• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi Fiskal (Mewujudkan Kesejahteraan di Daerah)

B. Dinamika Kualitas Pendidikan

3.3. Desentralisasi Fiskal (Mewujudkan Kesejahteraan di Daerah)

Desentralisasi tercipta untuk membangun political equality

di tingkat lokal atau menciptakan demokrasi di daerah. Karena selama ini, terkait kebijakan yang diciptakan oleh pemerintahan sentralistis tidak sesuai dengan keinginan daerah. Jadi, pengambilan keputusan langsung berada di daerah (power over decision making), sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang responsif, akuntabel, efisien dan efektif. Sistem desentralisasi dimulai ketika munculnya UU No. 22 Tahun 1999, peraturan ini menegaskan fungsi-fungsi atau kewenangan baru yang dimiliki oleh daerah, sehingga memunculkan daerah-daerah yang otonom (otonomi daerah). Tetapi pandangan otonomi daerah dianggap hanya mengelola pemerintahan di daerah, atau hanya dianggap membagi kewenangan antara pusat dengan daerah saja. Perspektif keliru inilah yang coba kembali untuk diluruskan agar sejalan dengan prinsip otonomi daerah, yaitu, desentralisasi tidak dimaksudkan memberikan otonomi hanya kepada pemerintah daerah, tetapi lebih dari itu, harus memperkuat peran dan kedudukan warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal (Prasojo dalam Halim, 2009: 146).

Peran pemerintah daerah lebih banyak ditingkatkan untuk mampu mengatasi permasalahan secara responsif di daerahnya, atau lebih dekat dengan masyarakatnya. Sebagai daerah yang luas, dengan bentuk kepulauan, membuat kinerja pemerintah pusat semakin berat, hal ini terbukti ketika Orde Lama dan Orde Baru.

43

Orde Baru memang berhasil meredam problematika di daerah, tetapi nilai-nilai demokrasi, tranparansi dan akuntabilitas menjadi

sesuatu yang ‘tabu” untuk dilakukan pemerintah kepada

masyarakat. Ketika reformasi, nilai-nilai tersebut coba diterapkan melalui konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang mulai dirasakan pada tingkat provinsi, kemudian berkembang kepada kabupaten/kota. Dan bahkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, otonomi sampai ke tingkat desa. Melalui perubahan pola kekuasaan dan kewenangan, maka dibutuhkan pola baru untuk mendukungnya, yaitu desentralisasi fiskal.

Pentingnya desentralisasi fiskal diperkuat oleh argumentasi Bahl dan Linn (dalam Kumorotomo, 2008: 6). Pertama, jika unsur- unsur belanja dan tingkat pajak ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat, maka layanan publik di daerah dapat diperbaiki, dan masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah. Kedua, pemerintah daerah yang lebih kuat menunjang pembangunan bangsa. Ketiga, keseluruhan mobilisasi sumber daya bertambah baik karena pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibandingkan dengan pemerintah pusat. Jadi, peran pemerintah daerah signifikan dalam menciptakan kesejahteraan dan mendukung kinerja pemerintah pusat.

Desentralisasi fiskal menjadi pola hubungan yang ideal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Secara konsep, desentralisasi fiskal dibagi menjadi tiga bentuk (Kumorotomo, 2012). Pertama, revenue sharing, pemerintah pusat membagikan penerimaan pemerintah yang berkaitan ekstraksi sumber daya alam dan konsesi kepada pemerintah daerah. Kedua, fiscal sharing, pemerintah pusat membagi kewenangan memungut pajak dan belanja publik kepada pemerintah daerah. Ketiga, pemberian

44

subsidi (grants), bentuk subsidi ini dikenal dengan Dana Alokasi Umum (general grants), Dana Alokasi Khusus (Spesific grants) dan matching grants. Berkaitan dengan besarnya kewenangan bagi daerah dalam pembangunan masyarakat berbasis otonomi daerah, namun kurang lebih 15 tahun perjalanan otonomi daerah masih saja ada ketimpangan dalam pembangunan yang dirasakan di beberapa daerah. Karena kecenderungan subdisi atau transfer kepada daerah melalui Dana Alokasi Umum hanya dihabiskan untuk belanja rutin administrasi (pegawai, barang, dan perjalanan dinas) (Haryanto, 2014).

Dalam dinamika otonomi daerah telah memberi peran kepada pemerintahan tingkat desa melalui UU Nomor 6 Tahun 2014. Anggaran diberikan kepada pemerintah desa paling sedikit sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, maka perkiraan yang diberikan semakin besar yaitu berkisar 800 juta hingga 1 milyar rupiah.

45

Selain itu, sumber lainnya dalam pendapatan desa, yaitu bersumber dari bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 persen (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah. Kondisi ini menjadi bukti bahwa untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, tidak selamanya menjadi tugas dan perhatian pemerintah pusat, tetapi justru pemerintahan tingkat bawah yang lebih banyak menghadapi problematika di masyarakat. Tetapi tetap perlu pengawasan yang baik, karena

Studi Kasus

Menteri Keuangan (Bambang P.S. Brodjonegoro) merasa optimistis, implementasi dana desa akan kembali menjadi salah satu kisah sukses Indonesia dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal. Ia menambahkan, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri hingga saat ini dinilai telah membuahkan kesuksesan.

“Kita harus pastikan bahwa dana desa ini adalah kisah

sukses, success story dari desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia. Desentralisasi fiskal yang ada sudah banyak dianggap sebagai kisah sukses, karena banyak negara yang tidak berhasil

melakukan desentralisasi fiskal yang baik,” jelas Menkeu pada

Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Desa menjadi sasaran dalam tujuan negara menyejahterakan masyarakatnya, sebab potensi kemisikinan di perdesaan semakin tinggi akibat ketimpangan pembangunan. Desa diharapkan menjadi penggerak pembangunan melalui alokasi dana desa sebagai wujud desentralisasi fiskal.

Sumber : http://www.kemenkeu.go.id/Berita/menkeu-berharap-dana-desa- jadi-kisah-sukses-desentralisasi-fiskal

46

dalam UU tersebut tidak dijelaskan sanksi terhadap penyimpangan terkait akuntabilitas dan transparansi anggaran desa.

Desentralisasi fiskal mendorong setiap daerah lebih responsif dalam menghadapi permasalahan di daerah. Pemerintah diharapkan lebih inovatif mengelola penerimaan yang ada, dan meningkatkan penerimaan, juga memenuhi kebutuhan di daerah. Hal ini seperti yang dijelaskan Musgrave (dalam Pratikno, 2009), berkaitan dengan posisi desentralisasi fiskal dalam fungsi pemerintahan, fungsi pertama berkaitan dengan fungsi stabilitas ekonomi. Dalam fungsi tersebut, berkaitan dengan stabilitas harga, menjaga pasar kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Fungsi yang kedua, yaitu fungsi distribusi, dalam hal ini peranan pemerintah dalam usaha redistribusi pendapatan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Dan fungsi yang ketiga, yaitu fungsi alokasi, fungsi ini terkait dengan peranan pemerintah dalam intervensi langsung terhadap pasar untuk menjamin prinsip keadilan.

Desentralisasi fiskal secara langsung berdampak kepada masyarakat, karena problematika masyarakat langsung direspon oleh pemerintah daerah, tidak lagi menunggu respon pemerintah pusat seperti era Orde Baru. Konsep ini juga sangat ideal dalam menciptakan pemerataan pembangunan secara horizontal dengan pemerintah pusat dan daerah, serta pembangunan secara vertikal antar satu daerah dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, kesejahteraan masyarakat menjadi outcome dari desentralisasi fiskal, kesejahteraan yang ingin diciptakan didukung salah fungsi distribusi dalam desentralisasi fiskal. Fungsi distribusi merupakan fungsi pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan atau kekayaan supaya masyarakat sejahtera (Pramusinto dan Purwanto, 2009: 398). Instrumen yang sering dipakai oleh fungsi distribusi adalah pajak. Pemerintah daerah telah diberi kewenangan untuk memungut pajak sesuai dengan potensi yang ada di masing-masing daerah. Pajak daerah menjadi salah satu komponen penting dalam

47

meningkatkan penerimaan daerah atau penerimaan asli daerah (PAD).

Pemerintah daerah diharapkan mampu menggali potensi penerimaan pajak daerah. Potensi yang dimaksud disini adalah potensi daerah yang sesuai dengan menopang penerimaan pajak daerah, serta pendapatan asli daerah. Salah satu daerah yang mampu mengelola potensi daerahnya adalah Kabupaten Badung. Sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali, Kabupaten Badung memiliki destinasi pariwisata yang menarik, mampu menciptakan pariwisata menjadi sektor unggulan, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini terlihat dalam penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2014, Kabupaten Badung memperoleh sekitar 2,1 trilliun rupiah (BPS, 2014). Kondisi ini berkaitan dengan daerah pariwisata, karena pariwisata bersifat multiplier effect, maka pajak hotel dan restoran, pajak hiburan dan komponen lainnya dalam pajak daerah akan memberi kontribusi terhadap penerimaan daerah.

Dalam konteks desentralisasi fiskal (Halim, dkk., 2009: 251), daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola, dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Salah satunya melalui penerimaan pajak, khususnya pajak daerah, karena sangat berkaitan dengan kemampuan provinsi dan kabupaten/kota. Kemampuannya yang dimaksud adalah mampu menciptakan atau menggali potensi penerimaan sektor pajak, dan kemampuan memungut pajak sesuai dengan basis pajak yang ada. Hal ini yang menjadi ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi. Dapat dipahami bahwa dalam konsep desentralisasi fiskal, dijelaskan bahwa peran daerah cukup signfikan dalam menanggung beban masyarakat di daerah terkait dengan kesejahteraan. Maka diharapkan peneriman

48

sektor pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) harus terus meningkat, sehingga mampu menciptakan kemandirian daerah.

Pajak, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan antar masyarakat. Tetapi faktanya, realisasi penerimaan perpajakan, maupun penerimaan negara bukan pajak, sama-sama menunjukkan tren penurunan dalam tiga tahun terakhir (Suryowati, 2015). Hal ini bisa saja terjadi karena perpajakan dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi skandal korupsi yang melibatkan oknum pegawai direktorat jenderal pajak, baik di pusat dan daerah. Akibatnya ketidakpercayaan (un-trust) antara wajib pajak dan pemerintah semakin berkurang, rendahnya akuntabilitas dan transparansi pajak semakin membuat kepatuhan dalam membayar pajak semakin menurun. Persepsi masyarakat tentang kesadaran membayar pajak menurun. Padahal, dengan taat membayar pajak, maka jaminan kesejahteraan masyarakat meningkat. Sedangkan jumlah wajib pajak di Indonesia sampai tahun 2013 terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.4

Jumlah Wajib Pajak Di Indonesia Tahun 2009 – 2013 2009 2010 2011 2012 2013 WP Badan 1,608,337 1,760,108 1,929,507 2,136,014 2,218,573 WP Orang Pribadi 13,861,253 16,880,649 19,881,684 22,131,323 23,082,822 WP Bendahara 441,986 471,833 507,882 545,232 555,995 Total 15,911,576 19,112,590 22,319,073 24,812,569 25,857,390 Sumber: DJP, 2013

49

Jumlah wajib pajak memang cenderung meningkat, tetapi dari total jumlah wajib pajak hanya 17 juta saja yang menyampaikan SPT pada tahun 2014 (Anggriani, 2014). Hal ini menjadi bukti bahwa rendahnya kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak berkaitan dengan permasalahan rendahnya akuntabilitas dan terjadinya korupsi. Kepercayaan masyarakat menjadi unsur penting dalam perpajakan, karena mereka jarang dijelaskan untuk apa mereka membayar pajak. Pemikiran masyarakat terbelenggu realita, bahwa pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan publik, hal ini juga semakin diperburuk dengan munculnya kasus korupsi ditengah ketimpangan hukum.

Dokumen terkait