• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODE PENELITIAN

5 DESKRIPSI PETANI DAN USAHATANI PAD

Deskripsi Petani Responden

Umur responden

Umur petani merupakan salah satu faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Umumnya petani yang lebih tua cenderung sangat konservatif dan kurang responsif terhadap perubahan inovasi teknologi (Soekartawi 1999). Sebaran umur petani pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran petani responden berdasarkan umur di Kabupaten Solok Selatan

Kisaran (tahun)

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) a. <30 6 10 2 6.67 b. 31-40 24 40 12 40 c. 41-50 19 31.67 8 26.67 d. 51-60 9 15 6 20 e. >60 2 3.33 2 6.67

Rata-rata Umur Petani 41.92 43.80

Minimum 25 25

Maximum 63 65

Standar deviasi 8.87 11.02

Apabila dilihat dari tingkatan umur, SRI lebih banyak diterapkan oleh petani yang berumur lebih muda, hal ini dapat ditunjukkan oleh persentase petani berumur dibawah 40 tahun, pada petani SRI lebih tinggi dibanding dengan non SRI. Pada petani SRI persentase umur dibawah 40 tahun sebesar 50 persen dan pada petani non SRI persentase dengan umur yang sama sebesar 46.67 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa petani SRI dan non SRI sebagian besar berada pada golongan usia produktif. Petani responden SRI memiliki umur minimum 25 tahun dan umur maksimum 63 tahun dengan rata-rata umur petani SRI adalah 41.92 tahun. Sedangkan pada petani non SRI umur minimumnya 25 tahun dan umur maksimum 65 tahun dengan rata-rata umur petani non SRI adalah 43.80 tahun.

Tingkat pendidikan

Pendidikan dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Dengan pendidikan seseorang mampu mendapatkan informasi dan inovasi teknologi baru selain itu juga mampu merubah sikap, perilaku dan pola pikir. Tingkat pendidikan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan formal petani. Menurut Soekartawi (1999), tingkat pendidikan formal yang diikuti oleh petani akan berpengaruh terhadap tingkat

pengetahuan dan wawasan serta terhadap kemampuan menghasilkan pendapatan yang lebih besar dalam rumah tangga.

Pada Tabel 2. diperlihatkan sebaran tingkat pendidikan petani SRI dan non SRI. Jika dilihat dari tingkat pendidikan petani responden penelitian, tingkat pendidikan petani SRI lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan non SRI. Tingkat pendidikan petani SRI lebih didominasi pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT) yakni sebesar 70 persen, namun pada tingkat pendidikan petani non SRI lebih didominasi pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 80 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang petani maka semakin mudah untuk memahami dan menerima inovasi-inovasi baru. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seorang petani diharapkan petani tersebut akan semakin memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai dalam usahataninya sehingga mampu menurunkan tingkat inefisiensi usahatani.

Tabel 2. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan di Kabupaten Solok Selatan

Pendidikan (tahun)

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) a. Tidak Sekolah (0) 2 3.33 0 0 b. SD (1-6) 2 3.33 5 16.67 c. SMP (7-9) 14 23.33 12 40 d. SMA (10-12) 39 65 12 40 e. PT (>12) 3 5 1 3.33

Rata-rata pendidikan petani 10.95 9.9

Minimum 0 6

Maximum 16 15

Standar deviasi 2.79 2.38

Pengalaman petani

Pengalaman seseorang dalam berusahatani berpengaruh terhadap respon dalam menerima teknologi dan inovasi baru (Soekartawi 1999). Semakin banyak pengalaman petani maka petani tersebut akan semakin terampil dalam melakukan usahatani serta terampil dalam memilih teknologi yang tepat guna.

Jika ditinjau dari segi pengalaman petani didalam usahatani padi, rata-rata pengalaman petani SRI lebih rendah dari pada petani yang non SRI, petani SRI memiliki pengalaman rata-rata sebesar 15.37 tahun sementara petani non SRI memiliki pengalaman sebesar 19.93 tahun. Mayoritas pengalaman petani SRI berada pada tingkatan 1-10 tahun yakni sebesar 36.67 persen dan sementara pengalaman petani non SRI berada tingkatan 11-20 tahun yakni bernilai sebesar 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani non SRI memiliki pengalaman yang cukup lama jika dibandingkan dengan petani SRI. Cukup lamanya pengalaman petani diharapkan mampu menerima dan memilih inovasi atau teknologi yang sesuai dan tepat untuk digunakan pada usahataninya. Akan tetapi pada kenyataan, petani dengan pengalaman yang lebih lama masih menerapkan usahatani yang tradisional berdasarkan pengalaman usahataninya yang dilakukan selama ini.

Tabel 3. Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman di Kabupaten Solok Selatan

Pengalaman (tahun)

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) a. 1-5 10 16.67 1 3.33 b. 6-10 18 30 4 13.33 c. 11-15 6 10 8 26.67 d. 16-20 15 25 7 23.33 e. 21-25 6 10 3 10 f. 26-30 1 1.67 3 10 g. 31-35 1 1.67 2 6.67 h. >36 3 5 2 6.67

Rata-rata pengalaman petani 15.37 19.93

Minimum 1 5

Maximum 45 40

Standar deviasi 9.66 9.31

Jumlah tanggungan keluarga

Menurut Soekartawi (1999), Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi keputusan petani dalam berusahatani. Banyak atau sedikitnya jumlah anggota keluarga akan berdampak kepada biaya hidup yang akan dikeluarkan oleh petani dalam memenuhi kehidupan keluarganya. Disisi lain terkait dengan banyak atau sedikitnya jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang dapat membantu kepala keluarga dalam berusahatani. Jika dilihat pada Tabel 4. bahwa rata-rata petani SRI dan non SRI memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 3 orang, dan jika dilihat dari sebaran datanya petani SRI lebih tinggi persentasenya pada kisaran 3-5 orang yang bernilai sebesar 73.33 persen, ini sedikit diatas petani non SRI yang bernilai sebesar 70 persen.

Tabel 4. Sebaran petani responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga di Kabupaten Solok Selatan

Anggota Keluarga (orang)

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) a. 0-2 16 26.67 9 30 b. 3-5 44 73.33 21 70

Rata-rata pengalaman petani 3.03 2.93

Minimum 1 1

Maximum 5 5

Standar deviasi 0.86 0.98

Kepemilikan lahan dan luas lahan

Pada daerah penelitian status kepemilikan lahan terdiri dari lahan milik sendiri dan lahan sewa atau bagi hasil. Status kepemilikan lahan pada petani SRI

dan petani non SRI sebagian besar merupakan lahan milik sendiri, besarnya berturut-turut yaitu 86.67 persen dan 83.33 persen. Lahan milik sendiri pada responden penelitian sebagian besar merupakan lahan milik yang berasal dari warisan nenek moyang petani.

Tabel 5. Sebaran petani responden berdasarkan jumlah penguasaan lahan di Kabupaten Solok Selatan

Penguasaan Lahan

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Luas lahan (Ha)

a. 0.01 – 0.25 17 28.33 18 60 b. 0.26 – 0.50 19 31.67 10 33.33 c. 0.51 – 1.00 20 33.33 2 6.67 d. 1.01 – 1.50 2 3.33 0 0 e. 1.51 – 2.00 2 3.33 0 0 2. Kepemilikan lahan a. Milik sendiri 52 86.67 25 83.33 b. Sewa/bagi hasil 8 13.33 5 16.67

Rata-rata penguasaan lahan 0.56 0.27

Minimum 0.1 0.07

Maximum 2 0.57

Standar deviasi 0.41 0.14

Luas lahan akan mempengaruhi skala usaha (Soekartawi 1999). Rata-rata luas lahan pada petani SRI yaitu 0.56 hektar. Luas lahan milik yang digarap petani SRI sangat bervariasi yaitu berkisar antara 0.13 – 2 hektar sedangkan luas lahan sewa yang digarap petani SRI sebesar 0.23 – 0.67 hektar. Sedangkan rata-rata luas lahan pada petani non SRI yaitu 0.27 hektar, dimana luas lahan milik yang digarap petani non SRI berkisar antara 0.07 – 0.57 hektar dan luas lahan sewa yang digarap petani non SRI berkisar antara 0.17 – 0.25 hektar. Petani non SRI merupakan petani skala kecil, 60 persen dari total responden non SRI berada pada kisaran luas lahan 0.01 – 0,25 hektar. Sempitnya lahan yang diusahakan petani responden lebih banyak disebabkan oleh pembagian harta warisan dan dijual guna memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

Keanggotaan dalam kelompok tani

Berbagai macam wadah bagi petani untuk berkumpul-kumpul sesama petani, salah satunya adalah kelompok tani. Kelompok tani didaerah penelitian sangat banyak sekali, hampir tiap kenagarian (desa adat) terdapat 12 buah kelompok tani. Jika ditinjau dari keanggotaan dalam kelompok tani, responden petani SRI 100 persen ikut tergabung di dalam sebuah kelompok tani yang ada di setiap kenagarian. Sedangkan pada petani non SRI, responden yang tergabung kedalam kelompok tani hanya sebesar 26.67 persen.

Selain tempat berkumpul dan berbagi informasi terkait dengan usahatani, kelompok tani pada daerah penelitian juga berfungsi sebagai wadah penampungan hibah bantuan pengembangan yang diberikan oleh pemerintah setempat, dan juga

wadah bagi petani untuk mendapatkan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah. Pupuk yang di subsidi pemerintah disalurkan melalui kelompok tani dan atau gabungan dari beberapa kelompok tani (Gapoktan), sehingga bagi petani yang tidak ikut dalam keanggotaan kelompok tani akan sulit untuk mendapatkan pupuk dan harga beli yang sangat tinggi.

Rata-rata kelompok tani yang ada di daerah penelitian sangatlah aktif, pertemuan anggota kelompok dilakukan 1 kali 15 hari atau dalam satu bulan pertemuan anggota kelompok dilakukan 2 kali. Selain pertemuan antar anggota kelompok tani, juga di adakan pertemuan antara anggota kelompok dengan penyuluh pertanian setempat yang telah di tunjuk oleh pemerintah daerah. Kegiatan penyuluhan rata-rata dilakukan sebanyak 8 kali selama musim tanam, dan materi yang disampaikan penyuluh terkait dengan usahatani padi yang dimulai dari persiapan lahan dan benih hingga proses panen yang akan datang.

Tabel 6. Keanggotaan petani responden dalam kelompok tani di Kabupaten Solok Selatan

Keanggotaan kelompok tani

SRI Non SRI

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) a. Ikut 60 100 8 26.67 b. Tidak Ikut 0 0 22 73.33

Penerapan SRI pada Usahatani Padi

Persiapan lahan

Hal yang pertama dilakukan petani responden sebelum melakukan penanaman padi adalah melakukan persiapan lahan. Persiapan lahan yang diperlukan untuk mendapatkan media tumbuh tanaman padi baik dengan metode tanam padi SRI maupun metode non SRI yaitu pengolahan tanah, pembuatan parit dan pembuatan petakan sawah. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan 3 – 15 hari sebelum penanaman. Tanah dibajak sedalam 25 – 30 cm dengan menggunakan traktor besar sambil membenamkan sisa-sisa tanaman musim tanam sebelumnya dan rumput-rumputan, kemudian digemburkan kembali dengan menggunakan traktor besar, lalu diratakan sebaik mungkin sehingga saat diberikan air ketinggiannya dipetakan sawah akan merata. Setelah tanah sawah diratakan, untuk mencukupi unsur hara ditanah sawah, petani responden memberikan asupan bahan organik seperti pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, limbah organik, dan jerami yang telah diolah terlebih dahulu.

Pembuatan parit atau labuh air dibuat sesuai kebutuhan, pembuatan parit biasanya dibuat di antara tanaman padi agar kebutuhan air tercukupi tanpa membuat tanaman padi terendam air. Selain itu pembuatan parit juga bertujuan untuk menekan perkembangan keong sawah agar tidak mengganggu dan memakan tanaman padi. Selanjutnya persiapan lahan yang dilakukan oleh petani responden adalah pembuatan petakan sawah. Pembuatan petakan sawah oleh petani bertujuan untuk mengatur jarak tanam antara tanaman padi yang akan ditanam, biasanya petani membuat jarak atau petak sawah berukuran antara 25 x

25 cm sampai dengan jarak 30 x 30 cm, ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh tenaga penyuluh pertanian yang bertugas didaerah penelitian.

Persemaian benih

Input yang terpenting dalam mengusahakan usahatani padi adalah benih padi. Benih yang dipilih oleh petani responden dengan mempertimbangkan varietas benih, kualitas benih, label benih serta jumlah dan perlakuan benih. Varietas benih yang paling banyak digunakan petani responden adalah varietas junjungan, anak daro, bakwan, ganda pulau, dan pb 42, yang semua ini adalah varietas unggul lokal yang telah disertifikasi oleh BPSB (Badan Pengawasan Sertifikasi Benih) Arosoka Solok. Persemaian benih dilakukan dengan cara kering atau tidak digenang dan dilakukan penyiraman setiap harinya sampai benih berumur 15 – 20 hari . Petani responden melakukan persemaian benih dengan memanfaatkan perkarangan rumah. Tanah perkarangan dilapisi plastik dan diisi dengan tanah atau kompos lalu benih ditabur keatas media persemaian, tujuan dilapisi plastik supaya akar padi tidak tembus ke tanah perkarangan sehingga mudah pada saat pindah tanam dari persemaian.

Penanaman

Penanaman merupakan salah satu proses budidaya yang penting dilakukan. Pada umumnya petani responden padi SRI maupun petani padi non SRI sangat berbeda dari segi metode penanaman. Standar penanaman padi oleh petani SRI yaitu menggunakan bibit muda yang berumur 15 – 20 hari setelah semai, satu lubang di isi dengan 1 – 3 bibit, bibit ditanam dengan kedalaman maksimal 1 cm

dengan perakaran saat penanaman seperti huruf “L”, dengan jarak tanam antar

rumpun sekitar 25 – 30 cm, ditanam dengan sistem jajar legowo, dan pada saat penanaman tidak tergenang air. Sedangkan pada petani non SRI, bibit yang ditanam berumur 21 hari setelah semai atau lebih, satu lubangnya di isi dengan 10

– 15 bibit, dan kedalaman tanam tidak beraturan, jarak tanam sekitar 20 – 25 cm bahkan ada juga yang tidak mempunyai jarak tanam yang teratur, dan tidak memakai sistem jajar legowo.

Penyiangan

Penyiangan yang dilakukan oleh petani SRI dan non SRI relatif sama, yang mana bertujuan untuk membersihkan gulma disawah agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman padi dan tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan unsur hara dalam tanah. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman padi berusia 30 – 35 hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma atau tanaman hama dengan tangan tanpa menggunakan bantuan alat. Dalam penyiangan ada juga petani responden yang tidak melakukan penyiangan. Penyiangan tidak dilakukan karena menurut petani responden tidak ada gulma atau tanaman hama disawahnya.

Pemupukan

Pada umumnya pemupukan tanaman padi SRI dan non SRI pada petani responden penelitian dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk yang diberikan pada tanaman padi SRI dan non SRI dalam bentuk pupuk padat yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk organik yaitu sebanyak 2 -5 ton per hektar. Pemupukan pertama dilakukan sebelum proses penanaman dilakukan. Kemudian pemupukan kedua dilakukan pada saat kisaran umur tanaman padi 15 – 30 hari setelah tanam. Jenis pupuk anorganik yang digunakan oleh petani SRI dan non SRI sama yaitu pupuk urea dan pupuk phonska (NPK), namun dari segi dosis dan jumlah pemakaian terdapat perbedaan antara petani SRI dan non SRI. Petani SRI lebih cenderung mengikuti saran pemakaian pupuk anorganik oleh tenaga penyuluh pertanian dari pada petani non SRI.

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman padi baik pada petani SRI dan non SRI secara umum sama. Pemeliharaan tanaman padi dilakukan dengan penyiangan untuk membersihkan tanaman pengganggu yang berada disekitar tanaman padi. Namun dari segi jumlah atau frekuensi penyiangan terdapat perbedaan antara petani SRI dan non SRI, petani SRI cenderung melakukan penyiangan 2 kali selama satu musim tanam yaitu pada saat tanaman berumur 15 – 20 hari setelah tanam dan pada saat tanaman berumur 30 – 45 hari setelah tanam, sedangkan pada petani non SRI penyiangan hanya dilakukan selama 1 kali selama satu musim tanam yaitu pada umur 20 - 30 hari setelah tanam. Selama proses penyiangan, petani SRI dan non SRI juga melakukan pembuatan pengairan, agar batang tanaman padi tidak terendam oleh air, karena tanaman padi bukan tanaman air.

Selain dari proses penyiangan dan pembuatan pegairan pada sawah, petani juga melakukan penyemprotan pestisida pada tanaman padi, agar hama yang terdapat disekitar tanaman padi mati dan berkurang populasinya. Jenis pestisida yang digunakan petani SRI dan non SRI sama, yaitu berjenis Ripcord dan Copa. Penyemprotan hanya dilakukan sekali selama musim tanam.

Panen dan Pasca Panen

Panen merupakan tahap akhir dalam proses budidaya tanaman padi. Petani responden biasanya melakukan panen tiga kali dalam satu tahun, sehingga waktu yang diperlukan dari persiapan lahan hingga pasca panen dibutuhkan waktu selama 4 bulan. Kegiatan pemanenan dilakukan pada saat tanaman padi berumur 100 – 130 hari setelah tanam. Umur panen setiap padi sangatlah berbeda, umur panen tercepat yakni pada varietas padi junjung yang hanya sampai umur 100 hari setelah tanam dan umur panen terlama yakni pada varietas padi bakwan, umur panen 120 hari sampai 130 hari setelah tanam. Umur panen dapat dipengaruhi oleh keadaan musim pada saat musim tanam dilakukan. Alat yang digunakan oleh petani responden untuk proses panen sangat sederhana, yaitu menggunakan papan perontok yang diletakkan di atas tong kayu besar yang di sekitarnya telah dikasih terpal untuk menampung bulir gabah. Gabah yang telah dihasilkan, sesegera

mungkin dilakukan pengeringan sampai gabah siap untuk digiling, jika terlambat maka akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan bahkan gabah akan berkecambah.

Penggunaan Input dan Produksi Usahatani Padi

Penggunaan input produksi usahatani padi berbasis SRI dan non SRI yang berbeda akan berpengaruh pada produktivitas yang dihasilkan. Input produksi usahatani padi didaerah penelitian antara lain lahan, benih, pupuk ponska (NPK), pupuk urea, pupuk organik, dan tenaga kerja. Rata-rata penggunaan input dan produksi usahatani padi dapat dilihat pada Tabel 7.

Hasil uji stastistik pada Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata baik dalam penggunaan input maupun produktivitas antara petani yang menerapkan SRI dan petani yang tidak menerapkan SRI. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penerapan program SRI mempengaruhi alokasi penggunaan input. Rata-rata penggunaan input produksi pada petani yang menerapkan SRI didaerah penelitian cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan SRI pada usahatani padinya.

Tabel 7. Rata-rata penggunaan input dan produktivitas per hektar pada usahatani padi dengan penerapan SRI dan non SRI di Kabupaten Solok Selatan

Uraian Penggunaan Input t-test prob

SRI Non SRI

1. Input :

Benih (kg) 32.12 96.67 5.97 0.000

Pupuk ponska (kg) 36.68 34.32 4.07 0.000

Pupuk urea (kg) 60.60 95.69 3.20 0.001

Pupuk organik (kg) 1 046.18 339.48 7.97 0.000

Tenaga kerja (HOK) 26.31 48.55 1.72 0.044

2. Produktivitas (kg) 3 927.48 3 402.92 5.82 0.000

Penggunaan lahan petani padi yang menerapkan SRI jauh lebih besar dari pada petani yang tidak menerapkan SRI. Rata-rata penggunaan lahan petani yang menerapkan SRI sebesar 0.56 ha sedangkan petani yang tidak menerapkan SRI hanya sebesar 0.27 ha, ini bernilai setengah dari jumlah pemakaian lahan pada petani padi SRI. Jika dilihat dari segi variabel benih, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara pemakaian benih pada petani yang menerapkan SRI dengan petani yang tidak menerapkan SRI. Hal ini karena petani padi SRI sebagian besar telah menggunakan dosis benih sesuai dengan anjuran yang ditetapkan. Selain itu dari varietas dan mutu yang digunakan juga sangat berbeda antara kedua jenis petani. Petani padi SRI seluruhnya menggunakan benih yang telah bersetifikat, sedangkan petani padi non SRI sebagian ada yang menggunakan benih yang bersetifikat dan sebagian masih menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya. Jika dilihat dari nilai rata-rata penggunaan benih baik petani padi SRI dan petani non SRI, masih melebihi anjuran benih yang seharusnya digunakan. Efektifnya satu hektar lahan hanya membutuhkan 10 kg benih per hektarnya. Lebihnya penggunaan benih dari dosis yang dianjurkan disebabkan oleh beberapa petani yang takut akan serangan hama keong sawah dan ada beberapa petani yang

melakukan penyulaman untuk tanaman yang mati dan habis dimakan oleh hama sehingga membutuhkan benih yang lebih banyak.

Petani padi SRI semuanya telah menggunakan benih unggul dan bersetifikat yang sebelumnya telah diteliti oleh Badan Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) Arosoka Solok seperti Junjung, Ganda pulau, Anak daro, PB 42, Redek dan Sokan. Sedangkan pada petani non SRI sebagian besar menggunakan benih lokal yang merupakan benih hasil dari panen sebelumnya yang tentunya mempunyai kualitas yang kurang bagus dan memiliki daya hasil yang relatif rendah. Jenis benih lokal yang digunakan petani non SRI didaerah penelitian yaitu IR 46, Bakwan, Batang pasaman, Batang sungkai, Ganda pulau, dan Junjung yang kesemua ini merupakan benih tanpa diperiksa oleh BPSB. Semua petani telah mengetahui keuntungan pemakaian benih unggul dan bersetifikat, namun banyak petani yang mengabaikannya karena terkait dengan kondisi perekonomian dari petani tersebut. Benih dengan varietas unggul cenderung lebih mahal dari pada benih lokal yang biasanya didapatkan oleh petani non SRI.

Pupuk yang digunakan oleh petani padi SRI dan petani non SRI pada daerah penelitian berupa pupuk anorganik dan pupuk organik. Jenis pupuk anorganik yang digunakan yaitu pupuk urea dan pupuk ponska (NPK). Umumnya petani hanya menggunakan dua macam pupuk tersebut, hal ini disebabkan karena ketersediaan pupuk pada daerah penelitian yang sangat sulit untuk didapatkan oleh petani responden. Sedangkan pupuk organik yang digunakan berasal dari kotoran ternak sapi, ternak kambing, dan jerami padi yang sebelumnya telah diolah oleh kelompok tani ternak yang berada pada daerah penelitian. Penggunaan pupuk organik berguna untuk melengkapi unsur hara pada tanah sawah, selain itu juga berguna untuk menggemburkan tanah sawah pada saat pengolahan lahan. Dosis penggunaan pupuk yang dipakai oleh petani responden relatif beragam. Dosis pemakaian pupuk berdasarkan tingkat kesuburan tanah yang diolah oleh petani responden dan juga tergantung dari keuangan dari rumahtangga petani responden.

Rata-rata pemakaian pupuk anorganik oleh petani padi SRI sebesar 36.68 kg/ha pupuk ponska dan 60.60 kg/ha pupuk urea sedangkan pada petani padi non SRI sebesar 34.32 kg/ha pupuk ponska dan 95.69 kg/ha pupuk urea. Sebagian besar pupuk anorganik yang digunakan oleh petani padi SRI adalah pupuk yang berasal dari subsidi pemerintah. Pupuk yang disubsidi pemerintah biasanya ada ketika awal musim tanam. Kelompok tani yang didampingi oleh tenaga penyuluh pertanian membuat pengajuan rencana definit kebutuhan kelompok (RDKK) sebagai syarat untuk mendapatkan pupuk yang bersubsidi. Pupuk bersubsidi disalurkan melalui distributor pupuk yang sebelumnya telah disepakati oleh pemerintah. Petani responden yang merupakan anggota kelompok tani secara otomatis terdaftar sebagai petani penerima pupuk subsidi oleh pemerintah. Petani padi non SRI yang tidak tergabung sebagai anggota kelompok tidak bisa memperoleh pupuk yang bersubsidi dan bisa mendapatkan harga pupuk bersubsidi jika petani tersebut terdaftar sebagai kelompok tani yang mengajukan RDKK sebelum memasuki awal musim tanam padi. Harga pupuk anorganik nonsubsidi harga sangat mahal dan pupuk non subsidi juga sulit untuk didapatkan, sehingga akan sulit bagi petani padi non SRI untuk mendapatkan pupuk untuk usahatani

Dokumen terkait