• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi yang berminat untuk melakukan penelitian terkait pengaruh desentralisasi fiskal dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan.

b. Diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi kepada pembaca dan masyarakat mengenai pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah di Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam melihat pengaruh desentralisasi fiskal guna untuk pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan Provinsi Sulawesi Selatan.

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Sulawesi Selatan, penelitian ini didasarkan pada teori–teori terkait untuk mendukung terwujudnya hasil penelitian ilmiah. Dasar teori yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini adalah teori tentang pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah, hubungan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, hubungan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Teori – teori ini yang akan dijadikan peneliti sebagai dasar pemikiran dan menjadi acuan dalam melakukan penelitian.

Robinso Tarigan (2004) secara khusus menjelaskan pengertian pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah (daerah). Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan).

Menurut Prawirosetoto (2002), desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan kewenangan untuk pengambilan keputusan dibidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assigment) maupun aspek pengeluaran (expandditure assigment). Desentralisasi ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (publik goods/public services).

Pengeluaran pemerintah harus dilakukan guna membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggung jawabnya (Muluk, 2005). Terdapat tiga dasar teori perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu (1) Teori Musgrave dan Rostow (2) Teori Peacock dan Wiseman dan (3) Teori hukum wanger.

Selain itu agar secara empiris dapat dihubungkan dengan hasil–hasil penelitian sejenis atau yang memiliki topik yang hampir sama maka dilengkapi juga dengan beberapa penelitian terdahulu. Penelitan–penelitian terdahulu tersebut sekaligus menjadi acuan dan perbandingan dalam penelitian ini.

1. Pertumbuhan Ekonomi

Dalam QS An – Nahl ayat 112 menjelaskan sebagai berikut :

ۡت َرَفَكَف ٖناَكَم ِ لُك نِ م اادَغ َر اَهُق ۡز ِر اَهيِتۡأَي اةَّنِئَم ۡطُّم اةَنِماَء ۡتَناَك اةَي ۡرَق الَٗثَم ُهَّللٱ َب َرَض َو negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat TUHAN; karena itu TUHAN merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.

Ahmed shakur (2011 : 196 – 198) menjelaskan ayat di atas menunjukkan bahwa ketaqwaan, kebaikan dan ketaatan pada aturan allah adalah unsur pokok untuk mendatangkan rezeki dan kemajuan ekonomi, kemaksiatan dan kekafiran akan menyebabkan kemungkaran–Nya dan hilangnya kedamaian dan ketenangan.

Masalah ini bukan berarti masyarakat non-muslim tidak bisa mencapai kemajuan

13

ekonomi dan peradaban. Mereka dapat mengetahui kemajuan tersebut, tetapi berakhir dengan kehancuran jika mereka tidak kembali ke jalan yang lurus.

a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara (Todaro, 2005).

Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ditamabah perubahan yang berarti pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan – perubahan dalam struktur dan corak (Sukirno, 1994). Simon Kuznets dengan Sukirno, mendefinisikan perumbuhan ekonomi sebagai suatu peningkatan bagi suatu negara untuk menyediakan barang – barang ekonomi bagi penduduknya, pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi,kelembagaan, serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkan (Sukirno, 1995). Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang.

Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat ini disebabkan oleh faktor – faktor produksi yang selalu meningkat baik jumlah maupun kualitasnya.

Robinso Tarigan (2004) secara khusus menjelaskan pengertian pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi disuatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah (daerah). Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan).

Menurut Todaro (2003 : 92) ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah :

1) Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah,peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.

2) Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah tenaga kerja, dan

3) Kemajuan teknologi.

b. Teori Pertumbuhan Ekonomi 1) Teori Pertumbuhan Rostow

Di dasari pada pengalaman empiris pembangunan yang telah dialami oleh negara–negara maju terutama eropa. Dengan mengamati proses pembangunan di negara–negara eropa dari mulai abad pertengahan hingga abad modern, maka kemudian rostow memformulasikan pola pembangunan yang ada menjadi tahap-tahap evolusi dari suatu pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara–negara tersebut. Adapun tahap tersebut adalah: (1) tahap perekonomian tradisional; (2) tahap prakondisi tinggal landas; (3) tahap tinggal landas; (4) tahap menuju kedewasaan; (5) tahap konsumsi massa tinggi (Mudrajad Kuncoro, 2001).

2. Desentralisasi Fiskal

a. Definisi Desentralisasi Fiskal

Penerapan otonomi dan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1 januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang- undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi

undang-15

undang tersebut menjadi UU N0. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diperlakukan pada bulan desember 2004 (RPJMN 2004-2009).

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Ebel dan Yilmaz (2002: 245) ada tiga bentuk/variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah, yaitu :

1) Dekonsentrasi merupakan pelimpahan kewenangan dari agen–agen pemerintah pusat yang ada di ibu kota negara pada agen–agen di daerah.

2) Delegasi merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas–tugas pemerintahan dengan tanggung jawab pada pemerintahan pusat.

3) Devolusi merupakan penyerahan urusan fungsi–fungsi pemerintah pusat pada pemerintah daerah dimana daerah juga diberi kewenangan dalam mengelolah penerimaan dan pengeluaran daerahnya.

Mengingat prinsip fungsi mengikuti uang dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka desentralisasi fiskal di indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi yang ketiga devolusi. Lebih lanjut Slinko (2002 : 241) menyatakan bahwa :

Di bawah konsep 'desentralisasi fiskal' kami memahami penugasan tanggung jawab fiskal ke tingkat pemerintah yang lebih rendah, yaitu tingkat otonomi daerah (lokal) dan wewenang pemerintah daerah untuk memutuskan perluasannya sendiri dan kemampuannya untuk menghasilkan pendapatan daerah.

Pernyataan Slinko (2002 : 201) mempertegas pengertian desentralisasi fiskal, yaitu sebagai bentuk transfer kewenangan (tanggung jawab dan fungsi) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pemberian otoritas bagi pemerintah daerah untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran daerahnya sendiri.

Tujuan penerapan adalah untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, dimana pemerintah dapat bekerja dengan lebih baik (efisien) dalam kondisi tersebut (Machfud, 2002:18).

Menurut Prawirosetoto (2002), desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun aspek pengeluaran. Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik .

Ada dua keuntungan yang dapat dicapai dari penerapan desentralisasi fiskal (Ebel dan yilmaz, 2002) antara lain:

1) Efisiensi dan alokasi sumber–sumber ekonomi

Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh informasi yang lebih baik (dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu,

17

pengeluaran pemerintah daerah lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

2) Persaingan antara pemerintah daerah

Penyediaan barang publik yang dibiayai oleh pajak daerah akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi fiskal warga negara menggunakan metode “ vote by feet ” dalam menentukan barang publik di wilayah mana yang akan di manfaatkan.

b. Teori Desentralisasi Fiskal

Menjelaskan masalah desentralisasi fiskal tidak dapat lepas dari konsep umum desentralisasi yang menyangkut masalah administrasi dan politik. Oleh karena itu, pendefinisian desentralisasi fiskal selalu terkait dengan tiga hal tersebut dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan desentralisasi, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi politik merupakan tonggak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administrasi melalui pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (Mardiasmo, 2009:563). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai gambaran sejauh mana kewenangan dipegang oleh pemerintah daerah untuk mampu mengambil keputusan sendiri yang mengikat beberapa kebijakan pada ruang lingkup pemerintahan daerah (Litvack et all,. 1998:8)

1) Teori Federalisme Fiskal

Teori federalisme fiskal merupakan teori yang dikembangkan oleh Hayek, Musgrave dan Oates. Dalam teori ini ditekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan jalan desentralisasi yaitu pendelegasian wewenang oleh pusat kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri atau sering disebut dengan otonomi daerah (otda).

Menurut Oates (1972), desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini di karenakan pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang–barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal (kabupaten/kota) akan lebih di dengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal/daerah dan lebih berguna bagi efisensi alokasi.

Teori federalisme fiskal memiliki dua perspektif teori yang menjelaskan tentang dampak ekonomi dari implementasikan desentralisasi, yakni menurut teori tradisional (teori generasi pertama) dan teori perspektif baru (teori generasi kedua).

c. Indikator Desentralisasi Fiskal

Untuk mengatur desentralisasi fiskal di suatu wilayah terdapat dua variabel umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah. Ebel dan Yilmaz (2002) menyatakan terdapat variasi dalam pemilihan indikator untuk mengukur desentralisasi anatara negara yang satu dengan negara yang lain.

Meskipun sama – sama menggunakan variabel yang pengeluaran dan penerimaan pemerintah yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga ukuran variabel yang umum

19

digunakan, seperti: jumlah penduduk, luas wilayah, dan GDP. Lebih lanjut Ebel dan Yilmaz (2002) bahwa baik penerimaan dan atau pengeluaran pemerintah bukanlah indikator yang sempurna untuk mengukur desentralisasi fiskal.

Meskipun kedua variabel tersebut bukan merupakan indikator sempurna dari desentralisasi fiskal, penelitian ini akan menggunakan share penerimaan daerah Penerimaan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) untuk mengukur kemandirian fiskal daerah (derajat desentralisasi daerah). Memilih sumber pendapatan sebagai indikator desentralisasi fiskal dikarenakan keterbatasan data yang tersedia dari sisi pengeluaran.

1) Penerimaan daerah

Dalam mengalokasikan pembelanjaan atas sumber–sumber penerimaannya terkait dengan fungsi desentralisasi, daerah memiliki kebijakan penuh untuk menentukan besaran dan sektor apa yang akan dibelanjakan (kecuali transfer DAK yang digunakan untuk kebutuhan khusus). Menurut UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang penerimaan keuangan antara pusat dan daerah, maka sumber penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain–lain pendapatan (Nurcholis,2005).

a) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Halim dalam Landiyanto, 2005 ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan suatu otonomi daerah mampu melaksanakan suatu otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber–sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk mengelola pemerintah;

(2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin oleh karena itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

PAD mencerminkan kekuatan pajak lokal yang “cukup” sebagai kondisi yang diperlukan bagi terwujudnya otonomi daerah yang luas. Jadi keinginan daerah untuk meningkatkan penerimaan dari pajak dan retribusi adalah keuangan negara (perpajakan) agar pajak dan retribusi daerah tidak distortif dan menyebabkan inefisiensi ekonomi (Simanjuntak, 2005).

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain- lain PAD yang sah. Lain–lain PAD yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi potongan. Ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan aspek pendapatan yang paling utama dalam PAD karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan.

b) Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah, yang terdiri dari dana bagi hasil pajak atau bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan salah satu jenis dari dana perimbangan antara pusat dan daerah di bidang desentralisasi fiskal. Melalui UU No. 32 Tahun

21

2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil (DBH), dibagi menjadi dua yaitu : 1) Dana Bagi Hasil; Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal (11) disebutkan bahwa bagian daerah dari bagi hasil pajak berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (Pph) perorangan dalam negeri. 2) Dana Bagi Hasil bukan pajak atau sumber daya alam berasal dari pendapatan Iuaran Hak Pengusaha (IHP), UU No. 33 Tahun 2004, SDA yang dibagi hasilkan adalah minyak bumi, gas alam, panas bumi, pertambangan umum (seperti batu bara, nikel, emas, dsb), hasil hutan dan hasil perikanan. Bagi hasil dilakukan antara pusat dengan daerah dimana SDA itu berada. Jadi, daerah yang tidak memiliki SDA atau yang tidak berada dalam satu provinsi dengan daerah kaya pada dasarnya tidak akan memperoleh bagian (Simanjuntak, 2005).

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum black grant. Tujuan pengalokasian DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik di antara pemerintah daerah di indonesia. Secara implisit DAU bertujuan untuk menetralkan dampak peningkatan ketimpangan antar daerah sebagai akibat bagi hasil pajak dan SDA yang tidak merata. DAU untuk satu wilayah dialokasikan atas dasar (Simanjuntak, 2005).

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana perimbangan yang berasal dari APBN (Nurcgholis,2005). Kriteria umum DAK adalah pembiayaan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan formula DAU dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional di daerah dimana sumbernya dinyatakan secara spesifik. DAK dilandasi oleh pemikiran bahwa tidak semua

bentuk pelayanan daerah bisa dituangkan dalam bentuk formula dan variabel-variabelnya sebagaimana halnya DAK.

Pendapatan lain–lain terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat (Nurcholis, 2005). Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah (pusat). Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak (bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa) yang tidak dapat diatasi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.

1. Pengeluaran Pemerintah

Sumber keuangan negara yang bersumber dari zakat. Setiap zakat ditentukan oleh jumlah dan kondisi yang di tentukan secara umum. Kebijakan umum zakat ini didasarkan pada al–quran, dalam Q.S At–Taubah ayat 60 di bawah ini :

60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan TUHAN dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan TUHAN, dan TUHAN Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selain di gunakan sebagai dasar untuk memungut zakat sebagai pendapatan negara, ayat ini menjelaskan cara penyaluran dan cara distribusinya. Zakat harus di bagikan kepada kelompok–kelompok yang di sebutkan secara tegas dan pasti di

23

sebutkan (al–mansus). Menurut ma manan perintah al–quran ini menetapkan berbagai kebijakan pengeluaran untuk mendistribusikan kekayaan secara merata di antara semua kelas masyarakat. Cara pendistribusian zakat adalah dengan mengutamakan daerah–daerah di mana zakat itu di pungut. Zakat belum di kembalikan ke pusat pemerintah ke madinah tetapi dibgikan langsung kepada kelompok yang berhak menerimanya. Muhammad SAW memberi wewenang kepada para petugas pemungut untuk mengelola dan mendistribusikannya kepada masyarakat setempak.

Pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 menyebabkan terjadinya desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke berbagai daerah. Pemerintah daerah pada awalnya merupakan perwujudan dari pemerintah pusat dan bertindak atas perintah pemerintah pusat. Dengan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pemerintahan yang memiliki otonomi daerah dan tanggung jawab untuk mengatur wilayahnya (sesuai dengan kebutuhan daerah) dalam ketentuan hukum yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini tercantum piagam eropa tentang pemerintahan sendiri lokal dalam bailey (1999).

Pemerintahan sendiri lokal menunjukkan hak dan kemampuan otoritas lokal, dalam batas-batas hukum, untuk mengatur dan mengelola sebagian besar urusan publik di bawah tanggung jawab mereka sendiri dan untuk kepentingan penduduk lokal.

Otoritas lokal berhak dalam kebijakan ekonomi nasional untuk sumber keuangan mereka sendiri yang memadai, yang dapat mereka gunakan secara bebas dalam kerangka kekuasaan mereka.

Sehingga dengan sistem otonomi daerah tiap wilayah kabupaten/kota dapat menyediakan berbagai pelayanan publik yang beragam sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah haruslah berdasarkan pada prinsip efisensi, agar sistem otonomi ini dapat berjalan dengan optimal (Suparmoko,2002).

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 wewenang pemerintah pusat meliputi enam bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Sementara wewenang pemerintah daerah adalah; (1) perencanaan danpengendalianpembangunan;(2) perencanaan,pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;(3) penyelenggaraan keterbitan umum dan ketentuan masyarakat;(4) penyediaan sarana dan prasarana umum;(5) penanganan bidang kesehatan;(6) penyelenggaraan pendidikan;(7) penanggulangan masalah sosial;(8) pelayanan bidang ketenagakerjaan;(9) fasilitas pengembangan koperasi serta usaha kecil dan menengah;(10) pengendalian lingkungan hidup;(11) pelayanan pertahana;(12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil;(13) pelayanan administrasi umum pemerintahan;(14) pelayanan administrasi penanaman modal;(15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;(16) urusan wajib lainnya yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang–undangan.

Pengeluaran pemerintah harus dilakukan guna membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggung jawabnya (Muluk, 2005). Menurut Guritno Mangkoesoebroto (2001) ada 3 fungsi pemerintahan yaitu :

25

1) Fungsi Alokasi, yaitu fungsi pemerintah untuk mengusahakan agar alokasi sumber – sumber ekonomi (barang publik, barang swasta, barang campuran) dilaksanakan secara efisien.

2) Fungsi Distribusi, yaitu fungsi pemerintah untuk mewujudkan distribusi pendapatan atau kekayaan yang merata.

3) Fungsi Stabilitas, yaitu fungsi pemerintah untuk menjaga kestabilan kondisi perekonomian karena perekonomian yang diserahkan kepada pasar akan rentan terhadap goncangan (inflasi dan deflasi).

Menurut Suparmoko (1994), pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan tujuannya yaitu :

1) Exhaustive, yaitu pengeluaran yang bertujuan untuk mengalihkan sektor–

sektor produksi dari sektor swasta ke sektor pemerintah (berupa pembelian barang dan jasa dalam perekonomian yang dapat langsung dikonsumsi maupun untuk menghasilkan barang lain).

2) Transfer payment, yaitu pengeluaran yang bertujuan untuk memindahkan daya beli dari unit ekonomi yang satu ke unit ekonomi yang lain dan menyerahkan keputusan penggunaan daya beli tersebut pada unit terakhir (dapat berupa pemindahan daya beli pada individu untuk kepentingan sosial pada perusahaan sebagai subsidi maupun pada pemerintah sebagai (hibah/grants).

a. Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah

Dalam mengalokasikan belanja untuk sumber pendapatan yang terkait dengan fungsi desentralisasi setiap daerah memiliki kebijakan lengkap untuk

menentukan skala dan departemen belanja (kecuali transfer DAK berkebutuhan khusus) yang dituangkan dalam APBD. APBD pada dasarnya mencakup rencana keuangan yang diperoleh dan digunakan oleh pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran untuk menjalankan kewenangnannya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

b. Dasar Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah 1) Teori Musgrave dan Rostow

Beliau menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap – tahap pembangunan ekonomi dalam negara.

Pada tahap awal perkembangan pembangunan ekonomi peran pemerintah sangat besar terutama dalam penyediaan sarana prasarana misalnya sarana pendidikan, kesehatan, transportasi. Kemudian pada tahap menengah peran investasi swasta menjadi lebih besar tetapi masih diperlukan peran pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di samping dan peran pemerintah menjadi semakin besar karena terjadi kegagalan pasar . Akibat peran swasta yang besar dan juga pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang besar dengan kuantitas yang lebih baik karena pertumbuhan dan tuntutan kesejahteraan semakin tinggi.

Di samping itu hubungan antarsektor bersifat lebih rumit misalnya kebijakan pembangunan ekonomi yang dilakukan dengan meningkatkan sektor industri, dengan banyaknya industri akan menyebabkan akibat negatif berupa pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat. Keadaan ini menuntut

27

keterlibatan pemerintah untuk mengurangi aspek negatif tersebut juga menjadi mediator atas tuntutan buruh untuk kenaikan upah.

Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi aktivitas pemerintah mulai beralih dari penyediaan sarana prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial misalnya program pelayanan kesehatan lansia.

2) Teori Peacock dan Wiseman

Teorinya didasarkan pada asumsi bahwa ada kecederungan tindakan pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya tetapi pada sisi lain akan mengakibatkan beban masyarakat dalam bentuk pajak menjadi lebih besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Sementara menurut Peacock dan Wiseman ada titik toleransi pajak yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pemungutan pajak yang dibebankan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

3) Hukum Wagner

Teori wagner tentang perkembangan pengeluaran pemerintah disebut sebagai Hukum Wagner tentang peningkatan aktivitas pemerintah. Teori ini mengemukakan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam presentase terhadap GNP dimana teori ini didasarkan pada pengamatan di negara–

Teori wagner tentang perkembangan pengeluaran pemerintah disebut sebagai Hukum Wagner tentang peningkatan aktivitas pemerintah. Teori ini mengemukakan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam presentase terhadap GNP dimana teori ini didasarkan pada pengamatan di negara–

Dokumen terkait