• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Deskripsi Data Penelitian

1. Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan

Dalam pertumbuhan ekonomi indikator penting untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah (wilayah) adalah dengan melihat data PDRB-nya. Pendapatan nasional yang dapat diwujudkan dalam bentuk produk domestik

regional bruto merupakan gambaran kegiatan perekonomian suatu daerah.

Pengukuran PDRB sangat penting dalam kebijakan makroekonomi. Pengukuran ini dapat digunakan untuk memproses berbagai isu inti yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, siklus usaha, hubungan antara aktivitas ekonomi dan pengangguran, serta ukuran faktor penentu inflasi.

Tabel 4. 1

Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011-2020

Tahun PDRB (Rp) Pertumbuhan Ekonomi (%)

2011 185.708,47 8,13 dipengaruhi oleh perekonomian global maupun lokal yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapi perekonomian di sulawesi selatan. Kondisi ini mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan masih mengalami tekanan berat, sehingga pertumbuhan ekonomi masih dalam tren menurun akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Laju pertumbuhan ekonomi yang dilihat

43

dari perkembangan PDRB harga konstan tahun 2010 secara umum meningkat, namun beberapa tahun pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2010 mengalami penurunan. Penurunan pertumbuhan yang paling nyata terjadi pada tahun 2020, dimana laju pertumbuhan ekonomi hanya -0,70%. Hal ini disebabkan karena adanya pandemi COVID-19 yang berdampak pada hampir semua sektor disulawesi selatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran COVID-19 yang semula merupakan krisis kesehatan berdampak pada kinerja ekonomi secara keseluruhan. Tekanan ekonomi aktibat COVID-19 ditingkat global maupun lokal yang cenderung turun memberikan harapan bagi kinerja investasi.

Namun, pemberlakuan kembali pembatasan aktivitas masyarakat untuk menekan penyebaran COVID-19 menjelang hari libur akhir tahun menahan perbaikan kinerja ekonomi untuk dapat tumbuh positif. Sejalan dengan hal tersebut, perbaikan ekonomi dari sisi lapangan usaha ditopang oleh peningkatan kinerja lapangan usaha pertanian dan kontruksi. Perbaikan terjadi ditengah lapangan usaha perdagangan dan industri pengolaan yang kembali terkontruksi lebih dalam dipengaruhi oleh terbatasnya konsumsi masyarakat. Dengan prasyarat terkendalinya penyebaran COVID-19 serta perkembangan positif vaksinasi, ekonomi sulawesi selatan pada tahun selanjutnya diperkirakan melanjutkan perbaikan secara bertahap.

2. Desentralisasi Fiskal Di Provinsi Sulawesi Selatan

Desentralisasi fiskal sulawesi selatan merupakan perwujudan dari visi pemerintah daerah, yang bertujuan untuk mewujudkan sulawesi selatan, dengan

pemerintahan yang baik dan cakap (good governance) dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik dan sebesar-besarnya kepada masyarakat sulawesi selatan.

Perkembangan desentralisasi fiskal dilihat dari rasio pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan daerah, seperti terlihat pada tabel 4.2 sebagai representasi kemandirian daerah.

Tabel 4. 2

Derajat Desentralisasi Fiskal Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011-2020

Tahun Pendapatan Asli Daerah (Rp)

Total Penerimaan Daerah (Rp)

Derajat Desentralisasi Fiskal (%) 2011 1.959.515.902.110 3.110.566.841.413 63,00 2012 2.198.776.396.285 4.433.963.019.651 49,59 2013 2.560.045.632.512 4.867.592.611.713 52,59 2014 3.029.122.238.496 5.503.150.075.066 55,04 2015 3.270.828.511.467 6.105.815.095.558 53,57 2016 3.449.561.308.105 7.162.588.691.183 48,16 2017 3.679.083.943.914 9.055.278.907.514 40,63 2018 3.948.349.252.423 9.252.221.942.175 42,67 2019 4.138.631.215.915 9.573.910.861.961 43,23 2020 1.799.440.836.893 4.924.335.300.013 36,54

45

Sumber : DJPK kemenkeu

Tabel 4.2 menujukkan bahwa derajat desentralisasi fiskal sasaran yang dicapai oleh setiap tahunnya berfluktuasi dari tahun ke tahun. Derajat desentralisasi fiskal tahun 2012-2016 meningkat (dapat dilihat dari proporsi derajat desentralisasi fiskal tahun 2012-2016 dari 49,59% sampai 48,16%. Data menunjukkan bahwa efektif belanja pemerintah daerah dalam menunjang aktifitas perekonomian masyarakat seperti pembangunan sarana umum, selain itu dengan pengalokasian yang tepat pada belanja pemerintah maka pendapatan daerah meningkat.

Pada tabel 4.2 juga menunjukkan bahwa yang memiliki derajat desentralisasi fiskal tertinggi adalah pada tahun 2011 yaitu sebesar 63,00%, sedangkan derajat desentralisasi fiskal terendah adalah pada tahun 2020 yaitu sebesar 36,54%. Data tersebut mendeskripsikan bahwa desentralisasi fiskal dicapai oleh setiap tahunnya berfluktuasi dari tahun ke tahun dan pada tahun 2020 angka derajat desentralisasi fiskal merupakan angka yang terendah bagi sulawesi selatan.

Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kemampuan keuangan daerah yang dimiliki sulawesi selatan.

Permasalahan yang sering terjadi terkait dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal adalah bagaimana daerah dapat mengatasi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dalam hak ketergantungan fiskal untuk kebutuhan segala kegiatan pembangunan daerah (Kuncoro,2004). Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak terlepas dari kemampuan dalam bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi desentralisasi fiskal. Dalam hal ini pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien

untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan, serta meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatnya pemeraraan dan keadilan.

Untuk melihat ketergantungan fiskal pemerintah daerah dapat dilakukan dengan mengukur kinerja/kemampuan keuangan pemerintah daerah dan mengukur kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi desentralisasi fiskal khususnya dibidang keuangan, dapat diukr dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan bisa didanai sepenuhnya oleh pendapatan asli daerah dan dana penerimaan. Mengukur kinerja/kemampuan keuangan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan menggunakan indikator derajat desentralisasi fiskal (Musgrave & Musgrave, 1980). Sedangkan untuk melihat kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi desentralisasi fiskal daerah khususnya dibidang keuangan, dapat diukur dari seberapa jauh kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh pendapatan asli daerah dan dana penerimaan (sumarsono, 2009).

3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah harus dilakukan guna membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggung jawabnya (Muluk,2005). Dalam mengalokasikan belanja terkait pengeluaran pemerintah setiap tahunnya dituangkan dalam APBD. APBD pada dasarnya mencakup rencana keuangan yang diperoleh dan digunakan oleh pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran untuk menjalankan kewenangannya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pelayanan publik. Belanja yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah total belanja tidak langsung terhadap total belanja dan belanja langsung terhadap total

47

belanja, sebagai tolak ukur untuk melihat sejauh mana pengeluaran/belanja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Tabel 4. 3

Belanja Pemerintah Daerah Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011-2020

Tahun Pendapatan Belanja Daerah Belanja (%)

2011 3.110.566.841.413 3.177.043.309.756 102,14 2012 4.433.963.019.651 4.603.648.280.427 103,83 2013 4.867.592.611.713 4.924.217.349.190 101,26 2014 5.503.150.075.066 5.599.423.492.338 101,75 2015 6.149.604.542.113 6.105.815.095.558 99,29 2016 7.162.588.691.183 6.930.978.668.388 96,77 2017 9.055.278.907.514 8.892.158.631.536 98,20 2018 9.252.221.942.175 9.322.152.987.945 100,76 2019 9.573.910.861.961 9.491.447.901.636 99,14 2020 4.924.335.300.013 3.553.369.805.163 72,16 Sumber : DJPK kemenkeu (diolah)

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami fluktuasi pada beberapa tahun tertentu dan cenderung menurun. Tingkat belanja di sulawesi selatan mencapai angka tertinggi pada tahun 2012-2016 dan 2011 yaitu pada tahun 2012 sebesar 103,83 sedangkan pada tahun 2016 sebesar 96,77%. Hal ini disebabkan karena pengelolaan keuangan daerah belum efektif, karena di dalamnya masih ada program/kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan dan sedikit yang terlaksana pada tahun anggaran yang bersangkutan.

Tidak realisasinya anggaran ini disebabkan oleh beberapa faktor penyebab diantaranya lemahnya perencanaa yang sering memakan waktu lama dan menyebabkan keterlambatan pada pengesahannya menjadikan target realisasi anggaran tidak tercapai, perancanaan anggaran yang kurang tepat akan menyulikan dalam hal pembahasan anggaran, pelaksanaan anggaran tidak dipahami dengan

baik. Semua itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Mengingat pentingnya terhadap laporan keuangan sebagai alat informasi dalam menilai kondisi keuangan yang telah diuraikan serta beberapa faktor yang menyebabkan teralisasinya anggaran suatu lembaga.

C. Teknik Analisis Data

Dokumen terkait