KONSTRUKSI BERITA 100 HARI SBY-BOEDIONO
(Studi Analisis Framing tentang Berita 100 Hari SBY-Boediono Pada HarianKompas)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Strata I (S1) di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Disusun Oleh:
ANDI SUNARJO SIMATUPANG 060904046
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Andi Sunarjo Simatupang NIM : 060904046
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Konstruksi Berita 100 Hari SBY-Boediono
(Studi Analisis Framing tentang Berita 100 Hari SBY-Boediono Pada Harian Kompas)
Medan, Maret 2010 Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Syafruddin Pohan, M.Si Drs. Amir Purba, M.A 195812051989031002 195102191987011001
A.n. Dekan FISIP USU
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Pada Hari :
Tanggal : Pukul :
Tim Penguji:
1. Ketua :
2. Anggota 1 :
ABSTARAKSI
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat kasih
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
persyaratan guna menyelesaikan dan memperoleh gelar kesarjanaan (S1) pada
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempataan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada keluarga besar penulis. Kepada kedua orang tua penulis,
Albiner Simatupang dan Bunga Purba, juga kepada kakak penulis Roma L.
Simatupang, SE, dan adik-adik penulis Dina M. Simatupang, Lisnawaty
Simatupang, Sudianto Simatupang, Yeni M. Simatupang yang telah memberikan
kasih sayang dan dukungan kepada penulis hingga saat ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak
yang diberikan kepada penulis, karena tanpa semuanya itu penulis tidak akan
sampai pada penyelesaian skripsi ini. Adapun rasa terima kasih tersebut penulis
tujukan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi,
3. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis,
yang sangat banyak membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Mulai dari meluangkan waktu, memberikan saran dan kritik berharga dan
tentunya berkenan untuk berdiskusi dengan penulis
4. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA, selaku dosen wali yang telah
membimbing penulis selama menjalani masa studi sebaga mahasiswa
FISIP USU.
5. Seluruh Staf Dosen dan Adiministrasi Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP USU, yang telah memberikan pendidikan pelajaran, bimbingan serta
bantuan lainnya pada penulis dari semester awal hingga menamatkan
perkuliahan.
6. Nelvita Sari, yang telah memberikan waktu, pikiran serta dukungan yang
sebesar-besarnya kepada penulis sampai skripsi ini dapat selesai.
7. Teman-teman penulis di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia cabang
Medan khusunya Komisariat FISIP USU: Tiwie, Yusniar, Maykel, Lerry,
Citra, Forman, bang Kiel, bang Melki, bang Frans, bang Nando, dan yang
lain yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut memberikan
dukungan kepada penulis.
8. Teman-teman penulis seangkatan, terkhusus kepada Erin, Pangeran, Ester,
Mey, Edo, dan Kris yang telah bersama-sama dengan penulis dari semester
awal hinga akhir masa studi.
9. Teman-teman penulis di Ikatan Mahasiswa Dairi (IMADA): Toman,
10.Teman-teman mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi stambuk 2006:
Ima, Cristina, Efron, Pina, Hendra, dan yang lain yang tidak dapat
disebutkan.
Akhir kata, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis juga menyadari
bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terdapat
kekurangan Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kedepannya bagi penulis. Sekian, semoga Tuhan memberikan berkat dan
karunianya senantiasa kepada kita semua.
Medan, Maret 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang Masalah ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 6
I.3. Pembatasan Masalah ... 6
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
I.4.1. Tujuan Penelitian ... 6
I.4.2. Manfaat Penelitian ... 7
I.5. Kerangka Teori ... 7
I.5.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 8
I.5.2. Berita, Pers dan Jusnalistik ... 10
I.5.3. Paradigma Konstruktivisme ... 12
I.5.4. Ideologi Media ... 14
I.5.5. Hegemoni Media ... 14
I.5.6. Analisis Framing ... 15
I.6. Kerangka Konsep ... 17
BAB II. URAIAN TEORITIS ... 20
II.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 20
II.2. Berita, Pers dan Jusnalistik ... 24
II.2.1.Berita ... 24
II.2.2.Pers ... 28
II.2.3.Jurnalistik ... 29
II.3. Paradigma Konstruktivisme ... 31
II.4. Ideologi Media ... 40
II.5. Hegemoni Media ... 42
II.6. Analisis Framing ... 44
II.6.1.Analisis Framing Robert Entman ... 47
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 50
III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50
III.1.1. Sejarah Harian Kompas ... 50
III.1.2. Visi, Misi, dan Motto Harian Kompas ... 54
III.1.3. Nilai-Nilai Dasar Harian Kompas ... 55
III.1.4. Lain-lain ... 55
III.2. Metode Penelitian ... 56
III.3. Subjek Penelitian ... 59
III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 59
III.5. Teknik Analisis Data ... 60
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA ... 64
IV.1.Analisis Data ... 64
IV.1.2. Analisis Framing ... 79
IV.1.2.1. Frame Berita ... 81
IV.1.2.2. Rangkuman Frame Berita ... 98
BAB V. PENUTUP ... 104
V.1. Kesimpulan ... 104
V.2. Saran ... 106
V.3. Implikasi Peneltian ... 107
V.3.1. Implikasi Teoritikal ... 107
V.3.2. Implikasi Praktikal ... 107
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi
Tabel 2 : Dimensi Framing Robert Entman
Tabel 3 : Perangkat Analisis Framing Robert Entman
Tabel 4 : Daftar Berita 100 hari SBY-Boediono 17 Januari s/d 7 Februari 2010
Tabel 5.1 : Contoh Tabel Jumlah Paragraf Tabel 5.2 : Contoh Tabel Jenis Berita
Tabel 5.3 :Contoh Tabel Posisi Berita
Tabel 5.4 : Contoh Tabel Rubrik Tabel 5.5 : Contoh Tabel Narasumber
Tabel 5.6 : Contoh Tabel Isu-Isu yang menonjol Tabel 5.7 : Contoh Tabel Berita yang diteliti Tabel 5.8 : Contoh Tabel Frame isi pemberitaan
Tabel 6 : Daftar Berita 100 hari SBY-Boediono 17 Januari s/d 7 Februari
Tabel 7.1 : Profil berita yang diteliti Tabel 7.2 : Profil berita yang diteliti
Tabel 8 : Jumlah Paragraf
Tabel 9 : Jenis Berita
Tabel 10 : Posisi Berita
Tabel 11 : Rubrik
Tabel 12 : Narasumber
Tabel 13 : Isu yang diangkat
Tabel 14 : Daftar berita yang diteliti
DAFTAR GAMBAR
ABSTARAKSI
BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Tahun 2009 menjadi masa dimana Bangsa Indonesia kembali mencetak
sejarah dengan melaksanakan agenda lima tahunan. Bangsa Indonesia memasuki
babak baru setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 menghasilkan Presiden dan
Wakil Presiden yang baru. Dimulai dari pemilihan anggota legislatif pada bulan
April, dan pada bulan Juli untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan
demi tahapan dilalui dalam proses demokrasi ini. Untuk kedua kalinya Susilo
Bambang Yudhoyono atau SBY biasa disapa terpilih sebagai Presiden, dan
didampingi Wakil Presiden yang baru Boediono. Pasangan baru ini diharapkan
membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, dimana stabilitas nasional
terjaga baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya, Presiden memilih
menteri-menteri yang akan membantunya (tercantum dalam UUD Negara
Republik Indonesia 1945) dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Jika
pada periode sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi
Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu jilid I,
kini bersama Wakil Presiden Boediono beliau memimpin Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) Jilid II. Tahapan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat setelah para Menteri diumumkan Presiden pada tanggal 20 Oktober
komposisi menteri sampai latar belakang menteri yang terpilih. Pemilihan menteri
ini tentunya dengan harapan dapat membantu Presiden baik dalam perencanaan
program kerja dan pelaksanaannya kelak demi mencapai cita-cita bersama.
Masa lima tahun pemerintahan akan dinilai keberhasilannya melalui
program kerja yang dijalankan. Presiden dibantu Wakil Presiden beserta para
menteri dalam merancang program kerja lima tahun dan program kerja 100 hari
pertama. Program kerja lima tahun merupakan program kerja jangka panjang yang
menjadi agenda selama Presiden menjabat dalam satu periode pemerintahaan,
sedangkan program kerja 100 hari disusun dalam rangka transisi pemerintahan
dari permeintahan lama ke pemerintahan yang baru. Pada rentan waktu 100 hari,
jajaran pemerintahan yang baru diharapkan dapat membawa perubahan yang
cukup berarti. Jika pemerintah mampu membuat perubahan, ini menjadi indikator
keberhasilan pemerintahan SBY-Boediono untuk sementara dan sebaliknya.
Program kerja 100 hari pertama ini menjadi sangat penting karena setiap
pihak merasa perlu mengetahui program-program atau kebijakan pemerintah yang
menjadi prioritas utama. Pihak-pihak lain seperti swasta merasa perlu untuk
mensinergiskan antara program dibidang ekonomi dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang ekonomi. Begitu juga dengan bidang
lainnya seperti sosial dan politik. Beberapa instansi salah satunya Kamar Dagang
Indonesia (KADIN) bahkan mendesak pemerintah untuk mengumumkan
rancangan program 100 hari kepada publik. Program 100 hari meliputi 45
program aksi dimana 15 diantaranya menjadi program wajib untuk
diimplementasikan dalam 100 hari kerja. Pemerintah dalam pernyataannya kepada
berupa pengurusan administrasi, pembuatan rancangan kerja atau blueprint pada
setiap kementrian yang semuanya mengacu pada program jangka panjang
pemerintah.
Perkembangan rancangan program kerja 100 hari yang disusun dan
dilaksanakan oleh pemerintah menarik perhatian media dan menjadi berita utama.
Media sebagai lembaga yang mengawasi kinerja pemerintah juga merasa perlu
untuk mengetahui apa-apa saja kebijakan yang diambil selama lima tahun
kedepan dan terkhusus 100 hari pertama masa pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu II.
Agenda media yang sedang terfokus pada kasus Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) pada bulan
November seakan meredupkan pemberitaan mengenai program-program kerja
Pemerintah 100 hari pertama. Pemberitaan mengenai kasus tersebut bahkan sudah
mengarah kearah yang lebih luas, berawal dari kasus hukum dan sampai ke
masalah politik. Keruhnya persoalan membuat Presiden mengambil langkah
membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang bertugas untuk mencari fakta-fakta
kunci dalam penyelesaian permasalahan ini. Pemberitaan mengenai kasus KPK
dan POLRI disusun seakan berbeda dengan pemberitaan 100 hari kinerja
pemerintah. Pada kenyataannya, hal tersebut merupakan bagian dari program
pemerintah dalam 100 hari pertama. Dalam rangka percepatan pemberantasan
korupsi, presiden membentuk TPF sebagai kebijakan awal. Keberhasilan Tim
Pencari Fakta nantinya untuk mengungkapkan akar permasalahan menjadi nilai
tersendiri dalam keberhasilan pemerintah dalam hal penegakan hukum dalam 100
Mengenai pemberitaan 100 hari KIB II, salah satu stasiun televisi swasta
bahkan telah merancang sebuah acara khusus membahas perkembangan yang
terjadi selama seratus hari pemerintahan yang baru. Selain media tersebut,
beberapa media cetak, baik media cetak nasional maupun lokal juga sudah mulai
mengangkat persoalan ini dalam pemberitaannya. Pemberiataan 100 hari menjadi
khusus karena topik ini hanya ada sekali dalam lima tahun, atau tepatnya ketika
pemerintahan yang baru terpilih. Semenjak era reformasi bergulir, media secara
terus menerus melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan salah
satunya memberitakan kinerja pemerintah. Sudah menjadi sebuah tradisi bagi
media untuk memberitakan pencapaian yang dilakukan pemerintah selama 100
hari pertama melaksanakan tugasnya.
Hampir seluruh media, tekhusus media cetak yang ada di Indonesia
menyoroti masalah program 100 hari kerja dalam isi beritanya. Salah satu media
cetak yang konsisten dalam pemberitaanya adalah surat kabar harian Kompas.
Pada awal kemunculan Presiden SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu lima
tahun lalu, Kompas juga mengulas pemberitaan 100 hari pertama presiden
bekerja. Inilah mengapa peneliti memilih surat kabar harian Kompas sebagai
objek penelitian mengenai pemberitaan 100 hari pertama kinerja Kabinet
Indonesia Bersatu II. Kompas merupakan salah satu surat kabar yang telah
mengawal perjalanan negeri ini sejak tahun 1963. Kompas bermula sebagai media
bulanan bernama Inti Sari, dengan jumlah 128 halaman saat pertama kali terbit
tanggal 7 Agustus 1963. Perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi
‘Bentara Rakyat’ dan terakhir menjadi Kompas. Kompas edisi pertama dicetak
terbit pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menenbus angka 23.268 eksemplar,
hingga pada akhir pemerintahan Soeharto tiras Kompas mencapai angka lebih dari
600 ribu eksemplar per hari. Pada tahun 2004, tiras hariannya mencapai 530.000
eksemplar, khusus untuk edisi Minggunya malah mencapai 610.000 eksemplar.
Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia
(http://id.wikipedia.org/wiki/KOMPAS). Sejarah perjalanan Kompas tersebut
menjadi sebuah jaminan objektifitas dalam setiap pemberitaannya.
Pada umumnya isi pemberitaan di surat kabar di pengaruhi oleh latar
belakang, seperti ideologi, dan pemilik media. Bahkan secara khusus, cara
pandang wartawan terhadap suatu isu mempengaruhi isi berita yang dibuatnya.
Hal ini pastinya terjadi pada setiap media, dan tidak menutup kemungkinan
terjadi dalam permberitaan di harian Kompas terkait pemberitaan 100 hari kerja
permerintahan yang baru. Kita tidak mengetahui fakta-fakta apa yang menjadi
pilihan dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi menjadi sebuah berita. Untuk
mengetahui lebih mendalam konstruksi pemberitaan, peneliti menggunakan
analisis Framing. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam
rumpun analisis isi. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah
realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media.
Dari serangkaian penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti
I.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah sebagai
berikut :
“Bagaimanakah konstruksi berita 100 hari SBY-Boediono dalam harian
Kompas?”
I.3 PEMBATASAN MASALAH
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka peneliti merasa
perlu untuk melakukan pembatasan agar dalam penelitian lebih jelas dan lebih
fokus. Adapun pembatasan masalah adalah sebagai berikut :
a. Penelitian ini bersifat kulitatif deskriptif, untuk mengetahui isi
pemberitaan 100 hari kerja pemerintahan SBY-Boediono.
b. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan pendekatan Robert
Entman. Media yang diteliti adalah media cetak harian, dalam hal ini
adalah harian Kompas.
c. Berita yang diteliti adalah pemberitaan mengenai 100 hari pemerintahan
SBY-Boediono mulai tanggal 17 Januari sampai dengan 7 Februari
2010.
I.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1 Tujuan Penelitian:
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.Untuk mengetahui konstruksi berita 100 hari pemerintahan SBY-Boediono
2.Untuk mengetahui pandangan dan posisi harian Kompas terkait pemberitaan
100 hari pemerintahan SBY-Boediono.
I.4.2 Manfaat Penelitian:
Manfaat dilakukannya penelitain sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian berguna untuk memperkaya khasanah
penelitian yang menggunakan teori komunikasi dan memperluas
cakrawala penelitian tentang pemberitaan di media cetak.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya penelitian khususnya dalam bidang Ilmu Komunikasi.
3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan pemikiran
kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
I.5 KERANGKA TEORI
Dalam penelitian ilmiah, yang menjadi landasan dalam berpikir adalah teori.
Teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan memberikan pandangan
terhadap sebuah permasalahan. Teori merupakan himpunan konstruk (konsep),
defenisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala
dengan menjabarkan relasi di antara variable, untuk menjelaskan dan meramalkan
I.5.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa
Komunikasi bukan hanya hal yang paling wajar dalam pola tindakan
manusia, tetapi juga paling rumit (Purba dkk,2006:29). Ungkapan diatas tidak
dapat dipungkiri, karena komunikasi merupakan hal yang dilakukan sejak
manusia lahir ke bumi. Komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi
manusia yang saling memperngaruhi antara yang satu dengan yang lain sengaja
atau tidak sengaja, dan tidak terbatas pada komunikasi verbal saja
(Cangara,2002:20).
Sama halnya dengan sosiologi, dalam merumuskan suatu defenisi yang
sekaligus dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat dalam
beberapa kalimat ditemukan kesulitan. Oleh karenanya, suatu defenisi hanya dapat
dipakai sebagai suatu pegangan yang sifatnya sementara saja. Dalam
perkembangannya, banyak ahli komunikasi mendefenisikan komunikasi secara
berbeda-beda. Sejak awal abad 20 tepatnya 1930-1960, defenisi-defenisi
mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli di Amerika
Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science Of Communication”, dan
diantaranya adalah Carl I. Hovland. Menurutnya, Ilmu Komunikasi adalah suatu
usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas dan atas dasar
azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap (a
systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which
information is transmitted and opinions and attitudes are formed) (Purba dkk,
2006:29). JikaCarl I. Hovland mendefenisikan komunikasi sebagai usaha yang
sistematis, maka Harold Laswell menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan
What In Which Channel To Whom With What Effect? Yang berarti “Siapa
Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh
Bagaimana?” (Mulyana,2005:62).
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, maka berkembang pula
ilmu komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang
media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/ pendengar/ penonton yang
akan coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Pada dasarnya komunikasi
massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elktronik).
Sebab, awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembagan kata
media mass communication (media komunikasi massa). Definisi komunikasi
massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner ia mendefenisikan
komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada
sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a
mass medium to a large number of people. Definisi komunikasi massa yang lebih
rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut
Gerbner (1967) “Mass communication is the tehnologically and institutionally
based production and distribution of the most broadly shared continous flow of
messages in industrial societes”. Komunikasi massa adalah produksi dan
distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu
serta paling luas dimiliki masyarakat.
Dalam hal ini kita perlu membedakan massa dalam arti umum dengan massa
dalam arti komunikasi massa. Massa dalam arti komunikasi massa lebih
menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media masa. Pengertian ini
mengemukakan defenisinya dalam dua item. Pertama, komunikasi massa adalah
komunikasi yang ditujukan kepada massa/ khalayak. Ini tidak berarti bahwa
khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi,
tetapi ini berarti kahalayak yang besar itu pada umumnya agak sukar untuk
didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh
pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan
lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya: televisi, radio,
surat kabar, majalah, film, buku dan pita. (Effendy, 1990:21). Komunikasi massa
mempunyai cirri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat komponenya.
Cirri-cirinya adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi massa berlangsung satu arah
2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum
4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan
5. Komunikan komunikasi massa bersifgat heterogen
I.5.2 Berita, Pers dan Jusnalistik
Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang
terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut
kepada orang ketiga atau orang banyak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
berita diartikan sebagai cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa
yang hangat. Sedangkan pemberitaan diartikan proses, cara, perbuatan
memberitakan atau melaporkan. Henshall dan Ingram (2000) mendefenisikan
dalam bentuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama
di radio atau di televisi dan keesokan harinya di berbagai media. Tidak semua hal
dapat dikatakan berita. Sesuatu dapat dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur
berita didalamnya. Aktual (baru), kedekatan, penting, akibat, pertentangan/
konflik, seks, ketegangan, kemajuan-kemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan
human interest merupakan beberapa unsur berita.
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris
berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak ataupun penyiaran secara tercetak
atau publikasi secara dicetak. Dalam perkembagannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit.
Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media
massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam arti
sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan
buletin kantor berita. Pers dalam hal ini sebagai penulis berita pada awalnya
mengedepankan prinsip objektivitas dalam penulisan beritanya. Yaitu bagaimana
wartawan memandang dan menulis berita seperti apa yang dilihat, bukan yang
diinginkan. Tetapi pandangan ini bergeser ke arah prinsip interpretasi. Sebab
objektivitas dapat melahirkan kedangkalan tentang berita itu sendiri. Sementara
pembaca menginginkan kedalaman agar mereka mampu mengetahui dan
memahami kejadian yang ada dalam setiap peristiwa. Dalam pelakasanaannya,
pers tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek lain untuk isi surat
kabar atau majalah. Karena itu funggsinya bukan lagi menyiarkan informasi,
tetapi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi agar khalayak melakukan
Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan
dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada
perkataaan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti
“harian” atau “setiap hari”. Secara gamblang, jurnalistik didefenisikan sebagai
keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai
kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.
I.5.3 Paradigma Konstruktivisme
Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti
realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur
konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti
realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh
juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara
terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sanan” yang
berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya.
Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk
pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang
diamati.(Ardianto,2007:80)
Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang
memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme,
bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini
bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari
dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa
pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto,2007:154).
Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman mereka.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau
konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya.
Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam
hubungannya dengan ilmu komunikasi. Pertama, tindakan komunikatif sifatnya
sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas,
walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dijakukan.
Kedua, pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu
yang objektif sebagaimana diyakini positivism, melainkan diturunkan dari
interaksi dalam kelompok sosial. Ketiga, pengetahuan bersifat konstekstual,
maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan
akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu. Keempat, teori-teori
menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut
mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu
I.5.4. Ideologi Media
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea
dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s
News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil
perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata
logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak
(berbicara). Selanjutnya kata logia berarti sciense (pengetahuan) atau teori
(Sobur,2004:64).
Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu.
Kesaradaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan
dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh
biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh
masyarakat, tidak oleh psikologi individu.
Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi
tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka
menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau
posisi seseorang dalam menafsirkan realitas (Sudibyo,2001:12)
I.5.5. Hegemoni Media
Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan
kelompok dominan dalam mengontrol kelompok lain. Mengenai cara atau
penyebaran ideologi dilakukan, teori Garamsci tentang hegemoni layak
dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan cara
Teori Hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada
pertarungan yang memperebutkan penerimaan public. Karena pengalaman sosial
kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya)
berbeda dengan ideologi kelompok dominan. Oleh karena itu, perlu usaha bagi
kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar
diterima, tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah
nalar awam (common sense). (Eriyanto,2001:107)
Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu
kelompok terhadap kelompok lain. Kelebihan hegemoni adalah bagaimana ia
menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap
benar, sementara wacana yang lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus
yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain
dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat
bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan
meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.
I.5.6. Analisis Framing
Secara epistemologi, kata framing berasal dai bahasa Inggris yakni dari kata
frame. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Beterson pada tahun 1955. Mulanya
frame dimaknai sebagai sturktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang
mengorganisir pandangan politik, kebicakan, dan wacana. Dalam perspektif
komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideology
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam
kategori penelittian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi (Eriyanto
2005:37). Mengenai defenisi framing, beberapa ahli memberikan penekanan dan
pengertian yang berbeda. Meskipun berbeda, ada titik singgung utama dari
defenisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana
realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing juga merupakan
pendekatan untuk mengetahui bagaimana persperktif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Bahkan
menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik.
(Eriayanto,2005:66)
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang
dipilih itu disajikan kepada khalayak.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua factor ini dapat lebih
mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan
dan penekanan isi beritanya. Ia juga menambahakan bahwa framberimplikasi
penting bagi komunikasi politik. Menurutnya, frame muntut perhatian terhadap
beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang
Pendekatan Entman inilah yang digunakan dalam penulisan ini. Dua
dimensi yang telah dijelaskan diatas, selanjutnya dikonsepsi oleh Entman menjadi
perangkat framing yang selalu ada dalm sebuah berita. Perangkat framing yang
dimaksud meliputi pendefenisian problem (Define Problems), memperkirakan
masalah atau sumber masalah (Diagnose Causes), membuat keputusan moral
(Make Moral Judgement), menekankan penyelesaian (Treatment
Recommendation). Empat perangkat framing ini merupakan “pisau analisis”
framing yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa frame sebuah
pemberitaan media.
I.6 KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep dalam penelitian ini memakai analisis framing Robert
Entman. Fokus perhatian Entman tetuju pada dua dimensi besar yaitu seleksi isu
dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu.
Kemudian Entman mengkonsepsi dua dimensi besar tersebut kedalam
perangkat framing. Perangkat framing yang dimaksud adalah:
a. Pendefenisian masalah (define problems), yaitu bagaimana suatu
peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?
b. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes), yaitu
peristiwa dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab
dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab
c. Membuat keputusan moral (make moral judgement), yaitu nilai moral apa
yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai
untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?
d. Menekankan penyelesaian (treatment recomendation), yaitu penyelesaian
apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang
ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
Gambar 1. Visualisasi Konseptual Analisis Framing Robert Entman
(Sumber : Majalah Kajian Media Dictum Vol.1, No.2 September 2007)
I.7 OPERASIONAL KONSEP
a. Pendefenisian masalah (define problems) adalah elemen yang pertama kali
dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame/
bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami
oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau
FRAMING
Seleksi isu
Penonjolan aspek tertentu dari isu
BERITA
Diagnoses Causes Memperkirakan Sumber Masalah Problem Identification
Pendefenisian masalah
Moral Judgement/ Evaluation Membuat Keputusan Moral
isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda.
Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang
berbeda.
b. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes),
merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai
aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi
bisa juga berarti siapa (who). Bagaiaman peristiwa dipahami, tentu saja
menekankan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.
c. Membuat keputusan moral (make moral judgement) adalah elemen framing
yang dipakai untuk membenarkan/member argumentasi pada pendefenisian
masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, peneyebab
masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk
mendukung gagasan tersebut.
d. Menekankan penyelesaian (treatment recomendation). Elemen ini dipakai
unuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa
Komunikasi bukan hanya hal yang paling wajar dalam pola tindakan
manusia, tetapi juga paling rumit. Bagaimana tidak, komunikasi sudah
berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara wajar dan leluasa seperti
halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan,
mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan
harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah sesuatu yang sulit dan
berbelit-belit (Purba dkk,2006:29). Ungkapan diatas tidak dapat dipungkiri,
karena komunikasi merupakan hal yang dilakukan sejak manusia lahir ke bumi.
Komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling
memperngaruhi antara yang satu dengan yang lain sengaja atau tidak sengaja, dan
tidak terbatas pada komunikasi verbal saja (Cangara,2002:20).
Dalam mendefenisikan komunikasi dapat ditinjau dari dua sudut pandang,
yaitu komunikasi dalam pengertian secara umumdan pengertian secara
paradigmatik. Pengertian secara umum komunikasi adalah proses penyampaian
suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain sebagai
konsekuensi dari hubungan sosial. Sedangkan dalam pengertian paradigmatic,
komunikasi mengandung tujuan tertentu, ada yang dilakukan secara lisan, secara
tatap muka, atau melalui media, baik media massa seperti surat kabar, radio,
bersifat intensional, mengandung tujuan; karena itu harus dilakukan dengan
perencanaan. (Effendi,1992:6)
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, maka berkembang pula
ilmu komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang
media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/ pendengar/ penonton yang
akan coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Pada dasarnya komunikasi
massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik).
Sebab pada awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembagan
kata media mass communication (media komunikasi massa). Definisi komunikasi
massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner. Ia mendefenisikan
komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada
sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a
mass medium to a large number of people. Definisi komunikasi massa yang lebih
rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut
Gerbner (1967) “Mass communication is the tehnologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of
messages in industrial societes”. Komunikasi massa adalah produksi dan
distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu
serta paling luas dimiliki masyarakat.
Dalam hal ini kita perlu membedakan massa dalam arti umum dengan massa
dalam arti komunikasi massa. Kata massa dalam komunikasi massa dapat
diartikan bukan sekadar “orang banyak” di suatu lokasi yang sama. Massa kita
artikan sebagai “meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi
komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan
media masa. Pengertian ini juga ditegaskan oleh ahli komunikasi lainnya, Joseph
A. Devito. Ia mengemukakan defenisinya dalam dua item. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa/ khalayak. Ini tidak berarti
bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton
televisi, tetapi ini berarti kahalayak yang besar itu pada umumnya agak sukar
untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang
disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa
barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut
bentuknya: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita. (Effendy,
1990:21).
Komunikasi massa dengan media massa merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan, karena berbicara komunikasi massa berarti berbicara media massa.
Komunikasi massa mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat
komponenya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
6. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Dalam media cetak seperti
koran, komunikasi hanya berjalan satu arah. Kita tidak bisa memberikan
respon pada komunikatornya (media massa yang bersangkutan).
7. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Komunikator dalam
media massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang yang
digerakkan oleh suatu sistem manajemen, dalam mencapai suatu tujuan
8. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan-pesan dalam
komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu
kelompok masyarakat tertentu tetapi pada khalayak plural.
9. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Media massa
dapat menyampaikan pesan (message) kepada khalayak secara
serempak.
10.Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Media massa bersifat
anonym dan heterogen maksudnya bahwa orang-orang yang terkait
dalam media massa tidak saling kenal, dan orang-orang yang menaruh
perhatian pada media massa bersifat beraneka ragam (heterogen).
Secara umum, fungsi dari media massa adalah sebagai berikut
(Sudarman,2008:7):
a.Menginformasikan (to inform). Maksudnya media massa merupakan tempat
untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang
perlu diketahui oleh khalayak.
b.Mendidik (to educate). Tulisan di media massa dapat mengalihkan ilmu
pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, membentuk
watak dan dapat meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang
dibutuhkan para pembacanya.
c.Menghibur (to intertait). Media massa merupakan tempat yang dapat
memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau
d.Mempengaruhi (to influence). Maksudnya bahwa media massa dapat
mempengaruhi pembacanya. Baik pengaruh yang bersifat pengetahuan
(cognitive), perasaan (afektive), maupun tingkah laku (conative).
e.Memberikan respons sosial (to social responsibility), maksudnya bahwa
dengan adanya media massa kita dapat menanggapi tentang fenomena dan
situasi sosial atau keadaan sosial yang terjadi.
f. Penghubung (to linkage), maksudnya bahwa media massa dapat
menghubungkan unsure-unsur yang ada dalam masyarakat yang tidak bisa
dilakukan secara perseorangan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
II.2 Berita, Pers dan Jusnalistik
II.2.1 Berita
Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang
terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut
kepada orang ketiga atau orang banyak. Berita merupakan laporan tentang fakta
atau ide yang termassa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu media untuk disiarkan
atau dicetak, yang dapat menarik perhatian pembaca atau pendengar, entah karena
ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau pula karena ia mencakup segi-segi
human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan. Namun ada beberapa
tercepat, rekaman fakta-fakta objektif, interpretasi, sensai, minat insani, ramalan
dan sebagai gambar (Effendi, 1993:131-134)
Dalam kamus besar bahasa Indonesia berita diartikan sebagai cerita atau
keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Sedangkan
pemberitaan diartikan proses, cara, perbuatan memberitakan atau melaporkan.
Henshall dan Ingram (2000) mendefenisikan berita adalah susunan kejadian setiap
hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang tersusun dan dikemas
rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau di televisi dan keesokan
harinya di berbagai media. Tidak semua hal dapat dikatakan berita. Sesuatu dapat
dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur berita didalamnya. Aktual (baru),
kedekatan, penting, akibat, pertentangan/ konflik, seks, ketegangan,
kemajuan-kemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan human interest merupakan beberapa
unsur berita.
Berita terdiri dari berbagai jenis. Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik
Indonesia menuliskan beberapa jenis berita, yaitu:
1.Straight news (berita langsung) yaitu laporan langsung mengenai suatu
berita.
2.Depth news (berita mendalam) yaitu berita yang merupakan pengembangan
atau kelanjutan dari adanya sebuah berita yang masih belum selesai
3.Comprehensive news (berita komprehensif) yaitu laporan tentang fakta yang
berisfat menyeluruh ditinjau dari berbagai aspek (kritik terhadap straight
news).
4.Interpretative report yaitu lebih dari sekedar straight dan depth news, dan
merupakan gabungan antara fakta dan interpretasi. Dalam penulisannya
boleh dimasukkan uraian, komentar dan sebagainya yang ada kaitannya
dengan peristiwa yang dilihat.
5.Feature story (karangan khas) yaitu tulisan khas yang sengaja disajikan
untuk menarik perhatian pembaca dengan penulisan yang lebih ringan.
6.Investigative reporting (laporan investigasi), yaitu berita ataulaporan yang
biasanya memusatkan pada masalah yang kontroversi. Dalam hal ini
wartawan melakukan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang
tersembunyi demi mengungkapkan kebenaran.
Secara umum, suatu kejadian dipandang memiliki news value apabila
mengandung satu atau beberapa unsur berikut ini:
Significance (penting), peristiwa itu berkemungkinan mempengaruhi
kehidupan orang banyak, atau yang memiliki akibat terhadap kehidupan
pembaca.
Magnitude (besar), kejadian itu menyangkut angka-angka yang berarti bagi
kehidupan orang banyak, atau kejadian itu bersifat kolosal.
Timeliness (waktu), aktual, hangat, atau termasa; menyangkut hal-hal yang
Proximity (dekat), kejadian yang memiliki kedekatan dengan pembaca, baik
secara geografis maupun emosional/psikologis.
Prominence (tenar), menyangkut hal atau orang yang terkenal atau sangat
dikenal oleh pembaca.
Human interest (manusiawi), menyangkut hal-hal yang bisa menyentuh
perasaan pembaca.
Munculnya berita dalam sebuah media bukanlah hal tanpa sebab. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa kemudian suatu media
menampilkan suatu berita pada medianya (Sudibyo,2001) yaitu:
a)Faktor Individual, dalam hal ini berkaitan dengan latar belakang
professional dari pengelola media yang kemudian mempengaruhi isi berita
yang ditampilkan. Misalnya jenis kelamin, agama, umur, latar belakang
pendidikan bahkan juga orientasi pada partai politik.
b)Rutinitas Media (Media Routine). Hal ini berhubungan dengan ukuran
tersendiri tentang apa yang disebut berita, ciri-ciri berita yang baik dan
layak untuk dimuat yang dimiliki oleh setiap media. Ukuran tersebut
adalah rutinitas yang berlangsing setiap hari dan menjadi prosedur standar
bagi pengelola media yang berada di dalamnya, dan pada akhirnya
mempengaruhi wuhud akhir dari sebuah berita.
c)Level Organisasi. Hal ini berhubungan dengan struktur organisasi media
yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi pemberitaan. Pengelola
organisasi media, selain itu terdapat juga iklan, pemasaran, sirkulasi dan
lainnya yang juga memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan berpengaruh
terhadap terbentuknya sebuah berita.
d)Level Ekstramedia. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar
media. Walaupun berada di luar organisasi media namun sedikit banyak
sangat mempengaruhi isi berita. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain
adalah seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pemerintah dan
lingkungan bisnis, dan juga pada tingkatan level ideologi.
II.2.2. Pers
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris
berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak ataupun penyiaran secara tercetak
atau publikasi secara dicetak. Dalam perkembagannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit.
Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media
massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam arti
sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan
buletin kantor berita.
Pers merupakan lembaga sosial (social institution) atau lembaga
kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di Negara
mana ia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Sebagai bagian dari
sistem yang berlaku, keberadaan pers juga diatur dalam undang-undang yaitu
Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang-Undang Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada Pasal 1 Ayat 2 dijelaskan:
Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Pers dalam hal ini sebagai penulis berita pada awalnya mengedepankan
prinsip objektivitas dalam penulisan beritanya. Yaitu bagaimana wartawan
memandang dan menulis berita seperti apa yang dilihat, bukan yang diinginkan.
Tetapi pandangan ini bergeser ke arah prinsip interpretasi. Sebab objektivitas
dapat melahirkan kedangkalan tentang berita itu sendiri. Sementara pembaca
menginginkan kedalaman agar mereka mampu mengetahui dan memahami
kejadian yang ada dalam setiap peristiwa. Dalam pelakasanaannya, pers tidak
hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek lain untuk isi surat kabar atau
majalah. Karena itu funggsinya bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga
mendidik, menghibur, dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan
tertentu.
II.2.3. Jurnalistik
Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan
dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada
perkataaan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti
keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai
kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.
F.Fraser Bond dalam An Indtroduction to Journalism menulis: jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai
pada kelompok pemerhati. Adinegoro menegaskan, jurnalistik adalah semacam
kepandaian mengarang yang pokoknya member pekabaran pada masyarakat
dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luanya.(Sumadiria,2006:3).
Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaanya, jurnalistik dibagi kedalam tiga
bagian dasar .(Sumadiria,2006):
a)Jurnalistik media cetak
Jurnalistik media cetak dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor verbal
dan visual. Verbal, sangat menekankan pada kemampuan kita memilih dan
menyusun kata dalam rangakaian kalimat dan paragraf yang efektif dan
komunikatif. Visual, menunjuk pada kemampuan kita dalam menata,
menempatkan, mendesain tata letak atau hal-hal yang menyangkut segi
perwajahan.
b)Jurnalistik media elektronik auditif
Jurnalistik media elektronik auditif atau jurnalistik radio siaran, lebih
banyak dipengaruhi dimensi verbal, teknologikal, dan fisikal. Verbal,
berhubungan dengan kemampuan menyusun kata, kalimat,dan paragraph.
radio dapat ditangkap denga jelas dan jernih. Fisikal erat kaitanya dengan
tingkat kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak.
c)Jurnalistik media elektronik audiovisual
Jurnalistik ini merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal,
dan dimensi dramatikal. Dramatikal berarti bersinggungan dengan aspek
serta nilai dramatic yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang
dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Aspek
dramatic televisi inilah yang tidak dipunyai media massa radio dan surat
kabar.
II.3. Paradigma Konstruktivisme
Pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang
dipakai untuk memahaminya. Cara pandang yang dipakai dalam memandang atau
mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh.
Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyakan bahwa
apa yang kita ketahui bukanlah kebenaran mutlak, melainkan pemahaman yang
diciptakan oleh manusia. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak
menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas. Cara pandang ini juga
terjadi pada riset-riset penelitian.
Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat
konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian.
Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma
apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma bisa juga
berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktik sekelompok komunitas
orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki
seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan
sekaligus menggunakan metode yang serupa (Narwaya, 2006: 108).
Cara pandang atau paradigma ini menurunkan sejumlah teori komunikasi.
Usaha mengidentifikasikan teori-teori dan pendekatan-pendekatan ke sejumlah
paradigma sejauh ini telah menghasilkan pengelompokan yang bervariasi seperti
Kinloch (1977), contohnya, mengkategorikan sekurangnya ada enam paradigma
atau perspektif teoritis (organic paradigm, conflict paradigm, social behaviorism,
structure functionalism, modern conflict theory, dan social-psychological
paradigm). Crotty (1994) mengetengahkan pengelompokan yang mencakup:
positivism interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism. Burrel
dan Morgan, mengelompokkan teori-teori dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu
sosial ke empat paradigma: radical humanist paradigm, radical structuralist
paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln
(1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism,
postpositivism, critical theories dan constructivism. (Hidayat dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004:
x).
Guba dan Lincoln (1994) mengemukakan bahwa setiap paradigma
membawa implikasi metodologi masing-masing. Oleh karena itu, untuk
mempermudah pembahasan tentang implikasi metodologi suatu paradigma,
dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3
September-Desember 2004: x-xvi):
1.classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism),
2.critical paradigm, dan
3.constructivism paradigm
Terlepas dari variasi pemetaan, pada intinya setiap paradigma dapat
dibedakan dari paradigma lainnya berdasarkan sejumlah hal mendasar.
Perbandingan mengenai paradigma tersebut dapat dilihat berdasar ruang lingkup
paradigma itu sendiri baik secara ontolgi, epistemology, dan metodologis.
Tabel 1. Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi
Positivisme Post-Positvisme Kritis Konstruktivisme Ontologi akan tetapi tidak pernah dan yang diteliti
Bersifat
secara kritis pada keanekaragaman dialektis, ilmu hasil kosntruksi atau interaksi peneliti terhadap objek yang diteliti.
Sumber : Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti
realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur
konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti
realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh
juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara
terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri
sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut
Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada
kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.(Ardianto,2007:80)
Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang
memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme,
bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini
bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari
kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan
dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto,2007:154).
Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman mereka.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, kosntrukstivisme
radikal; kedua, realism hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa (suparno,1997;25).
Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran
kita. Bentuk ini tidak selalu representasi dunia maya. Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai
suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu
realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau
konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya.
Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam
hubungannya dengan ilmu komunikasi :
1.Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek
yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa
yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap
2.Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang
objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari
interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam
bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.
3.Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan
produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai
dengan pergeseran waktu;
4.Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara
pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas
atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah
“Segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi
lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat
dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar
dirinya;
5.Pengetahuan bersifat sarat nilai.
Lebih jauh lagi, Penmann kemudian merumuskan empat kualitas
komunikasi. Baginya komunikasi harus bersifat konstitutif (menciptakan
dunia), kontekstual (sesuai dan tergantung ruang dan waktu), beragam
(muncul dalam bentuk yang berbeda-beda, tidak tunggal), dan tidak
lengkap (selalu dalam proses, terus berubah).
Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang
Knowledge tahun 1966. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi
secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi (Bungin, 2008: 193).
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran
suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang
dinilai relevan oleh pelaku sosial. Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh
media merupakan usaha “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah persitiwa atau
keadaan. Realitas tersebut tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui
proses interaksi antara penulis berita atau wartawan dengan fakta. Menurut
Bungin (2008: 196), ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi
sosial, yaitu:
a.Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki kapitalis.
Dalam arti media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan
pelipatgandaan modal. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang
media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah
membuat media massa yang laku di masyarakat.
b.Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada
masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita”
dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Kasus yang dapat
tsunami yang melanda Aceh, Nias dan sekitarnya dalam kemasan berita
“Indonesia Menangis” dan semacamnya yang terus-menerus diekspos
bahkan sampai pada sisi yang telah meninggalkan hak-hak sumber berita.
c.Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan
jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Secara esensial, pendekatan konstruktivis pada media, wartawan dan berita
dapat dirangkum dalam 6 perspektif
(
Eriyanto, 2003).
Enam perspektif tersebutadalah sebagai berikut :
a. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruktivis,
realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena diciptakan dan
dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas itu bisa
berbeda-beda, tergantung pada bagaimana ketika realitas itu dipahami oleh
wartawan. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruktivis adalah fakta
berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada
dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberikan
definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan.
b. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruktivis, media
dianggap bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang
mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan
pemihakannya. Media dipandang sebagai agen yang mengonstruksi
realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga
konstruksi dari media itu sendiri.
c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi atas realitas.
Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil dari konstruksi
sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari
wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita, sangat
tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai tergantung
pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan
selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan
cerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita
yang berbeda, karena melihatnya dengan cara yang berbeda.
d. Berita bersifat subjektif atas realitas. Berita subjektif lahir dari sisi lain
wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan perspektif dan
berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih
ditonjolkan dari sumber lainnya; menempatkan wawancara seorang tokoh
lebih besar dengan tokoh lainnya; liputan yang hanya satu sisi; tidak
berimbang, misalnya. Bagi kaum konstruktivis, hal tersebut bukanlah
sebuah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang
dijalankan oleh wartawan.
e.
Wartawan bukanlah pelapor, ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangankonstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan
keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam
melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara
wartawannya.
f.
Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian integraldalam produksi berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak
mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot
yang meliput apa adanya, apa yang dilihat tanpa pretensi apapun juga.
Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada satu
kelompok atau nilai tertentu -umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-
adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan
mengonstruksi realitas.
II.4. Ideologi Media
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea
dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s
News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil
perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata
logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak
(berbicara). Selanjutnya kata logia berarti sciense (pengetahuan) atau teori
(Sobur,2004:64).
Ada banyak defenisi tentang ideologi. Raymond William
(Eriyanto,2001:87) mendefenisikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah.
Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas
tertentu. Defenisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat