• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

A. Deskripsi Temuan Penelitian

Pada 25 puisi yang dipilih sebagai objek penelitian ini, ditemukan penggunaan beberapa macam gaya bahasa. Berikut adalah temuan penelitian yang penulis peroleh.

1. Gaya Bahasa Perbandingan a. Perumpamaan

1) sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelmasemacam nyanyian,/ semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun yang berayun jatuh

dalam setiap impian?”//1 2) lembut bagai bianglala//2

3) Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur//3

Larik-larik tersebut termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan karena membandingkan dua hal yang padahakikatnya berlainan tapi dianggap sama. Kata yang digunakan untuk membandingkan dalam larik-larik tersebut adalah kata semacam yang memiliki kesamaan arti dengan seperti atau bagaikan.

b.Metafora

1) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke

kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal/4

2) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ 3) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/5

1

Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 47. 2Ibid., h. 32. 3 Ibid., h. 36. 4Ibid., h. 32. 5Ibid., h. 30.

4) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/6

5) yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamu/penghujanpanjang, yang tak habis-habisnya/7

6) bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut/hidupmu sore hari(dan

bukan siang/8

7) ada yang berdenyut//dalam diriku:/menembus tanah basah,/9 8) “Dimanakah sorgaku itu: nyanyian/10

9) Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga/11 10) Terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu

dingin/dan fana/12

11) Pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/mawar

(begitu nyaring?”); swaramu adalah kertap bulu/burung yang

gugur (begitu hening?)//13

12) Berkilauan serbuk dalam kabut-nafasmu adalah goyang anggrek/hutan yang mengelopak (begitu tajam?)14

13)dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman/15 14)doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau/16

15)dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang/17 16)magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat/18 17)dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang/19

6Ibid., h. 47. 7Ibid. 8Ibid., h.47-48. 9Ibid., h. 91. 10Ibid., h. 47. 11Ibid., h. 59. 12Ibid., h. 56. 13 Ibid., h. 47. 14Ibid., h. 80. 15Ibid. 16Ibid., h. 109. 17 Ibid. 18Ibid. 19Ibid. .

18)Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga- bunga//20

Larik-larik tersebut dikategorikan ke dalam gaya bahasa metafora karena menggunakan kata-kata yang bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. c. Personifikasi

1) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja//21

2) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/22

3) “Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?23

4) “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,

memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu.Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.24

5) Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.25

6) Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil,

20Ibid., h. 91. 21Ibid., h. 16. 22Ibid. 23 Ibid., h. 36 24Ibid. 25Ibid., h. 37.

mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.26 7) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari

yangmenerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang27

8) (Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang pelahan

mengendap di udara) kausebutcintamupenghujan panjang, yang tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.28

9) hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan//29

10) hidupmu sore hari (dan bukan siang yang bernafas dengan sengit/30

11) matahari menggeliat/berpusing dipedih lautan//31

12) Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan/dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari.//32

13) Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa/menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin/33

14) Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuhsekuntum/bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawasampai/

15) Hujan, yang mengenakan mantel,sepatu panjang, dan lampu

jalan,/“Tutup matamu dan tidurlah.//Biar kujagamalam.”//34

26Ibid. 27Ibid., h. 47. 28 Ibid. 29Ibid., h. 18. 30Ibid., h. 48. 31Ibid., h. 52. 32 Ibid., h.91. 33Ibid., h. 59. 34Ibid., h. 65.

16) “Kau hujan memang sukaserba kelamserbagaib serba suara

desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;

kembalilah,/janganmenggodaku tidur./Aku sahabat manusia./35

17) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu

yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu//yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta,/sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//36

18) angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon

itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu?”//37

19) kabel telpon memperingatkan anginyang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan brisik,

mengganggu hujan?”//38

20) hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan

tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu?”//39

21) Hujan mengenal baik pohon,/Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan,/menyihirmu/40

22) tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan juni/dirahasiakan rintik rindunya/41

23) tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu//42

35Ibid. 36 Ibid., h.70. 37Ibid., h.79. 38Ibid. 39Ibid. 40Ibid., h.97. 41Ibid., h. 104. 42 Ibid.

24) tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu//43

25) Hujan turun semalaman.Paginya/ jalak berkicau dan daun jambu bersemi;/mereka tidak mengenal gurindam/dan peribahasa,tapi menghayati/adat kita yang purba,/ tahu kapan harus berbuat

sesuatu. Mereka/tidak pernah bisa menguraikan/hakikat kata-kata mutiara,tapi tahu/kapan harus berbuat sesuatu,agar kita/44 26) terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara//45

27) kemudian daun bertahan pada tangkainya//46 28) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/

29) kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi/terbata-bata menghardik berulang kali)47

30) nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan/ menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci/pintukamar ini?”//48

Larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa personifikasi karena menyamakan benda-benda tak bernyawa dengan manusia. Benda mati seolah-olah mempunyai kegiatan, maksud dan nafsu seperti manusia. Personifikasi memberikan kejelasan gambaran atau memberikan bayangan agar konkrit sehingga membuat puisi lebih hidup.

d. Alegori

1) membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,/membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.//49

2) Apakah yang kita harapkan dari hujan?50

43Ibid 44Ibid., h.116. 45Ibid., h. 24. 46Ibid 47 Ibid. 48 Ibid., h. 62. 49Ibid., h.36. 50Ibid., h. 37.

3) dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya/terpisah dari hujan//51

4) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu

yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu52

5) Kuhentikan hujan53 6) Hujan bulan juni54

7) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal/lembut bagai bianglala//55

8) lelaki tak pernah menoleh/dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,/hibuk pelabuhan-pelabuhan;/di pelupuknya sepasang matahari/keras dan fana//56

9) dan serbuk-serbuk hujan/tiba dari arah mana saja (cadar/bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)/ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini//57

Larik-larik di atas mengandung metafora yang diperluas atau dapat juga disebut sebagai alegori karena menggunakan simbol-simbol atau lambang.

2. Gaya Bahasa Pertentangan a. Hiperbola

1) itu pernah menyaksikan rahang laut dan rahang-rahang/bunga terkam-menerkam.58

2) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur.59

51Ibid., h. 38. 52 Ibid., h. 70. 53Ibid., h. 91. 54Ibid., h. 104. 55Ibid., h. 32. 56 Ibid. 57Ibid. 58Ibid., h. 59.

Dalam larik tersebut mengandung gaya bahasa hiperbola karena menyatakan sesuatu yang berlebihan.

b.Litotes

1) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/60

Larik di atas melukiskan sesuatu secara berlawanan dengan maksud untuk memperhalus.

c.Paradox

1) Hujan bulan juni

2) Kuhentikan hujan. Kini matahari/

3) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/

4) Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga-bunga//61

5) tiada apa pun di antara Kita: dingin/semakin membara sewaktu berhembus angin/62

Gaya bahasa paradoks terdapat dalam larik-larik tersebut karena mengandung suatu pernyataan yang bertentangan.

d.Klimaks

1) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin/

Kedua larik tersebut memberikan gambaran urutan pikiran yang semakin lama semakin memberikan penekanan yang disebut sebagai gaya bahasa klimaks.

e.Antiklimaks

1) Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambilberjalan/ tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu

59Ibid., h. 75. 60 Ibid., h. 2. 61Ibid., h.91. 62Ibid., h. 24.

hujan turun/ rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja/ sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.//

Larik-larik tersebut disebut antiklimaks karena berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan-gagasan yang kurang penting.

f. Hipalase

l) hidupmu sore hari (dan bukan siang/ yang bernafas dengan sengit/

Pada larik di atas menggunakan gaya bahasa yang merupakan kebalikan darisuatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan. Larik tersebut menjelaskan bahwa yang bernafas dengan sengit adalah

“hidupmu” bukan “sore hari (dan bukan siang”. Inilah yang disebut

sebagai gaya bahasa hipalase. Selain itu, larik ini juga mengandung gaya bahasa personifikasi.

3. Gaya Bahasa Pertautan a. Sinekdoke totum pro parte

1) sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ Larik tersebut adalah bagian dari puisi yang berjudul Sehabis Mengantar jenazah, “dunia” yang dimaksud dalam larik tersebut

adalah jenazah yang telah dikubur, artinya “dunia”menyebut keseluruhan untuk menegaskan sebagian, yang dalam hal ini jenazah.Dalam stilistika ini disebut sinekdoke totum pro parte.

Sinekdoke pars prototo

1) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebuyang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu//

Larik tersebut merupakan bagian dari puisi yang berjudul

kepada sepasang telapak kaki” telapak kaki dalam larik tersebut

menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. b. Erotesis

l) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kitaharapkan?/Apakah?//

2) sendiri, Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh

dalam setiap impian?”//

3) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula/(ah, tidak!) rinduku yang

dahulu?”

Gaya bahasa yang terkandung dalam larik-larik tersebut adalah erotesis karena berupa pertanyaan-pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar.

d. Elipsis

1) masih adakah?

2) Apakah yang kita harapkan?/Apakah?// 3) dan menyesakkan udara dan ...”// 63

Larik-larik tersebut memiliki kontruksi sintaksis yang tidak lengkap sehingga masuk ke dalam kategori elipsis.

4. Gaya Bahasa Perulangan a.Aliterasi

1) kabut yang likat dan kabut yang pupur/64

2) pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/65

3) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/yangmenerbitkan debu jalanan, yangmenajamkan/

63 Ibid., h. 62. 64Ibid., h. 52. 65Ibid., h. 80.

Larik-larik tersebut mengulang wujud konsonan yang sama sehingga disebut sebagai gaya bahasa aliterasi.

b. Asonansi

1) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita/

2) aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari/66 Larik-larik tersebut mengulang wujud vokal yang sama sehingga disebut sebagai gaya bahasa asonansi.

c. Epizeukis

1) alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/seluruhnya,

seluruhnya kecuali kenangan/

Larik tersebut termasuk ke dalam epizeukis karena mengulang langsung kata yang dianggap penting secara berturut-turut.

d. Anafora

1) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita harapkan?/Apakah?//

2) seperti engkau berbicara diujung jalan/seperti engkau

memanggil-manggil di kelokan itu/seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu,/67

3) tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru.68

4) Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh

dalam setiap impian?”

5) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang

dahulu?”69 66Ibid., h. 56 . 67 Ibid., h. 29. 68Ibid., h. 18. 69Ibid., h. 47.

6) yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah/yang meleleh dalam senandung hujan/yang

larut./70

7) kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang

semesta/71

Dalam setiap larik tersebut mengulang kata pertama pada setiap barisnya.

e. Mesodilopsis

1) tak ada yang menolaknya./tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru//72

2) yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/ warna-warni bunga yang dirangkaikan)yang menghapus/jejak-jejak kaki,yang

senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda,/73

3) Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik/pintu

memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir

hujan,/memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari/daun dekat jendela itu./Atau memimpikan

semacam suku kata/ yang akan mengantarmu tidur.”//

4) Kau hujan memang suka serba kelamserbagaib serba suara desis;/74

5) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/

6) (malam berkabut seketika); barangkali menjemputku/barangkali

berkabar penghujan itu//75

Larik-larik tersebut mengulang kata atau frase di tengah baris atau beberapa kalimat beruntun sehingga disebut gaya bahasa mesodiplosis. 70Ibid., h. 48. 71Ibid., h. 24. 72Ibid., h. 18. 73 Ibid., h. 47. 74Ibid., h. 65. 75Ibid., h. 30.

f. Epanalepsis

1) dan menyesakkan udara dan...”/

2) jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis-/pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari

duri/…/jangan pejamkan matamu://76

Kata pertama larik-larik tersebut juga menjadi kata terakhir, ini berarti larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa epanalepsis.

Dokumen terkait