• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harapan masyarakat dan pemerintah terhadap keberlangsungan DPL saat ini masih sangat tinggi. Dapat dilihat dari persepsi stekholder tentang keberadaan DPL yang harus dipertahankan di Pulau Kaledupa. Dari 62 responden yang diwawancarai 72,6% menginginkan DPL tetap dipertahankan dengan peningkatan pengawasan dan aturan yang lebih baik. Terutama terhadap nelayan luar Pulau Kaledupa yang masih melakukan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potassium di zona DPL.

72.6 6.5 21.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 Berlanjut Tidak Berlanjut Tidak Tahu Jumlah (%)

Gambar 33 Persepsi keberadaan Daerah Perlindungan Laut.

Tingginya harapan masyarakat tentang keberadaan DPL untuk tetap dipertahankan adalah karena pada awal penetapan DPL pendapatan masyarakat cenderung lebih baik dari sebelumnya serta partisipasi masyarakat untuk melindungi terumbu karang cukup tinggi. Namun, akibat pengawasan yang lemah di tiga tahun setelah adanya DPL kondisi terumbu karang cenderung menurun kondisi demikian disebabkan nelayan luar pulau Kaledupa yang berani masuk untuk melakukan penangkapan dengan alat tangkap merusak. Selain itu masih terdapat beberapa nelayan lokal sendiri yang melakukan penangkapan dengan tidak ramah lingkungan.

5.7.3. Aturan (Rule in Use)

Sebelum adanya kelambagaan yang dibuat oleh COREMAP disetiap desa sebenarnya telah memiliki lembaga pengelola sumberdaya. Kelembagaan tersebut adalah kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) yang berada di bawah kontrol dan otoritas kepala desa. Pembentukannya melalui musyawarah mufakat antar masyarakat, adanya pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman, pengambilan pasir dan batu karang merupakan dasar pembentukan Pokmaswas. Namun, setelah program COREMAP berjalan ditingkat desa/kelurahan COREMAP memperkenalkan Lembaga Pengelola Sumberdaya

2

(CCEB) yaitu, merupakan Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir terdiri instansi terkait, dan perwakilan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat, LSM, perusahaan swasta, perguruan tinggi dan perupan)

3

(PMU) yaitu, Unit Pengelola Program yang terdiri dari unsur-unsur Dinas Kelautan dan perikanan, Bappeda, KSDA/Taman Nasional laut dan instansi terkait.

4

(SETO) yaitu, individu yang direkrut dan dikoordinir langsung oleh PMU dengan wilayah kerja kecamatan.

5

(FM) yaitu, Fasilitator Masyarakat yang diangkat secara khusus PMU untuk mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat di Desa.

6

(MD) yaitu, Motifator Desa yang dipilih dan diangkat oleh masyarakat setempat secara demokratis sebanyak 2 orang laki-laki dan perempuan.

pengelolaan terumbu karang. LPSTK merupakan program COREMAP untuk memperlancar kinerjanya dalam mendukung pengelolaan terumbu karang. Salah satu himbauannya adalah diwajibkan membuat aturan dalam bentuk peraturan desa (PERDES). LPSTK sebagai penanggung jawab di desa mengusulkan kepada kepala desa dan BPD untuk membuat perdes tersebut. Hingga saat ini disetiap desa perdes tersebut sudah dibuat. Namun, dalam pelaksanaannya masih terhambat akibat belum disahkan dibeberapa desa. Menurut kepala desa belum disahkannya perdes DPL akibat belum adanya peraturan daerah (PERDA) yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten untuk mendukung keberadaan perdes. Legalnya sebuah aturan sangat diperlukan agar dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa aturan yang ada adalam perdes DPL belum berjalan dengan baik. Akibatnya pemanfaatan sumberdaya secara ilegal masih dilakukan seperti pengambilan pasir, batu karang, pembiusan dan lainnya. Selain itu kelemahan dari sistem aturan yang ada mempermudah nelayan luar Pulau Kaledupa untuk menangkap ikan secara ilegal.

Berdasarkan pedoman umum pengelolaan berbasis masyarakat COREMAP kelembagaan di mulai dari tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten Kecamatan dan Desa. Namun, dalam sistem kelambagaan pengelolaan terumbu karang DPL terfokus ditingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Kelembagaan ditingkat Kabupaten terdiri dari Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (CCEB)2, UPT Taman Nasional Laut/KSDA, dan Project Management Unit (PMU)3. Tingkat Kecamatan diwakili oleh Camat dan Senior Fasilitator (SETO)4 serta Desa/Kelurahan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK), kepala desa dan BPD, Fasilitator Masyarakat (FM)5, Motivator Desa (MD)6 dan (Pokmas) kelompok masyarakat.

Struktur kelambagaan merupakan susunan kelambagaan yang dibentuk oleh program COREMAP dalam mencapai tujuan pengelolaan terumbu karang melalui tingkat kabupaten, kecematan dan desa. Kelambagaan tersebut mulai diterapkan pada tahun 2008 sejak penetapan DPL di desa. COREMAP memfasilitasi terbentuknya Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Lembaga ini adalah lembaga resmi di tingkat desa yang memiliki peran dalam menjalankan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi atau Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang akan disusun secara bersama-sama oleh seluruh Pokmas dan Kelompok Pengawasan terumbu karang yang difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Mekanisme kelambagaan pengelolaan terumbu karang DPL dapat dilihat pada Gambar 34.

Keterangan:

—————— : Instruksi

- - - : Koordinasi

Gambar 34 Kelambagaan pengelolaan terumbu karang.

Kelompok Masyarakat Bidang Perempuan Kelompok Masyarakat

Bidang Konsevasi

Project Management

Unit (PMU) Masyarakt Pesisir (CCEB) Dewan Pemberdayaan

Taman Nasional Laut/KSDA

Kelompok Masyarakat Bidang Produktif

Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Fasilitator Masyarakat (FM) Motivator Desa (MD) PEMDES BPD CAMAT T Senior Fasilitator (SETO) Kabupaten Kecamatan Desa

bentuk pelaksanaan rencana pengelolaan pesisir desa. Bersama dengan BPD menetapkan rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di desa. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang. Peran Badan Perwakilan Desa (Legislatif) bersama dengan Pemerintah desa menyusun dan menetapkan rencana pembangunan, peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan rencana pengelolaan pembangunan di desa.

Kelompok masyarakat atau Pokmas adalah kelompok kecil yang dibentuk di tingkat desa. Proses pembentukan kelompok masyarakat difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Dalam satu desa dapat dibentuk beberapa kelompok masyarakat menurut kesamaan minat. Pokmas mempunyai tugas dan tanggung jawab utama :

1) Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang arti dan nilai penting ekosistem terumbu karang, adanya ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang serta upaya-upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang.

2) Berperan aktif dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu (RPTK Terpadu) yang mencakup Program Pengelolaan Terumbu Karang, Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif, Pengembangan Prasarana Dasar dan Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat. 3) Mengimplementasikan RPTK Terpadu sesuai dengan bidang Pokmas yang

bersangkutan, misalnya Pokmas Konservasimelaksanakan program-program pengelolaan terumbu karang.

4) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program kegiatan masing-masing Pokmas.

Setelah DPL-BM dibentuk sampai masa berakhirnya program COREMAP pada tahun 2011, sistem kelambagaan tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis indikator ekologi yang menunjukan kondisi tutupan karang hidup di DPL Pulau Kaledupa cenderung menurun. Berdasarkan hal

tersebut terdapat beberapa permasalahan yang teridentifikasi dalam kelembagaan antara lain adalah :

1) Pengawasan tidak berjalan dengan efektif, kegiatan Pokmaswas yang bertugas melakukan pengawasan di lokasi DPL jarang dilakukan bahkan sudah tidak beroprasi lagi. Pada awal penetapan DPL pengawasan dapat dilakukan setiap hari namun sekarang ini pengawasan hanya dapat dilakukan seminggu sekali. Menurut kelompok Pokmaswas dukungan operasional (sarana pengawasan) maupun insentif yang dijanjikan kepada Pokmaswas khususnya untuk meningkatkan kinerja pengawasan tidak teresialisasikan secara penuh oleh LPSTK sebagai penanggung jawab pengelola di desa. Sarana pengawasan tersebut, seperti terpong, radio komunikasi, HT dan kapal pengawas. Selain itu biaya oprasional seperti bahan bakar dan honor anggota Pokmaswas sudah tidak diberikan. Untuk keperluan Pokmaswas COREMAP menyediakan biaya operasional berupa lima liter bahan bakar bagi anggota Pokmaswas. Untuk satu kali patroli setiap anggota mendapat Rp.50.000,- sampai Rp.100.000,-. Menurut LPSTK biaya oprasional dan insentif merupakan wewenang dari PMU COREMAP Kabupaten.

2) Peran utama dari LPSTK, MD, FM dan SETO dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang di tingkat desa belum berjalan dengan optimal. Kegiatan hanya terkonsentrasi pada waktu tertentu yaitu setelah dana keluar biasanya pertengahan dan menjelang akhir tahun, sedangkan waktu lainnya kurang dimanfaatkan untuk pelaksanaan kegiatan. Selain itu menjelang program COREMAP II berakhir tahun 2011 secara langsung kontrak mereka akan ikut berhenti, sehingga pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan tidak berjalan lagi.

3) Koordinasi antara PMU dengan pemerintah kabupaten (bupati) tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikeluhkan oleh pemerintah desa karena sampai saat ini peraturan daerah (PERDA) tentang pengelolaan terumbu karang belum dikeluarkan untuk memperkuat perdes DPL. Menurut pemerintah desa salah satu kelemahan perdes DPL adalah belum adanya PERDA yang memperkuat secara hokum ditingkat kabupaten. Sampai saat ini perdes yang dibuat dibeberapa lokasi DPL masih dalam bentuk rancangan dan belum disahkan.

PERDA yang dimaksud adalah mengenai kebijakan pengelolaan ekosisten terumbu karang, seperti pemberian sanksi tegas oleh perusak, pengaturan penangkapan ikan di zona DPL, pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab penuh dalam pengelolaan dan lainnya.

4) Lemahnya sanksi terhadap para pelanggar menyebabkan kegiatan merusak karang seperti pemboman, pembiusan dan penggunaan alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan masih tetap dilakukan. Sanksi yang diberikan kepada para pelanggar masih bersifat teguran dan peringatan 2-3 kali jika masih merusak pelanggar tersebut dikenai denda dalam bentuk uang. Cara seperti ini tampaknya tidak efektif karena kegiatan pengrusakan masih tetap dilakukan khususnya terhadap nelayan luar P.Kaledupa yang masuk menangkap ikan secara illegal. Menurut kelompok pengawas masyarakat nelayan luar tersebut menggunakan bom dan bius untuk menangkap ikan. Pokmas tidak bisa menghentikan karena jika didekati mereka akan melakukan perlawanan (melempar bom atau bertindak menggunakan senjata tajam lainnya) dan pandai mengelabui petugas. Hal tersebut dikeluhkan juga oleh team pengawas dari Taman Nasional dan Polairut. Saat petugas sedang melakukan patroli, para pelaku sengaja menurunkan pukat atau jaring di laut seolah-olah mereka menangkap ikan dengan pukat atau jaring. Kesulitan tersebut lebih disebabkan karena personil yang dimiliki sangat terbatas pihaknya hanya memiliki petugas sebanyak 20 orang.

5) Tidak adanya tim khusus untuk mengontrol jaringan perdagangan ikan sehingga menyebabkan bisnis penangkapan ikan ekonomis dikalangan nelayan semakin tinggi. Jenis ikan tersebut, seperti ikan napoleon, kerapu, lobster, teripang dan jenis lainnya. Penangkapan ikan yang memiliki risiko besar terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang adalah ikan napoleon. Hasil wawancara kepada mantan pengumpul ikan napoleon ternyata kegiatan perdagangan ikan hidup di Wakatobi termasuk P.Kaledupa hingga sekarang masih dilakukan.

6) Kurangnya transparansi pendanaan program bagi masyarakat sangat dirasakan. Bantuan biaya yang diberikan untuk meningkatkan produksi

nelayan, perkembangan infrastruktur desa maupun pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terorganisir secara baik sehingga masih terdapat nelayan yang belum terbantu. Selain itu pembangunan infrastruktur desa yang di danai oleh program menurut masyarakat tidak sesuai yang diharapkan seperti, perbaikan jalan, pembuatan jembatan dan lainnya.

5.7.4. Arena Aksi

Arena aksi dalam kerangka kerja IAD merupakan situasi aksi dan aktor. Aktor merupakan individu atau kelompok (stekholder) yang memiliki pilihan/keputusan relevan dengan hasil dalam situasi aksi. Sedangkan situasi aksi adalah pola-pola yang dihasilkan dari interaksi antar setiap aktor yang mempengaruhi jalannya pengelolaan ekosistem terumbu karang di DPL.