• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. URAIAN TEORITIS

II.2.3. Jurnalistik

Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan

dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada

perkataaan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti “harian” atau “setiap hari”. Secara gamblang, jurnalistik didefenisikan sebagai

 

keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.

F.Fraser Bond dalam An Indtroduction to Journalism menulis: jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai

pada kelompok pemerhati. Adinegoro menegaskan, jurnalistik adalah semacam

kepandaian mengarang yang pokoknya member pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luanya.(Sumadiria,2006:3).

Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaanya, jurnalistik dibagi kedalam tiga bagian dasar .(Sumadiria,2006):

a)Jurnalistik media cetak

Jurnalistik media cetak dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor verbal dan visual. Verbal, sangat menekankan pada kemampuan kita memilih dan menyusun kata dalam rangakaian kalimat dan paragraf yang efektif dan komunikatif. Visual, menunjuk pada kemampuan kita dalam menata, menempatkan, mendesain tata letak atau hal-hal yang menyangkut segi perwajahan.

b)Jurnalistik media elektronik auditif

Jurnalistik media elektronik auditif atau jurnalistik radio siaran, lebih banyak dipengaruhi dimensi verbal, teknologikal, dan fisikal. Verbal, berhubungan dengan kemampuan menyusun kata, kalimat,dan paragraph. Teknologikal berkaitandengan teknologi yang memungkinkan daya pancar

radio dapat ditangkap denga jelas dan jernih. Fisikal erat kaitanya dengan tingkat kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak.

c)Jurnalistik media elektronik audiovisual

Jurnalistik ini merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal, dan dimensi dramatikal. Dramatikal berarti bersinggungan dengan aspek serta nilai dramatic yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Aspek dramatic televisi inilah yang tidak dipunyai media massa radio dan surat kabar.

II.3. Paradigma Konstruktivisme

Pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang dipakai untuk memahaminya. Cara pandang yang dipakai dalam memandang atau mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyakan bahwa apa yang kita ketahui bukanlah kebenaran mutlak, melainkan pemahaman yang diciptakan oleh manusia. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas. Cara pandang ini juga terjadi pada riset-riset penelitian.

Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian. Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori

 

apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma bisa juga berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktik sekelompok komunitas orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan sekaligus menggunakan metode yang serupa (Narwaya, 2006: 108).

Cara pandang atau paradigma ini menurunkan sejumlah teori komunikasi. Usaha mengidentifikasikan teori-teori dan pendekatan-pendekatan ke sejumlah paradigma sejauh ini telah menghasilkan pengelompokan yang bervariasi seperti Kinloch (1977), contohnya, mengkategorikan sekurangnya ada enam paradigma atau perspektif teoritis (organic paradigm, conflict paradigm, social behaviorism, structure functionalism, modern conflict theory, dan social-psychological paradigm). Crotty (1994) mengetengahkan pengelompokan yang mencakup: positivism interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism. Burrel dan Morgan, mengelompokkan teori-teori dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu sosial ke empat paradigma: radical humanist paradigm, radical structuralist paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism, postpositivism, critical theories dan constructivism. (Hidayat dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004: x).

Guba dan Lincoln (1994) mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing. Oleh karena itu, untuk mempermudah pembahasan tentang implikasi metodologi suatu paradigma, tulisan ini mendasarkan diri atas pengelompokan tiga paradigma, yakni (Hidayat,

dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004: x-xvi):

1.classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism), 2.critical paradigm, dan

3.constructivism paradigm

Terlepas dari variasi pemetaan, pada intinya setiap paradigma dapat dibedakan dari paradigma lainnya berdasarkan sejumlah hal mendasar. Perbandingan mengenai paradigma tersebut dapat dilihat berdasar ruang lingkup paradigma itu sendiri baik secara ontolgi, epistemology, dan metodologis.

Tabel 1. Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi

Positivisme Post-Positvisme Kritis Konstruktivisme Ontologi Asumsi tentang “realitas” Realisme naïf: semesta adalah nyata dan dapat diketahui apa adanya. Realisme kritis: semesta luar bersifat nyata akan tetapi tidak pernah seluruhnya diketahui secara sempurna, ada banyak kemungkinan yang dapat diketahui. Realisme kritis: semesta hidup atau virtual yang dikonstruksi secara sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, dan gender. Relativisme. Semesta yang diketahuiitu spesifik, local yang dikonstruksi oleh paradigma tertentu, oleh kerangka konseptual tertentu atau perspektif tertentu. Epistemologi Asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti

Bersifat dualis, objektivis Objektivisme yang dimodifikasi, yaitu objektivitas

sebagai buah dari keinginan untuk mengontrol, teori yang bersifat tentative dan probabilitas. Bersifat transaksional, dialogis, temuan-temuan ilmiah dimuati nilai dan kepentingan. Bersifat transaksional, dialogis, teori konstruksi sebagai hasil investigasi dan proses sosial (khususnya ilmu pengetahuan sosial budaya)

  Metodologis Asumsi metodologis tentang bagaimana peneliti memperoleh pengetahuan Eksperimental manipulatif, pembuktian atas hipotesis kuantitatif. Eksperimental yang dimodifikasi dan terbuka secara kritis pada keanekaragaman dan latar penelitian yang lebih alami. Dialogis, transformatif guna mengatasi kesadaran palsu. Hermeneutik dan dialektis, ilmu hasil kosntruksi atau interaksi peneliti terhadap objek yang diteliti.

Sumber : Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya

Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.(Ardianto,2007:80)

Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto,2007:154). Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka.

Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, kosntrukstivisme radikal; kedua, realism hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa (suparno,1997;25). Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk ini tidak selalu representasi dunia maya. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.

Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang

dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya.

Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :

1.Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek

yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.

 

2.Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang

objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

3.Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan

produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu;

4.Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara

pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “Segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya;

5.Pengetahuan bersifat sarat nilai.

Lebih jauh lagi, Penmann kemudian merumuskan empat kualitas komunikasi. Baginya komunikasi harus bersifat konstitutif (menciptakan dunia), kontekstual (sesuai dan tergantung ruang dan waktu), beragam (muncul dalam bentuk yang berbeda-beda, tidak tunggal), dan tidak lengkap (selalu dalam proses, terus berubah).

Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang

Knowledge tahun 1966. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi (Bungin, 2008: 193).

Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media merupakan usaha “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah persitiwa atau keadaan. Realitas tersebut tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita atau wartawan dengan fakta. Menurut Bungin (2008: 196), ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:

a.Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,

saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki kapitalis. Dalam arti media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.

b.Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini

adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Kasus yang dapat dilihat dari keberpihakan seperti ini adalah umpamanya, pemberitaan

 

tsunami yang melanda Aceh, Nias dan sekitarnya dalam kemasan berita “Indonesia Menangis” dan semacamnya yang terus-menerus diekspos bahkan sampai pada sisi yang telah meninggalkan hak-hak sumber berita.

c.Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada

kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

Secara esensial, pendekatan konstruktivis pada media, wartawan dan berita

dapat dirangkum dalam 6 perspektif

(

Eriyanto, 2003

).

Enam perspektif tersebut

adalah sebagai berikut :

a. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruktivis,

realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas itu bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana ketika realitas itu dipahami oleh wartawan. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruktivis adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberikan definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan.

b. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruktivis, media

dianggap bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media dipandang sebagai agen yang mengonstruksi realitas. Maka, berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan

realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.

c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi atas realitas.

Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita, sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan cerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena melihatnya dengan cara yang berbeda.

d. Berita bersifat subjektif atas realitas. Berita subjektif lahir dari sisi lain

wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan perspektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih ditonjolkan dari sumber lainnya; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dengan tokoh lainnya; liputan yang hanya satu sisi; tidak berimbang, misalnya. Bagi kaum konstruktivis, hal tersebut bukanlah sebuah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan.

e.

Wartawan bukanlah pelapor, ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan

konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual,

 

melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.

f.

Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian integral

dalam produksi berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat tanpa pretensi apapun juga. Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu -umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.

II.4. Ideologi Media

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti sciense (pengetahuan) atau teori (Sobur,2004:64).

Ada banyak defenisi tentang ideologi. Raymond William

(Eriyanto,2001:87) mendefenisikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Defenisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai perangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk

yang koheren. Kedua, sebuah system kepercayaan yang dibuat–ide palsu atau kesadaran palsu-yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi berita

Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu.

Kesaradaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh

masyarakat, tidak oleh psikologi individu.

Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas (Sudibyo,2001:12)

Media berperan mendefenisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefenisian tersebut bukan hanya pada peritiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Diantara dari berbagai fungsi media dalam mendefenisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media di sini berfungsi menjaga nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan.

 

Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Seperti dikatakan Matthew Kieran, berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Penjelasan sosio-historis ini membantu menjelaskan bagaimana dunia disistematisasikan dan dilaporkan dalam sisi tertentu dalam dari realitas. karena pengertian tentang peristiwa itu dimediasi oleh kategori, interpretasi dan evaluasi atas realitas. ideologi disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi.

II.5. Hegemoni media

Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan

kelompok dominan dalam mengontrol kelompok lain. Mengenai cara atau penyebaran ideologi dilakukan, teori Garamsci tentang hegemoni layak

dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan cara

penyebaran ideologi tersebut. Media dapat menjadi sarana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.

Antonio Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dan sarana ekonomi dan realsi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Teori Hegemoni gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan yang memperebutkan penerimaan public. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan.

Oleh karena itu, perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense). (Eriyanto,2001:107)

Raymond William mengatakan, hegemoni berkerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui mana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Hegemoni berbeda dari manipulasi atau indoktrinasi karena hegemoni terlihat wajar, dan orang menerimanya secara wajar dan sukarela.

Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Kelebihan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana yang lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.

Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis, dan bernalar awam (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan.

Common sense yang berhubungan dengan praktik kerja jurnalistik, di antaranya adalah kecenderungan untuk menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan wartawan yang lebih mengedepankan apa yang menarik untuk diberitakan kepada public. Jika idea tau

 

gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai sesuatu yang common sense, kemudian ideologi itu diterima baik melalui praktek kerja jurnalistik maka hegemoni telah terjadi.

Dokumen terkait