• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi aksi dalam analisis IAD adalah rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan penurunan kualitas sumberdaya, seperti terumbu karang, ikan karang, kerusakan fisik lingkungan dan lainnya di lokasi DPL. Adapun situasi aksi yang terjadi adalah :

- Penangkapan Ikan Berlebihan

Beberapa stok sumberdaya ikan, seperti ikan kakap, ikan napoleon, ikan kerapu, seperti teripang, gurita dan kima mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing). Sekitar 80% tangkapan ikan belum dewasa akibat penangkapan secara berlebihan. Kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pemboman ikan, bahan kimia (potassium) dan degradasi fisik terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan sebagian besar biota laut.

- Penambangan batu karang dan pasir pantai

Salah satu kegiatan yang memiliki dampak cukup besar terhadap kerusakan terumbu karang adalah penambangan karang dan pasir. Penambangan dilakukan oleh nelayan untuk bahan bangunan, selain itu dijual kepada pengumpul pasir. Dampak yang ditimbulkan adalah kerusakan pantai dan sedimentasi di perairan. Lokasi yang sering diambil oleh masyarakat maupun nelayan adalah pesisir pantai Desa Peropa, Desa Sombano dan Pulau Hoga.

- Pengambilan kerang-kerangan

Jumlah kerang-kerangan di Pulau Kaledupa cukup banyak, terlihat dengan maraknya pengambilan jenis tertentu. Jenis kerang tersebut adalah mata tujuh (abalone) hewan ini hidup dengan cara menempel disela-sela terumbu karang. Mata tujuh memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, harganya mecapai Rp.80.000-100.00/kg. Kegiatan pengambilan yang dilakukan ternyata membawa dampak negatif terhadap terumbu karang, karang menjadi rusak karena dicungkil menggunakan linggis dan menimbulkan kekeruhan perairan.

Ostrom (2011) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelambagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasioal. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kegiatan di lapangan.

Berdasarkan kerangka Ostrom (2011), aktor-aktor pengelola DPL di Pulau Kaledupa yang tergolong dalam level penetu kebijakan (collective choice level) adalah PMU COREMAP, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang dan pemerintah desa. Keleompok ini berperan dalam menyusun sekaligus menentukan kebijakan

aturan main formal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang DPL P.Kaledupa. Sementara pada level operasional (operational choice level) adalah

kelompok masyarakat, Pokmaswas, nelayan, pengumpul ikan hidup dan pembudidaya rumput laut.

Pengelompokan aktor pengelola DPL P.Kaledupa dari unsur pemerintah memiliki peran yang besar dalam pengelolaan. BTNW dan lembaga suadaya masyarakat sebagai partner kerja sangat membantu pengelolaan dalam bentuk pengawasan maupun sosialisasi kepada masyarakat. Koordinasi kegiatan sering mengalami hambatan terutama PMU COREMAP kepada LPSTK dalam bentuk pendanaan. Hal ini erat kaitannya dengan sosialisasi maupun kegiatan yang sering terlambat salah satu penyebabnya dalah jarak Pulau Kaledupa dan Ibukota Kabupaten sebagai kantor pusat COREMAP. Lebih jelasnya untuk melihat hubungan antar kelambagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolaan DPL dapat dilihat pada Gambar 35.

Collective Choice Level

Operational Choice Level

Gambar 35 Hubungan antar kelambagaan dan aktor dalam pengelolaan terumbu karang di daerah perlindungan laut.

5.7.6. Identifikasi Konflik Pengguna Sumberdaya

Hasil pemetaan konflik pada Gambar 36, terdapat empat sumber utama yang menjadi penyebab terjadinya konflik yang dapat mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di lokasi DPL, yaitu :

1) Sering masuknya nelayan luar pulau Kaledupa secara ilegal menggunakan alat tangkap merusak seperti bom untuk menangkap ikan menyebabkan daerah penangkapan (fishing ground) nelayan lokal sering terganggu

2) Nelayan tangkap dan pembudidaya rumput laut sering terjadi persaingan ruang, bahkan sesama pembudidaya karena belum jelasnya pembagian lokasi tangkap. Masih adanya penggunaan potas (bahan kimia) dikalangan nelayan tangkap membuat pembudidaya rumput laut resah, pembudidaya tersebut menganggap bahwa kerusakan bibit rumput laut yang sering dialami, salah satunya disebabkan oleh penggunaan potassium.

Pemerintah Kabupaten

Project Management Unit (PMU)

Dewan Pemberdayaan Masyarakt Pesisir (CCEB)

Taman Nasional Laut/KSDA

Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Pemerintah Desa Kelompok Masyarakat Bidang Produktif Kelompok Masyarakat Bidang Konservasi Kelompok Masyarakat Bidang Perempuan

menurun, kondisi perairan menjadi keruh sehingga nelayan budidaya menganggap pertumbuhan rumput laut cukup terganggu, mengingat rumput laut memerlukan kondisi perairan yang baik.

4) Selain penambangan ternyata pada musim tertentu pengambilan kerang-kerangan ikut membuat khawatir para pembudidaya, hal ini dipercayai bahwa menggunakan alat yang merusak, seperti linggis serta alat lainnya menimbulkan kekeruhan perairan dan mengakibatkan rumput laut kurang berkembang dengan baik.

Gambar 36 Potensi konflik antar pengguna sumberdaya dilokasi DPL.

5.8. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Dalam pedoman umum pengelolaan terumbu karang Kep.38/Men/2004 menyatakan bahwa pengelolaan terumbu karang adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur terumbu karang melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan atau pengawasan, evaluasi, dan penegakan hukum. Salah satu kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang yang dituliskan dalam pedoman tersebut adalah mengupayakan pelestarian dan perlindungan ekosistem terumbu karang untuk kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan.

Konflik Daerah Penangkapan Ikan Konflik Penggunan Bahan Kimia Konflik Konflik Nelayan tangkap lokal Kaledupa Pembudidaya rumput laut Masyarakat pengambil pasir dan batu karang

Pengumpul kerang-kerangan dan biota lainnya

Nelayan tangkap luar Pulau Kaledupa Konflik Pemanfaatan Konflik Penggunaan Alat Tangkap Konflik Alat Tangkap

Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan salah satu kawasan perlindungan ekosistem terumbu karang skala kecil yang dikelola dan dilindungi melalui keputusan desa untuk mempertahankan keunikan, keindahan, produktifitas atau rehabilitasi suatu kawasan. Aturan utama dari DPL adalah melarang segala bentuk kegiatan ekstraktif, seperti pengambilan atau penangkapan ikan. Sedangkan kegiatan non-ekstraktif seperti snorkling atau menyelam masih bisa dilakukan dengan memperhatikan dampak minimal pada kawasan.

Hasil pengamatan ekosistem terumbu karang di DPL Pulau Kaledupa menunjukan tingkat kerusakan hingga level rusak sampai sedang. Sedangkan hasil analisis kelambagaan DPL menunjukan kurangnya tatanan kelambagaan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi ditingkat desa maupun ditingkat kabupaten. Hal ini disebabkan faktor-faktor pembatas pengendalian prilaku berupa kode etik aturan formal maupun informal tidak berjalan dengan baik sehingga perilaku menyimpang dalam masyarakat masih terjadi. Menurut Kartodihardjo & Jamani (2006) apabila dihasilkan kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan, maka dapat diduga ada masalah-masalah dalam kelambagaan seperti: (1) Informasi diantara pelaku yang tidak seimbang, (2) kapasitas tidak seimbang, (3) masalah dalam penetapan hak atas sumberdaya alam dan (4) perilaku menyimpang. Semuanya disebabkan oleh ketidak seimbangan kekuasaan dan kekuatan politik antar pemerintah, pelaku usaha komersial dan masyarakat (civil society).

Sehingga salah satu upaya untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem terumbu karang di lokasi DPL dapat dilakukan dengan memperkuat aturan pada arena aksi kelambagaan. Prinsip pengelolaan sumberdaya yang dikemukakan oleh Ruddle & Satria (2010) dapat menjadi rujuakan untuk memperkuat sistem kelambagaan DPL sekaligus pengelolaan ekosistem terumbu karang. Adapun prinsipnya adalah: (1) otoritas atau kepemimpinan, (2) hak, (3) aturan, (4) pemantauan, akuntabilitas, penegakan hukum, dan (5) sanksi. Lebih jelasnya desain prinsip pengelolaan yang ditunjukan pada Gambar 37. Menunjukan tentang mekanisme dalam pengelolaan sumberdaya.

Gambar 37 Desain prinsip pengelolaan menurut Ruddle & Satria (2010).