• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Obat Berbasis Struktur: Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

Bimo A. Tejo

Department of Chemistry, Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor, Malaysia E-mail: bimotejo@science.upm.edu.my 

1. Pendahuluan

Visi Indonesia 2030 yang dirumuskan oleh Yayasan Indonesia Forum menargetkan Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi kelima di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Selain itu, di tahun 2030 disasarkan pendapatan per kapita sebesar US$18.000 per tahun dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil harus berada pada angka rata-rata 7,62% setiap tahun. Untuk mencapai target tersebut, adalah mutlak untuk membangun industri berbasis teknologi maju yang sanggup menghasilkan produk bernilai tambah. Ada dua pertanyaan yang melandasi pemikiran tersebut. Pertama, mengapa harus membangun perindustrian? Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberi perumpamaan yang sangat sederhana: sebuah ladang pertanian seluas 1000 acre   (400 hektar) memerlukan 500 orang untuk menggarapnya, dan sebaliknya sebuah pabrik yang berdiri di atas tanah hanya 10 acre  (4 hektar) bisa menyerap hingga 1000 tenaga kerja. Kedua, mengapa harus menghasilkan produk bernilai tambah? Mantan Wakil Presiden B.J. Habibie pernah terkenal dengan kegigihannya memperkenalkan konsep value added  yang dipraktikkannya dengan mendirikan industri pesawat terbang. Menjual pesawat tentu mendatangkan keuntungan finansial berlipat ganda ketimbang hanya menjual biji besi.

Salah satu industri berbasis teknologi yang sanggup menghasilkan pemasukan finansial (revenue ) sangat tinggi adalah bioteknologi. Menurut laporan tahunan MedAdNews, untuk tahun 2008 industri bioteknologi seluruh dunia mendapat pemasukan sebesar US$ 89,7 triliun dengan porsi terbesarnya didominasi oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi Amerika Serikat.1 Dan yang menariknya, dari 10 perusahaan bioteknologi terbesar di Amerika Serikat, 9 di antaranya adalah perusahaan farmasi yang terlibat dalam penemuan dan produksi obat-obatan.2

Obat-obatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masa kini. Manusia ingin hidup lebih lama, tetapi kehidupan yang lebih lama itu justru membuat manusia terpapar lebih banyak penyakit. Generasi pendahulu kita berumur lebih pendek dan kadang-kadang meninggal hanya karena infeksi sederhana sehingga tak sempat untuk menderita penyakit-penyakit degeratif seperti diabetes, gangguan jantung, rheumatoid arthritis , Alzheimer’s disease , atau

Abstrak

Industri farmasi berbasis bioteknologi diperkirakan mampu menyumbang pada peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang merupakan sumber senyawa obat berbasis bahan alam. Tulisan ini menjelaskan konsep dasar mengenai senyawa bahan alam dan peranannya dalam desain obat berbasis struktur. Juga diuraikan mengenai langkah-langkah yang bisa dilakukan Indonesia untuk menjadi pemain global dalam industri farmasi dengan menanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya yang unik.

Kata kunci:  bahan alam, obat, desain obat berbasis struktur

sejenisnya. Obat-obatan baru menjadi jawaban untuk hidup yang lebih lama, lebih sehat, dan lebih berkualitas di tengah keberadaan penyakit-penyakit yang semakin kompleks.

Tak berlebihan kiranya jika dikatakan industri farmasi merupakan industri yang akan selalu mampu menghasilkan keuntungan ekonomi selama manusia menginginkan kehidupan yang lebih berkualitas. Membangun industri farmasi yang kuat dan berdaya saing adalah salah satu cara untuk mencapai target Visi Indonesia 2030 dari segi pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Untuk saat ini Indonesia belum menjadi pemain utama dalam industri farmasi. Kebanyakan industri farmasi di Indonesia masih terfokus pada formulasi obat-obatan yang diimpor dari luar negeri, tetapi belum berani terjun ke dalam upaya penelitian dan penemuan obat-obatan baru. Investasi yang sangat besar dan tingkat risiko yang amat tinggi adalah kendala serius, walaupun industri besar seperti Kalbe Farma sudah memulainya, misalnya dengan membangun pusat penelitian dan pengembangan obat Innogene Kalbiotech di Singapura.3

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menghasilkan sendiri obat-obatan yang bernilai ekonomis tinggi. Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang nyaris tak terbatas. Senyawa kimia yang diisolasi dari bahan-bahan alam (natural products ) merupakan sumber utama senyawa pemula (lead compound ) untuk menghasilkan obat-obatan. Hampir separuh dari 520 obat baru yang disahkan oleh U.S. Food and Drug Administration   antara tahun 1983 dan 1994 merupakan turunan dari senyawa bahan alam. Dan lebih dari 60% obat antikanker dan antiinfeksi yang beredar di pasaran maupun yang tengah berada dalam uji klinik merupakan turunan senyawa bahan alam.4

Lantas, apa yang bisa diperbuat Indonesia untuk menjadi pemain besar dalam industri obat? Tulisan ini akan dimulai dengan ulasan mengenai senyawa bahan alam sebagai sumber senyawa obat, desain obat berdasarkan struktur reseptor, dan apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk masuk sebagai pemain dalam industri farmasi global.

2. Bahan alam sebagai sumber senyawa obat

Catatan terawal mengenai penggunaan bahan alam sebagai obat dijumpai dalam dokumen Kaisar Shen Nung dari China yang ditulis 5100 tahun yang lalu. Buku berjudul Pen Ts’ao   itu memuat uraian beberapa jenis tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat. Salah satunya adalah ch’an shan   yang merupakan akar tanaman spesies Dichroa febrifuga   dan digunakan sebagai obat demam. Tumbuhan ini belakangan diketahui mengandung beberapa senyawa alkaloid dan masih digunakan secara tradisional untuk mengobati malaria.

Contoh lain adalah opium yang pertama kali disebut oleh Theophrastus di abad ke-3 sebelum Masehi sebagai obat penahan sakit. Pada abad ke-10 sesudah Masehi, ilmuwan Muslim al-Razi memperkenalkan pil opium sebagai obat batuk, gangguan mental, dan penahan sakit. Penelitian modern menunjukkan opium mengandung morfin, zat penahan sakit, dan juga kodein yang pada masa kini banyak diresepkan sebagai obat batuk.

Penisilin, jenis antibiotik paling populer dalam sejarah kedokteran modern, juga merupakan senyawa bahan alam. Proses penemuannya diawali dengan ketidaksengajaan. Pada tahun 1928, Alexander Fleming yang baru kembali dari perjalanan liburannya melihat jamur berwarna hijau (Penicillium notatum ) yang tumbuh di sebelah kultur bakteri Staphylococcus aureus   dan ketika keduanya bergabung ternyata menyebabkan kematian bakteri. Penisilin mulai digunakan sebagai obat sejak Sir Howard Florey dari Universitas Ox ford berhasil mendesain formulasi yang memungkinkan penisilin digunakan sebagai obat oles pada kulit dan jaringan berlendir. Pada tahun 1944 untuk pertama kalinya struktur penisilin berhasil diketahui melalui teknik kristalografi sinar-X oleh Dorothy Crowfoot Hodgkin.

Popularitas senyawa bahan alam sebagai sumber senyawa obat mencapai puncaknya di industri farmasi negara-negara Barat pada periode 1970–1980. Pada masa itu teknik identifikasi

senyawa bahan alam yang berpotensi obat masih dilakukan dengan cara pemindaian acak (random screening ). Salah satu upaya pemindaian acak yang terkenal adalah ketika Kongres Amerika Serikat dan U.S. National Cancer Institute  mengobarkan perang terhadap kanker di awal tahun 70-an. Ketika itu, setiap senyawa kimia baru yang berhasil diisolasi dari bahan alam langsung diuji aktivitas antitumornya terhadap tikus.4

Pada masa kini teknik pemindaian acak masih dipakai secara terbatas, tetapi kepopulerannya meredup akibat mahalnya biaya pemindaian. Faktor lain yang membuat teknik pemindaian acak makin ditinggalkan adalah kehadiran teknik pemindaian kapasitas tinggi (high throughput screening, HTS ) yang mampu memindai hingga 100.000 senyawa per hari. Malangnya, kehadiran HTS ini juga menyebabkan potensi bahan alam sebagai sumber senyawa semakin kurang diminati. Pasalnya, teknik HTS memerlukan perpustakaan senyawa (compound library ) yang sangat besar dalam angka jutaan senyawa. Di saat yang sama, jumlah senyawa bahan alam yang bisa diisolasi setiap tahun sangat terbatas sehingga para peneliti obat lebih tertarik untuk membuat perpustakaan senyawa berbasis kimia kombinasi (combinatorial chemistry ), yaitu koleksi besar/perpustakaan senyawa kimia yang dibuat dengan mensintesis berbagai jenis kombinasi yang berasal dari unit struktur kimia yang lebih kecil.5

Faktor lain yang membuat popularitas bahan alam sebagai sumber senyawa obat meredup adalah ditetapkannya Konvensi Rio untuk Keberagaman Biologi di tahun 1992. Konvensi ini menyebabkan keraguan dalam upaya pengumpulan material biologis. Negara-negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia semakin protektif melindungi sumber dayanya, tetapi sayangnya sikap ini tidak disusul oleh upaya pengembangan sumber daya alam secara mandiri, salah satunya adalah senyawa obat berbasis bahan alam.

Meredupnya popularitas bahan alam sebagai sumber senyawa obat tidak berlangsung selamanya. Saat ini senyawa bahan alam kembali dilirik sebagai sumber senyawa obat. Salah satu sebab adalah keterbatasan teknik HTS yang terfokus pada senyawa-senyawa kimia berukuran kecil (drug-like compounds ). Salah satu parameter yang digunakan secara luas adalah Lipinski’s Rule of Five : tidak boleh memiliki lebih dari 5 donor ikatan hidrogen, tidak boleh ada lebih dari 10 penerima ikatan hidrogen, berat molekul tidak lebih dari 500 g/mol, dan nilai logP tidak lebih dari 5.6 Aturan Lipinski ini secara tegas menolak senyawa bahan alam yang berukuran besar.

Salah satu senyawa bahan alam yang berukuran besar dan berfungsi sebagai obat adalah Micafungin (Mycamine®) yang dipasarkan oleh Astellas Pharma sebagai obat anti jamur sejak tahun 2005 (Gambar 1). Senyawa ini jelas menyalahi aturan Lipinski, tetapi tetap berfungsi sebagai senyawa obat. Berdasarkan fakta ini, dan juga keberadaan berbagai senyawa bahan alam berukuran besar yang memiliki fungsi sebagai obat terutamanya dari golongan peptida, bahan alam diyakini akan kembali merebut reputasinya yang meredup dalam 20 tahun terakhir ini.

Indonesia sebagai negara yang kaya dengan bahan alam tentu bisa memainkan peranan penting sebagai penghasil obat-obatan baru yang berbasis bahan alam. Namun, mengumpulkan bahan alam dan mengujinya secara acak bukan lagi teknik yang populer saat ini, dilihat dari segi biaya, efisiensi, dan efektivitas. Sejak pertengahan tahun 1980-an, industri farmasi menggunakan konsep baru yang dinamakan sebagai desain obat berbasis struktur (structure-based drug design ).

3. Desain obat berbasis struktur

Konsep desain obat berbasis struktur didasarkan pada pemikiran bahwa setiap senyawa obat berinteraksi dengan molekul reseptor (receptor) tertentu. Interaksi antara obat dengan reseptor ini akan menimbulkan efek farmakologis tergantung jenis molekul reseptornya. Jika molekul reseptornya berupa DNA, sintesis protein yang bertanggung jawab terhadap penyakit tertentu akan terhenti. Jika molekul reseptornya berupa enzim, proses katalisis reaksi kimia tertentu yang berimplikasi terhadap munculnya penyakit akan terhenti.

Desain obat berbasis struktur memerlukan dua informasi utama, yaitu struktur tiga dimensi reseptor dan juga senyawa yang akan diuji efektivitasnya (ligand ). Kedua syarat ini dipenuhi oleh keberadaan basis data Protein Data Bank  (http://www.pdb.org) yang bisa diakses secara gratis dan hingga saat artikel ini ditulis telah mengumpulkan lebih dari 71 ribu struktur protein, DNA, dan RNA.7  Adapun struktur tiga dimensi jutaan senyawa kimia tersebar di berbagai basis data, misalnya ZINC yang menyimpan struktur ~2,7 juta senyawa kimia (http://zinc5.docking.org) dan LIDAEUS yang menyimpan struktur ~5 juta senyawa kimia yang bisa dibeli secara komersial untuk diuji efektivitasnya (http://opus.bch.ed.ac.uk/lidaeus/ ).8,9

Langkah-langkah untuk melakukan desain obat berbasis struktur bisa dirangkum seperti berikut: 1. Menentukan reseptor yang diyakini sebagai target berdasarkan informasi dari

penelitian-penelitian sebelumnya. Struktur reseptor bisa diunduh d ari Protein Data Bank . Identifikasi tempat interaksi antara ligand  dan reseptor ditentukan dengan melihat posisi ligand  yang ada di dalam struktur kristal kompleks protein-ligand , atau jika struktur kristal tersebut tidak memiliki ligand , tempat interaksi ligand -protein bisa ditentukan secara teoritis, misalnya menggunakan program STP (http://opus.bch.ed.ac.uk/stp/index.php). 2. Proses selanjutnya adalah memindai interaksi jutaan ligand  terhadap molekul reseptor.

Proses ini dinamakan molecular docking   yang pada intinya mencari ligand   yang berinteraksi paling kuat dengan molekul reseptor berdasarkan energi interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, dan interaksi antarunit hidrofobik antara ligand   dan reseptor. Proses docking   bisa dilakukan dengan berbagai program, misalnya AUTODOCK10, DOCK11, GOLD12, Glide13, dan lain-lain. Basis data LIDAEUS mempunyai fungsi docking  yang terintegrasi di dalam program tersebut sehingga output  yang otomatis didapat adalah daftar 100–500 ligand  yang mempunyai interaksi terkuat dengan molekul reseptor yang kita masukkan dalam sistem LIDAEUS.

3. Selanjutnya dilakukan proses validasi dengan menguji aktivitas senyawa kimia hasil proses docking . Basis data ZINC dan LIDAEUS mencantumkan nomer katalog dan nama penyalur untuk setiap ligand   yang ada di dalam basis data mereka sehingga memudahkan proses pembelian.

4. Setelah proses validasi, selanjutnya adalah pengoptimalan struktur senyawa kimia melalui sintesis kimia organik untuk menciptakan struktur m olekul baru yang berinteraksi lebih kuat dengan molekul reseptor. Beberapa laboratorium akademik menghentikan proses penemuan obat sampai langkah nomor 3 untuk keperluan publikasi, sedangkan industri farmasi akan meneruskan langkah ke-4.

(Catatan: keempat langkah ini bukan merupakan konsep yang mutlak digunakan oleh semua industri farmasi dan akademik. Masing-masing kelompok peneliti mungkin mengadopsi

langkah-langkah berbeda, misalnya ada peneliti yang tidak menggunakan basis data ZINC ataupun yang sejenisnya, melainkan dengan mendesain ligand   baru berdasarkan pecahan-pecahan (fragments ) molekul yang berinteraksi dengan reseptor)

Salah satu contoh termutakhir aplikasi konsep desain obat berbasis struktur untuk penemuan senyawa kimia baru yang mampu menghambat enzim methyltransferase  virus demam berdarah dengue dipaparkan secara apik oleh kelompok peneliti dari Universitas Basel, Novartis Institute for Tropical Disease Singapore, dan Schrödinger LLC.14

Penggunaan konsep desain obat berbasis struktur dengan bantuan teknologi komputer telah melahirkan berbagai cerita sukses.15 Contoh yang paling terkenal adalah zanamivir (Relenza®) dan oseltamivir (Tamiflu®), dua obat yang digunakan secara luas sebagai penghambat enzim neuraminidase   pada virus influenza A. Penemuan zanamivir dimulai oleh kajian yang sangat elegan oleh kelompok penelitian von Itzstein dari Australia yang melakukan studi docking  dengan bantuan komputer menggunakan program GRID terhadap enzim neuraminidase   dan berhasil menemukan senyawa kimia baru yang mampu menghambat fungsi enzim tersebut.16 Senyawa yang kemudian dikembangkan menjadi Relenza® itu hanya bisa dipakai melalui saluran pernapasan (inhaler ), sehingga para peneliti di Gilead Sciences kemudian mengembangkan molekul baru yang bisa dimasukkan melalui mulut. Molekul baru tersebut memiliki kemiripan struktur dengan zanamivir pada bagian rangka asam sialat (sialic acid ), diberi nama oseltamivir dan dipasarkan dengan nama Tamiflu® (Gambar 2).

A B

Gambar 2. Zanamivir (A) dan oseltamivir (B) (Sumber: Wikipedia)

4. Apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Sekarang pertanyaannya, mampukah Indonesia melakukan penemuan obat baru berlandaskan pada konsep desain obat berbasis struktur? Jawabannya sangat bisa.

Hampir semua basis data molekul, terutama basis data Protein Data Bank  dan senyawa ligand bisa digunakan secara gratis. Proses pemindaian maya (virtual screening ) terhadap jutaan senyawa ligand   bisa dilakukan dari komputer desktop , terutama jika menggunakan basis data LIDAEUS.

Tetapi Indonesia harus jeli melihat kelebihan yang dimilikinya secara khusus. Basis data senyawa ligand   seperti ZINC dan LIDAEUS rata-rata dimiliki oleh negara maju. Jika peneliti Indonesia menggunakan basis data itu dan memutuskan untuk mengembangkan senyawa ligand  yang dibeli secara komersial, masalah paten senyawa ligand akan menjadi hambatan terbesar dalam proses penemuan obat.

Kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah keragaman sumber daya alamnya yang tersebar di darat dan laut. Sumber daya alam yang amat beragam ini mengandung berbagai jenis senyawa kimia eksotik yang mungkin tidak pernah ada dalam basis data apapun. Senyawa-senyawa kimia ini kemungkinan besar unik dan tidak dikandung oleh bahan alam dari negara-negara maju yang

memiliki empat musim. Sudahkah kita memiliki basis data yang menghimpun senyawa-senyawa kimia yang berhasil diisolasi oleh peneliti Indonesia dari bahan alam? Jika jawabannya belum, tidak ada salahnya belajar dari Malaysia yang sudah memulainya terlebih dahulu.

Malaysia yang beriklim sama dengan Indonesia telah lama menyadari potensi terpendam dalam sumber daya alamnya, terutama senyawa-senyawa kimia yang diisolasi dari bahan alam. Universiti Sains Malaysia bekerja sama dengan Malaysian Institute of Pharmaceuticals and Nutraceuticals  (IPHARM) telah membangun basis data senyawa kimia bahan alam yang dinamai NADI© (Nature Drug Discovery System ). Hingga tahun 2008, NADI telah mengumpulkan struktur 4000 senyawa kimia bahan alam dan melakukan virtual screening  4000 senyawa itu terhadap 645 struktur reseptor. Proses docking  dilakukan menggunakan AUTODOCK dan sistem jaringan komputer berbasis grid yang menghubungkan sumber daya komputer di Malaysia dan Uni Eropa. Untuk saat ini akses NADI tidak dibuka untuk umum karena terkait dengan hak intelektual atas senyawa-senyawa tersebut.

Untuk membangun basis data seperti NADI, pertama-tama Indonesia tentu harus melakukan pendataan terhadap hasil-hasil penelitian ilmuwan kita yang seringkali luput tak terdokumentasi. Sumber daya komputer bukan masalah besar, apalagi jika kita bisa masuk ke dalam jaringan internasional komputer grid. Namun, virtual screening  bukan akhir segalanya. Proses terpenting adalah validasi hasil virtual screening   dengan menguji aktivitas senyawa-senyawa tersebut di laboratorium, serta modifikasi struktur molekul untuk menghasilkan senyawa dengan aktivitas lebih tinggi. Penulis yakin banyak ilmuwan Indonesia yang memiliki kepakaran dalam bidang sintesis kimia organik dan biologi sel. Untuk uji klinik tahap 1 hingga 3 bisa bekerja sama dengan industri farmasi yang sudah lama berdiri dan mempunyai dana khusus untuk keperluan tersebut. Masalahnya tinggal menunggu kemauan pemerintah untuk fokus ke arah menjadikan Indonesia sebagai pemain besar dalam industri farmasi.

Investasi yang harus dikucurkan memang besar dan risikonya memang sangat tinggi. Bisa saja dari 1 juta molekul yang diuji pada tahap HTS, hanya 10 ribu molekul yang lolos ke tahap pengujian pada hewan percobaan, 10 molekul lolos ke tahap uji klinik, dan hanya 1 molekul yang pada akhirnya lolos ke konsumen sebagai obat. Di kalangan peneliti kimia medisinal ada gurauan tersendiri: berjudi di Las Vegas kemungkinannya lebih besar untuk mendapat keberuntungan  ketimbang mendesain obat! Tetapi investasi dan risiko yang besar ini akan terbayar jika industri farmasi Indonesia bisa menghasilkan obat yang efektif. Dan investasi besar inilah yang menyebabkan harga obat mahal. Jika ingin menjadi negara berpendapatan tinggi di tahun 2030, pemerintah harus berani berinvestasi besar. Kalau tidak berani berinvestasi, jangan bermimpi untuk menjadi negara maju di tahun 2030!

Referensi

1. 18t h Annual Report: Top 100 Biotechnology Companies. MedAdNews. June 2009. URL:

http://www.scribd.com/doc/17231282/18th-Annual-Report-Top-100-Biotech-Companies-MedAdNews-Jun-09 (diakses tanggal 14 Februari 2011).

2. Top 50 Biotechnology Companies and their Pipelines. Special Report August 2009. PharmaLive.com. URL: http://www.pharmalive.com/special_reports/sample.cfm?reportID=281  (diakses tanggal 14 Februari 2011).

3. Homepage Innogene Kalbiotech Pte Ltd. URL: http://www.innogene-kalbiotech.com/ (diakses tanggal 14 Februari 2011).

4. Silverman RB. The Organic Chemistry of Drug Design and Drug Action, Elsevier Academic Press (2nd edition). 2004.

5. Koehn FE, Carter GT. 2005. The evolving role of natural products in drug discovery. Nat Rev Drug Discov. 4:206–220.

6. Lipinski CA, Lombardo F, Dominy BW, Feeney PJ . 2001. Experimental and computational approaches to estimate solubility and permeability in drug discovery and development settings. Adv Drug Deliv Rev. 46:3–26.

7. Berman HM, Westbrook J, Feng Z, Gilliland G, Bhat TN, Weissig H, et al. 2000. The Protein Data Bank. Nucl Acids Res. 28:235–242.

8. Irwin JJ, Shoichet BK. 2005. ZINC--a free database of commercially available compounds for virtual screening. J Chem Inf Model .45(1):177–82.

9. Taylor P, Blackburn E, Sheng YG, Harding S, Hsin KY, Kan D, et al. 2008. Ligand discovery and virtual screening using the program LIDAEUS. BJP. Suppl 1:S55-67.

10. Morris GM, Goodsell DS, Halliday RS, Huey R, Hart WE, Belew RK, Olson AJ. 1998, Automated docking using a Lamarckian Genetic Algorithm and empirical binding free energy function. J Comput Chem. 19:1639–1662.

11. Ewing TJA, Makino S, Skillman AG, Kuntz ID. 2001. DOCK 4.0: search strategies for automated molecular docking of flexible molecule databases. J Comput Aided Mol Des. 15:411–428.

12. Verdonk ML, Cole JC, Hartshorn MJ, Murray W, Taylor RD. 2003. Improved protein-ligand docking using GOLD. Proteins. 52:609–623.

13. Friesner RA, Banks JL, Murphy RB, Halgren TA, Klicic JJ, Mainz DT, et al. 2004. Glide: a new approach for rapid, accurate docking and scoring. 1. Method and assessment of docking accuracy. J Med Chem. 47(7):1739–1749.

14. Podvinec M, Lim SP, Schmidt T, Scarsi M, Wen D, Sonntag LS, et al. 2010. Novel inhibitors of dengue virus methyltransferase: discovery by in vitro-driven virtual screening on a desktop computer grid. J Med Chem. 53(4):1483–1495.

15. Talele TT, Khedkar SA, Rigby AC. 2010. Successful applications of computer aided drug discovery: moving drugs from concept to the clinic. Curr Top Med Chem. 10(1):127–141.

16. von Itzstein M, Wu WY, Kok GB, Pegg MS, Dyason JC, Jin B, et al. 1993. Rational design of potent sialidase-based inhibitors of influenza virus replication. Nature. 363(6428):418–423.

Dokumen terkait