkat dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan sejak proses masa perkuliahan hingga pada tahap akhir penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghanturkan terima kasih dan rasa hormat sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr.Ir.Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Taryono, S.Pi.,M.Si sebagai komisi pembimbing yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis demi penyempurnaan penelitian ini, baik dari segi substansi maupun penulisan.

2. Bapak Dr.Ir.Ario Damar, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis.

3. Bapak Prof.Dr.Ir.Mennofatria Boer, DEA, ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang selalu memberikan nasehat, kemudahan selama menempuh perkuliahan.

4. Seluruh dosen pengajar atas tambahan ilmu dan motivasi dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

5. COREMAP-II Kementrian Kelautan dan Perikanan atas bantuan beasiswa penulisan tesis.

6. Keluarga tercinta, Hasanuluki Adimu (Ayah), Ibunda Mislina (Alm), Suhura, Elfiadin Adimu, SH (Alm), Fiki Maldina, Rian Fitra, Muh.Elvan Adimu dan Suarti atas doa dan motifasi selama perkuliahan.

7. Rekan-rekan SPL dan SDP angkatan 2010 atas keakraban dan persaudaraannya selama menempuh perkuliahan.

8. Seluruh team penelitan (Muh.Alim Setiawan, Hardin Bambang, Bapak Maladi dan Sarjanudin) atas bantuan dan kerjasama selama di lapangan.

9. Latifa Fekri, S.Pi atas motifasi yang selalu diberikan selama penyelesaian tesis. 10. Seluruh keluarga besar Wacana Sultra serta rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor (Bapak Tasrudin, Kakanda Asmadin, Kakanda Alwi, Al Azhar, La Ode Muh.Arsal, serta yang lainnya).

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Maret 2013

(10)

x

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

(11)

xi

2.1 Pengelolaan EkosistemTerumbu Karang ... 7

2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang ... 10

2.3 Kerusakan Terumbu Karang ... 11

3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 23

3.5 Pengamatan Kondisi Ekologi ... 24

3.5.1 Kondisi Terumbu Karang ... 23

3.7.3 Analisis Kelimpahan Megabenthos ... 31

3.7.4 Analiss Kelembagaan ... 31

3.7.5 Perbaikan Pengelolaan ... 33

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITI ... 35

4.1 Kondisi Umum Wilayah ... 35

4.1.1 Keadaan Geografis ... 35

4.1.2 Luas Wilayah dan Sistem Pemerintahan ... 35

4.2 Karakteristik Fisik Pulau ... 36

(12)

xii

4.3.3 Pendapatan ... 43

4.3.3 Kondisi Perikanan ... 45

4.4 Daerah Perlindungan Laut ... 48

4.4.1. Kondisi Tutupan Karang Hidup ... 48

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Kondisi Terumbu Karang DPL Pulau Kaledupa ... 53

5.1.1 Kondisi Terumbu Karang disetiap Stasiun DPL ... 54

5.1.2 Komponen Tutupan Terumbu Karang di Loasi DPL ... 59

5.2 Komunitas Ikan Karang ... 61

5.2.1 Kelimpahan Ikan Karang ... 61

5.2.2 Kekayaan Jenis, Indeks Keaneka Ragaman dan Keseragaman .. 66

5.3 Kondisi Perairan Pulau Kaledupa ... 67

5.4 Komunitas Megabenthos ... 68

5.5 Analisis Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 71

5.5.1 Kondisi Fisik (Physical Condition) ... 73

5.5.2 Kondisi Sosial Masyarakat (Attribute of Community) ... 79

5.5.3 Aturan ((Rule in Use) ... 85

5.5.4 Arena Aksi ... 91

5.5.5 Pola Interaksi Antar Aktor ... 94

5.5.6 Identifikasi Konflik Pengguna Sumberdaya ... 95

5.6 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang DPL ... 96

5.7 Deasain Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang DPL ... 105

6 KESIMPULAN ... 111

6.1. Simpulan ... 111

6.2. Saran ... 111

(13)

xiii

1 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Terumbu Karang ... 14

2 Kebutuhan Data yang Diperlukan Dalam Penelitian ... 23

3 Daftar Penggolongan Komponen Dasar Penyusun Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Lifeform Karang dan Kodenya ... 25

4 Jenis Responden dan Jumlah Responden ... 28

5 Luas Wilayah dan Administrasi Pulau Kaledupa ... 36

6 Kisaran Parameter Kualitas Perairan di Pulau Kaledupa ... 39

7 Data Kependudukan Pulau Kaledupa ... 42

8 Statistik Tingkat Pendidikan di Pulau Kaledupa ... 42

9 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayaan ... 44

10 Spesifikasi Armada Tangkap yang Digunakan dibeberapa Desa DPL ... 47

11 Lokasi DPL pada Seluruh Desa/Kecamatan di Pulau kaledupa ... 48

12 Hasil Sensus Kelompok Ikan Karang Menurut Famili, Kelompok Ikan dan Jumlah Kelimpahan Individu Setiap Stasiun DPL ... 62

13 Komposisi Jumlah Individu Berdasarkan Famili ... 63

14 Kekayaan Jenis, Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman Ikan (E). 66 15 Data Kualitas Perairan di DPL Pulau Kaledupa ... 67

16 Komunitas Megabenthos di Lokasi Penelitian ... 68

17 Kondisi Secara Umum Komponen Ekologi disetiap Stasiun ... 70

18 Kondisi Tutupan Karang Hidup Sebelum dan Setelah DPL ... 73

19 Dampak Kerusakan Terumbu Karang disetiap Stasiun ... 79

20 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Lokasi Kajian ... 79

21 Jumlah Nelayan Tangkap dan Pembudidaya Rumput Laut ... 80

22 Jumlah Pendapatan NelayanBerdasarkan Perbedaan Musim ... 83

23 Identitas Aktor, Fungsi, Peran, dan Tanggung Jawab ... 91

24 Hak Terhadap Sumberdaya Perikanan di Lokasi DPL ... 100

(14)

xiv

3 Sketsa Letak Posisi Transek Terhadap Garis Pantai dan Kedalaman ... 24

4 Foto pengambilan Data Karang dengan Metode PIT ... 24

5 Skema Cara Pencatatan Data Karang Hidup dengan Metode PIT ... 25

6 Sketsa Visual Transek Pengamatan Ikan Karang ... 27

7 Kerangka Berfikir Dalam Analisis Kelembagaan(IAD) ... 32

8 Peta Geografis Pulau Kaledupa ... 35

9 Topografi Pulau Kaledupa ... 38

10 Kondisi Klimatologi Keseluruhan di kabupaten Wakatobi Tahun 2009 .... 38

11 Dinamika gelombang di perairan Wakatobi ... 40

12 Kecepatan dan Arah Arus Pada Kedalaman 13m di Pulau kaledupa ... 44

13 Perkembangan Subsektor dengan Pertumbahan Nilai Tambah Atas Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Waktobi 2006-2009 ... 46

14 Jenis dan Jumlah alat Tangkap Penangkapan Ikan di Pulau Kaledupa ... 47

15 Jumlah Armada Kapal Penangkapan Ikan di Pulau Kaledupa ... 49

16 Persentase Rata-rata Tutupan Karang Hidup di Semua Lokasi DPL ... 51

17 Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL Kecamatan Kaledupa ... 48

18 Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL Kecamatan Kaledupa Selatan ... 52

19 Histogram Rata-rata Persentase Tutupan Karang Hidup di Lokasi DPL .... 53

20 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 1 ... 54

21 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 2 ... 56

22 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 3 ... 57

23 Persentase Rata-rata Komponen Tutupan Karang Pada Stasiun 4 ... 58

24 Histogram Rata-rata Tutupan Komponen Terumbu Karang di Setiap Stasiun ... 59

25 Komponen Ekosistem Terumbu Karang ... 60

26 Jumlah Kelompok Ikan Karang diseluruh Stasiun ... 64

27 Foto Biota Megabenthos di Lokasi Penelitian ... 69

28 Kerangka Berfikir Dalam Analisis Kelmbagaan (IAD) ... 72

29 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Lokasi DPL ... 74

30 Kegiatan Pengambilan Pasir dan Batu Karang oleh Masyarakat ... 78

31 Rata-rata Persentase Jumlah Tingkat Pendidikan Nelayan ... 81

32 Jumlah tangkap di Lokasi Penelitian ... 84

33 Persepsi Keberadaan Daerah Perlindungan Laut ... 85

34 Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang ... 87

35 Hubungan antar Kelembagaan dan Aktor Dalam Pengelolaan DPL ... 95

36 Hasil Pemetaan Konflik Antar Pengguna Sumberdaya ... 96

37 Desain Prinsip Pengelolaan Menurut Ruddle & Satria (2010) ... 98

38 Mekanisme Pengawasan Daerah Perlindungan Laut ... 103

(15)

xv

1 Tabulasi Data Persen Tutupan Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan

(16)

1.1. Latar Belakang

Terumbu karang (coral reef) merupakan salah satu ekosistem produktif di bumi yang paling kaya secara biologis. Lebih dari 275 juta orang tinggal dekat dengan terumbu karang (kurang dari 10 km dari pantai dan dalam 30 km dari terumbu karang), memiliki manfaat sebagai sumber makanan dan pendapatan (Burke et al. 2012).

Luas terumbu karang secara global saat ini adalah 249.713 km2, Australia memiliki terumbu karang terluas di dunia sekitar 41.942 km2 atau 17%, sedangkan Indonesia terluas kedua sekitar 39.538 km2 atau 16% dari luas terumbu karang dunia (Burke et al. 2011). Potensi terumbu karang di Indonesia, salah satunya berada di Pulau Kaledupa yang merupakan bagian dari Kabupaten Wakatobi dengan luas terumbu karang 117.22 km2 (CRITC-LIPI 2006).

Penduduk Pulau Kaledupa memanfaatkan areal terumbu karang sebagai daerah penangkapan ikan dan hasil laut lainnya. Semakin tingginya aktifitas penangkapan di daerah tersebut berdampak terhadap penurunan kualitas fisik terumbu karang. Hasil penelitian Arami (2006) sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap bubu dan sero di perairan Pulau Kaledupa ternyata menimbulkan dampak kerusakan terumbu karang, karena nelayan masih menggunakan batu karang untuk menindih bubu serta pemasangan tiang pancang alat tangkap sero di areal terumbu karang. Kondisi ini semakin diperparah dan menambah kerusakan jika nelayan masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak dan racun ikan (potassium sianida), maupun aktifitas lain, seperti penambangan pasir pantai, batu karang, dan lain-lain.

(17)

masyarakat dalam upaya melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi bersama COREMAP dan masyarakat menetapkan kawasan konservasi Marine Management Area (MMA) atau disebut dengan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) di setiap desa/kelurahan. Tujuan penetapan DPL untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas ekosistem (terumbu karang) serta sumberdaya lainnya yang ada sehingga diharapkan peran masyarakat lebih aktif dalam pengelolaan terumbu karang.

Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Kaledupa sebelum penetapan DPL sudah mengalami tekanan akibat penangkapan ikan secara berlebihan dengan alat tangkap merusak. DPL ini diharapkan dapat meminimalisir dampak kerusakan terumbu karang dengan sistem zonasi atau pembagian wilayah tangkap. Sehingga mengurangi penangkapan ikan secara berlebihan diarea yang kondisi terumbu karangnya masih baik. Pada beberapa Negara yang berhasil menggunakan konsep ini, seperti Filipina dan Pasifik Selatan telah terbukti secara efektif dapat melindungi ekosistem terumbu karang sekaligus meningkatkan produksi perikanannya (Alcala 1988; dan Alcala 1989 in Sinaga 2009).

Penetapan DPL di Pulau Kaledupa pada 2008 sebanyak 6 kawasan di desa/kelurahan dan bertambah menjadi 11 DPL hingga 2011. Hasil monitoring

(18)

setelah penetapan DPL, analisis dan strategi pengelolaan kelembagaan DPL di Pulau Kaledupa.

1.2. Perumusan Masalah

Fakta bahwa terjadi kegiatan pengrusakan dan pemanfaatan sumberdaya tidak ramah lingkungan masih terjadi dilokasi DPL menunjukkan bahwa daerah perlindungan bagi ekosistem terumbu karang belum sepenuhnya terjaga dengan baik. Penyebab kerusakan terumbu karang tidak terlepas dari peran aktor yaitu masyarakat di desa Pulau Kaledupa maupun pihak lain yang ikut

memanfaatkan sumberdaya. Di tingkat desa sebenarnya sudah menyusun peraturan

desa yang sepenuhnya mengoperasionalisasi kegiatan pengelolaan terumbu karang.

Koordinasi kelembagaan di tingkat penentu kebijakan di Kabupaten Wakatobi belum

berjalan dengan optimal. Menurut Kartodiharjdo & Jamhani (2006) bahwa apabila masih dihasilkan kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan, maka dapat diduga ada masalah dalam kelembagaan seperti, informasi diantara pelaku yang tidak seimbang, kapasitas tidak seimbang, masalah dalam penetapan hak atas sumberdaya alam dan aturan yang digunakan.

Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

(i) Keputusan di tingkat atas dalam bentuk peraturan daerah (SK Bupati) belum

diwujudkan, sehingga pendekatan kelembagaan secara terpadu dan holistik belum

optimal memenuhi aspirasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang; dan

(ii) Penetapan kelompok masyarakat yang dibentuk oleh COREMAP tidak lagi

dikembangkan secara berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari Penelitian ini adalah :

1. Mengkaji perubahan kondisi aktual ekosistem terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa

(19)

3. Menganalisis strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa

1.4 Manfaat Penelitian.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi para pihak (stakeholder) untuk mengelola ekosistem terumbu karang DPL berbasis kelembagaan dapat dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan.

2. Menjadi bahan masukan bagi perumusan kelembagaan DPL dan lainnya, sehingga pelaksanaannya dapat terus berlangsung secara optimal.

3. Menjadi bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem dan berbasis kawasan.

1.5. Kerangka Penelitian.

Secara umum ekosistem terumbu karang di Pulau Kaledupa memiliki fungsi ekologi sebagai habitat biota perairan, mencari makan, daerah asuhan dan tempat pembibitan ikan. Fungsi sosialnya sebagai tempat penangkapan ikan, sumber pendapatan bagi masyarakat dan pihak lain yang memanfaatkan sumberrdaya tersebut untuk pengembangan ekowisata. Namun, pemanfaatan sumberdaya berlebihan dan metode penagkapan tidak ramah lingkungan menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang.

(20)

Gambar 1Kerangka pemikiran penelitian.

- Identifikasi aktor, peran dan hubungan antar aktor. berlebihan dan tidak ramah lingkungan

- Penangkapan ikan menggunakan alat tangkap merusak (Pottasium dan bom)

- Metode penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bubu, sero, tombak dan lainnya - Peningkatan pembangunan

(21)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Masyarakat pengguna terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga kelompok

stakeholders (Craik et al.1990 in Darmawan 2002) :

1)Kelompok ekstraktif, yang mengambil sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (renewable) dengan memancing atau koleksi.

2)Kelompok wisata, yang menikmati sumberdaya terumbu karang dari segi ekstetikanya untuk kegiatan wisata, baik yang ekstraktif maupun yang non-ekstraktif.

3)Kelompok peneliti/perlindungan alam, yang melindungi terumbu karang untuk kelangsungannya di masa depan dan untuk penelitian.

Pengelolaan terumbu karang yang ideal harus dapat memuaskan semua pihak pengguna (stakeholder) terumbu karang. Karena ketiga kelompok pengguna terumbu karang tersebut mempunyai kepentingan berbeda maka merekapun mempunyai visi yang berbeda-beda pula. Kelompok ekstraktif, misalnya akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya hayati yang semaksimal mungkin. Kelompok wisata akan berusaha untuk mempertahankan keindahan sumberdaya yang ada. Agar keindahan tersebut lebih laris dijual pada wisatawan, pihak pengusaha wisata bahkan akan berusaha untuk memperindah apa yang sudah ada atau membangun fasilitas tambahan untuk kemudahan dan kenyamanan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata tersebut bukan tidak mungkin akan bisa menimbulkan dampak lingkungan yang berarti.

(22)

semua pengguna terumbu karang (Darmawan 2002).

Pengelolaan terumbu karang biasa dilakukan dengan berbagai pendekatan. White & Alcala (1988) mengelompokan pendekatan dasar menjadi 7 (tujuh) macam, yaitu :

1) Membagi wilayah. Pendekatan konservasi ini membagi terumbu-terumbu karang menjadi beberapa macam wilayah yang digunakan untuk bermacam-macam keperluan dan level penggunaan.

2) Menutup temporer. Konservasi dilakukan dengan cara menutup terumbu selama beberapa waktu (minggu, bulan) pada musim reproduksi hewan atau tanaman yang penting untuk dilindungi.

3) Menutup dan membuka selama beberapa waktu. Pendekatan ini membolehkan penggunaan terumbu karang selama beberapa waktu yang diselingi oleh penutupan untuk mengembalikan terumbu karang dari dampak penggunaannya.

4) Menutup permanen suatu wilayah kecil yang terpilih (suaka laut/perikanan). 5) Menentukan level penggunaan yang diperbolehkan. Penggunaan terumbu

karang yang berlebihan dapat bersifat merusak, jika melewati daya dukungnya. Karena itu pengaturan tentang batas maksimal penyelam per hari, atau batas penangkapan ikan per tahun merupakan aturan pengelolaan yang perlu dipikirkan.

6) Melarang atau membatasi alat-alat eksploitasi yang tidak dapat diterima. Misalnya, jarring yang berukuran kecil atau muro-ami yang batunya menyentuh terumbu.

7) Membuat batas-batas ukuran penangkapan. Pengambilan spesies-spesies yang diijinkan diatur dengan ketentuan batas-batas maksimum atau minimum untuk menjamin bahwa biota yang boleh ditangkap sempat bertelur sebulum mati.

(23)

karang. Hal buruk lain dari kelakuan manusia yang memberi dampak terhadap terumbu karang adalah melalui efek bahan pencemar yang dihasilkan. Pembuangan bahan kimia atau modifikasi biochemis atau kondisi fisik perairan disekitar terumbu karang dapat mempengaruhi beberapa kondisi fisiologi bagi semua organisme yang hidup di terumbu karang.

Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki sendiri bila terjadi kerusakan dan memperbaharui bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem alam lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya. Bagaimanapun juga, tekanan terhadap keberadaan terumbu karang banyak diakibatkan oleh kegiatan manusia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah preventif. Hal tersebut merupakan hasil dari kegiatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang baik dengan cara mengidentifikasi tingkat kerawanan dari terumbu karang (Dahuri

et al. 2008).

Selanjutnya Sale (2008) secara global, pengelolaan terumbu karang dengan tidak efektif menyebabkan tekanan terhadap ekosistem ini. Masa depan terlihat sangat redup, namun kita memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih efektif dari pengelolaan terumbu jika kita ingin memulainya lebih baik. Membuat perbaikan besar untuk kondisi ekosistem ini sangat berharga, laut pesisir tidak memerlukan penemuan-penemuan ilmiah baru, tapi komitmen baru untuk menerapkan pengetahuan yang sudah kita miliki untuk mengelola sehingga keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang menjadi mungkin.

(24)

menekankan ekosistem disusun oleh kuat proses umpan balik positif atau negatif. Penyebab dan konsekuensi dari terumbu menurun apakah praktek-praktek pengelolaan mengatasi masalah pada skala yang sesuai. Kesimpulan bahwa baik ilmu pengetahuan dan manajemen saat ini gagal untuk mengatasi manajemen bersama dari ekstraktif kegiatan dan proses ekologi yang mendorong ekosistem (misalnya produktivitas dan herbivora). Kebanyakan terumbu upaya konservasi diarahkan terhadap pelaksanaan cadangan, tetapi pendekatan baru yang diperlukan untuk mempertahankan ekosistem fungsi di daerah dieksploitasi.

Alat manajemen terbaik dalam pengelolaan terumbu karang di seluruh dunia tidak mencapai tujuan konservasi. Pengelolaan terumbu karang bahkan ditingkatkan untuk mengurangi laju degradasi, sedangkan perubahan iklim global memburuk sehingga berdampak terhadap terumbu karang. Prospek untuk masa depan terumbu karang 'berpusat pada penerimaan dari restorasi, sebuah 'aktifitas' manajemen instrumen. Sebuah konsep yang terbaru adalah ' Perkebunan'. Gagasan ini didukung oleh protokol dua langkah. Langkah pertama memerlukan pemeliharaan bibit karang di bawah air yang dirancang khusus untuk pembibitan, dengan ukuran transplantabel, sebelum menerapkan langkah kedua, out-tanam ke daerah yang rusak dari pembibitan ternak-koloni karang. Hanya pembentukan skala besar pembibitan dan transplantasi tindakan, bersama dengan alat manajemen konvensional, akan dapat mengatasi degradasi terumbu yang luas pada skala global (Rinkevic 2008).

2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang

Keberadaan karang dalam suatu perairan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Faktor-faktor yang paling menentukan dalam pengontrolan komposisi komunitasnya adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi, salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan makanan dan nutrien organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting (Veron 1986).

(25)

perairan yang lebih dalam 50-70m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 25 m (Kinsman 1964). Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23-25°C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditolaransi berkisar antara 36-40°C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling yang naik ke permukaan disebabkan oleh pengaruh suhu, sehingga menyediakan nutrient bagi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken 1988).

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxhantellae untuk melakukan proses fotosintesis. Titik konpensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15-20% dari intensitas di permukaan (Nybakken 1988). Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik intensitas maupun komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat mencapai kedalaman 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka, tetapi dapat juga mencapai hanya kurang dari satu meter sesudah terjadi badai di tempat itu (Lalamentik 1991).

Kekeruhan berkaitan dengan pembatasan fotosintesis. Cahaya meningkat dengan kedalaman dan macroalgae, tapi tidak akan terjadi di perairan dangkal, bahkan dilingkungan sangat keruh. Keterbatasan cahaya juga sangat mengurangi perekrutan terumbu karang. Sedimentasi merupakan gangguan bagi terumbu karang. Sedimentasi mengurangi pertumbuhan dan kelangsungan hidup dalam berbagai jenis karang, meskipun respon secara substansial antar spesies berbeda dan juga antara tipe sedimen yang berbeda. Sedimentasi meningkatkan pertumbuhan macroalgae sehingga menjadikan faktor utama yang mempengaruhi perekrutan dan tahapan awal karang (Fabricius 2005).

2.3. Kerusakan Terumbu Karang

(26)

akibat pengeboman dan kegiatan yang merusak lainnya, atau kondisi alam yang tidak memungkinkan tumbuhnya karang batu (Darmawan 2002).

Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentang alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah yang besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain itu juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak dan peptisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan (Brown 1987).

Kegiatan penambangan terumbu karang dapat menyebabkan peningkatan erosi pantai dan berbagai kerusakan pantai lainnya. Hal ini disebabkan hilangnya fungsi terumbu karang sebagai penahan gelombang. Satu studi di Indonesia menunjukan bahwa rusaknya terumbu karang oleh usaha pertambangan mengakibatkan timbulnya erosi yang parah di pantai sehingga mengancam lokasi pemukiman dan pola tata guna lahan setempat. Kejadian yang serupa terjadi juga di pantai Minglanilla dan Fernando, Cebu, di mana masyarakat pribumi telah menambang terumbu karang penghalang untuk bahan ubin. Penambangan terumbu karang merupakan ancaman terbesar terhadap sumber daya perairan karena laju pertumbuhannya lambat. Sehingga dapat di kategorikan sumber daya yang tak terbaharui (Dahuri et al. 2008).

Menurut Suharsono (1988), penyemprotan cyanida pada karang massive

(27)

penangkapan ikan secara illegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini di bawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang.

Aktifitas pembangunan di wilayah pesisir dewasa ini, seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan dengan racun (KCN) dan bahan peledak, dan lainnya, didukung dengan peristiwa alam, seperti badai, gempa bumi, kenaikan suhu (El-Nino), dapat mengganggu ekosistem terumbu karang (Supriharyono 2007). Lanjut Dahuri et al. (2008). Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi.

(28)

dapat dilihat pada Tabel 1 :

Tabel 1 Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem terumbu karang

Kegiatan Dampak Potensial dapat menimbulkan kematian masal hewan terumbu karang.

Pembuangan limbah panas

- Meningkatnya suhu air dengan 5-10oC di atas suhu ambient air, dapat mematikan karang dan hewan lainnya serta tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang; Penggundulan hutan di

lahan atas (upland)

- Sedimen hasil erosi yang berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai pengangkut sediment, dengan akibat meningkatnya kekeruhan air sehingga menghambat fungsi

zooxanthellae yang selanjutnya menghambat pertumbuhan terumbu karang.

- Sedimen yang berlebihan dapat menyelimuti polip-polip dengan sedimen yang dapat mematikan karang, karena oksigen terlarut dalam air tidak dapat berdifusi masuk kedalam polip;

- Karang di terumbu karang yang lokasinya berdekatan dengan banjir akan dapat mengalami kematian karena sedimentasi yang berlebihan dan penurunan salinitas air; Pergerakan di sekitar

terumbu karang

-..Arus dapat mengangkut sediment yang teraduk ke terumbu karang dan meningkatkan kekeruhan air.

Kepariwisataan - Peningkatan suhu air karena pencemaran panas oleh pembuangan air pendingin pembangkit listrik hotel. - Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal. - Koleksi terumbu karang yang masih hidup dan

hewan-hewan lain oleh para turis dapat mengurangi keanekaragaman hewani ekosistem terumbu karang; - Rusaknya terumbu karang yang di sebabkan oleh

penyelam. Penangkapan ikan hias

dengan menggunakan kalium sianida (KCN)

- Penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalium sianida bukan saja membuat ikan pingsan, tetapi akan membunuh karang dan avertebrata lainnya di sekitar lokasi, karena hewan-hewan ini jauh lebih peka terhadap kalium sianida;

Sumber : Berwick (1983) in Dahuri (2008)

2.4. Daerah Perlindungan Laut

(29)

Beberapa penelitian memiliki obyektif dan sekaligus meneliti jenis MPA yang paling efektif dalam melestarikan sumberdaya terumbu karang dan sosial ekonomi faktor yang bertanggung jawab atas efektif konservasi. Penilaian sosial ekonomi mengungkapkan bahwa konservasi yang efektif adalah berhubungan positif dengan kepatuhan, visibilitas cadangan, dan lamanya waktu manajemen. Berhubungan negatif dengan integrasi pasar, kekayaan, dan ukuran populasi desa. Kami menyarankan bahwa dalam kasus-kasus dimana sumber daya dalam penegakan kurang, manajemen rezim yang dirancang untuk memenuhi masyarakat tujuan dapat mencapai kepatuhan yang lebih besar dan selanjutnya keberhasilan konservasi dari rezim dirancang terutama untuk melihat keanekaragaman hayati di wilayah konservasi (Timothy et al. 2006).

(30)

pengelolaan terumbu karang (Natalie et al. 2011).

Menurut Westmacott et al. (2000) Daerah Perlindungan Laut dapat memegang peranan yang semakin penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang nantinya dengan cara:

 Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi

sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan

 Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali

 Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan

masyarakat sekitar yang bergantung padanya

 Melindungi daerah yang rapuh untuk hotspot, contohnya karena kenaikan air

dingin dari bawah laut dimasa mendatang, nantinya

Selanjutnya menurut IUCN (2003), untuk perikanan, Marine Protected Area (Daerah Perlindunga Laut) secara umum dapat memberikan empat manfaat dasar, yaitu :

 Mendukung pengelolaan stok ikan, melalui :

- Perlindungan tingkat kehidupan spesifik (seperti nursery ground) - Perlindungan fungsi-fungsi penting (feeding ground, spawning ground) - Perlindungan bagi spill over spesies yang dieksploitasi

- Penyedia pusat penyebaran suplai larva bagi perikanan

 Meningkatkan outcomes sosio-ekonomik bagi komunitas lokal

 Mendukung stabilitas perikanan; dan

 Penyeimbang ekologi

2.5. Analisis Kelembagaan 2.5.1. Pengertian Kelembagaan

(31)

menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985).

Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya.

2.5.2. Karakteristik Kelembagaan

Lembaga bersifat dinamis, selalu berubah mengikuti perubahan pola interaksi, nilai, kultur, serta selera masyarakat seiring dengan perubahan waktu. Dimensi perubahan kelembagaan meliputi :

1) Perubahan konfigurasi/kepentingan pelaku ekonomi, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan.

2) Sengaja dirancang untuk mempengaruhi/mengatur kegiatan ekonomi. Tujuan perubahan adalah memperbaiki kualitas interaksi/transaksi ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan.

Profesor Elinor Ostrom, penggiat kelembagaan dari Indiana University, Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan yang membaginya dalam tiga level, yaitu 1) Operational rule yang berada pada

operational choice level, 2) Collective choice rule yang berada pada level

collective choice, dan 3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional Choice (Ostrom 1990).

(32)

sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya diatur dalam operational rule. Operational rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi, dan lain-lain (Ostrom 1990).

Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya, mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama.

2.5.3. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan

Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan. Untuk melakukan suatu analisis dan pengembangan kelembagaan dibutuhkan framework analisis kelembagaan. Framework tersebut dinamakan Institutional Analysis and Development (IAD). Kerangka analisis ini telah digunakan untuk menguji pengaturan kelembagaan - aransemen kelembagaan (institutional arrangement) dalam pengelolaan air tanah, common pool resources (misalnya sistem irigasi, kehutanan dan perikanan), organisasi metropolitan dan pengembangan infrastruktur pedesaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hasil dari analisis dan pengujian ini diharapkan akan mampu mengembangkan suatu mekanisme kelembagaan yang sesuai (Kusumastanto 2003).

(33)

Oleh karena itu, analisis kelembagaan mencoba untuk menguji permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan bagaimana aturan itu digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami, budaya individu (organisasi), sehingga mampu menyelesaikan problem yang dihadapi. Selain itu, IAD juga dapat melakukan penyusunan kelembagaan yang bersifat individu maupun organisasi (Kusumastanto 2003).

Institut Analysis Development (IAD) fokus terhadap bagaimana kebijakan atau aturan, kondisi fisik sumberdaya dan atribut komunitas melakukan tindakan dalam arena pengelolaan dalam bentuk individual maupun kelompok. Selain itu, bagaimana kombinasi kedua tindakan tersebut dalam memberikan hasil atau dampak. Komponen dalam Institutional Analysis Development (IAD) adalah situasi kondisi wilayah, stekholder, aturan terstruktur, atribut komunitas, dan kondisi material dalam arena aksi (Rudd 2003).

Kelebihan IAD adalah (1) tidak memiliki bias normatif dalam menggambarkan aransemen kelembagaan yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan; (2) IAD juga tidak mengandalkan keragaman kriteria evaluasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan aransemen kelembagaan yang berbeda, seperti pasar, hirarki yang sentralistik, dan desentralistik, dan aransemen yang polisentrik (Kusumastanto 2003).

Kerangka analisis IAD dapat digunakan untuk mengevaluasi performa kelembagaan secara menyeluruh dari berbagai perspektif yang berbeda. Salah satu cara untuk melihat performa kelembagaan adalah efisiensi yang definisinya dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan administrasi program. Performa kelembagaan juga dapat dilihat dari aspek keadilan (equity). Dua hal yang berkaitan dengan konsep keadilan adalah :

(1) Prinsip keseimbangan fiskal yang bermanfaat untuk menunjang masalah beban keuangan

(34)
(35)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi (Gambar 2). Pengamatan biofisik perairan dilakukan pada Kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Ambeua Raya (St 1), Desa Sombano (St 2), Desa Peropa (St 3) dan Desa Darawa (St 4). Penelitian dilaksanakan bulan April hingga Juni 2012.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat selam

Self Contained Underwater Breathing Apparatus (SCUBA), peta dasar (basemap), Citra Landsat 7 Thematic Mapper (TM) untuk Akuisisi Tahun 2012, perahu motor, peralatan tulis bawah air, stop watch, kamera bawah air, Global Positioning System (GPS), meteran sepanjang 50 meter, buku identifikasi karang, dan ikan karang. Pengamatan kualitas perairan terdiri dari Floating drough, secchi disk, thermometer dan refraktometer. Kegiatan wawancara menggunakan alat tulis, panduan kuisioner dan alat perekam.

3.3. Jenis dan Sumber Data

(36)

Ga

mbar

2 Loka

si pen

eli

ti

an di per

air

an P

ulau K

aledup

(37)

Tabel 2 Kebutuhan data dalam penelitian

No Komponen Jenis Data Metode Sumber

1. Biofisik/ekologi Biologi :

- Tutupan karang hidup PIT In situ - Kelimpahan ikan karang UVC In situ - Kelimpahan megabenthos RCB In situ Fisika :

- Kedalaman perairan Deep Gauge In situ & koleksi - Kecerahan perairan Secchi disc In situ & koleksi - Kekuatan arus Floating drough In situ & koleksi - Suhu perairan Thermometer In situ & koleksi Kimia :

- Salinitas perairan Refraktometer In situ & koleksi 2. Sosial Kondisi Masyarakat :

- Kependudukan Survey &

Wawancara In situ - Pendidikan Survey &

Wawancara In situ - Mata pencaharian Survey &

Wawancara In situ - Persepsi Wawancara In situ 3. Kelembagaan Performa Kelembagaan

- Aturan Survey &

Wawancara In situ - Aren aksi Survey &

Wawancara In situ - Pola interaksi aktor Survey &

Wawancara In situ - Identifikasi konflik Survey &

Wawancara In situ

3.4. Teknik Pengambilan Sampel

(38)

Gambar 3 Sketsa letak posisi transek terhadap garis pantai dan kedalaman.

3.5. Pengamatan Kondisi Ekologi 3.5.1 Kondisi Terumbu Karang

Pengamatan kondisi terumbu karang menggunakan metode PIT (Point Intercept Transect). Metode PIT digunakan untuk menentukan komunitas benthos sesil (biota yang hidup di dasar atau melekat di dasar perairan) di terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan dalam satuan persen, dengan jalan mencatat jumlah biota bentik yang ada pada masing-masing titik disepanjang garis transek (Manuputy & Djuwariah 2009). Pada setiap stasiun, transek garis (roll meter) dibentangkan sepanjang 50m, yang diletakkan sejajar garis pantai mengikuti kontur kedalaman. Pengamatan dilakukan pada dua substasiun kedalaman, yaitu 3m dan 10m dengan 3 kali ulangan. Terumbu karang biasanya tumbuh baik pada kedalaman tersebut, dengan komposisi keragaman jenis karang yang cukup tinggi (Supriharyono 2007; Thamrin 2006).

Sumber : Dokumentasi penelitian 2012

Gambar 4 Foto pengambilan data karang dengan metode PIT.

(39)

Gambar 5 Skema cara pencatatan data karang hidup, biota lain dan substrat dasar terumbu karang dengan metode PIT (Manuputy & Djuwariah 2009). Tabel 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu

karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya

Kategori Kode

Hard Coral

Acropora Bercabang (Branching) ACB

Mengerak (Encrusting) ACE

Submassive ACS

Digitate ACD

Meja (Tabulate) ACT

Non-Acropora Bercabang (Branching) CB Mengerak (Encrusting) CE

Jamur (Mushroom) CMR

Padat (Massive) CM

Submassive CS

Lembaran (Foliose) CF

Millepora CME

Heliopora CHL

Abiotik

Karang Mati dengan Alga DCA

Karang Mati DC

Rubble R

Sand S

Air WA

Batu RCK

Algae

Alga Assemblage AA

Coraline Alga CA

Macro Alga MA

Turf Alga TA

Biotik Lainnya

Soft Coral SC

Sponge SP

Zooanthids ZO

Others OT

(40)

Pengambilan data ikan dilakukan dengan metode sensus visual/UVC (Underwater Visual Census). Pengamatan ikan di terumbu karang dilakukan di lokasi transek permanen yang sama dengan pengamatan karang. Sehingga dapat diperoleh deskripsi rinci mengenai kondisi komunitas karang tempat ikan tinggal. Setelah rol meter dibentangkan, stasiun pengamatan dibiarkan kembali selama beberapa menit sampai kondisi perairan menjadi tenang seperti semula sehingga semua ikan-ikan karang keluar dari tempat persembunyiannya pada saat pemasangan roll meter. Pencatatan ikan karang dilakukan di atas transek garis sepanjang 50 m persegi, dengan mencatat seluruh spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan ke kanan transek garis sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5x50) 250 m2.

Spesies ikan yang didata terdiri dari 3 kelompok utama (English et al. 1994), yaitu :

a) Kelompok Ikan Target adalah ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk dikonsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Kelompok ikan target ini diwakili oleh Family Serranidae, Lujanidae Lethrinidae, Nemipteridae, Caesionidae, Siganidae, Acanthuridae, Scaridae dan Haemulidae, Carangidae, Labridae (khususnya Genus Cheilinus, Himigymnus, Choerodon).

b) Kelompok Ikan Indikator adalah ikan karang yang kehadirannya merefleksikan kondisi kesehatan karang. Ikan-ikan indikator diwakili oleh Family Chaetodontidae.

c) Kelompok Ikan Mayor, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 2-25 cm, dengan karateristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ikan ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya diterumbu karang. Kelompok ikan ini diwakili oleh Family Pomacentridae, Apogonidae, Labridae, Bleniidae.

(41)

Gambar 6 Sketsa visual transek pengamatan ikan karang.

3.5.3. Megabenthos

Pengambilan data megabenthos dilakukan untuk menghitung jumlah biota bentik yang hidup berasosiasi dan berperan dalam menunjang tingkat kesuburan terumbu karang (Manuputy et al. 2006). Peralatan dan bahan yang digunakan sama dengan metode PIT. Pengamatan dilakukan setelah pengambilan data karang, dengan metode reef check benthos (RCB) yaitu berupa transek yang sama sepanjang 50 m dan lebar 1 m ke kanan dan 1 m ke kiri dari garis transek. Total bidang pengambilan dan pencatatan biota megabenthos adalah (2x50) 100 m2.

3.5.4. Kualitas Perairan

Kualitas perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan kelangsungan hidup organisme. Pada suatu kawasan ekosistem terumbu karang pengukuran kualitas perairan dilakukan secara langsung disetiap lokasi sampling. Selain itu data kualitas perairan diperoleh melalui hasil penelitian sebelumnya di lokasi stasiun yang sama.

3.6. Sosial dan Kelembagaan

Data sosial-kelembagaan diperoleh melalui pengamatan langsung, pengisian kuisioner, dan wawancara. Informan berasal dari tokoh adat maupun masyarakat setiap desa, pemerintah dan Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM). Tokoh adat

50

50 2,5 m

2,5 m

Luas bidang sensus ikan (UVC) 5 x 50 m2

(42)

masyarakat (nelayan) dalam memanfaatkan sumberdaya laut dan kearifan lokal. Pemerintah dan LSM merupakan informan yang memberikan informasi mengenai mekanisme pengelolaan terumbu karang seperti wewenang, hak, sistem aturan, monitoring dan sistem sanksi. Wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) atau tanya jawab secara langsung kepada informan. Sedangkan informasi mengenai kondisi nelayan disetiap desa kajian diperoleh dengan wawancara langsung pada responden penelitian menggunakan kuisioner.

Responden masyarakat adalah nelayan lokal (kepala keluarga) yang sudah lama tinggal di Pulau Kaledupa, sedangkan pemerintah terdiri dari kepala desa, LPSTK, dan pihak COREMAP. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik

purposive sampling. Penggunaan metode purposive sampling diharapkan agar kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Teknik sampling dalam purposive dikenal dua jenis sampel yaitu

judgment dan quotasampling (Cooper & Emory 1992).

a) Jugdment Sampling; Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa responden adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian karena mempunyai information rich.

b) Quota Sampling; Sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.

Lebih jelasnya data responden sosial dan kelembagaan yang diambil dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis responden dan jumlah responden

Jenis Responden Jumlah Responden

(ind) Teknik Sampling

Masyarakat (Nelayan)

48 Purposive/

Judgment Sampling

Pemerintah 11 Purposive/

Judgment Sampling

LSM 6 Purposive/

Judgment Sampling

Tokoh Adat/Agama 5 Purposive/

Judgment Sampling

(43)

Pengambilan data kelembagaan dikumpulkan melalui wawancara dan kuisioner. Selain itu penulusuran data sekunder dari kantor desa, kantor kecamatan dan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Jenis data yang dibutuhkan dalam menganalisis kelembagaan adalah mengidentifikasi aktor, peran masing-masing aktor, hubungan antar aktor serta mengidentifikasi konflik antar aktor.

3.7. Analisis Data

3.7.1. Analisis Penutupan Karang

Persentase penutupan karang hidup dihitung menggunakan Microsoft office excel 2007, dengan rumus persentase penutupan (cover) :

%

Pengkatagorian penutupan karang hidup menggunakan kategori Gomez &

Yap (1988) sebagai berikut:

1. Kategori rusak = 0,0 – 24,9 % 2. Kategori sedang = 25,0 – 49,9 % 3. Karegori baik = 50,0 – 74,9 % 4. Kategori sangat baik = 75,0 – 100 %

3.7.2. Analisis Komunitas Ikan Karang 1). Kelimpahan Ikan (Fish abudance)

Kelimpahan ikan karang adalah jumlah ikan yang ditemukan pada suatu stasiun pengamatan per satuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan pada area sampling dihitung dengan menggunakan rumus:

(44)

Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menujukkan banyak tidaknya jenis individu yang ditemukan pada suatu lokasi perairan. Keanekaragaman spesies merupakan ukuran keheterogenan spesies dalam komunitasnya yang dinyatakan dengan suatu indeks keanekaragaman. Keanekaragaman ikan karang untuk pembanding antar stasiun digunakan indeks keanekaragaman Shanon - Wiener (Odum 1993) dengan rumus sebagai berikut:

pi pi

H' log

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shanon – Wiener

pi = Perbandingan antara jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah

total i individu (ni / N)

Nilai kategori Indeks Keanekaragaman Shanon-Wienner (1948) : <1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah,

kestabilan komunitas rendah, tekanan ekologi besar.

1-3= Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi, kestabilan komunitas sedang, tekanan ekologi sedang.

>3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi, kestabilan komunitas tinggi, tekanan ekologi rendah.

Nilai keanekaragaman semakin besar dengan semakin banyaknya genera yang terdapat dalam contoh. Jika H’ = 0, maka komunitas terdiri dari suatu genera atau spesies (jenis tunggal). Nilai H’ akan mendekati maksimum jika semua

spesies terdistribusi merata dalam komunitas (Odum 1993).

3). Indeks Keseragaman Jenis (evenness index)

Indeks keseragaman menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas ikan. Indeks keseragaman populasi adalah ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas, yang merupakan perbandingan antara keseragaman dengan keseragaman maksimum. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Pielou 1966

(45)

maks H

H E

' '

Keterangan :

E = Indeks keseragaman

Hmaks = ln S

S = Jumlah spesies yang ditemukan

H’ = Indeks keanekargaman Shanon-Wiener

Untuk nilai kategori indeks keseragaman merujuk pada (Daget 1976) : 0,00-0,50 = Keseragaman rendah, kondisi tertekan

0,51-0,75 = Keseragaman sedang, kondisi labil 0,76-100 = Keseragaman tinggi, kondisi stabil

Indeks keseragaman menunjukkan distribusi jumlah individu dalam setiap spesies yang ada. Jika nilai keseragaman mendekati 0 berarti dalam komunitas tersebut terdapat kecenderungan dominasi spesies tertentu yang mungkin disebabkan oleh ketidakstabilan faktor lingkungan. Sedangkan jika nilai indeks mendekati 1, menunjukkan bahwa komunitas berada dalam kondisi relatif mantap dimana jumlah individu tersebar merata disetiap spesies yang ada. Identifikasi ikan karang menggunakan buku Reef fish identification tropical pacific (Allen et al. 2003).

3.7.3. Analisis Kelimpahan Benthos

Untuk mengetahui kelimpahan masing-masing benthos maka dilakukan pengamatan pada setiap stasiun pengamatan. Organisme benthos dapat menjadi sala satu indikator kesehatan terumbu karang. Dalam menganalisis kelimpahan megabenthos mengacu kepada manual kesehatan karang CRITC-LIPI (2006) :

Kelimpahan benthos = Jumlah individu pada stasiun ke−i Luas transek

3.7.4 Analisis Kelembagaan

(46)

sebagai Institutional Analysis and Development (IAD) Framework yang bersumber dari Ostrom (2011). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

IAD fokus terhadap bagaimana kebijakan atau aturan, kondisi fisik sumberdaya dan atribut komunitas melakukan tindakan dalam arena pengelolaan secara individual maupun kelompok. Selain itu, bagaimana kombinasi kedua tindakan tersebut dalam memberikan hasil atau dampak. Komponen dalam IAD adalah situasi kondisi wilayah, stekholder, aturan terstruktur, atribut komunitas, dan kondisi material dalam arena aksi (Rudd 2003). Adapun kerangka berfikir analisis kelembagaan yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kerangka berfikir dalam Analisis Pengembangan Kelembagaan (IAD) (Ostrom 2011).

(47)

3.7.5 Perbaikan Pengelolaan

Pendekatan pengelolaan ekosistem terumbu karang menggunakan prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan oleh Ruddle (2000) yang dimodifikasi Ruddle & Satria (2010). Adapun prinsip pendekatan tersebut adalah: 1) otoritas atau wewenang, 2) hak, 3) aturan, 4) pemantauan, akuntabilitas, penegakan hukum, dan 5) sanksi.

(48)

- Non-Acropora (%) 14,6 24,6 10,6 16,7 33,6 29,0 17,3 19,3 Kategori (Gomez & Yap 1998)

- Abiotik (%) 55,0 47,3 64,3 62,6 44,0 34,3 51,0 44,6

- Alga (%) 8,6 2,0 3,0 3,3 3,3 5,3 6,0 8,0

- Biotik Lain (%) 12,6 19,0 17,9 14,3 39,6 23,3 18,9 21,6 Kategori Tutupan Karang Hidup

(Acrpora+Non-acropora) Sedang Rusak Sedang Rusak

Kondisi Ikan Karang

- Ikan Target (ind) 70 252 13 89 287 406 59 139

- Ikan Mayor (ind) 293 171 112 20 186 207 230 71

- Ikan Indikator (ind) 7 5 4 5 12 5 13 9

- Kelimpahan Ikan (ind/250m2) 2.064 1.356 0.724 0.644 1.94 2.432 1.728 0.82

Keanekaragaman H’ 1.45 1.12 0.98 0.93 1.46 1.22 1.17 1.17 (Shanon-Kategori

Wienner 1948)

Sedang Rendah Sedang Sedang

Keseragaman E 0.96 0.80 0.73 0.74 0.86 0.81 0.70 0.85 (Daget 1976)Kategori

Stabil Labil Stabil Stabil

Kualitas Perairan Kep.Men LH No 51 2004

- Kecerahan (m) 15 15 20 20 >5 m

- Suhu Permukaan (oC) 30 30,10 29,10 29,15 28-30 oC

- Arus (m/dtk) 0,032 0,052 0,022 0,039 -

- Salinitas (‰) 34,0 34,5 34,3 34,0 33-34 ‰

Komunitas Megabenthos

- Echinodermata (ind/100m2) 0,07 0,01 0,03 0,02 0,07 - 0,04 0,01 -Molusca (ind/100m2) 0,04 - 0,01 0,03 0,02 - 0,02 0,01

(49)
(50)

4.1. Kondisi Umum Wilayah 4.1.1. Keadaan Geografis

Pulau Kaledupa merupakan bagian dari Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 8). Terdiri dari empat pulau besar utama, yaitu Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Pulau Kaledupa memiliki 24 pulau kecil diantaranya 4 pulau berpenghuni dan 20 pulau tak berpenghuni secara geografis Pulau Kaledupa terletak antara 5o20'-5o40' Lintang Selatan dan 123o 40'-124o00' Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tomia - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda

- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda

Gambar 8 Peta geografis Pulau Kaledupa (PEMDA,Wakatobi 2012).

4.1.2. Luas Wilayah dan Sistem Pemerintahan

(51)

Kabupaten Wakatobi. Luas wilayah Kaledupa adalah 45,5 km2 atau sekitar 5,53% dari total luas daratan Wakatobi. Kaledupa Selatan adalah salah satu kecamatan yang terletak pada bagian utara Kabupaten Wakatobi dengan luas wilayah 58,5 km2 atau sekitar 7,12% dari total luas daratan Wakatobi.

Seiring dengan ditetapkannya Wakatobi menjadi daerah otonom, maka Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan telah banyak mengalami pemekaran wilayah. Pada awal terbentuk, Kaledupa terdiri dari, 13 desa dan 4 kelurahan. Sampai tahun 2011 Kaledupa dimekarkan menjadi 2 kecamatan yaitu kecamatan Kaledupa terdiri dari 12 desa, 4 kelurahan, 27 dusun, dan 9 lingkungan. Kecamatan Kaledupa Selatan hingga tahun 2011 sudah dimekarkan menjadi 10 desa, dan 35 dusun. Lebih jelasnya luas wilayah dan sistem pemerintahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas wilayah dan administrasi Pulau Kaledupa

Uraian Satuan Tahun 2011

Kaledupa Kaledupa Selatan

4.2. Karakteristik Fisik Pulau 4.2.1. Morfologi

(52)

yang merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi.

Karakteristik topografi Pulau Kaledupa cenderung lebih landai berbentuk dataran yang luas, dikelilingi oleh laut dalam dengan luas daratan sangat kecil (Gambar 9). Pembentukan pulau-pulau di kepulauan Wakatobi khususnya Pulau Kaledupa akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota dan Atol Tomia (BTNW 2012).

Gambar 9 Topografi Pulau Kaledupa (CRITC 2009).

4.2.2. Iklim

(53)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Suhu Minimum

Suhu Maksimum

Kelembaban

Kec. Angin

Curah Hujan

Musim hujan turun dengan intensitas yang cukup rendah dan biasanya terjadi pada bulan Desember-Maret. Air tanah berasal dari air hujan siklus antara resepan air dan kedalam tanah sedang siklus musim kemarau terjadi antara bulan juli dan September, pada bulan tersebut angin timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering dan kurang mengandung air.

Suhu udara rata-rata di Kaledupa tahun 2011 adalah 23,70C (minimum) sampai dengan 32,40C (maksimum). Kelembaban udara yaitu 80% sedangkan rata-rata kecepatan angin 4 knot/detik. Curah hujan tertinggi sebesar 279,1mm dan hari hujan sebanyak 233 hari (BPS Wakatobi 2012). Untuk Kaledupa Selatan Suhu udara tahun 2011 berkisar antara 23,70 (minimum) sampai dengan 32,40C (maksimum). Kelembaban udara adalah 80% dan kecepatan angin 4 knot/detik. Curah hujan tertinggi sebesar 279,1 mm sebanyak 233 hari hujan serta tekanan udara 1.012,4 milibar (BPS Wakatobi 2012). Kondisi iklim keseluruhan di Kabupaten Wakatobi dalam setahun ditahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kondisi klimatologi keseluruhan di Kabupaten Wakatobi tahun 2009 (Wakatobi Dalam Angka 2011).

(54)

cukup berfariasi terbesar pada bulan Januari dengan 18 hari hujan dan terendah di bulan Agustus dan Oktober dengan 1 hari hujan. Kondisi dinamika gelombang dan cuaca tidak menentu dapat berubah setiap waktu, lebih jelasnya pembagian musim tiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 11.

Peralihan Barat-Timur Peralihan Timur-barat

Januari-Maret Juli-September

Gel.Kuat April-Juni Gel.Kuat Oktober-Desember Gel.Sedang/Kecil Gel.Sedang/Kecil

Musim Barat Musim Timur

Gambar 11 Dinamika gelombang di perairan Kaledupa (CRITC 2011).

Pada Januari hingga Maret terjadi musim barat yang ditandai dengan gelombang kuat, selain itu curah hujan cukup meningkat biasanya nelayan pada musim ini jarang melaut. Pada bulan April-Juni terjadi musim peralihan barat-timur kondisi perairan bergelombang sedang/kecil, hasil tangkapan ikan biasanya pada musim ini cenderung meningkat. Masuk bulan Juli-September biasa dikenal dengan musim Timur kondisi perairan bergelombang kuat dan curah hujan sedikit berkurang. Untuk bulan Oktober-Desember peralihan musim timur dan barat ditandai dengan kondisi perairan bergelombang sedang/kecil. Hasil pengamatan dan kebiasaan masyarakat melaut intensitas hujan di perairan Kaledupa dan Wakatobi umumnya untuk sekarang ini tidak menentu.

4.2.3. Kualitas Perairan

(55)

Tabel 6 Kisaran parameter kualitas perairan di Pulau Kaledupa

No Parameter Pulau Kaledupa

Tahun 2001 Tahun 2010 Tahun 2012 1.

- Oksigen Terlarut ppm

100%

Pengumpulan data kualitas air berdasarkan beberapa sumber dan hasil pengamatan lapangan memperlihatkan tidak terjadi perbedaan yang cukup jauh terhadap perubahan kualitas air tiap tahunnya. Hal ini disebabkan letak Pulau Kaledupa yang masih dipengaruhi oleh aliran arus dari laut Banda dan posisi pulau yang terbuka menyebabkan pertukaran air terjadi secara terus menerus baik pada kedalaman <10 m sampai >10 m. Trek ACDC yang dilakukan CRITC di Pulau Kaledupa dengan lama perekaman sepanjang trek sekitar 7 jam diperoleh sebagai berikut : pada kedalaman 13 m dan 20 m kecepatan arus sekitar 36 dan 34 cm/det berturut-turut. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m dan 20 m, besarnya hampir sama dengan perbedaan yang relatif kecil (CRITC 2001).

Gambar

Gambar 3 Sketsa letak posisi transek terhadap garis pantai dan kedalaman.
Tabel 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu
Gambar 6 Sketsa visual transek pengamatan ikan karang.
Gambar 8 Peta geografis Pulau Kaledupa (PEMDA,Wakatobi 2012).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkebunan Nusantara XIII (Persero) pada saat ini cenderung berada pada situasi budaya hierarchy yang memiliki tingkat score paling tinggi yang dirasakan para karyawan..

The Myanmar Government should seek CITES Appendix III protection for its at-risk Hongmu species – Dalbergia oliveri / bariensis (tamalan) and Pterocarpus macrocarpus (padauk) -

Selama tahun 2016, perusahaan-perusahaan yang terlibat aktif di Inisiatif ini bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan pimpinan perusahaan, mencari cara untuk memperbaiki

Penginapan adalah usaha jasa pelayanan penginapan sebagai akomodasi dalam rangka.. kegiatan pariwisata dengan tujuan untuk rekreasi, memperluas pengetahuan

partisipasi masyarakat pada event tahunan di Solo yang dapat. memberi manfaat dan informasi tentang seni kebudayaan di

sub pusat pelayanan atau struktur pelayanan sekundernya terdapat dua yaitu yang berada di Desa Sumber Kulon dan yang berada di Desa Pangkalanpari, berfungsi untuk

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jangka

PENETAPAN NAMA-NAMA PESERTA UJI KOMPETENSI GURU BAGI GURU MADRASAH TAHUN 2015.. PROVINSI :