• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1.1. Sejarah Harian Kompas

Kompas sebagai suatu perusahaan media massa yang besar dan prestisius kali pertama terbit 28 Juni 1965. Kompas merupakan sebuah perusahaan yang paling lama atau mempunyai umur yang lebih lama dari media yang lainnya. Harian yang bermotto ” Amanat Hati Nurani Rakyat”.Di awali dengan akan bangkrutnya PT Kinta dengan terbitan majalah bulanan Intisari yang didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, berserta Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik.

Kemunculan harian Kompas pada waktu itu sangat tepat karena pada masa 1965 adalah masa politik Indonesia yang panas di mana terjadi perseteruan antara PKI dengan pihak militer, terutama Angkatan Darat. Pada masa itu koran-koran nonkomunis berusaha dimatikan oleh pihak komunis, supaya dapat melancarkan propaganda mereka terhadap rakyat melalui surat kabar tanpa halangan. Melalui koran milik PKI yaitu “Harian Rakyat” dan koran-koran PKI lainnya. PKI berusaha mendapatkan simpati rakyat dengan menyatakan aksi-aksi PKI seperti penyerobotan lahan sebagai aksi patriotik untuk mengadakan landreform yang membela nasib rakyat. Hal ini mendorong Letnan Jendral Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965) menghubungi rekan sekabinetnya yaitu Menteri Perkebunan Drs. Frans Seda (1964-1965) yang juga gerah dengan

aksi PKI, untuk mendirikan koran untuk melawan partai komunis. Ide itu sejalan dengan kebijakan partai Katolik yang pada waktu itu diwakili Frans Seda. Lalu ia menghubungi rekannya I.J. Kasimo dan membicarakan hal tersebut dengan kedua rekannya yang memimpin majalah “Intisari” (terbit 1963) yakni P. K. Ojong dan Jakob Oetama.

P. K. Ojong dan Jakob Oetama menanggapi hal tersebut dengan baik. Mereka kemudian mempersiapkan penerbitan sebuah koran. Nama yang ditetapkan adalah “Bentara Rakyat” yang berarti pembela rakyat. Nama tersebut dipilih karena pada waktu itu PKI memakai kata “rakyat”, bahkan memanipulasinya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pembela rakyat yang sebenarnya bukanlah PKI.

Suatu saat, ketika Bentara Rakyat hampir terbit, Frans Seda datang ke

Istana Merdeka yang merupakan kunjungan dinasnya selaku Menteri Perkebunan menemui presiden Soekarno. Bung Karno sudah mendengar bahwa Frans Seda dengan rekan-rekannya dari partai Katolik akan mendirikan koran, lalu Bung Karno bertanya tentang rencana penerbitannya dan apa namanya. Ketika disebut nama “Bentara Rakyat”, Bung Karno mengusulkan namanya “Kompas” sehingga sesuai dengan tujuannya sebagai penunjuk arah. Hal ini diterima dan nama “Bentara Rakyat” menjadi nama yayasan yang menerbitkan Harian Kompas.

Para pendiri yayasan Bentara Rakyat adalah pemimpin organisasi-organisasi Katolik, pengasuh sehari-hari dipegang oleh P. K. Ojong dan Jakob Oetama dengan otonomi profesional yang penuh. Meskipun mendapat restu dari Presiden Soekarno proses minta izin usaha dan izin terbit mengalami kesulitan karena PKI merasa bahwa Kompas akan menjadi saingan yang berat, maka PKI

 

berusaha menghalangi karena mereka menguasai aparatur di bagian Perizinan di pusat dan di daerah. Berkat usaha dari Mgr. Soegipranata dan dukungan dari pimpinan Angkatan Darat Letnan Jendral Ahmad Yani serta ketekunan maka tahap-tahap demi tahap semua dapat diatasi. Maka pada tanggal 28 Juni 1965 di Kramat Raya Jakarta, tepatnya di percetakan PN. Eka Grafika, P. K. Ojong dan Jakob Oetama memulai aktifitas mereka menghasilkan edisi pertama harian Kompas sebanyak 4800 eksemplar dan meningkat 8003 pada edisi berikutnya. Pada edisi pertama dikerjakan oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama bersama beberapa wartawan muda seperti Tinon Prabawa, Theodorus Purba, Tan Soei Sing, Edward Liem, Roestam Effendi, Djoni Lambangdjaja, Agust Parengkuan, Harthanto, Erka Muchsin, dan Trees Susilastuti.

Edisi Pertama Kompas memiliki penampilan yang berantakan. Hal ini tampak dari tatanan wajahnya tidak karuan, memilki gambar yang kurang terang dan sama sekali belum memiliki tambahan yang dapat mempercantik diri. Tetapi ini memacu semangat pengelola untuk memperbaiki diri. Pada mulanya kantor

redaksi Kompas masih menumpang di rumah Jakob Oetama, dan kemudian

berpindah menumpang ke kantor redaksi Intisari di percetakan PT. Kinta.

Kehadiran Kompas akhirnya dirasakan PKI sebagai suatu ancaman

bagi mereka. PKI bereaksi keras dengan mengeluarkan hasutan kepada rakyat dengan mengartikan kepanjangan Kompas sebagai “Komando Pastor”. Plesetan tersebut gencar dilakukan oleh kaum komunis untuk menjatuhkan nama baik Kompas, bahkan ada yang menggantikan nama “Kompas” menjadi “Komp Past Morgen” yang artinya “Kompas” yang akan datang, karena “Kompas” sering telat terbit.

Seperti pada umumnya terjadi dalam pertumbuhan media pers di

Indonesia, Kompas selama tahun awal perkembangannya, dicetak di percetakan

orang lain, sebelum membangun percetakan sendiri. Untuk pertama kalinya dicetak, di atas mesin cetak dupleks, yang sederhana, sebelum pindah ke mesin cetak rotasi. Lalu pada tahun 1972 seiring dengan perkembagan, Kompas sudah mampu memiliki percetakan sendiri yang diberi nama “Percetakan Gramedia”.

Semula Kompas hanya terbit sebanyak 4 halaman sama seperti harian lainnya.

Kemudian menjadi 16 halaman sesuai dengan kemampuan maka Kompas sudah bisa terbit 7 kali dalam seminggu. Dengan adanya Undang-Undang Pokok Pers pada tahun 1982 dan ketentuan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) yang mewajibkan penerbitan pers berbadan hukum, maka penerbit Kompas beralih kepada PT. Kompas Media Nusantara sejak tahun 1985. Kompas semula yang hanya diawaki oleh lima belas (15) wartawan, pada awal kelahirannya, namun hingga kini ada sekitar 300 wartawan dan 8 koresponden di luar negeri.

Sepanjang sejarah Kompas pernah dua kali dilarang terbit oleh

pemerintah, dan kedua peristiwa itu merupakan larangan massal. Pertama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, sejak 2 Oktober 1965 dan baru diijinkan beredar kembali pada tanggal 6 Oktober 1965. Kedua, setelah terjadinya

demonstrasi mahasiswa pada tahun 1977-1978. Kompas dilarang terbit bersama

beberapa harian di beberapa daerah.

Dalam sejarah perkembangan sirkulasinya, harian Kompas yang

kemudian sudah menjadi harian nasional, meningkat cukup pesat. Hal itu dapat dilihat dari Jumlah Sirkulasi Harian Kompas pada Juni 1965 yang berjumlah 7.739 eksemplar meningkat menjadi 526.611 eksemplar pada Juni 1990, yang

 

tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari sirkulasi rata-rata harian Kompas di seluruh Indonesia yang meliputi Sumatera 64.582 eksemplar, Kalimantan 17.910 eksemplar, Indonesia Timur 36.880 eksemplar, Jawa Timur 16.518 eksemplar, Jawa Tengah 48.584 eksemplar, Jawa Barat 61.272 eksemplar, Jakarta dan sekitarnya 249,004 eksemplar dan eceran di luar Jakarta 31.519 eksemplar.

Berdasarkan data yang dikeluarkan SRI Media Index pada tahun 1989, terdapat 2.049.000 pembaca Kompas yang berada di seluruh kota dan tersebar ke dalam berbagai golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.

III.1.2. Visi, Misi, dan Motto Harian Kompas III.1.2.1. Visi Harian Kompas

Kompas memiliki visi yang merupakan hal yang ingin dicapai oleh Kompas dalam kedudukannya sebagai media. Adapun visi Kompas yaitu: “Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan bermartabat, serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan”.

III.1.2.2. Misi Harian Kompas

Misi merupakan langkah yang ditempuh suatu institusi atau badan dalam mencapai tujuannya. Adapun misi harian Kompas adalah : “Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara profesional, sekaligus memberi arah perubahan (Trend Setter) dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya.”

III.1.2.3. Motto Harian Kompas

Harian “Kompas” mengemban motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”.

Motto ini merupakan hasil pilihan dan perenungan yang matang, timbul dari keprihatinan, penghayatan dari nasib hati nurani rakyat yang pada saat itu tersumbat akibat dimanipulasi oleh PKI.

III.1.3. Nilai-Nilai Dasar Harian Kompas

Harian Kompas menganut falsafah bahwa seluruh kegiatan dan keputusan

yang akan diambil harus didasarkan pada nilai-nilai dasarnya. Dan dengan mengikuti nilai-nilai dasar tersebut berfungsi untuk memuaskan pelanggan. Adapun nilai-nilai dasar harian Kompas adalah :

 Menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat

dan martabatnya.

 Mengutamakan watak baik.

 Profesionalisme.

 Semangat kerja tim.

 Berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra

kerja-penerima proses selanjutnya)

 Tanggung jawab sosial.

III.1.4. Lain-Lain

Kompas memiliki 7 kantor perwakilan, yakni Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak dan Medan. Selain kota-kota tersebut, di kota

 

wartawan atau koresponden masing-masing. Di luar negeri Kompas belum ada perwakilan, sebab di New York, yang mulai beroperasi sejak tahun 1982, sedang tidak aktif. Sampai saat ini “KOMPAS” berlangganan kantor berita Antara, KNI, Reuters, AP, dan AFP.

Kompas mengadakan kerjasama dengan instansi swasta dalam dan luar negeri antara lain dengan Yayasan Lembaga Konsumen dalam hal pengujian-pengujian dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri/Swasta dalam bidang penelitian dan magang wartawan. Dengan luar negeri antara lain Berita Harian Malaysia. Kompas juga banyak melakukan kerjasama dengan instansi/departemen di Indonesia. Kompas yang beredar di luar negeri :

 Benua Amerika :Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada)

 Benua Eropa : Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Italia, Austria, Swiss,

Rusia

 Benua Asia : Bangladesh, Pakistan, Jepang, Korea, Cina, Bangkok, Arab

Saudi

 Benua Australia : Australia dan Selandia Baru

Dokumen terkait