• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.2 Deskripsi Data

Menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah dioleh dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data yang relevan.

4.3. Pembahasan

Melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data. Pada akhir pembahasan peneliti dapat mengemukakan keterbatasan yang

mungkin terdapat dalam pelaksanaan penelitiannya. Keterbatasan tersebut kemudian dapat dijadikan rekomendasi terhadap penelitian lebih lanjut dalam bidang yang menjadi objek penelitiannya, demi pengembangan ilmu pengetahuan.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas dan mudah dipahami.

5.2. Saran-saran

Berisi tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun secara praktis

23 BAB II

DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR

2.1 Deskripsi Teori

Ulber (90:2012)teori adalah satu set atau seperangkat konstruk (variabel) yang saling berhubungan,definisi, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan memrinci hubungan-hubungan di anntara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu. Teori bukan saja membantu menjawab pertanyaan apa karakteristk suatu fenomena tertentu (penelitian deskriptif) melainkan juga menjawab pertanyaan menngapa dan bagaimana hubungan antara suatu fenomena dan fenomena lain.

2.2 Pengertian Kepatuhan Perpajakan

Berdasarkan sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia yaitu Self Assessment System, dalam hal ini wajib pajak diberikan kebebasan secara penuh untuk menghitung, menyetor, serta melaporkan besarnya pajak yang terhutang berdasarkan Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesadaran wajib pajak tentang pentingnya menerapkan perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Berikut adalah beberapa pengertian tentang kepatuhan wajib pajak ( Tax Compliance ) yang ada di Indonesia :

1. Pengertian Kepatuhan Pajak / Tax Compliance :

Pengertian Kepatuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2010:138) dalam Siti Kurnia Rahayu menyatakan bahwa :

Istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan.

Pengertian Kepatuhan Pajak menurut Safri Nurmantu (2010:139) dalam Siti Kurnia Rahayu menyatakan bahwa :

Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Pengertian Pajak menurut Norman D, Nowak (2010:138) yang dikutip oleh Moh. Zain (2004) dalam Siti Kurnia Rahayu menyatakan bahwa kepatuhan wajib bajak memiliki beberapa pengertian yaitu :

Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana :

a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perudang-undangan perpajakan.

b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.

c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.

d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Berdasarkan ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah suatu keadaan dimana wajib pajak taat, tunduk, sadar, dan patuh untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia.

2. Pengertian Kepatuhan Material

Pengertian Kepatuhan Material menurut Sefri Nurmantu (2010:138) dalam Siti Kurnia Rahayu menyatakan bahwa :

Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.

Pengertian kepatuhan material menurut Chaizi Nasucha (2006:111) dalam Siti Kurnia Rahayu menyatakan bahwa :

Kepatuhan material wajib pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Berdasarkan kedua pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantife atau pada hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakannya serta kepatuhan dalam hal melakukan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia.

3. Macam – macam Kepatuhan

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138) dalam buku Perpajakan Indonesia menyatakan bahwa ada dua macam kepatuhan, yaitu :

a. Kepatuhan Formal

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat

Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuab Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret.

b. Kepatuhan Material

Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantive atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

4. Indikator Kepatuhan Wajib Pajak

Indikator kepatuhan wajib pajak dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dasar pemikiran menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:139) yang menyatakan bahwa :

Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal, wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

Kepatuhan pajak menurut International Tax Glossary (1992:296) dalam Nasucha (2004:131), adalah tingkatan yang menunjukkan wajib pajak patuh atau tidak patuh terhadap aturan perpajakan di negaranya. Sedangkan menurut Hom (1993:13) dalam Nasucha (2004:131), kepatuhan dalam perpajakan dapat diartikan sebagai tingkat sampai dimana wajib pajak mematuhi undang-undang perpajakan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan perpajakan adalah sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak taat, tunduk dan patuh melaksanakan ketentuan perpajakan, memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun di negara berkembang. Karena jika wajib pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang.

Wajib pajak patuh, adalah wajib pajak yang sadar pajak, paham hak dan kewajiban perpajakannya dan diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan paham akan hak kewajiban perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan fasilitas yang lebih dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada wajib pajak yang belum atau tidak patuh.

2.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pajak

Menurut Silviani (1992:274-275) dalam Nasucha (2004:132), untuk meningkatkan kepatuhan sukarela diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam penerapan peraturan perpajakan, kesederhanaan peraturan, prosedur perpajakan, dan pelayanan yang baik serta cepat terhadap wajib pajak. Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya tergantung kepada

masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyelidikan, penerapan sanksi sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelayanan kepada wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi negara dalam hal membayar pajak. Di samping itu juga tergantung kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Rahayu, 2009:141).

Menurut Salamun AT (1990:191), ada 6 hal yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak , yaitu :

1) Tarif pajak, pelaksanaan yang rapi, konsisten, dan konsekuen. 2) Ada tidak sanksi pelanggaran.

3) Pelaksanaan sanksi secara konsisten, konsekuen tanpa pandang bulu.

4) Pembelajaraan dan penggunaan dana untuk kepentingan umum dan

kesejahteraan masyarakat, maksudnya hasil dari pajak tersebut terlihat masyarakat dan wujud nyata.

5) Pelayanan birokrasi pemerintah yang baik dan bersih tanpa ada kesulitan dan pungutan liar, korupsi.

Poin nomor 1-4 adalah kewenangan Direktorat Jendral Pajak.

Selain itu menurut Andreoni et al. (1998:818-856) dalam Nasucha (2004:278), menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : pelayanan publik, kebijakan dan keuangan publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan bentuk organisasi, moral wajib pajak, struktur

penghasilan pajak, tarif pajak, demografi, kondisi sosial masyarakat, penegakan hukum, kompleksitas dan amnesti pajak.

Erard dan Feinstein (1994:70-89) dalam Nasucha (2004-140), menggunakan teori psikologi yaitu rasa bersalah dan rasa malu dalam hubungannya dengan kepatuhan pajak. Menurut mereka dalam melakukan kewajiban perpajakannya, wajib pajak mengantisipasi rasa bersalah ketika memikirkan penggelapan pajak dan lolos dari pengawasan dan perasaan malu ketika memikirkan penggelapan pajak dan kemudian tertangkap. Kedua, adalah persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung. Dalam ilmu psikologi, sistem perpajakan yang tidak adil mendorong wajib pajak untuk menggelapkan pajak. Ketiga, adalah pengaruh dari tingkat kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.

Selain itu menurut Filho (1985:10) yang dikutip Nasucha (2004:32), menyebutkan secara psikologis terdapat rintangan terhadap seseorang akan kewajiban perpajakannya yang tersirat dalam sikap, kecenderungan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang tampak pada perilakunya. Hal tersebut akan berkembang dalam masa pembentukannya. Nilai-nilai, ide yang dimiliki individu dipengaruhi oleh pandangan moral dan hal tersebut mempengaruhi perilaku individu dan persepsinya. Asumsi psikologi mengenai kepatuhan terhadap perpajakan secara sederhana diakibatkan oleh kebiasaan, kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang lebih mudah dan ketidakacuhan (Brooks, 2001:16 dalam Nasucha 2004:33).

Toshiyuki (2001: 6-18) dalam Nasucha (2004:34), membuat deskripsi untuk mengukur kondisi kepatuhan wajib pajak berdasarkan pendekatan rasional ekonomi, psikologi, dan sosiologi. Dimensi-dimensi kepatuhan termaksud adalah:

1. Kepatuhan wajib pajak yang mendasar.

2. Kondisi pelaporan pajak.

3. Kondisi pembayaran pajak.

4. Tanggapan para wajib pajak terhadap adanya pemeriksaan, serta penagihan.

5. Kondisi pengelolaan keuangan.

6. Kondisi pekerja keuangan.

7. Kondisi organisasi non pemerintahan.

8. Pengertian rakyat selain wajib pajak mengenai perpajakan.

Menurut Nasucha dalam disertai penelitiannya, aspek-aspek tingkat kepatuhan wajib pajak terdiri dari :

1. Aspek yuridis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari ketaatan terhadap prosedur administrasi perpajakan yang ada. Aspek ini meliputi laporan perkembangan penyampaian SPT, laporan perkembangan penyampaian SPT secara persentase yang diisi secara benar dan tidak benar, serta laporan perkembangan penyampaian angsuran berdasarkan perkembangan SPT masa. 2. Aspek psikologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari persepsi

wajib pajak dilihat dari persepsi wajib pajak terhadap penyuluhan, pelayanan, dan pemeriksaan pajak.

3. Aspek sosiologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari aspek sosial perpajakan, antara lain kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan perpajakan, dan administrasi perpajakan (Nasucha, 2004:148).

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yeng mempengaruhi kepatuhan pajak terdiri, prosedur perpajakan, persepsi wajib pajak terhadap kebijakan dan pelayanan, dan sistem sosial dari perpajakan tersebut. Percobaan yang dilakukan oleh Alm et al., (1992) dalam Nasucha (2004:140), menunjukkan bahwa kepatuhan akan meningkat jika wajib pajak merasa akan menerima manfaat dari pajak yang mereka bayarkan. Dikutip juga

penelitian Webley et al., (1991) dalam buku yang sama, menemukan hal serupa bahwa wajib pajak yang tidak puas atas kinerja pemerintah cenderung melakukan penghindaran pajak. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Clotfelter (1983) dan Feinstein (1991), menyatakan bahwa penghindaran pajak rendah pada kepala rumah tangga statusnya hidup bersama dan usianya lebih dari 65 tahun, tetapi tinggi pada kepala rumah tangga yang statusnya kawin. Selain itu, tingkat kepatuhan tiap bidang-bidang usaha berbeda-beda. Tingkat ketidakpatuhan tertinggi ada pada perusahaan perseorangan yang bergerak pada penjualan, diikuti usaha jasa transportasi, komunikasi, dan utilitas. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Baldry (1987) dan Friedland et al., (1978) menyimpulkan bahwa laki-laki cenderung melakukan penghindaran pajak dibandingkan dengan wanita.

2.2.2 Proses Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Soekanto (1982) dalam buku Nasucha (2004:132), dari perspektif hukum kepatuhan dapat mengandung empat proses utama berikut ini yaitu :

1. Indroctination, yaitu orang mematuhi hukum karena diindroktinasi untuk berbuat seperti yang dikehendaki kaidah hukum. Umumnya terjadi melalui proses sosialisasi sehingga orang mengetahui kaidah hukum tersebut. 2. Habituation, yaitu sikap lanjut dari proses sosialisasi dilakukan suatu sikap

dan perilaku yang terus-menerus dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan.

3. Utility, yaitu orang yang cenderung berbuat sesuatu karena merasakan atau memperoleh manfaat dari sikap yang dilakukannya.

4. Group identification, yaitu kepatuhan hukum yang didasarkan pada kebutuhan identifikasi dengan kelompok sosialnya.

Dalam Nasucha (2004:133), kepatuhan hukum sebagai derajat kualitatif dapat dibedakan menjadi tiga proses sebagai berikut :

1. Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan adanya imbalan dan sebagai usaha menghindarkan diri dari hukuman. Kepatuhan akan muncul jika terdapat pengawasan yang efektif dari penegak hukum.

2. Indentification, yaitu inisiatif dan motivasi untuk mematuhi hukum adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan baik, sehingga kepatuhan bergantung pada baik buruknya hubungan tersebut.

3. Internalization, yaitu yang penting dalam sistem hal orang percaya bahwa tujuan yang akan dicapai oleh hukum hendak memberikan imbalan baginya.

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan proses yang harus disosialisasikan dan diperlukan pengawasan yang efektif sehingga menjadi suatu kebiasaan dan dapat dirasakan manfaat atau keuntungannya dan memberikan imbalan.

Masalah kepatuhan sangat dipengaruhi oleh motif wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Masalah peningkatan kepatuhan merupakan masalah yang rumit dan banyak menimbulkan perdebatan para ahli. Dua pendekatan penting untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak menurut Hom (1999:13) dalam Nasucha (2004:135), yaitu :

1. Pendekatan wortel dan tongkat.

Dapat didasarkan pada interpretasi rasional ekonomi. Wajib pajak yang tidak patuh dapat dijelaskan dengan faktor tingkat tarif pajak, probabilitas kemungkinan tertangkap menghindari pajak, denda yang dikenakan, tingkat penolakan resiko.

2. Pendekatan warga yang bertanggung jawab.

Kebijakan kepatuhan yang berhasil harus memikirkan motivasi yang lebih luas dari pada hadiah dan hukuman yang sederhana. 2.2.3Ketidakpatuhan Pajak

Dalam Nasucha (2004:132), ketidakpatuhan sebagai lawan kata kepatuhan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai ketidakmampuan wajib pajak untuk

bertindak sesuai dengan peraturan atau undang-undang dan administrasi yang berlaku tanpa penerapan kegiatan penegakan undang-undang.

Zhang Xin dalam Chin dan Choi dalam Nasucha (2004:33) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan merupakan perilaku yang melanggar hukum. Oleh karena itu kontrol merupakan titik pangkal untuk memahami permasalahan ketidakpatuhan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan adalah sikap yang tidak taat, tidak mematuhi, tidak berdisiplin, dan tidak menuruti terhadap perintah dan peraturan atau ketentuan yang berlaku. Ketidakpatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dapat mempengaruhi penerimaan pajak dan peningkatan penerimaan pajak. Untuk itu apabila terdapat wajib PBB yang tidak memenuhi kewajibannya, maka selayaknya pejabat administrasi dari suatu kantor pelayanan pajak untuk memberi sanksi sesuai aturan yang ada.

Menurut Andreoni et al., (1998:818-822) dalam Nasucha (2004: 130-131), menyatakan bahwa ketidakpatuhan wajib pajak merupakan persoalan yang sejak dulu ada dari perpajakan itu sendiri. Mengkarakteristikan dan menerangkan pola-pola dari ketidakpatuhan wajib pajak, kemudian menemukan cara-cara untuk menguranginya merupakan langkah yang sangat penting.

Anderson (1979:114) dalam Nasucha (2004:259), ada lima faktor yang menjadi penyebab ketidakpatuhan masyarakat terhadap suatu kebijakan, yaitu :

1. Ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.

2. Keanggotaan seseorang dalam kelompok mempunyai gagasan

3. Keinginan untuk mencari keuntungan.

4. Ketidakpatuhan atau ketidakjelasan hukuman yang saling

bertentangan sehingga menjadi ketidakpatuhan terhadap hukum atau kebijakan pemerintah.

Menurut Salamun AT (1990:191), sebab-sebab ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya secara umum dibagi kedalam 2 bagian, yaitu :

1. Berasal dari individu:

a. Kondisi ekonomi/rendahnya tingkat pendapatan.

b. Tingkat pendidikan yang rendah.

c. Kesadaran moral yang rendah.

2. Berasal dari luar individu:

a. Sistem pemungutan itu sendiri.

b. Lemahnya sanksi yang diterapkan.

Selain itu dalam Nasucha (2004:260), ada beberapa penyebab lain dari ketidakpatuhan masyarakat dalam perpajakan yaitu berkaitan dengan tanggapan masyarakat atas sistem perpajakan, dan pelayanan pajak yang berkaitan dengan kerumitan sistem dan prosedur, sistem informasi perpajakan yang belum terpadu secara fungsional dan mandiri secara operasional. Selain itu ada beberapa faktor yang dapat dianalisis sebagai penyebab rendahnya kepatuhan pajak. Misalnya kurang berperannya pelaksana kebijakan pajak, yaitu para petugas pajak dalam implementasi kebijakan untuk mensosialisasikan kebijakan pajak kepada masyarakat wajib pajak seperti melalui media masa selain respon dari wajib pajak itu sendiri.

Dalam Nasucha (2004:281), menyebutkan bahwa respon masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: Pertama, respek anggota masyarakat terhadap keputusan lembaga pemerintah. Kedua, kesadaran untuk menerima

kebijakan. Ketiga, keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah oleh pejabat melalui prosedur yang telah ditetapkan. Keempat, melaksanakan kebijakan tersebut sesuai dengan kepentingan pribadi. Kelima, sanksi yang dikenakan apabila tidak melaksanakan kebijakan tersebut. Keenam, penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan yang mendapat penolakan dari masyarakat. Dari keenam kebijakan, menerima atau menolak, mematuhi atau membangkang.

2.2.4 Ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan

Ketidakpatuhan wajib pajak dalam Undang-Undang PBB dapat dirinci sebagai berikut :

a. Wajib pajak tidak menyampaikan SPOP walaupun sudah ditegur secara tertulis (Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal 10 Ayat (2) huruf a Undang-Undang PBB).

b. Wajib pajak melaporkan data obyek pajak tidak benar (lebih kecil dari hasil pemeriksaan Ditjen Pajak).(Pasal 10 Ayat (2) huruf b Undang-Undang PBB).

c. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar (Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang PBB).

Tolok ukur kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak tidak hanya dilihat dari melaporkan tetapi dapat dilihat juga dari realisasi penerimaan pokok ketetapan pada tahun berjalan yaitu dengan membandingkan antara realisasi penerimaan pokok ketetapan dengan pokok ketetapan pada tahun tersebut.

2.1.5 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungut

pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berikut adalah hak dan kewajibannya,

hak-hak wajib pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Melaporkan beberapa masa pajak dalam 1 (satu) surat pemberitahuan masa.

2. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu.

3. Memperpanjang jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan

pajak penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada direktur jenderal pajak.

4. Membetulkan surat pemberitahuan yang telah disampaikan dengan

menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat direktur jenderal pajak yang belum melakukan tindakan pemeriksaan.

5. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

6. Mengajukan keberatan kepada direktur jenderal pajak atas suatu: a. Surat ketetapan kurang bayar.

b. Surat ketetapan kurang bayar tambahan. c. Surat ketetapan pajak nihil.

d. Surat ketetapan pajak lebih bayar, atau

e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

7. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas surat

keputusan keberatan.

8. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan.

Kewajiban wajib pajak

1. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.

2. Melaporkan usahanya pada kantor Direktor Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.

3. Mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, serta menandatangani dan menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

4. Menyampaikan surat pemberitahuan dalam bahasa indonesia dengan

menggunakan satuan mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

7. Menyelenggarakan pembukuan bagi wajib pajak orang pribadi yang

melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak , dan melakukan pencatatan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

8. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang

menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak.

9. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang

dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. 10.Memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa. 2.3 Konsep Pajak

Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian yang cuma-cuma) namun sifatnya dapat dipaksakan yaang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada penguasa, namun bentuknya berupa padi, ternak atau hasil tanaman lainnya. Pemberian tersebut digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat. Sedangkan imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada oleh karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibanding rakyat. Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan

penguasa saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.

Dokumen terkait