• Tidak ada hasil yang ditemukan

Destruksi Heidegger atas “ Critique ” Kant: Sebuah Tinjauan

BAB II GAGASAN TRANSENDENSI DALAM KANT DAN

B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI

3. Destruksi Heidegger atas “ Critique ” Kant: Sebuah Tinjauan

Destruksi Heidegger atas “Critique” terutama menekankan pembacaannya pada doktrin skematisme; doktrin tentang penerapan konsep dalam pengalaman atau doktrin tentang pembentukan skema. Dalam doktrin inilah menurut Heidegger gagasan transendensi sebagai pemahaman Ada dapat diungkapkan, terlepas apakah Kant menyadarinya atau tidak. Dengan kata lain, Kant mungkin tidak menyebut-nyebut istilah “pemahaman Ada” dalam kaitannya dengan skema transendental. Kant hanya mengatakan bahwa apa yang diketahui dalam skema transendental sebagai produk sintesis murni adalah “bukan apa pun” (nothing), karena itu Kant menyebutnya pengetahuan transendental atau pengetahuan

murni.41 Dalam pembacaan Heidegger, gagasan ini sebenarnya merujuk pada fenomena pemahaman Ada atau pengetahuan ontologis karena sebagaimana dalam pengetahuan murni, apa yang diketahui dalam pengetahuan ontologis juga “bukanlah apa pun” (nothing). Ada itu sendiri adalah bukan apa pun.

Dengan titik tolak pemahaman Ada, terdapat beberapa tesis dasar dalam destruksi Heidegger atas skematisme yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, menurut Heidegger esensi transendensi terletak pada imajinasi transendental, bukan pada rasio murni. Itu berarti bahwa pemahaman Ada sebagai momen transendensi subjek tidak terbentuk melalui rasio murni melainkan imajinasi transendental. Pembacaan ini sebenarnya didasarkan pada argumen Kant sendiri ketika dia mengatakan dalam doktrin skematismenya bahwa penerapan konsep-konsep murni ke dalam pengalaman (sintesis murni) hanya mungkin oleh adanya mediasi skema transendental yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Dengan demikian, Kant sendiri sebenarnya mengakui bahwa imajinasi memiliki peran sentral dalam membentuk pengetahuan transendental (pengetahuan murni/sintesis murni), walaupun dalam kenyataannya, Kant tidak banyak membicarakan imajinasi transendental dalam “Critique”-nya melainkan justru cenderung menekankan aspek rasio sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni (transendensi).

Kedua, menurut Heidegger, karena Kant cenderung menekankan rasio murni sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni atau skema transendental (pengetahuan murni), Kant menurut Heidegger telah mereduksi konsep pemahaman Ada ke dalam salah satu modus pemahaman Ada, yaitu

41

Pengetahuan murni berarti pengetahuan yang tidak diperoleh dari pengalaman akan objek-objek. Itu berarti dalam pengetahuan murni tidak ada pengetahuan apa pun tentang ciri fisik suatu objek. Apa yang diketahui dalam pengetahuan murni “bukanlah apa pun” (nothing).

modus pemahaman kategorial, di mana pemahaman atau pengetahuan ditafsirkan sebagai proses determinasi konseptual atas waktu (time-determination) berdasarkan aturan-aturan konsep murni (substansi, kausalitas, kualitas dan seterusnya); sesuatu dianggap terpahami karena sesuatu tersebut tercakup dalam konsep atau kategori. Dalam destruksi Heidegger sementara itu, karena skema transendental adalah momen sintesis orisinal sebagaimana Kant sendiri secara implisit mengakuinya, maka pemahaman Ada tidak terbatas pada pemahaman kategorial. Orisinalitas skema transendental bagi Heidegger menunjukkan bahwa apa yang direpresentasikan dalam skema tersebut mestilah lebih luas dari sekadar determinasi rasio. Dengan demikian, dalam destruksi Heidegger, gagasan Kant tentang rasio sebagai dasar pengetahuan transendental, dipersoalkan.

Ketiga, destruksi Heidegger juga berusaha meradikalkan gagasan Kant tentang waktu dalam kaitannya dengan imajinasi transendental. Kaitan ini sudah dapat dilihat dalam “Critique” ketika Kant mengatakan bahwa skema transendental tidak lain adalah determinasi waktu dan bahwa imajinasi transendental merupakan faktor esensial dalam proses determinasi tersebut. Atas dasar pandangan ini, Heidegger meradikalkan gagasan waktu Kant dengan menegaskan bahwa waktu sebenarnya adalah momen temporal dari imajinasi transendental. Berbeda dari Kant, Heidegger tidak mendefinisikan waktu sebagai rangkaian “sekarang” (sequence of nows) yang bergantian, melainkan proses mewaktu (temporalitas) yang mencirikan imajinasi transendental dalam aktivitas sintetisnya. Perlu diketahui bahwa dengan pembacaan ini, Heidegger sebenarnya hendak memperlihatkan bagaimana konsep waktu berkaitan dengan pemahaman

Ada, sebuah tema yang menjadi motif pemikiran Heidegger dalam “Being and Time” (Ada dan Waktu).

Keempat, imajinasi transendental adalah konsekuensi keterbatasan, yaitu, keterbatasan intuisi, dan sebagai konsekuensi keterbatasan, imajinasi transendental itu sendiri bersifat terbatas. Konsekuensinya, transendensi sebagai pemahaman Ada juga terbatas dan merupakan konsekuensi keterbatasan. Sekadar untuk diketahui, Heidegger mengungkapkan konsep transendensi terbatas ini dalam “Kant and the Problem” dan “Being and Time”. Dalam “Kant and the Problem”, Heidegger memperlihatkan keterbatasan transendensi sebagai keterbatasan imajinasi transendental dalam kaitannya dengan intuisi terbatas manusia; imajinasi terandaikan karena intuisi manusia tidak menciptakan objek yang diintuisinya. Dalam “Being and Time”, sementara itu, ide keterbatasan berkaitan dengan sifat temporal pemahaman Ada, yaitu karakter proyektif yang terarah pada masa depan yang tidak pernah terpenuhi dan selalu ditandai oleh kebeluman (not yet).

Dalam bab berikutnya, saya akan menjelaskan poin-poin destruksi Heidegger atas doktrin skematisme sebagaimana disebutkan di atas. Perlu diingat bahwa apa yang terpenting dalam pemikiran Heidegger adalah gagasan tentang Ada, modus-modusnya, bentuk-bentuk dan karakter pemahamannya. Gagasan ini selalu menjadi motif utama pemikiran Heidegger, dalam “Being and Time” atau pun dalam pembacaan destruktifnya atas doktrin skematisme Kant.

Dalam “Critique”, sebagaimana telah dikatakan, Heidegger menemukan gagasan pemahaman Ada dalam analisis skematisme Kant, sebuah analisis dimana konsep-konsep seperti skema transendental, imajinasi transendental, rasio murni,

dan intuisi waktu dijelaskan hubungan-hubungannya. Heidegger menekankan faktor imajinasi transendental dalam hal ini dan berusaha melihat konsep-konsep lain dalam hubungannya dengan imajinasi transendetal. Pembacaan ini beralasan bagi Heidegger karena imajinasi transendental adalah fakultas sentral yang memungkinkan terbentuknya sintesis murni; terbentuknya pemahaman Ada. Hasilnya adalah suatu pemikiran Kant dalam terang yang lain. Jika pemikiran Kant dalam “Critique” adalah pemikiran tentang hakikat rasio murni dan batas-batasnya, maka pemikiran Kant yang didestruksi dalam “Kant and the Problem” adalah pemikiran tentang esensi imajinasi transendental dan batas-batasnya.

BAB III

DESTRUKSI SKEMATISME:

MEMBACA ULANG RELASI ESENSIAL ANTARA IMAJINASI, INTUISI WAKTU DAN RASIO MURNI

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, transendensi dalam pemikiran Kant dinyatakan dalam gagasan sintesis murni, di mana konsep-konsep murni dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman melalui representasi skema transendental. Kant menyebut doktrin penerapan konsep-konsep ini “skematisme” dan pada doktrin inilah Kant mengemukakan kaitan antara imajinasi, waktu dan rasio murni. Dari titik tolak doktrin skema (skematisme) ini, Heidegger menemukan bahwa intuisi murni—dalam hal ini waktu—dan konsep-konsep murni yang dibentuk oleh rasio murni, tidak dapat dilepaskan dari peran imajinasi transendental dalam pembentukannya. Kenyataannya, dalam destruksi Heidegger, waktu dan rasio murni itu sendiri bersumber dari imajinasi transendental (Einbildung-Kraft). Penafsiran ini tentu saja amat radikal dan melampaui tesis pemikiran Kant sendiri. Namun menurut Heidegger gagasan ini sebenarnya sudah implisit dalam pandangan Kant ketika dia mengatakan bahwa imajinasi transendental, sebagai fakultas yang terandaikan dalam proses sintesis, berciri intelektual (rasional) sekaligus sensibel (intuitif).

Bab ini akan menguraikan bagaimana Heidegger, dengan minat pemikirannya pada fenomena pemahaman Ada, membaca ulang secara destruktif hubungan antara rasio murni dan intuisi murni dengan imajinasi transendental. Dalam bagian pertama bab ini, saya akan mengulas hubungan imajinasi transendetal dengan waktu yang diawali dengan klarifikasi konsep waktu Kant.

Bagian kedua mengulas hubungan antara imajinasi transendental dengan rasio murni. Bagian ketiga berisikan pembacaan Heidegger atas konsep imajinasi transendental sebagai konsekuensi keterbatasan. Pembacaan ini saya sisipkan dalam bab ini karena gagasan keterbatasan Heidegger berkaitan langsung dengan karakter intuitif dan intelektual dari imajinasi. Selanjutnya, pada bagian terakhir saya akan memberikan ulasan ringkas tentang implikasi pemikiran transendental Heidegger dalam pemikiran etika dan keagamaan; tinjauan singkat tentang keunggulan dan kelemahan analisis Heidegger dan pembacaannya atas Kant.

Penting untuk terus diingat bahwa pembacaan Heidegger bagaimanapun dilatarbelakangi oleh minatnya pada fenomena pemahaman Ada. Sebagaimana telah dikatakan, motif destruksi Heidegger adalah mengeksplisitkan fenomena pemahaman Ada dalam teks yang didestruksi. Karena itu, pembacaannya atas imajinasi transendental dan hubungannya dengan intuisi murni dan rasio murni, harus juga dilihat sebagai ikhtiar menegaskan fenomena transendensi sebagai pemahaman Ada, karakternya dan kedudukannya dalam struktur pemahaman atau struktur eksistensi manusia.

A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN KE ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI

Kant memahami waktu sebagai sejenis intuisi murni. Kant menyebutnya intuisi karena menurutnya waktu dihadirkan secara langsung atau terberi begitu saja dalam bentuk afeksi. Waktu juga disebut “murni” karena waktu tidak lain

Afeksi berasal dari bahasa Latin “afficere” yang berarti pengaruh atau dorongan yang biasanya diasosiasikan dengan timbulnya perasaan. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang dengannya objek-objek atau hal-hal lain mengafeksi subjek secara langsung. Waktu adalah sejenis afeksi yang bersifat murni. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h.19

adalah bentuk dari proses intuisi subjektif.1 Ketika subjek merepresentasikan data-data pengalaman melalui intuisinya, intuisi subjek tidak hanya terarah pada apa yang diintuisi melainkan juga pada proses mengintuisi itu sendiri, dengan kata lain, pada dirinya sendiri (self-intuiting).Intuisi subjek, karenanya, tidak hanya terafeksi oleh objek-objek pengalaman melainkan juga oleh aktivitasnya sendiri sebagai proses mengintuisi. Pada titik inilah, menurut Kant, intuisi waktu terandaikan (presupposed). Ketika intuisi mengintuisi aktivitas intuitifnya ( self-intuiting), intuisi merepresentasikan atau “merasakan” perubahan-perubahan dalam proses mengintuisi.2 Perubahan-perubahan tersebut bukanlah semacam perpindahan posisi dalam ruang, melainkan pergantian-pergantian (succession) kehadiran dalam waktu. Dalam proses itu, intuisi waktu menjadi niscaya karena tanpanya, pergantian-pergantian tersebut tidak akan dapat direpresentasikan sebagai pergantian-pergantian dalam waktu. Waktu memungkinkan setiap proses mengintuisi direpresentasikan sebagai “yang telah berlalu”, “yang sedang terjadi”, atau “mungkin terjadi” dan itu, menurutnya, menunjukkan bahwa waktu terintuisi “lebih dulu” (a priori).3 Namun demikian, waktu bukanlah sesuatu yang terintuisi dari luar subjek. Kant menolak eksistensi absolut waktu. Intuisi waktu hanya

1

Selain waktu, Kant juga sebenarnya mengenal jenis intuisi murni lainnya, yaitu, ruang. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 68. Namun, karena pembacaan Heidegger terbatas pada konsep waktu Kant, maka demikian pula skripsi ini. Tentang hal ini, lihat Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 31-34

2

Dalam Critique Kant menyebut fenomena intuisi atas intuisi (self-intuition) sebagai sejenis penginderaan yang mengarah ke dalam yang karenanya disebut indera-dalam (inner-sense). Lawan dari indera-dalam adalah indera-luar (outer-sense), yaitu ketika intuisi mengintuisi objek-objek pengalaman; mengarah keluar. Bentuk dari luar adalah ruang; bentuk dari intuisi-dalam adalah waktu. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 67

3

Tentang karakter “a priori” waktu, lihat Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 76-79

dapat muncul bersamaan dengan dinamika suksesif intuisi subjek. Karena itu, waktu sepenuhnya berciri subjektif dan karena itu pula ia disebut murni.

Waktu, lanjut Kant, direpresentasikan secara “tak terbatas” (unlimited) seperti sebuah garis yang memanjang terus ke depan dan ke belakang, tanpa tepi (unlimited). Tentu saja kita dapat mengatakan “dulu”, “sekarang”, dan “nanti” yang menunjukkan bahwa waktu itu terbagi-bagi ke dalam bentuk waktu yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki batas (limit). Tetapi menurut Kant, “bagian-bagian (parts) waktu yang berbeda tidak lain hanyalah pembatasan (limitation) atas waktu sebagai efek dari proses intuisi subjek yang terjadi secara suksesif.4 Dengan kata lain, waktu yang berbeda sebenarnya merujuk pada waktu yang satu dan sama (one and the same time)”.5 Di sini kita melihat bagaimana waktu dalam konsepsi Kant dipahami sebagai keseluruhan tak terbatas yang direpresentasikan (represented whole) yang walaupun terbagi ke dalam batas-batas atau bagian-bagian (dulu, sekarang, nanti), ia tetap dihadirkan atau direpresentasikan sebagai keseluruhan.6

Dalam pembacaan Heidegger, waktu yang direpresentasikan sebagai “keseluruhan tak terbatas” yang memungkinkan setiap bagian-bagian waktu selalu terpahami sebagai keseluruhan menunjukkan bahwa waktu memiliki karakter sintetisnya sendiri yang terbedakan dari sintesis konseptual. “Representasi keseluruhan [waktu] tidak terberi melalui konsep, karena konsep hanya berisi

4

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 100

5

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 75

6

Sebagaimana waktu, Kant juga menggambarkan ruang sebagai garis memanjang (satu dimensi) yang bagian-bagiannya tidak lain adalah ruang yang satu dan sama; ruang, sebagaimana waktu, direpresentasikan sebagai “tak terbatas”. Perbedaannya, jika bagian-bagian ruang (samping, depan, atas) diintuisi secara serentak (simultaneous) maka bagian-bagian waktu diintuisi secara bergantian (successive). Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 75

representasi parsial”.7 Konsep hanya merepresentasikan ciri-ciri umum suatu objek (common properties) yang sebenarnya hanyalah sebagian saja dari ciri objek. Konsep buku, misalnya, hanya merepresentasikan ciri-ciri umum buku (mis, tumpukan kertas tulis berbentuk segi empat) yang tidak sepenuhnya menggambarkan buku yang direpresentasikan (mis, tumpukan kertas tulis berbentuk segi empat + berwarna kuning dan bergambar Ronaldinho). Berbeda dari representasi konseptual, representasi intuitif waktu merangkum seluruh bagian-bagian waktu secara penuh. Hal ini karena waktu bukanlah hasil abstraksi

atas waktu-waktu yang berbeda, melainkan “sesuatu” yang terintuisi secara

langsung dan a priori sebagai keseluruhan tak terbatas (unlimited whole); waktu-waktu yang berbeda adalah wujud terbatas dari waktu yang sama.

Pada titik pembacaan ini, Heidegger dalam “Kant and the Problem” sampai pada kesimpulan bahwa apa yang memungkinkan terjadinya sintesis waktu adalah waktu itu sendiri. Lalu bagaimanakah hubungannya dengan imajinasi transendental? Tentang hal ini, Heidegger mengatakan bahwa imajinasi transendental memiliki dasarnya pada waktu; waktu adalah asal mula imajinasi. Bagaimanakah itu dijelaskan? Dan apakah arti destruksi Heidegger ketika dia mengatakan bahwa waktu adalah dasar atau sumber bagi imajinasi transendental?

1. Representasi Waktu dalam Tiga Horizon Waktu: Imajinasi Transendental sebagai Asal Mula Waktu

Untuk menunjukkan bahwa waktu adalah asal mula imajinasi transendental, Heidegger pertama-tama menunjukkan sebaliknya, bahwa imajinasi transendental adalah asal mula waktu (origin of time). Dasarnya adalah pandangan

7

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 75

Kant sendiri dalam “Critique” ketika dia mengatakan bahwa dalam setiap momen suksesif waktu, selalu terjadi sintesis di dalamnya. Dengan suksesi waktu Kant memahaminya sebagai suksesi waktu “sekarang”, yaitu sekarang yang sedang berlangsung, sekarang yang telah berlalu, dan sekarang yang mungkin terjadi.8 Dengan kata lain, Kant menggambarkan waktu sebagai titik-titik waktu “sekarang” yang muncul bergantian (sequence of nows). Selanjutnya, menurut Kant, masing-masing waktu “sekarang” adalah horizon waktu bagi tiga jenis sintesis empiris: sintesis aprehensi, sintesis reproduksi dan sintesis rekognisi. Sebagai sintesis empiris, modus-modus sintesis ini adalah “penghadiran” dengan cara “menyatukan”. Apa yang disatukan adalah sesuatu yang berasal dari objek berupa data-data inderawi partikular yang senantiasa “berada dalam waktu” (within time)—berada dalam horizon waktu sekarang yang berbeda-beda. Sintesis aprehensi, misalnya, mensintesiskan data-data objek di waktu sekarang yang sedang berlangsung; sintesis reproduksi mensintesiskan partikularitas data-data inderawi yang hadir di waktu sekarang yang telah berlalu; sintesis rekognisi mensintesiskan partikularitas data-data inderawi yang hadir di waktu sekarang yang akan datang (belum terealisasi namun mungkin terealisasi).9

Sintesis aprehensi adalah sintesis penghadiran (presenting). Sintesis reproduksi adalah sintesis ingatan (recollecting). Sintesis rekognisi adalah sintesis harapan atau antisipasi (anticipating). Ketiga sintesis ini menurut Heidegger saling mengandaikan satu sama lain karena terbentuknya pengetahuan adalah terbentuknya sintesis tiga jenis representasi sintetis ini. Sintesis aprehensi tidak

8

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 124-131

9

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 125-128

mungkin terjadi tanpa adanya sintesis reproduksi; menghadirkan objek yang hadir di waktu sekarang selalu mengandaikan penghadiran objek tersebut sebagai objek yang pernah ada di waktu lalu (sekarang yang telah berlalu).10 Tanpa menghadirkan kembali (baca: mengingat) masa “lalu” objek, sintesis aprehensi akan selalu gagal karena objek “sekarang” tidak dapat dibandingkan dengan masa lalunya sehingga tidak dapat dikenali (identified) sebagai objek yang hadir “sekarang”.11 Namun demikian, sintesis ingatan (recollection) hanya mungkin jika dalam sintesis terjadi antisipasi (anticipating). Dengan kata lain, ketika subjek mensintesiskan data-data pengalaman, dalam peristiwa itu mesti terjadi antisipasi dalam hal manakah dari data-data yang disintesiskan tersebut memiliki

kemungkinan untuk hadir kembali. Data-data yang memiliki kemungkinan untuk hadir kembali itu selanjutnya dipertahankan atau diingat (recollected) dalam proses antisipasi yang dengan demikian memungkinkan data-data yang diingat itu dibandingkan dengan objek “sekarang”. Antisipasi memungkinkankan adanya ingatan, yang dengannya penghadiran juga menjadi mungkin. Karena itu, menurut Heidegger, masa depan sebagai antisipasi memiliki kedudukan primer karena ia merupakan kondisi ultim bagi pembentukan dua modus waktu lainnya (dulu dan

sekarang).12

Dalam pembacaan Heidegger, pengandaian tentang keniscayaan imajinasi transendental dalam tiga modus sintesis ini bertolak dari kenyataan bahwa sintesis empiris selalu terkondisikan dalam sintesis murni dan bahwa setiap sintesis selalu

10

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 125-128

11

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 128-132

12

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 131

meniscayakan adanya kerja imajinasi. Menurut Heidegger, bertolak dari argumentasi Kant, sintesis empiris terbentuk oleh imajinasi empiris, sementara sintesis murni terbentuk oleh imajinasi transendental. Karena itu, sebagaimana sintesis empiris selalu mengandaikan sintesis murni, demikian halnya imajnasi empiris selalu mengandaikan imajinasi transendental. Ketiga jenis sintesis empiris di atas sebagai produk imajinasi empiris dengan demikian mengandaikan tiga jenis sintesis murni yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Tetapi apakah yang direpresentasikan dalam tiga jenis sintesis murni tersebut? Pada level murninya, masing-masing sintesis tidak menghadirkan objek menurut ciri waktunya, melainkan waktu itu sendiri. Demikian misalnya, sintesis aprehensi pada level “murni”-nya tidak menghadirkan objek yang hadir di waktu “sekarang”, tetapi menghadirkan waktu “sekarang” itu sendiri. Sintesis “murni” reproduksi tidak menghadirkan objek yang pernah hadir di waktu “lalu”, tetapi waktu “lalu” itu sendiri dalam kaitannya dengan waktu “sekarang”. Demikian halnya, sintesis “murni” rekognisi bukan menghadirkan kemungkinan objek di masa “depan”, tetapi masa “depan” itu sendiri sebagai antisipasi kemungkinan-kemungkinan. Ketiga sintesis murni di atas, yang menghadirkan tiga horizon waktu, adalah produk imajinasi transendental dan dalam arti inilah menurut Heidegger imajinasi transendental dipahami sebagai “asal mula” waktu.13

2. Representasi Waktu sebagai Keseluruhan: Waktu sebagai Dasar bagi Imajinasi Transendental (Temporalitas)

Berdasarkan uraian di atas, imajinasi transendental menghadirkan waktu melalui pembentukan tiga jenis sintesis murni (aprehensi murni, reproduksi

13

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 123-125

murni, dan rekognisi murni) yang masing-masing menghadirkan tiga horizon waktu yang berbeda (“sekarang”, “masa lalu”, dan “masa depan”). Tetapi pengetahuan adalah tersintesiskannya tiga horizon waktu sehingga pertanyaan Heidegger adalah “apakah yang memungkinkan sintesis tiga horizon waktu tersebut?14 Heidegger dalam Kant and the Problem memperlihatkan bahwa tiga horizon waktu di atas sebenarnya merujuk pada horizon waktu yang satu dan sama (one and same). “Sekarang”, “masa lalu”, atau “masa depan” adalah tiga ekspresi dari waktu yang sama. Pandangan ini didasarkan pada tesis Kant sendiri bahwa waktu selalu direpresentasikan sebagai keseluruhan. Perbedaan waktu

tidak lain adalah pembatasan (limitation) atas keseluruhan waktu sebagai efek dari proses representasi yang berciri suksesif.15 Dengan demikian, menurut Heidegger, apa yang memungkinkan imajinasi transendental dapat membentuk tiga horizon waktu dan mensintesiskannya adalah waktu itu sendiri dan atas dasar inilah, menurut Heidegger, waktu dipahami sebagai asal mula imajinasi transendental.16

Pandangan Heidegger tentang hubungan waktu dan imajinasi transendental ini sepintas tampak tidak konsisten. Namun demikian, uraian Heidegger tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: jika waktu dilihat dalam perbedaannya (dulu, sekarang, nanti), maka imajinasi transendental adalah asal mula bagi waktu. Namun, jika waktu dilihat dalam keseluruhannya (sebagai representasi keseluruhan), maka waktu adalah asal mula imajinasi transendental.

14

William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), h. 142

15

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 139-140

16

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 137

Namun demikian, menurut saya, dengan mengatakan bahwa imajinasi transendental sebagai asal mula waktu, atau, waktu sebagai asal mula transendental, Heidegger sebenarnya tidak sedang mengubah pandangannya. Dia hanya ingin mengatakan bahwa imajinasi transendental itu mewaktu (temporal). Dengan pembacaan ini Heidegger sebenarnya hendak memperkenalkan konsep waktu “Being and Time” ke dalam Critique of Pure Reason, yaitu, waktu dalam arti mewaktu (time-ing). Heidegger memperkenalkan konsep waktu sebagai gerak dinamis yang menandai proses pemahaman Ada atau pengetahuan murni, yang dalam Kant, diasumsikan sebagai “produk” imajinasi transendental. Karena itu, mengatakan bahwa imajinasi transendental itu mewaktu (temporal) sama dengan mengatakan bahwa transendensi sebagai pemahaman Ada itu terbentuk dalam horizon waktu; memiliki karakter waktu. Pandangan ini tak diragukan lagi merupakan pandangan yang khas “Being and Time” di mana Heidegger memperlihatkan kaitan antara Ada (Being) dengan waktu (Time).17

B. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN KEDUDUKAN RASIO DALAM DESTRUKSI HEIDEGGER

Dokumen terkait