Dalam dinamika otonomi daerah, peran pajak menjadi sangat signifikan dalam menunjang pelaksanan pelayanan dan kebijakan publik di daerah. Kemudian ketika penerapan desentralisasi fiskal telah sampai pada tingkat kabupaten/kota dan desa, segala tingkat pemerintahan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dari sektor keuangan dalam menjalankan pemerintahannya. Pajak daerah merupakan salah satu bentuk kewenangan yang diberikan kepada daerah oleh pemerintah pusat dalam meningkatkan penerimaan kemudian berkontibusi dalam pendapatan asli daerah (PAD).
Pajak daerah secara spesifik terdiri dalam empat hal yakni, (1) pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan pemerintahan dari daerah sendiri, (2) pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional, tetapi penetapan tarifnya oleh pemerintah daerah, (3) pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah, (4) pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepda, dibagi-hasilkan dengan/atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah (Prakosa dalam Halim,
dkk., 2009: 266). Berkaitan dengan pengertian tersebut, pajak daerah telah mengalami perubahan dari UU Nomor 34 Tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009. Perubahan yang signifikan yaitu berubahnya sistem pemungutannya yang dahulu bersifat
54
pemerintah daerah diperbolehkan untuk memungut pajak diluar pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 justru sebaliknya, hal ini boleh
dikatakan sebagai bentuk ‘kontrol’ pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Perubahan ini untuk mengantisipasi penyimpangan dari peraturan daerah terkait pajak yang tidak sesuai dengan kondisi sosial, serta ekonomi yang cenderung dipaksakan guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun tidak menjamin juga UU Nomor 28 Tahun 2009 mampu mengatasi permasalahan yang ada, karena semua tergantung dari pelaksana atau aparat pemerintahan.
Perubahan undang-undang pajak daerah diharapkan bahwa dengan semakin bertambahnya jenis pajak daerah, maka kontribusi pajak semakin meningkat. Karena banyak daerah yang belum mampu menggali potensi-potensi daerahnya guna meningkatkan penerimaan sektor pajak daerah, beberapa daerah masih bergantung dari Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dalam menunjang anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Berkaitan dengan pajak daerah, setiap provinsi hingga kabupaten/kota diharapkan lebih inovatif dan visioner dalam memperluas subjek dan objek pajak yang ada. Hal ini yang belum banyak dilakukan, yaitu memungut pajak daerah sesuai dengan potensi yang ada, kondisi ini pula yang memicu pemerintah pusat dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan penerimaan pajak daerah. Perubahan undang-undang perpajakan dari UU Nomor 34 Tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009, selain bentuk pemberian kewenangan kepada daerah, juga untuk meningkatkan penerimaan sektor pajak. Selain itu, pemerintah pusat berharap agar daerah mampu meningkatkan penerimaan dan berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Artinya, UU yang terbaru memberikan taxing power bagi daerah, taxing power sangat
55
berkaitan dengan pemberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka pembiayaan daerah, yaitu dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya (Haris, dkk., 2007: 217).
Perubahan yang signifikan selanjutnya dari pajak daerah adalah bertambahnya jumlah jenis pajak daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Perubahan tersebut sebagai bentuk pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang ideal dalam meminimalkan ketimpangan, serta memeratakan pembangungan dan tentunya kesejahteraan. Ketimpangan dalam paradigma desentralisasi fiskal lebih dikenal dengan celah atau kesenjangan fiskal (fiscal gap). Menurut Kumorotomo (2008: 8), pada umumnya ada tiga sebab yang mengakibatkan kesenjangan fiskal, yakni, (1) pemerintah daerah memegang kewenangan perbelanjaan yang lebih banyak dibanding kewenangan penerimaan, atau dengan kata lain terlalu sedikit sumber-sumber penerimaan yang diberikan otoritasnya kepada pemerintah daerah. (2) Pemerintah daerah harus melakukan belanja atau pengeluaran yang lebih banyak daripada modal pembangunan dan layanan publik yang tersedia. (3) Pemerintah lokal belum mampu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan penerimaan.
56
Studi Kasus
Ketimpangan dan ketidakadilan dalam pajak daerah memunculkan perubahan bahkan penghapusan yaitu pajak bumi dan bangunan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan berencana menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB). Ferry beranggapan bahwa PBB yang setiap tahunnya dipungut dari masyarakat merupakan sebuah tindakan yang tidak adil serta merugikan.
Ferry melanjutkan, menurutnya kurang pantas apabila bangunan-bangunan yang diperuntukkan menunjang masyarakat, seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat tinggal dikenai pajak tersebut. Menurut Ferry, pajak tersebut lebih efektif bila hanya dikenakan kepada properti komersial.
“Menurut saya tidak adil kalau rumah sakit, sekolah, dan
tempat tinggal ada pajak bangunannya. Yang kita pajaki bangunan kalau dia menjadi tempat komersial, seperti rumah kosan, restoran, dan hotel. Kalau bangunan seperti itu wajar (dikenai
pajak) karena mereka memiliki pendapatan setiap tahunnya,”
lanjut Ferry.
Usulan Ferry ditanggapi positif Pengamat Ekonomi Aviliani. Menurut dia, usulan penghapusan PBB tersebut tentunya sangat menguntungkan masyarakat. Pasalnya, PBB terlalu memberatkan masyarakat, apalagi yang memiliki penghasilan rendah.
Hanya, lanjut Aviliani, kemungkinan besar usulan tersebut ditentang oleh pemerintah daerah (pemda). Penghapusan pajak tersebut membuat pemda kehilangan banyak pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari PBB.
Sumber:
http://properti.kompas.com/read/2015/01/30/064306321/Catat.Pemerintah.Aka n.Menghapus.Pajak.Bumi.dan.Bangunan.
57
Provinsi Bali sebagai daerah tujuan pariwisata nasional dan internasional, secara langsung memberi kontribusi signifikan pada pajak daerahnya. Tetapi hal ini mendorong masalah baru, yaitu urbanisasi penduduk, yang kemudian berdampak pada masalah perkotaan seperti kemacetan, permukiman dan kriminalitas. Maka salah satu kebijakan pemerintah Provinsi Bali dalam menekan masalah tersebut, terutama pada masalah kemacetan, adalah dengan menerapkan tarif pajak progresif kendaraan bermotor. Pajak progresif kendaraan bermotor merupakan penerapan tarif pajak kendaraan bermotor secara bertingkat sesuai dengan urutan kepemilikannya. Penerapan tarif pajak progresif pada Provinsi Bali adalah sebagai berikut:
a. kepemilikan kendaraan pertama sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
b. kepemilikan kendaraan kedua sebesar 2% (dua persen); c. kepemilikan kendaraan ketiga sebesar 2,5% (dua koma
lima persen);
d. kepemilikan kendaraan keempat sebesar 3% (tiga persen); dan
e. kepemilikan kendaraan kelima dan seterusnya sebesar 3,5% (tiga koma lima persen),
Perapan tersebut tentunya diatur dalam peraturan daerah, dengan persetujuan dari pemerintah pusat. Karena tarif yang dikenakan disesuaikan dengan kondisi di daerah, tetapi tidak diperbolehkan melebihi tarif maksimal dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
58
PENUTUP
Berdasarkan kajian dan pemikiran dari berbagai problematika yang ada, terutama berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dalam konteks di Indonesia, maka dalam mejuwudkan kesejahteraan masyarakat, perlu sinergitas dan kesinambungan yang terwujud menjadi suatu kebijakan serta program. Sinergitas dapat dipahami melalui perspektif hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu melalui desentralisasi fiskal. Sedangkan untuk kesinambungan (sustainable), bisa melalui program atau kebijakan yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan didukung program-program lainnya, sehingga tidak hanya mengatasi masalah, tetapi juga memberdayakan masyarakat agar lebih sejahtera. Salah satu contohnya, yaitu melalui jaminan kesehatan nasional yang juga diikuti oleh pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai oleh masing-masing daerah melalui anggaran daerah yang diperoleh melalui pajak. Oleh karena itu, hal-hal tersebut harus terwujud, bukan lagi hanya sebuah kebijakan atau program yang berubah seiring pergantian pemimpin. Argumen yang terbangun dalam tulisan ini memandang bahwa mewujudkan kesejahteraan butuh sebuah komitmen nyata dan juga peran serta masyarakat sebagai bentuk feed back. Ketimpangan adalah problematika yang sebenarnya terjadi karena bentuk penyimpangan dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Nilai-nilai yang tertuang dalam dasar negara sebagai amanat konstitusi, yaitu dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat belum menjadi pedoman bagi pemerintah. Maka, diperlukan sebuat komitmen yang dibangun oleh integritas seorang pemimpin dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena berbagai instrumen kebijakan atau program dan pola pemerintahan telah banyak memberi ruang bagi pemimpin di tingkat pusat dan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan.
59
Soal latihan (review jurnal)
Carilah artikel jurnal yang berkaitan dengan tema penduduk dan indeks kebahagiaan, jaminan kesehatan, dan desentralisasi fiskal.
Jelaskan yang menarik dari jurnal tersebut! (review)
Link jurnal online sebagai berikut : 1. http://www.jurnal.lipi.go.id/
2. www.oxfordjournals.org/
3. http://www.sciencedirect.com/ 4. https://doaj.org/
CATATAN :
Setelah mempelajari Bab ini, mahasiswa akan mampu untuk memahami dan menjelaskan pentingnya pajak
dalam meningkatkan kesejahteraan, serta konsep
desentralisasi fiskal yang menjadi bagian dari otonomi daerah dalam mendorong peran serta masing-masing daerah untuk menjamin kesejahteraan. Mahasiswa akan terlibat dalam 2 hari pemagangan terstruktur dengan jumlah 5 jam per hari.
60
Pedoman Penilaian:
Pedoman penilaian di kelas yaitu: review jurnal serta hasil temuan saat pemagangan.
Pedoman penilaian di tempat magang (10 jam)
Pedoman Penilaian di kelas dan di tempat magang {+ 10 jam, 2 hari @ 5 jam dengan penilaian dari tim pendamping setiap harinya sesuai indikator dalam Lembar Penilaian Magang Mahasiswa}. Tempat Magang, kantor:
1. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2. Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali 3. KPP Denpasar Timur
Tim Pendamping:
1. Kepala BPS Provinsi Bali
2. Sub Bagian umum Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali 3. Kepala Kanwil DJP /Sub Bagian umum KPP Denpasar
timur Tim Dosen Pengajar:
1. I Putu Dharmanu Yudartha 2. Kepala BPS atau yang mewakili
3. Kepala Kanwil DJP atau yang mewakili
4. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali atau yang mewakili
61
REFERENSI
Abdullah, Iswan. 2015. Ini Penyebab Layanan BPJS Kesehatan Carut-Marut. Kompas. http://finansial.bisnis.com/read/201 50226/215/406860/ini-penyebab-layanan-bpjs-kesehatan- carut-marut-
Anggriani,Desi.2014. http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014 /10/30/312179/jokowi-soroti-wajib-pajak-yang-tak-
sampaikan-spt
Alfitri. 2012. Ideologi Welfare State dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jurnal Konstitusi Vol 9. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Amir, Hidayat. 2014. Potensi Pajak dan Kinerja Pemungutannya. Kementrian Keuangan Republik Indonesia. http://www. kemenkeu.go.id/sites/default/files/Pajak%20Potensi%20da n%20Pengumpulannya.pdf
BPS, 2010. Laju Pertumbuhan Penduduk 2010-2015
_________, Proyeksi Penduduk tahun 2010-2035
BPS, 2013, Angkatan kerja dan pengangguran di Indonesia tahun 2009-2013
BPS Provinsi Bali. 2015. Indeks Kebahagian Provinsi Bali. tahun 2014
Burton, Richard. 2014. Kajian Perpajakan dalam Konteks Kesehateraan dan Keadilan. Jakarta. Mitra Wacana Media. Darwin, Muhadjir.2012. Kesejahteraan Sosial dalam Perpektif
Pancasila. Diktat Perkuliahan. FISIPOL UGM
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Analisis APBD 2014
DPR Republik Indonesia. Meningkatkan Tax Ratio Indonesia. http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Meningkat kan_Tax_Ratio_Indonesia20140602100259.pdf
62
Dwicaksono, Adenantera. 2012. Jamkesmas dan Program
Jaminan Kesehatan Daerah. Bandung. Inisiatif.
http://internationalbudget.org/wpcontent/uploads/jamkesda _bahasa.pdf
Halim, Abdul. 2009. Problem Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah: Peluang dan
Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah.
Yogyakarta. Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Harris, Syamsuddin.Ed. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta. LIPI Press.
Haryanto, Joko Tri. 2014. Audit Belanja dan Reformasi Anggaran
ke Daerah. Kemenkeu.
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Audit%20da n%20reformasi%20anggaran%20ke%20daerah_0.pdf Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal: Politik
Perubahan Kebijakan 1974-2004. Prenada Media Group. Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi dan Widianingrum, Ambar. Ed. 2010.
Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Gava
Media. Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2013. Demografi Umum (cetakan ke XV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi Yogyakarta.
Jalal, Fasli. 2014. Program KB Jalan di Tempat. http://health.kompas.com/read/2014/06/12/1520380/Progra m.KB.Jalan.di.Tempat
Jati, Raharjo Warsito.2012. Bonus Demografi Sebagai Mesin Perumbuhan Ekonomi : Jendela Peluang dan Jendela Bencana di Indonesia. http://www.academia.edu/
63
Olsson, Gunilla, Angka Kematian Balita di Indonesia turun
http://www.antaranews.com/berita/465399/unicef-angka- kematian-Balita-di-indonesia-turun
Pramusinto, Agus dan Purwanto, Erwan Agus. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemiminan dan Pelayanan Publik: Kajian
Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
Yogyakarta. Gava Media
Puspayoga, A.A.G.2015. Menkop Target 5 Tahun Jumlah Wirausahawan Capai 2%. Kementrian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content& view=article&id=1516:menkop-target-5-tahun-jumlah- wirausahawan-capai-2&catid=54:bind-berita-
kementerian&Itemid=98
Sudjatmiko, Budiman. 2010. Mengelola Negara Kesejahteraan. http://budimansudjatmiko.net/category/page/gagasan/93/M engelola-Negara-Kesejahteraan
Suryowati, Estu. 2015. Pengamat: Penerimaan Negara dalam Kondisi Bahaya. Kompas.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/24/14392 4826/Pengamat.Penerimaan.Negara.dalam.Kondisi.Bahaya Suswono. 2014. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia
Mencemaskan.
http://www.tempo.co/read/news/2014/06/11/173584243/Ko nversi-Lahan-Pertanian-di-Indonesia-Mencemaskan
Samodro, Aloen. 2006. Involusi Sumberdaya Pesisir dan Laut (Tinjauan Analisas Konseptual terhadap Teori Involusi Pertanian Clifford Geertz): Studi Kasus Pola Eksploitasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seirbu Utra Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Depok.Pusat Kajian Sosiologi FISIP-Ui
64
Sukamdi, 2014. Tantangan Bonus Demografi: Perlunya Respon
Terhadap Persoalan Lansia dan Tenaga Kerja.
http://www.cpps.or.id/content/tantangan-bonus-demografi- perlunya-respon-terhadap-persoalan-lansia-dan-tenaga- kerja
Susetiawan, Prof. Dr. 2009. Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat : Sebuah KetidaKBerdayaan Para pihak
Melawan Kontruksi Neoliberalisme.
http://pspk.ugm.ac.id/artikel-terbaru/61-pembangunan-dan- kesejahteraan-masyarakat-sebuah-ketidaKBerdayaan-para- pihak-melawan-konstruksi-neoliberalisme.html
Tumakaka, Wahju. 2015. Pajak adalah keniscayaan negara
demokratis. Paparan yang disajikan dalam program
pemagangan mahasiswa FISIP Universitas Udayanan di kantor Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali.
UNDP. 2014. Human Development Index. http://hdr.undp.org/en Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah.2014. Gerakan Mahasiswa dan
Politik Liberalisasi Pendidikan Pasca-2014
http://indoprogress.com/2014/01/gerakan-mahasiswa-dan- politik-liberalisasi-pendidikan-pasca-2014/
Wahyudi. Zaid M.2014. Dorong Perempuan Masuk Pasar Kerja
agar Bonus Demografi Tercapai. Kompas
http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Dorong- Perempuan-Masuk-Pasar-Kerja-agar-Bonus-Demo
Wijito, Listiyarko.2012. Hubungan Pajak Daerah dengan Tax
Ratio. BPPK. Departemen Keuangan.
Zulhanafi, et all. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas dan Tingkat Pengangguran di Indonesia. http://download.portalgaruda.org/article.php? article=100756&val=1489