• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Dinamika Kualitas Pendidikan

3.2. Kebijakan Jaminan Kesehatan

Kesehatan menjadi salah satu variabel indeks kebahagian dan ukuran kesejahteraan di suatu negara bahkan daerah. Kesehatan menjadi faktor dalam bonus demografi dan juga dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Menurut Sandefur dalam Pramusinto dan Purwanto (2009: 373), menjelaskan bahwa produktivas kerja dipengaruhi oleh kondisi tubuh yang sehat,

34

dengan memiliki tingkat kesehatan dan gizi yang cukup, diharapkan individu bisa produktif dan memiliki penghasilan yang cukup, kalaupun sakit tidak perlu kesulitan untuk mengobatinya, karena tersedianya fasilitas kesehatan yang terjangkau. Sehingga perlu dibutuhkan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang baik, dan tentunya merata antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Menciptakan pemerataan dalam kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah, karena hal ini berkaitan dengan kegagalan pasar dalam menyediakan barang-barang publik (kesehatan) dan salah satu langkahnya melalui memberikan subsidi (atau menarik pajak) (Pramusinto dan Purwanto, 2009: 357). Ketika tata kelola pemerintahan (good governance) mengakibatkan atau menuntut terjadi less governance, perlu ada instrumen untuk mengaturnya berkaitan dengan ketimpangan pelayanan publik. Instrumen tersebut adalah pajak, melalui pajak maka kesejahteraan masyarakat menjadi tujuannya. Melalui pajak, pemerintah memberikan subsidi atau jaminan kesehatan bagi mereka sesuai dengan tingkat kemampuan atau penghasilan. Jika semua diserahkan ke swasta, maka pelayanan publik cenderung berbicara tentang profit (untung), sehingga ketimpangan pelayanan banyak terjadi.

Permasalahan kesehatan sangat memengaruhi tatanan kehidupan sosial di Indonesia, salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat. Dalam dinamika kebijakan kesehatan di Indonesia, tingkat kemampuan ekonomi sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada setiap masyarakat. Masyarakat miskin atau kurang mampu sulit mencapai pelayanan terbaik kepada mereka. Sedangkan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah keatas sangat mudah mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan disparitas dan semakin menciptakan gap antar masyarakat di daerah-daerah di

35

seluruh Indonesia. Berkaitan dengan masalah tersebut, maka pemerintah Indonesia menciptakan program jaminan kesehatan. Program jaminan kesehatan ketika era otonomi daerah dibagi menjadi dua program yaitu jamkesmas dan jamkesda. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) merupakan perubahan dari sistem Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang dikelola oleh BUMN, yaitu PT. Askes (Dwicaksono, dkk., 2012). Perubahan tersebut didasarkan pada UU Nomor 40 Tahun 2004 guna menciptakan perlindungan kesehatan kepada seluruh warga negara. Sedangkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) merupakan dampak dari desentralisasi dan otonomi daerah. Jadi, setiap daerah diberi kesempatan menciptakan jaminan kesehatan yang disesuaikan dengan APBD.

Salah satu program jaminan kesehatan daerah yang ada di Bali adalah Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Program ini ditujukan bagi masyarakat Bali yang belum mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah pusat. Sebagai salah satu provinsi dengan pendapatan asli daerah yang besar, Bali diharapkan mampu mengatasi permasalahan fundamental seperti kesehatan dan pendidikan. Berkaitan dengan permasalahan kesehatan, program JKBM mencoba menjawab tantangan yang ada melalui fasilitas pelayanan yang diberikan. Adapun fasilitas pelayanan dalam program JKBM dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2010, meliputi:

a. Rawat jalan tingkat pertama di puskesmas dan jejaringnya. b. Rawat inap tingkat pertama di puskesmas perawatan. c. Rawat jalan tingkat lanjut di Rumah Sakit.

d. Rawat inap tingkat lanjut di Rumah Sakit jejaring dengan fasilitas kelas III.

e. Pelayanan Gawat Darurat, bagi Rumah Sakit swasta yang belum menjadi jejaring JKBM tetap harus memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada peserta JKBM.

36

f. Kacamata dengan lensa koreksi minimal +1/-1 dengan nilai maksimal Rp.200.000,- berdasarkan ketentuan dan resep dokter mata Rumah Sakit jejaring.

g. Intra ocular Lens (IOL) diberikan penggantian sesuai resep dari dokter spesialis mata dengan nilai maksimal Rp. 300.000,- untuk operasi katarak dengan metode SICS, untuk operasi katarak dengan metode Phaeco maksimal Rp.1.000.000,- dan Bola mata palsu maksimal Rp.400.000,-.

h. Pelayanan penunjang diagnostik canggih. Pelayanan ini diberikan hanya pada kasus-kasus life-saving dan kebutuhan penegakan diagnosa yang sangat diperlukan melalui pengkajian dan pengendalian oleh Komite medik, dan

i. Terapi Hemodialisa diberikan maksimal sebanyak 6 kali untuk kasus baru.

Fasilitas pelayanan kesehatan dalam program JKBM terlihat sangat signifikan dalam memberikan pelayanan terbaik, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa program jaminan kesehatan seperti apapun bentuknya, pasti bertujuan untuk mempersempit ketimpangan antar masyarakat. Karena dalam dinamika tata negara, terutama berkaitan dengan pelayanan publik, pemerintah tidak lagi memonopoli pelayanan kepada masyarakat. Munculnya peran sektor swasta dalam memberikan pelayanan tentunya memberi manfaat yang signifikan, tetapi juga menimbulkan ketimpangan, karena hanya masyarakat tertentu yang bisa mendapatkan pelayanan terbaik. Maka dalam menghadapi permasalahan tersebut, negara harus menjamin pemerataan terhadap pelayanan dan aksesnya. Hal ini yang mendorong pemerintah menciptakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui program BPJS. JKN

37

bertujuan agar pemerintah mampu mengontrol pelayanan kesehatan dan dapat terintegrasi dengan baik.

Implementasi BPJS yang baru berlangsung selama satu tahun dapat dinilai dari hasil survei yang dilakukan oleh Myriad. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks nasional kepuasan peserta adalah 81 persen, sedangkan indeks nasional kepuasan fasilitas kesehatan sebesar 75 persen (Kompas, 2014). Tetapi, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menunjukkan bahwa banyak konsumen yang dirugikan atau ditolak oleh pihak rumah sakit. Namun dalam kondisi ini, kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa pelayanan yang dilakukan sudah baik atau buruk. Hal ini disebabkan dengan pelayanan dan fasilitas kesehatan pasti berbeda-beda di setiap daerah. Menurut Abdullah (2015), penyebab utama permasalahan yang ada berkaitan dengan anggaran pelayanan BPJS yang tidak dialokasikan dengan baik oleh pemerintah.

38

Program sosial seperti kesehatan, secara umum memengaruhi pembangunan manusia, dan konsekuensinya peningkatan pengeluaran pemerintah dalam program tersebut diharapkan menghasilkan indikator sosial yang lebih baik (Balldacci dalam Pramusinto dan Purwanto, 2009: 373). Dalam mencapai angkatan kerja yang produktif, dibutuhkan peningkatan kualitas kesehatan. Kualitas kesehatan khususnya di Indonesia,

Studi Kasus

Dalam pelaksanaan BPJS, direktur utama BPJS Kesehatan (Fahmi Idris) mengakui masih ada banyak permasalahan yang mewarnai program BPJS Kesehatan selama 2014. Oleh sebab itu, untuk kedepannya BPJS Kesehatan akan memperbaiki pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Pelaksanaan BPJS Kesehatan harus lebih baik, sebab peserta BPJS Kesehatan terus meningkat. Begitu pula mitra BPJS Kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan dokter.

Pelayanan BPJS Kesehatan, khususnya terhadap masyarakat miskin penerima bantuan iuran (PBI) yang pengobatannya ditanggung APBN belum memuaskan. Koordinator Advokasi BPJS (Watch Timboel Siregar) mengungkapkan bahwa buruknya pelayanan ini bisa dilihat dari sikap rumah sakit yang masih mencari alasan untuk tidak melayani warga miskin penerima bantuan iuran.

Menurut Timboel, alasan rumah sakit bermacam- macam. Namun umumnya beralasan kamar pasien sedang penuh. Padahal ketika dicek banyak kamar kosong. "Ini seperti terjadi di Cengkareng dan banyak kasus lainnya," kata Timboel

Sumber :

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/06/130228826/Ini.Permasa lahan.Penting.di.BPJS.Kesehatan.?utm_source=bisniskeuangan&utm_medi um=bp-kompas&utm_campaign=related&

39

menjadi masalah yang tidak kunjung selesai, salah satunya ketimpangan kesehatan yang sangat dirasakan di Indonesia. Berbicara tentang kesehatan maka ada dua faktor dominan, yaitu pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan.

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, merupakan bentuk sinergitas jaminan kepada masyarakat melalui pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Sebenarnya seperti yang dijelaskan sebelumnya, masing-masing daerah telah melaksanakan jaminan kesehatannya (desentralisasi kesehatan), tetapi pemerintah merasa belum terjaminannya kesehatan selama ini. Melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menciptakan kesejahteran dan berusaha menghapus ketimpangan, terutama pada kesehatan. Pada pelaksanaannya, BPJS Kesehatan menargetkan semua penduduk Indonesia yang berjumlah 257,5 juta jiwa paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019 (BPJS, 2014) telah mendapatkan jaminan kesehatan. Menurut data per Juni 2014, tercatat jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai peserta adalah 124.553.040 jiwa.

Pelayanan kesehatan di suatu daerah sangat terasa ketimpangannya, pelayanan kesehatan hanya di fokuskan di perkotaan, akibatnya tidak ada pelayanan yang memadai di perdesaan. Fakta telah berbicara terkait pelayanan kesehatan, tidak hanya perkotaan dan perdesaan, tetapi juga antar provinsi di Indonesia yang kualitas pelayanannya jauh berbeda. Pelayanan kesehatan juga berkaitan dengan tenaga kesehatan, banyak tenaga kesehatan, terutama dokter, cenderung terpusat di suatu daerah (Pulau Jawa). Hal ini menjadi pemicu ketimpangan pelayanan kesehatan di Indonesia. Kondisi ini dapat digambarkan dari data kematian bayi per provinsi di Indonesia (diagram 2) (BPS, 2013)

40

Diagram 3.2.

Angka kematian Bayi Berdasarkan Propinsi 2013

Sumber: BPS, 2013

Dari data tersebut terlihat bahwa disparitas pelayanan kesehatan tercermin melalui tingkat kematian bayi di sebagian daerah Indonesia Timur, terutama di Papua, memiliki tingkat kematian bayi yang tinggi. Peran pemerintah dalam permasalahan kesehatan, baru sampai pada memberikan jaminan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu, tetapi belum mengatasi ketimpangan pelayanan kesehatan, baik dari segi fasiltas, maupun tenaga kesehatan di setiap daerah. Kesehatan sangat berkaitan dengan kualitas manusia sebagai outcome, jadi tidak hanya mencegah atau mengobati penyakit, tetapi lebih kepada meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara jasmani maupun rohani dalam menghadapi tantangan yang ada. Di satu sisi, kesehatan menjadi salah satu indikator kesejahteraan sosial (masyarakat), semakin tinggi tingkat kematian, maka semakin rendah tingkat

41

kesejahteraan masyarakatnya. Daerah-daerah seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali dan Riau, memiliki tingkat kematian bayi yang rendah. Dimana daerah tersebut penerimaannya (Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam) termasuk tinggi.

Mengatasi disparitas kesehatan di Indonesia perlu langkah sistematis. Hal ini disebabkan permasalahan kesehatan sangat dipengaruhi perubahan politik, sosial, dan ekonomi di tiap daerah. Sehingga perlu sinergitas kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Berlakunya desentralisasi dan otonomi merubah kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan, kebijakan kesehatan tidak lagi terpusat, tetapi sebagian diberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007, pemerintah daerah diharapkan memberikan pelayanan publik yang prima dan berkelanjutan, mengacu pada standar pelayan minimal untuk semua golongan masyarakat (Widaningrum, dkk., 2010: 130). Sehingga dalam konteks pelayanan kesehatan, peran pemerintah daerah dalam kebijakan jaminan kesehatan nasional akan banyak berperan dalam sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Hal ini menjadi suatu bagian penting dari kebijakan atau program tersebut, agar tepat sasaran dan mampu memberdayakan masyarakat. Akses terhadap kebijakan juga berkaitan dengan sosialisasi tersebut, karena dengan kondisi daerah yang berbeda akan berdampak kepada proses dan metode sosialisasi kepada masyarakat. Selain sosialisasi, peran pemerintah daerah yang terpenting adalah menciptakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik. Fasilitas kesehatan menjadi problematika yang cukup serius saat ini, karena ketimpangan sangat dirasakan di berbagai daerah. Fasilitas kesehatan terbaik cenderung berada di kota-kota besar, sehingga pelayanan kesehatan tidak merata dan sulit untuk mendapatkannya. Hal inilah yang menjadi tantangan

42

bagi pemerintah daerah, dan perlunya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

3.3. Desentralisasi Fiskal (Mewujudkan Kesejahteraan di

Dokumen terkait