• Tidak ada hasil yang ditemukan

Imajinasi dan transendensi pembacaan destruktif heidegger atas doktrin skematisme kant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Imajinasi dan transendensi pembacaan destruktif heidegger atas doktrin skematisme kant"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

A

A

T

T

A

A

S

S

D

D

O

O

K

K

T

T

R

R

I

I

N

N

S

S

K

K

E

E

M

M

A

A

T

T

I

I

S

S

M

M

E

E

K

K

A

A

N

N

T

T

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam

Pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Diajukan oleh Adry Nugraha

NIM: 0033118781

J

JUURRUUSSAANN AAQQIIDDAAHH--FFILILSSAAFFAATT

F

FAKAKUULLTTAASS UUSSHHUULLUUDDDDIINN DDAANN FFILILSSAAFFAATT

U

UNINIVVEERRSSIITTASAS IISSLLAAMM NNEGEGEERRII SSYYAARRIIFF HHIIDDAAYYAATTUULLLLAAHH

J

JAKAKAARRTTAA

1

(2)
(3)

vi

A. LATAR BELAKANG MASALAH ... B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH ... C. TUJUAN PENELITIAN ... D. TINJAUAN PUSTAKA ... E. METODE PENELITIAN ... F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ...

BAB II GAGASAN TRANSENDENSI DALAM KANT DAN

HEIDEGGER DAN PEMBACAAN DESTRUKTIF ATAS

CRITIQUE” ... A. TRANSENDENTALISME KANT DALAM “CRITIQUE OF PURE REASON” ... 1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya Immanuel Kant ... 2. “Kritik Rasio Murni” sebagai Filsafat Transendental ... 3. Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis Skema (Skematisme) dan Peran Imajinasi ... B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI

PEMAHAMAN ADA ... 1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya ... 2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi ... 3. Destruksi Heidegger atas “Critique” Kant: Sebuah Tinjauan Umum ...

(4)

RASIO MURNI ... 39 A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN

KE ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI ... 1. Representasi Waktu dalam Tiga Horizon Waktu: Imajinasi

Transendental sebagai Asal Mula Waktu ... 2. Representasi Waktu sebagai Keseluruhan: Waktu sebagai Dasar bagi Imajinasi Transendental (Temporalitas) ... B. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN KEDUDUKAN RASIO

DALAM DESTRUKSI HEIDEGGER ... C. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN GAGASAN TENTANG

TRANSENDENSI TERBATAS ... D. IMPLIKASI KONSEP TRANSENDENSI HEIDEGGER

TERHADAP PEMIKIRAN ETIKA DAN KEAGAMAAN ... 1. Destruksi atas “Critique” sebagai Ontologisasi Pemikiran Kant: Konsekuensi Penting dalam Pemikiran Etika ... 2. Transendensi dan Kecenderungan Religius: Pemahaman Ada sebagai Efek Ketidakhadiran ...

BAB IV PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...

A. KESIMPULAN ... B. REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN LEBIH LANJUT ……....

DAFTAR PUSTAKA ...

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah mengizinkan penulis merampungkan skripsi ini.

Sebagaimana kerja-kerja ilmiah lain, skripsi ini berisikan pembahasan tentang sesuatu yang sebenarnya bukan hal asing. Tapi terkadang orang menjadi kehilangan perhatian terhadap sesuatu yang telah begitu akrab, sehingga ketika diungkapkan, ia menjadi tampak asing. Yang asing, namun sekaligus akrab, yang penulis maksud di sini adalah fenomena transendensi. Ia akrab karena setiap aktivitas pemahaman kita selalu ditandai oleh fenomena ini, namun menjadi asing ketika ia berusaha ditegaskan (asserted) secara reflektif atau teoritis.

Dalam Islam, sebuah ajaran di mana hati kita tinggal di dalamnya, kita dilatih untuk menjadi akrab dengan sesuatu yang transenden dan asing. Allah, malaikat, iblis, surga, neraka adalah transenden dan “asing”. Semua itu berusaha diakrabkan karena kita, demikian Islam mengajarkan kepada kita, selalu berada dalam determinasi atau pengaruh hal-hal asing itu (petunjuk Allah, pembagian kerja para malaikat, godaan iblis, atau harapan akan kebahagiaan sempurna di surga), terlepas manusia mengakuinya atau tidak. Untuk mengakrabkan yang asing itu, Islam pada saat yang sama melatih kita untuk menjadi asing terhadap sesuatu yang akrab—misalnya dengan bertanya bagaimana: Kita diajak berpikir tentang bagaimana kehidupan itu muncul dari kematian (misalnya, manusia yang bermartabat muncul dari setetes air yang hina) atau bagaimana segala sesuatu itu memiliki ukuran-ukuran yang proporsional dan akurat.

(6)

bermil-mil jauhnya dari kehidupan Islam. Mungkin saja konsep transendensi dua pemikir ini tidak memiliki kaitan sama sekali dengan konsep transendensi dalam Islam. Namun demikian, fenomena transendensi adalah fakta universal. Universal bukan karena isinya tetapi bentuknya. Setiap kebudayaan mungkin memiliki ajaran atau penafsiran yang berbeda tentang apa itu yang transenden, tetapi mungkinnya penafsiran-penafsiran ini berdasar pada semacam struktur yang sama. Struktur dari fenomena transendensi inilah yang berusaha penulis bahas dalam skripsi ini. Menurut penulis, ada keuntungan tersendiri membahas struktur transendensi dengan melacaknya pada para filsuf Eropa, terutama yang lahir di zaman modern, karena konsep transendensi yang dibangunnya adalah hasil pergulatan dengan berbagai perubahan orientasi dan pergeseran nilai masyarakat Eropa, suatu perubahan yang lambat laun juga mulai dirasakan oleh kita, orang-orang yang tinggal di Timur.

(7)

Penulis juga berterima kasih kepada saudara-saudara tercinta yang juga turut menunggu dan banyak membantu dalam kerja ini: H. Muhammad Iqbal, Lc., Dzulfikar S.Pd., Silma Juwita A.Ma., Budi Haryanto S.Pd., Kemal Abdul Malik S.Ag., Nandang Nur Muhammad S.Ag, Eman, Abduh, Yanto, Mawan, Pendi, Angga, Atep, Bambang, dan Fatoni. Terakhir, namun tetap istimewa, penulis berterima kasih kepada teman-teman penulis: Akib, Saidiman, Cimong, Jejen, Seif, Dubun, Agus, Lilis, Evi, Hajid, Acun, Faat, Shaleh dan Shaleh, Nugi, Zaim, Iqbal Hasanudin, Bana dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan. Mereka adalah teman-teman yang menyenangkan. Semoga skripsi ini secara khusus bermanfaat untuk mereka, untuk dikomentari secara kritis atau mungkin dibantah sama sekali.

Ciputat, Desember 2008

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di sepanjang sejarahnya, manusia tidak pernah berhenti berikhtiar menafsirkan fenomena-fenomena transendensi yang mereka saksikan. Fenomena transendensi yang saya maksudkan di sini merujuk pada dua hal: ia bisa merujuk pada “sesuatu yang tersembunyi di seberang” penampakan yang terlihat, bisa juga merujuk pada semacam “kemampuan untuk melampaui apa yang tampak sebagai fenomena”—untuk yang terakhir ini saya menyebutnya kapasitas transendental. Dalam kebudayaan-kebudayaan primitif, fenomena transendensi mula-mula disadari dalam peristiwa gerak atau adanya kehidupan. Dalam kepercayaan animisme misalnya, terdapat penafsiran bahwa di balik sesuatu yang hidup atau yang bergerak, ada sesuatu yang tersembunyi yang memungkinkan gerak tersebut. Sesuatu yang tersembunyi itu ditafsirkan sebagai roh atau entitas-entitas spiritual yang karena ia hidup dan memiliki kehendak, maka manusia dianggap perlu untuk memberinya persembahan-persembahan.

(9)

saja apa yang kita lihat, dengar dan rasakan ini adalah ilusi atau pantulan dari kenyataan yang sesungguhnya; bisa jadi apa yang kita lihat dan rasakan ini adalah tipuan sempurna dari sesosok roh jahat.1 Semua hal yang tertangkap oleh indera, menurut Descartes selalu dapat diragukan dengan cara seperti ini; sebuah fakta yang menunjukkan bahwa pengalaman inderawi kita adalah sesuatu yang tidak kokoh, tidak sempurna dan senantiasa membutuhkan semacam fondasi yang ajeg. Hanya ada satu hal yang tidak bisa diragukan menurutnya, yaitu fakta “aku yang meragukan”. Kita dapat meragukan semua hal yang kita alami, tetapi “aku yang meragukan” itu sendiri bukanlah sesuatu yang dapat diragukan. Pada titik ini, Descartes sampai pada gagasan tentang “aku yang meragukan” sebagai “aku berpikir” (cogito). Menurutnya, substansi “aku berpikir” inilah yang merupakan fondasi bagi pengalaman. Sebagai fondasi yang self-evident, substansi “aku berpikir” (res cogitans) bukanlah sesuatu yang berkeluasan sebagaimana dunia yang kita alami (res extensa); ia melampaui (transcende) atau berada di seberang (meta) kenyataan inderawi (physica).2 Kita dapat menyebut cogito Descartes sebagai “yang transenden”.

Bersamaan dengan lahir dan berkembangnya sains-sains positif, pandangan Descartes di atas selanjutnya memancing perdebatan baru di wilayah epistemologi dan metafisika. Kita dapat menyebut filsuf-filsuf seperti Leibniz, Kant, Hegel, Hume, atau Husserl yang masing-masing melahirkan mazhab-mazhab baru pemikiran. Namun demikian, perspektif cogito Descartes rupanya

1

Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 26

2

(10)

masih terus dipertahankan sehingga pemikiran mereka tampak seperti sebuah penafsiran ulang konsep cogito tersebut.3

Upaya-upaya manusia untuk menafsirkan “yang transenden” barangkali tidak dengan sendirinya menegaskan adanya “yang transenden” sebagai substansi rahasia yang menjadi fondasi kenyataan--entah itu subek cogito, roh absolut, tabula rasa, atau pun ego transendental--, tetapi jelas bahwa munculnya penafsiran semacam ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kapasitas transendental. Dengan kata lain, adanya penafsiran ini menunjukkan bahwa manusia mampu

melampaui (transcend) apa yang hadir sebagai fakta. Menurut saya, kapasitas semacam ini penting dan menarik untuk diselidiki. Pasalnya, kapasitas transendental ini tidak hanya terimplikasi dalam peristiwa penafsiran tentang adanya “yang transenden” tetapi juga ditunjukkan dalam peristiwa pemahaman sehari-hari manusia.

Pemahaman manusia adalah sejenis kapasitas transendental. Ketika seorang penulis menulis sebuah karya dengan penanya, dia memahami apa itu pena, buku, meja tempat dia menulis, dan pemahaman atas dirinya sebagai seorang penulis. Aspek transendentalnya terletak pada kenyataan bahwa pena, buku, atau pun meja yang hadir dalam indera-indera sensorisnya sebagai kumpulan sensasi berupa warna, bentuk, kepadatan, bau, atau pun keluasan itu tidak hadir dalam kesadarannya sebagai sensasi-sensasi inderawi yang berserakan (chaotic), melainkan “melampaui”-nya (transcend), yaitu sebagai “sesuatu” yang utuh, tertentu, dan dapat digunakan.

3

(11)

Jika kita mengartikan transendensi sebagai “kemampuan untuk melampaui”, kita juga akan menemukan bahwa transendensi memiliki dimensi

keterarahan. Merujuk kembali pada contoh di atas, mungkinnya sang penulis memahami pena yang digunakannya sebagai sesuatu yang utuh, tertentu dan dapat digunakan, adalah karena pemahaman dia bukan hanya terarah pada sensasi-sensasi inderawi yang hadir dalam pikirannya, tetapi juga terarah pada “yang bukan sensasi-sensasi inderawi” atau, lebih tepatnya, pada yang “bukan-entitas” (non-entity). Dengan kata lain, kapasitas yang mengarahkan pikirannya pada non-entitas memungkinkan dia memahami sensasi-sensasi inderawi yang hadir kepadanya sebagai “entitas” yang tertentu. Di sini, kita karenanya dapat mendefinisikan fenomena transendensi lebih spesifik, yaitu sebagai keterarahan pada yang bukan-entitas (non-entity), yang karena bukan-entitas, ia tidak dapat didefinisikan.

Tetapi, jika pengetahuan dimungkinkan oleh adanya keterarahan pada non-entitas yang tak terdefinisikan, maka apakah yang dapat kita bicarakan tentang non-entitas tersebut? Penyelidikan filosofis seperti apakah yang dapat dibangun untuk menunjukkan bahwa keterarahan pada non-entitas ini bersifat konstitutif terhadap pengetahuan akan entitas? Dalam pergulatan filsafat modern yang secara umum dipengaruhi oleh paradigma Cartesian, pertanyaan semacam ini hampir tidak ada sama sekali. Benar bahwa ketika Descartes meragukan representasi inderawi sebagai representasi yang mensyaratkan adanya fondasi self-evident, dia telah menangkap dimensi transendensi dalam pemahaman. Tetapi, segera setelah Descartes menegaskan fondasi itu adalah “aku berpikir” sebagai res cogitans (res

(12)

hakikat transendensi sebagai keterarahan pada non-entitas menjadi luput dalam penyelidikannya.

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Dalam skripsi ini, saya hendak mengulas pemikiran Heidegger tentang transendensi. Saya memilih Heidegger karena dalam filsafatnya, gagasan transendensi dikemukakan secara eksplisit. Dia mengatakan bahwa transendensi itu tidak lain adalah pemahaman Ada. Dimensi keterarahan transendensi pada non-entitas juga menjadi jelas dalam pemikirannya karena pemahaman Ada itu bagi Heidegger adalah pemahaman terhadap non-entitas. Ada (Being) adalah non-entitas (non-beings). Pemikiran Heidegger tentang Ada ini dapat ditemukan dalam karya utamanya, “Being and Time”, di mana dia mengungkapkan fenomena pemahaman Ada, karakter dan strukturnya.

Namun demikian, dalam skripsi ini saya tidak mengulas pemikiran transendental Heidegger secara langsung, dengan semata-mata merujuk pada “Being and Time”, melainkan melalui pembacaan destruktifnya terhadap “Critique of Pure Reason” Kant. Destruksi adalah pembacaan yang berusaha

mengeksplisitkan gagasan pemahaman Ada dalam suatu teks filosofis. Rencana pembacaan destruktif ini sebenarnya merupakan bagian integral dalam “Being and Time”, di mana Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga tokoh utama dalam filsafat: Aristoteles, Descartes, dan Kant.

(13)

filsafat transendental, tetapi “filsafat transendental” yang dimaksud Kant di sini adalah penyelidikan filosofis tentang cara bagaimana subjek memiliki pengetahuan tentang objek. Terminologi “pemahaman Ada” Heidegger adalah sesuatu yang asing bagi Kant. Namun demikian, menurut Heidegger, gagasan pemahaman Ada sebenarnya selalu terimplikasi dalam setiap teks filosofis, dan tugas pembacaan destruktif adalah mengeksplisitkannya. Karena itu, tidak heran jika dalam “Kant and the Problem of Metaphysics”, Heidegger menafsirkan filsafat transendental Kant sebagai filsafat tentang pemahaman Ada. Cara pembacaan Heidegger ini memang membuat kita sulit membedakan mana pemikiran Kant dan mana pemikiran Heidegger. Tetapi ini memberi keuntungan tersendiri, karena Heidegger dengan demikian tidak hanya mempraktikkan suatu jenis pembacaan tetapi juga mengemukakan gagasan transendensinya secara lebih jelas dalam terminologi-terminologi tradisional yang lebih umum.

(14)

melihat kaitannya dengan rasio murni dan intuisi murni (waktu). Keempat, bersamaan dengan itu, Heidegger juga pada akhirnya mengkaji ulang konsep rasio murni dan intuisi murni (waktu) Kant dan dari sana menarik beberapa konsekuensi cukup penting dalam pemikirannya tentang transendensi sebagai pemahaman Ada.

Tesis-tesis di atas adalah tesis-tesis hasil destruksi, yang terbentuk dari minat Heidegger terhadap tema transendensi, esensi, struktur, serta perannya dalam pembentukan pengetahuan manusia tentang objek atau dunia. Jika kita hendak menyederhanakan alur pembacaan destruktif Heidegger tersebut, kita dapat mengatakan bahwa pembacaannya itu bertolak dari doktrin skematisme dan berakhir pada konsepsi imajinasi transendental. Tentu saja, dalam destruksinya terdapat juga tema-tema lain yang menjadi target pembacaannya, tetapi itu dilakukan sejauh dalam kaitannya dengan imajinasi transendental; sebagai konsekuensi dari hasil pembacaannya atas konsep imajinasi. Karena itu, fokus ulasan tentang destruksi Heidegger atas Kant dalam skripsi ini diarahkan pada tema skematisme dan imajinasi transendental.

C. TUJUAN PENELITIAN

Dengan menjelaskan konsep transendensi dalam Kant dan Heidegger serta pembacaan destruktif atas pemikiran Kant, skripsi ini bertujuan:

1. Memahami fenomena dan struktur pemahaman transendental (kapasitas transendental) dengan merujuk pada pemikiran Kant dan Heidegger.

(15)

3. Mengulas tesis-tesis destruksi Heidegger atas doktrin skematisme Kant dan membandingkannya dengan tesis-tesis Heidegger dalam “Being and Time”. 4. Mempertimbangkan konsekuensi pembacaan destruktif tersebut dan

kemungkinan penafsiran baru dari titik tolak pemikirannya.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Barangkali telah banyak literatur-literatur berbahasa Indonesia yang mengulas secara khusus pemikiran Heidegger. Sepanjang pengetahuan penulis, literatur-literatur tersebut umumnya mengulas pemikiran Heidegger dalam Being and Time, yaitu, pemikiran tentang Dasein yang dimaksudkan Heidegger sebagai analisis eksistensial dalam rangka ontologi fundamental. Salah satu literatur yang mengulas pemikiran Heidegger di level ini adalah buku yang ditulis oleh Dr. Franky Budy Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu PengantarMenuju “Sein und Zeit” (Jakarta: Gramedia, 2003). Ada juga tulisan lain berupa esai yang mengulas pemikiran Heidegger yang dibandingkan dengan pemikiran Nietzsche, yaitu esai Fitzgerald K. Sitorus yang bertajuk Mengatasi “Surga”, Mengiyakan “Dunia”: Tentang Pembacaan Heidegger atas Nietzsche

(Jurnal Filsafat Driyarkara: TH. XXVI NO 1). Ulasan yang sama juga ditemukan dalam bab terakhir buku Nietzsche yang ditulis oleh St. Sunardi (Yogjakarta: LKiS, 2001).

(16)

E. METODE PENELITIAN

Penulisan skripsi ini menggunakan metode analitis-kritis dan sepenuhnya didasarkan pada khazanah kepustakaan. Referensi-referensi yang diacu dalam skripsi ini dibagi ke dalam dua bagian: referensi primer dan referensi sekunder. Referensi primer adalah referensi yang ditulis langsung oleh pemikir yang tengah dikaji, baik dalam bentuk buku, esai, artikel, wawancara, surat, ataupun catatan-catatan yang tidak terpublikasi. Sementara referensi sekunder adalah referensi yang ditulis oleh para komentator yang berisikan komentar atas pemikiran tokoh dalam salah satu segi atau berbagai segi gagasannya.

Penelitian ini tidak berusaha membandingkan secara rigid pemikiran Immanuel Kant dengan Heidegger melainkan semata-mata mengulas pemikiran Heidegger. Karena itu, analisis akan terutama diarahkan pada pemikiran Heidegger dan pembacaannya terhadap Kant, bukan pemikiran Kant itu sendiri.

Dalam penulisan skripsi ini, saya mengacu pada teknik penulisan skripsi yang dirumuskan oleh tim CEQDA, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta: CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Berdasarkan uraian tentang latar belakang, perumusan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, sistematika pembahasan akan disusun sebagai berikut:

(17)

Bab II berisikan ulasan tentang konsep transendensi Kant dan Heidegger yang dilanjutkan dengan tinjauan umum tentang destruksi Heidegger atas filsafat Kant.

Bab III menguraikan isi dari destruksi Heidegger atas doktrin skematisme Kant. Saya menguraikannya dengan cara melihat hubungan antara imajinasi transendental, rasio murni dan intuisi murni, di mana imajinasi transendental ditekankan sebagai faktor esensial dalam pembentukan transendensi (atau sintesis murni). Dalam bab ini saya juga memasukkan beberapa konsekuensi dari destruksi Heidegger atas Kant, di samping tesis destruktif Heidegger lainnya yang menurut saya cukup penting untuk dibahas, yaitu, ide keterbatasan.

(18)

BAB II

GAGASAN TRANSENDENSI

DALAM KANT DAN HEIDEGGER

DAN PEMBACAAN DESTRUKTIF ATAS “CRITIQUE

Titik singgung pemikiran Immanuel Kant dan Martin Heidegger dapat ditemukan dalam gagasan transendensi. Sebagaimana telah disinggung, kata transendensi merujuk pada kemampuan manusia “melampaui” (transcend) kenyataan faktual atau apa yang kita sebut sebagai “kesan-kesan” inderawi (impressions).1 Baik Kant atau pun Heidegger berusaha mengungkapkan gejala transendensi dengan pendekatannya masing-masing. Kant mengemukakan gagasan transendensinya dalam perspektif hubungan representatif subjek-objek; objek dikenali oleh subjek ketika objek dalam wujudnya berupa kesan-kesan (impressions) dihadirkan pada subjek untuk dideterminasi. Aspek determinasi dalam proses representasi ini menurut Kant berciri transendental, karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip normatif atau keniscayaan (necessity) yang tidak memiliki sumbernya pada pengalaman akan kesan-kesan, melainkan “melampaui”-nya (transcend). Heidegger sementara itu membangun gagasan transendensinya dalam perspektif pemahaman-Ada. Dia melakukan analisisnya dalam dua cara: analisis eksistensial dan destruksi sejarah ontologi. Yang pertama berusaha memeriksa fenomena ketersingkapan Ada (pemahaman Ada). Yang

Dalam skripsi ini saya, “Critique of Pure Reason” ditulis singkat menjadi “Critique” sementara “Kant and the Problem of Metaphysics” ditulis singkat menjadi “Kant and the Problem”.

1

(19)

kedua (destruksi) adalah sejenis pembacaan yang menelisik impuls-impuls implisit dalam sebuah teks filosofis. Dengan pembacaan ini, Heidegger memperlihatkan ketakterhindaran gagasan pemahaman Ada dalam teks yang didestruksi dan, karenanya, analisis eksistensial menjadi sesuatu yang tak terhindarkan juga.

Baik Kant atau pun Heidegger tumbuh dalam suasana pemikiran di mana paradigma-paradigma sains mulai diyakini dan metafisika, sebagai disiplin yang dulu pernah begitu akrab dengan doktrin-doktrin gereja, mulai dipertanyakan keabsahannya sebagai sebuah disiplin. Suasana pemikiran ini menjadi alasan mengapa Heidegger dan Kant meminati tema transendensi dalam filsafatnya. Heidegger, juga Kant, sepakat akan ketidakmungkinan metafisika ditegakkan sebagai disiplin ilmiah. Namun demikian, menurut mereka, setiap pertanyaan metafisis (kosmologis, psikologis, teologis) merupakan kecenderungan alamiah (natural propensity) yang merujuk pada struktur transendensi; struktur yang bukan hanya menjadi dasar bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan metafisis, melainkan juga merupakan faktor konstitutif bagi mungkinnya penyelidikan-penyelidikan ilmiah dan ilmu-ilmu murni seperti matematika. Sains, metafisika dan seluruh bentuk pengetahuan atau pemahaman manusia, menurut Kant dan Heidegger, mengandaikan semacam kapasitas transendental.

(20)

A. TRANSENDENTALISME KANT DALAM “CRITIQUE OF PURE

REASON

1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya Immanuel Kant

Immanuel Kant (1724-1804) lahir di Konigsberg Prusia Timur, sebagai anak keempat yang tumbuh dalam keluarga buruh sederhana. Keluarganya amat kental dengan ajaran Kristen Pietis Luterean. Pendidikan akademisnya dimulai ketika dia berusia delapan tahun. Dengan rekomendasi Franz Albert Schultz, seorang pendeta dan teolog yang amat dihormati ibunya, dia masuk ke Collegium Fredericianum pada tahun 1732. Di sekolah ini dia mengikuti studi-studi klasik dan bahasa Latin.2

Karir pemikiran Kant bisa dikatakan lambat. Baru pada tahun 1770, Kant ditunjuk sebagai ketua bidang studi logika dan metafisika di universitas Konigsberg. Dalam pidato inagurasinya, dia menyatakan minatnya untuk merekonstruksi filsafat. Minat tersebut baru dibuktikan sepuluh tahun kemudian, tepatnya ketika Kant menginjak usia 50-an, dengan terbitnya Critique of Pure Reason.3 Buku tersebut seringkali dianggap sebagai karya puncak Immanuel Kant. Menyusul terbitnya Critique, Kant menulis karya-karya berikutnya dalam rentang waktu yang relatif singkat, di antaranya: Prolegomena to Any Future Metaphysics (1782), Foundation for the Metaphysics of Morals (1785),

Metaphysical Foundation of Natural Science (1786), Critique of Practical Reason

2

Ernst Cassirer, Kant’s Lifeand Thought, pen. James Haden (Yale University Press, 1981), h. 13-14

3

(21)

(1788), Critique of Judgment (1790), Religion Within the Limits of Reason Alone

(1793), Toward Eternal Peace (1795), dan Metaphysics of Morals (1797).4

Sejak awal karir pemikirannya atau dalam karya-karya yang ditulisnya, amat jelas bahwa Kant memiliki perhatian yang sangat besar terhadap metafisika. Minat ini kenyataannya mencirikan suasana pemikiran Jerman abad delapan belas, di mana metafisika mulai dipertanyakan dan berusaha diperbarui, fondasinya dan nilai pengetahuannya.5 Terbitnya Critique of Pure Reason karenanya penting dilihat sebagai ikhtiar Kant mengklarifikasi problem-problem metafisika yang muncul pada zamannya, di samping problem-problem pengetahuan secara umum.

2. “Kritik Rasio Murni” sebagai Filsafat Transendental

Umum diakui bahwa “Critique of Pure Reason” adalah karya monumental Kant yang menjelaskan posisi pemikirannya yang orisinal. Sebagaimana tergambarkan dalam judulnya, “Critique of Pure Reason” bermaksud menelisik perihal rasio. Ulasan tersebut oleh Kant disebut “kritik” karena Kant bermaksud menentukan batas-batas kemampuan rasio.6 Kant membedakan antara kritik rasio dengan penggunaan dogmatis (dogmatic employment) rasio.7 Dengan penggunaan dogmatis rasio Kant merujuk pada penyelidikan-penyelidikan metafisika pada zamannya, di mana rasio dipaksa untuk menerka-nerka (random groping) wilyah-wilayah di luar pengalaman (supersensible realm). Dalam arti ini, kritik rasio bukan sejenis metafisika dalam “pengertiannya yang tradisional” karena rasio

4

Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 477

5

Paul Guyer (ed.), The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press), h. 199628-29

6

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 59

7

(22)

dalam “Kritik Rasio Murni” tidak digunakan untuk berspekulasi tentang wilayah-wilayah di seberang fenomena atau penampakan melainkan untuk melihat dirinya sebagai fakultas pengetahuan yang berisikan prinsip-prinsip atau konsep-konsep a priori. Dalam kritik rasio murni, rasio digunakan untuk melihat rasio itu sendiri dengan cara menganalisis cara kerjanya, pembentukan konsep-konsepnya dan hubungannya dengan pengalaman.

“Kritik Rasio Murni” oleh Kant disebut juga filsafat transendental di mana “transendental” berarti “tidak membicarakan objek” melainkan “cara”.8 Dalam “Kritik Rasio Murni”, Kant tidak membicarakan “objek-objek” pengetahuan (mis, organ-organ tubuh, struktur materi, gerak benda, sifat-sifat cahaya, dan sebagainya) melainkan “cara” bagaimana objek-objek tersebut “diketahui” oleh subjek. Menurut Kant, cara subjek mengetahui objek adalah dengan merepresentasikannya. Representasi terjadi melalui intuisi dan rasio dan pengetahuan adalah representasi “sintetis” keduanya. Representasi intuisi adalah representasi data-data pengalaman kepada subjek secara langsung (immediate

representation)—subjek berhubungan langsung dengan objek-objek

pengalaman—sementara representasi rasio adalah representasi determinatif atas data-data yang dihadirkan intuisi untuk membentuk konsep-konsep—karenanya disebut representasi tak langsung (mediate representation). Sintesis, sementara itu, berarti momen diterapkannya konsep-konsep rasio pada objek-objek yang diintuisi. Sebagai filsafat transendental, apa yang menjadi perhatian Kant dalam

Critique”-nya adalah problem sintesis murni atau sintesis a priori∗, yaitu, sintesis

8

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 59

(23)

antara intuisi murni dan pikiran murni, karena menurut Kant dalam momen sintesis ini kita dapat mengetahui secara esensial “cara” subjek membentuk seluruh pengetahuannya (matematika, sains, bahkan metafisika), suatu tahap di mana subjek memperlihatkan kapasitas transendentalnya (transendensi).9

Filsafat transendental Kant sebagai penyelidikan terhadap “cara” subjek mengetahui objek (modus pengetahuan subjek), dengan demikian, menemukan arah penyelidikannya pada kemungkinan sintesis a priori. Pemikiran Kant tentang sintesis a priori ini merupakan gagasan yang bisa dikatakan cukup baru pada masanya karena dalam pemahaman tradisional, sintesis selalu berarti a posteriori (setelah pengalaman atau hasil dari pengalaman); bahwa semua konsep yang diterapkan pada pengalaman (sintesis) adalah berasal dari pengalaman. Apa yang memungkinkan saya memahami konsep batu, misalnya, dan menerapkan konsep tersebut dalam pengalaman adalah karena saya sebelumnya telah terlatih atau terbiasa mengalami (melihat dan merasakan) berbagai jenis batu. Semua konsep itu berasal dari pengalaman, dan karenanya, tidak ada sintesis yang mendahului pengalaman. Dalam pandangan ini, rasio ditempatkan sebagai penerima data-data pengalaman (impressions) dan hanya berperan merefleksikan data-data tersebut menjadi ide-ide atau konsep-konsep—termasuk konsep kausalitas juga lebih merupakan refleksi rasio atas pengalaman; bukan sesuatu yang “secara niscaya” terjadi dalam pengalaman.10 Salah satu konsekuensi fatal dari pandangan ini adalah bahwa semua gagasan keniscayaan, baik menyangkut “substansi” suatu yang sama. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 43

9

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 93

10

(24)

objek atau pun “relasi kausal” antar objek, karena tidak memiliki dasarnya dalam pengalaman, maka ide keniscayaan itu tidak lain semata-semata kebiasaan (custom). Pengalaman hanya memperlihatkan kepada kita fakta-fakta yang bergantian berupa kesan-kesan (impressions), tidak lebih dari itu.11

Dalam “Critique”, Kant menolak pandangan di atas dan menunjukkan bahwa tidak semua konsep itu berasal dari pengalaman. Kant melakukan analisis “deduktif” dalam “Critique”-nya untuk memperlihatkan bagaimana ketika subjek merepresentasikan secara langsung objek-objek pengalaman melalui intuisi, momen representasi tersebut selalu diikuti oleh determinasi rasio yang cara kerjanya tidak ditentukan oleh pengalaman melainkan berdasarkan “aturan-aturan” yang dia sebut konsep-konsep murni. Kant menyebutkan dua belas konsep murni dalam “Critique”-nya yang terhimpun dalam empat kategori: kesatuan, pluralitas, keseluruhan (kategori kuantitas), realitas, negasi, limitasi (kategori kualitas), substansi, kausalitas, komunitas (kategori relasi), kemungkinan, eksistensi, keniscayaan (kategori modalitas).12 Konsep-konsep ini menurut Kant tidak didapat dari pengalaman (pure) karena tidak satu pun dari konsep-konsep ini menyatakan ciri fisik suatu objek. Sebaliknya, konsep-konsep ini mendahului (prior) pengalaman dan menjadi syarat (conditions of possibility) bagi terbentuknya pengetahuan. Kant sepakat bahwa pengalaman itu hanya mengajarkan kepada kita fakta-fakta (matters of fact). Namun, karena itu pula Kant berpendirian bahwa mesti ada aturan-aturan normatif yang menstruktur pikiran (atau rasio) subjek yang dengannya aktivitas determinasi (determinasi

11

David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 367

12

(25)

rasio atas pengalaman) memiliki “bentuk” (form). Keniscayaan mungkin tidak dapat ditemukan dalam fakta-fakta pengalaman tetapi ia dapat ditemukan dalam struktur rasio subjek yang menyertainya.13 Struktur rasio yang berisikan konsep-konsep murni itulah menurut Kant yang memungkinkan terbentuknya sintesis a priori.

Namun demikian, gagasan sintesis adalah gagasan keterikatan konsep pada pengalaman. Suatu konsep dapat dikatakan sah jika konsep tersebut dapat diterapkan pada pengalaman. Karena itu, bagi Kant, walaupun konsep-konsep a priori itu adalah konsep-konsep yang mendahului pengalaman, konsep-konsep tersebut hanya memiliki “arti” sejauh mereka dapat diterapkan pada pengalaman (pada objek-objek pengalaman). Dengan kata lain, konsep-konsep murni tersebut tidak memiliki validitasnya ketika mereka dipisahkan dari pengalaman. Pada titik ini, Kant menegaskan batas-batas rasio, dan itulah yang dia maksud dengan “kritik” rasio murni. Rasio murni—fakultas yang mensuplai konsep-konsep murni—dieksplorasi secara menyeluruh untuk dipertimbangkan (kritik) kemampuan dan batas-batasnya dalam membentuk pengetahuan.14 Sebagai kritik rasio murni, filsafat transendental Kant memperlihatkan antinomi-antinomi rasio untuk melihat mungkin tidaknya rasio memiliki pengetahuan tentang hal-hal di luar pengalaman (meta-fisika). Kant menemukan dalam analisis antinominya, bahwa ketika rasio dibiarkan berspekulasi tentang hal-hal di luar pengalaman, tesis-tesis rasio menyangkut hal-hal tersebut akan selalu menemukan

13

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 44

14

(26)

tesisnya, yang keduanya (tesis dan antitesis) sah secara rasional.15 Dari sudut pandang inilah, Kant berkesimpulan bahwa metafisika sebagai salah satu produk kerja rasio tidak dapat dikatakan “ilmiah” karena konsep-konsep yang dikemukakannya tidak dapat diterapkan dalam pengalaman.

Tentang sikapnya terhadap metafisika, Kant sejak awal dalam pengantarnya sudah menunjukkan sikap ketidakpuasan. Baginya metafisika adalah spekulasi sembarang atas kenyataan-kenyataan di luar pengalaman yang tidak bisa dibuktikan dan selalu berakhir pada antinomi, sebagaimana yang dia uraikan di beberapa sub-bab terakhir “Critique”-nya (The Antinomy of Pure Reason). Sikap kritis ini terutama terbangun di bawah pengaruh Hume, seorang eksponen mazhab empirisme radikal yang mempertanyakan kapasitas rasio dalam membentuk pengetahuan secara a priori, dan bahwa pengalaman merupakan sumber ultim bagi pengetahuan.16 Namun demikian, walaupun Kant berpandangan kritis terhadap metafisika dan sepakat dengan empirisme dalam beberapa tesis tentang rasio dan pengalaman, dia menunjukkan bahwa metafisika merupakan gejala transendensi yang sudah selalu ada pada manusia. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan: “Apakah yang dapat kita ketahui?”, “apakah yang harus kita lakukan?”, dan “apakah yang dapat kita harapkan?”. Bagi Kant, pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengimplikasikan bahwa manusia selalu terarah pada hal-hal yang

15

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 385

16

(27)

melampaui pengalaman, melampaui fakta-fakta, dan itu adalah sejenis kemampuan transendental bagi Kant.17

Persoalannya bagi Kant adalah: “apakah hakikat dari transendensi tersebut?”. Dalam “Critique” kita menemukan jawabannya dalam analisis pembentukan sintesis murni di mana rasio memiliki peran krusial. Transendensi bagi Kant adalah momen terbentuknya sintesis murni (sintesis a priori), dan rasio murni adalah faktor esensial dalam proses tersebut yang berfungsi menyuplai konsep-konsep murni sebagai aturan determinasi pikiran.

3. Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis Skema

(Skematisme) dan Peran Imajinasi

Dalam “Critique” kita menemukan bahwa konsep transendensi Kant didefinisikan sebagai pengetahuan murni (disebut juga pengetahuan a priori). Pengetahuan, sementara itu, didefinisikan sebagai representasi sintetis intuisi dan pikiran. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang “menghadirkan” (representing) data-data pengalaman yang berciri partikular secara langsung.18 Pikiran (rasio) sementara itu adalah fakultas (kemampuan mental) yang menetapkan keumuman-keumuman (generalities) dari data-data yang dihadirkan oleh intuisi—keumuman-keumuman itu Kant menyebutnya “konsep”.19 Pengetahuan sebagai sintesis berarti terbentuknya relasi konseptual antara pikiran dan intuisi. Prinsip ini berlaku juga dalam pengetahuan a priori sebagai pengetahuan yang tidak didapat dari pengalaman (tidak terkondisikan oleh pengalaman akan objek-objek). Dengan

17

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 56, 635

18

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 65-66

19

(28)

kata lain, pengetahuan a priori juga dinyatakan sebagai representasi sintetis antara rasio dan intuisi. Hanya saja, representasi sintetis yang terjadi adalah sintesis “intuisi murni” dan “pikiran murni” (rasio murni), sehingga sintesis dalam pengetahuan a priori disebut “sintesis murni” atau “sintesis a priori”. Pertanyaan dapat dikemukakan: jika dengan “murni” berarti “tidak diperoleh dari pengalaman” lantas pengetahuan apakah yang dihasilkan dari sintesis intuisi murni dan rasio murni?; apakah yang diketahui dalam momen transendensi sebagai pengetahuan murni?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep kunci dalam pemikiran Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis. Momen pengetahuan sebagai sintesis mengandung pengertian bahwa terbentuknya pengetahuan itu bukanlah ketika konsep itu terbentuk melainkan ketika konsep itu dapat diterapkan pada objek. Demikian halnya dalam pengetahuan murni atau transendensi sebagai hasil dari sintesis murni; ia terbentuk ketika konsep-konsep murninya dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman. Pertanyaan Kant adalah “bagaimana sintesis semacam itu mungkin?”. Upaya Kant untuk menjelaskan mungkinnya “sintesis murni” (baca: mungkinnya konsep-konsep murni diterapkan pada objek-objek pengalaman) dapat ditemukan dalam salah satu bagian penting “Critique”-nya, The Schematism of The Pure Concept of Understanding, di mana Kant menjelaskan bahwa konsep-konsep yang diterapkan pada objek selalu mengandaikan pembentukan “skema”.20

Skema adalah representasi prosedur universal yang dengannya suatu konsep dapat memberikan gambaran universal tentang objek secara tidak terbatas

20

(29)

pada objek-objek tertentu.21 Sementara konsep hanya menyatakan “ciri-ciri umum” (ens commun) suatu objek, skema menyatakan ciri umum tersebut sebagai

aturan pemahaman (rule) bagi semua objek, yang aktual dan yang mungkin,

dalam bentuk “gambaran” atau “citra” (image) skematik.∗ Peristiwa terbentuknya

skema dapat dengan mudah ditemukan dalam ilustrasi peristiwa pemahaman sehari-hari. Ketika saya melihat meja dan memahaminya, misalnya, hal itu menunjukkan terjadinya sintesis antara konsep meja dengan sensasi-sensasi meja (warna, bentuk, kepadatan, bau dan sebagainya) yang diintuisi. Namun demikian, meja yang saya pahami sekarang ini melampaui “sekadar” penggabungan konsep dan intuisi. Saya bukan hanya dapat menggambarkan “detail-detail” dari meja tersebut atau menangkap “ciri umum” dari detail-detail tersebut tetapi juga menangkap “aturan umum” tentang bagaimana meja itu seharusnya, “aturan” yang tidak hanya berlaku bagi meja yang sedang saya lihat tetapi bagi semua meja yang “mungkin” saya lihat.22

Representasi skema merupakan gagasan niscaya dalam menjelaskan proses sintesis sebagai peristiwa penerapan konsep pada objek-objek pengalaman. Tanpa skema, tidak akan ada sintesis yang itu berarti penerapan konsep-konsep ke dalam pengalaman menjadi tidak mungkin.

Dalam “Critique”, persoalan yang hendak dijawab oleh Kant adalah penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Penerapan konsep-konsep ini tidak seperti penerapan konsep-konsep empiris (konsep meja,

21

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 182-3

Secara harfiah, skema berarti diagram atau rancangan yang berisikan petunjuk-petunjuk dasar tentang sesuatu.

22

(30)

batu, buku, kuda dan sebagainya) yang mengandaikan skema empiris— sebagaimana sudah dijelaskan di atas dengan contoh konsep meja. Untuk konsep-konsep murni, penerapannya pada objek-objek pengalaman (sintesis murni) mengandaikan pembentukan skemanya sendiri yang oleh Kant disebut skema transendental. Skema ini, karena sifat murninya (transendental), tidak merepresentasikan aturan-aturan konseptual bagi objek-objek inderawi (skema empiris). Skema transendental, menurut Kant, “tidak lain adalah determinasi waktu” berdasarkan aturan-aturan konsep murni dalam kaitannya dengan rangkaian waktu (time-series), isi waktu (time-content), urutan waktu ( time-order), dan cakupan waktu (time-scope) dari suatu objek.23 Skema substansi, misalnya, menyatakan hubungan antara yang tetap dan yang berubah dalam waktu.24 Skema ini merupakan determinasi waktu suatu objek dalam kaitannya dengan tatanan waktunya (time order). Contoh lain dari kategori yang sama adalah skema kausalitas—substansi dan kausalitas berada dalam satu kategori, yaitu, kategori relasi. Skema kausalitas menyatakan hubungan urutan waktu (time order) dari dua peristiwa objek di mana ketika yang satu dialami (mis, air dimasak), yang lain menyusul (mis, air menjadi panas). Demikian, determinasi waktu merupakan wujud penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman.

Kant mengantisipasi kemungkinan pandangan bahwa konsep substansi, atau konsep-konsep murni lainnya, itu muncul dari determinasi waktu. Karena itu, dia menegaskan bahwa determinasi waktu hanya mungkin sejauh ia mengikuti

23

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 185

24

(31)

aturan-aturan determinasi (konsep-konsep murni) yang sudah sejak awal (a priori) terbentuk. Dalam contoh skema substansi misalnya, determinasi tentang apa yang bertahan dan yang berubah dalam waktu hanya mungkin dalam kaitannya dengan konsep substansi. Tanpa konsep substansi, tidak ada aturan untuk menentukan apa yang bertahan dan apa yang berubah dalam waktu.25 Konsep-konsep murni bagi Kant adalah aturan-aturan determinasi yang terbentuk mendahului peristiwa determinasi.

Sekarang kita sudah sampai pada posisi untuk menjawab pertanyaan “apakah yang diketahui dalam pengetahuan murni?”. Dari penjelasan di atas, pertanyaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain: “apakah yang diketahui dalam skema transendental?”. Dalam kasus skema konsep empiris (skema empiris), apa yang direpresentasikan adalah aturan-aturan konseptual bagi objek dan karena setiap konsep empiris memiliki sumbernya dalam pengalaman, maka tidak sulit untuk menemukan kesejajaran antara skema konsep empiris dengan objeknya; misalnya, “aturan” binatang berkaki empat (skema) dengan kucing yang berkaki empat (objek penerapan). Skema transendental, sementara itu, hanya merupakan determinasi waktu dan apa yang diketahui dalam determinasi waktu tersebut adalah “bukan apa pun” (nothing).26 “Bukan apa pun” di sini jangan ditafsirkan “semata-mata ketiadaan” (mere nothing) karena dalam kenyataannya “nothing” di sini memiliki peran konstituif dalam pengetahuan empiris. Karena sifat murninya dan karena fungsi konstitutifnya terhadap pengetahuan empiris, Kant menyebut

25

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 184

26

(32)

representasi jenis ini sebagai pengetahuan murni—kadang-kadang disebut juga pengetahuan a priori atau pengetahuan transendental.

Menarik memperhatikan gagasan Kant tentang skema. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditekankan di sini. Pertama, representasi skema, sebagai representasi yang memediasi penerapan konsep pada pengalaman, memiliki sifat intelektual (nalar/rasional), di satu sisi, dan sensibel di sisi lain (intuitif). Kedua, sebagai representasi yang memiliki karakter ambivalen, representasi skema adalah representasi orisinal; ia bukan hasil dari penggabungan antara intuisi dan rasio. Karena itu, walaupun Kant memperkenalkan konsep sintesis dan bahwa skema adalah produk sintesis, dia tidak memaksudkan dengan kata “sintesis” itu sebagai produk kombinasi intuisi dan rasio. Sejak dalam pengantar “Critique”, Kant sudah mengantisipasi kemungkinan salah penafsiran atas konsep sintesis yang diperkenalkannya ini:

“Sebagai pengantar atau antisipasi kita hanya perlu mengatakan bahwa ada dua

sumber pengetahuan manusia, yaitu, sensibilitas∗ dan pemahaman, yang

mungkin keduanya berasal dari sumber yang sama (common root) yang kita tidak

mengetahuinya”.27

Kant memang tidak mengatakan apakah “sumber yang sama” tersebut. Namun maksudnya cukup jelas, Kant hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan sintesis itu tidak terbentuk sebagai hasil penggabungan intuisi-rasio; sebaliknya, rasio dan intuisi justru adalah produk atau momen ganda dari sintesis.

Sensibilitas (dari kata inggris “sensible” yang berarti “dapat terindra”) adalah kapasitas penerimaan objek secara langsung oleh subjek. Bagi Kant kapasitas ini menunjukkan bahwa subjek memiliki intuisi untuk menerima afeksi-afeksi dari objek. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 65

27

(33)

Menurut hemat saya, hal ini juga menjadi alasan mengapa dalam salah satu sub-bab “Critique”-nya, Transcendental Doctrin of Schematisme, dia mengisyaratkan keterbatasan analisanya terhadap fenomena skema sebagai representasi sintetis, sebagai berikut:

“skematisme pemahaman kita, dalam penerapannya terhadap

penampakan-penampakan (appearances) dan bentuk-bentuknya, adalah seni yang tersembunyi

di kedalaman jiwa manusia, yang modus-modus nyata dari aktivitasnya tidak

mengizinkan kita untuk mengungkapnya, dan membiarkan kita mengamatinya

dengan seksama”.28

Bersamaan dengan analisisnya atas skema (skematisme), Kant juga menunjukkan adanya fakultas lain, yang sebagaimana skema, memiliki karakter ambivalen. Kant menyebutnya “imajinasi” dan menurutnya fakultas (kekuatan mental) inilah yang memungkinkan terbentuknya skema, dan, karenanya sintesis. Fakultas ini niscaya terandaikan karena setiap jenis representasi selalu mengandaikan fakultasnya tersendiri. Sebagaimana representasi data-data partikular mengandaikan fakultas intuisi atau representasi konsep mengandaikan fakultas rasio, demikian halnya dengan representasi skematik yang mengandaikan fakultas imajinasi. Selanjutnya, pada level pengetahuan murni, di mana sintesis yang terbentuk adalah sintesis murni dan skema yang direpresentasikan adalah skema transendental, Kant mengasumsikan adanya fakultas imajinasi transendental, lawan dari imajinasi empiris, yang memungkinkan pembentukan skema transendental, dan karena itu, sintesis murni.29

28

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 183

29

(34)

Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membuat kesimpulan bahwa konsep transendensi Kant melibatkan tiga jenis fakultas pengetahuan: rasio murni, intuisi murni (waktu), dan imajinasi transendental. Tiga fakultas ini secara bersamaan membentuk apa yang oleh Kant disebut sintesis murni yang tidak lain adalah transendensi atau pengetahuan murni, suatu tahap pengetahuan di mana skema transendental direpresentasikan. Konsep transendensi ini rupanya masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut terutama berkaitan dengan hubungan antara rasio, intuisi dan imajinasi, dan hakikat imajinasi itu sendiri sebagai faktor pembentuk sintesis melalui skema, yang sebagaimaan akan kita lihat, menjadi perhatian utama dalam pembacaan destruktif Heidegger.

B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI PEMAHAMAN

ADA

1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya

(35)

Di antara Karya-karya Heidegger adalah sebagai berikut: Basic Problems of Phenomenology; Being and Time; Early Greek Thinking; Existence and Being;

History of the Concept of Time; Kant and the Problem of Metaphysics; The

Essence of Truth.

2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi

Seperti Critique of Pure Reason bagi Kant, Being and Time adalah karya utama Heidegger yang menandai puncak karir pemikirannya. Di dalamnya Heidegger mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari fenomena pemahaman atas Ada (pemahaman ontologis), yang dia bedakan dari pemahaman atas pengada (pemahaman ontis)—Heidegger menegaskan perbedaan antara Ada dan pengada yang selanjutnya dia sebut “perbedaan ontologis” (ontologische differenz).30 Jika saya memahami bahwa benda yang saya pegang ini adalah palu maka itu berarti saya memahami palu tersebut secara ontis sekaligus ontologis. Pemahaman ontis atas palu adalah pemahaman terhadap ciri-ciri fisik atau material pada palu tersebut: warna, bobot, bentuk, kehalusan atau ukuran. Sementara pemahaman ontologis atas palu berarti saya memahami modus Ada (mode of Being) palu tersebut; memahami Ada-nya. Modus-Ada palu yang saya pahami ini, dalam perspektif Heidegger, didefinisikan berdasarkan

keberfungsian palu dalam suatu konteks referensial; yakni dalam hubungannya dengan gergaji, kayu, paku yang semua itu memiliki referensi terakhir, yaitu, pembuatan rumah saya dan pemenuhan diri saya sebagai si pembuat rumah. Totalitas referensial inilah yang menjadikan palu Ada sebagai palu; hanya dalam

30

(36)

konteks referensial, sebuah palu dapat meng-Ada (to-be) sebagai palu. Tanpa totalitas tersebut palu tidak dapat dipahami sebagai palu melainkan sebagai entitas homogen (tak terbedakan) yang sekadar memiliki bentuk, warna, atau ukuran sebagaimana entitas-entitas lain. Contoh yang serupa dapat dibuat, misalnya: kapur, penghapus, papan tulis, dan seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran.31

Gagasan terpenting dari Heidegger tentang fenomena pemahaman Ada adalah adanya entitas yang memahami Ada, yaitu, manusia. Pemahaman Ada oleh manusia menunjukkan bahwa Ada itu tersingkap pada manusia, atau, manusia tersingkap pada Ada--terkadang Heidegger mengilustrasikan ketersingkapan Ada ini sebagai peristiwa penyinaran (lichtung) di mana Ada menyinari manusia dan dengan sinar itu manusia menyinari entitas-entitas lain. Dalam ketersingkapan Ada inilah manusia dapat memahami Ada-dirinya dan Ada-nya entitas-entitas lain.32 Dalam Being and Time, Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk menyebut manusia, yang berarti Ada-Di sana (Da-Sein / There-Being). Dengan memakai istilah ini, Heidegger hendak menekankan dinamika pemahaman Ada manusia, bukan struktur biologisnya (warna kulit, organ-organ tubuh, postur dan sebagainya). Selain itu, dengan istilah ini pula, Heidegger hendak menekankan aspek ke-di-sana-an (The There/Da) Da-sein yang berarti bahwa pemahaman Ada Dasein (atau ketersingkapan Ada) itu selalu terjadi atau terikat dalam konteks dunia (umwelt gebunden).

31

Ilustrasi-ilustrasi yang lengkap dan mudah tentang ini dapat ditemukan dalam Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time Division I (Cambridge: The MIT Press), h. 89-107

32

(37)

Ini terjadi karena pemahaman Ada selalu berarti pemahaman akan cara atau modus Ada-nya sesuatu (mode of Being of beings). Ketika Dasein mengatakan “palu ini Ada”, Dasein mengerti “arti” Ada sekaligus modus Ada palu tersebut. Demikian halnya, ketika Dasein mengatakan “saya Ada” menunjukkan bahwa dia mengerti “arti” Ada sekaligus cara Ada dirinya (to be itself). Selanjutnya, karena setiap modus Ada itu selalu terbangun dalam totalitas referensial modus-modus Ada—lihat kembali contoh di atas—yang sudah selalu tersedia dalam dunia (mis, palu, gergaji, paku, rumah, guru, dokter, dan sebagainya), maka pemahaman Ada tersebut hanya dapat terwujud dalam dunia. Tanpa dunia, pemahaman Ada hanya akan menjadi sejenis dorongan-dorongan hampa. Dengan demikian, konsep Da-sein mencakup dua gagasan sekaligus: pemahaman Ada dan kebertempatan pemahaman tersebut dalam dunia. 33

Dalam Being and Time, Heidegger menyebut pemahaman Ada sebagai transendensi atau eksistensi yang keduanya memiliki arti sama atau setidaknya berdekatan, yaitu, “melampaui”.34 Pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada adalah momen transendensi karena dalam pemahaman Ada, Dasein seolah seolah-olah “melampaui” dimensi ontis dari pengada-pengada untuk memahami Ada-nya. Sebagaimana sudah dikatakan, Ada selalu berarti Ada-nya sesuatu (Being of beings) atau cara Ada sesuatu (way of Being of beings) sehingga kenyataan Dasein memahami Ada berarti dia pada saat yang sama memahami cara Ada entitas-entitas, termasuk cara Ada dirinya sebagai entitas yang memahami Ada.

33

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h. 54

34

(38)

Pemahaman Ada tentu saja bukan pemahaman eksplisit atas Ada karena jika kita (Dasein) ditanya apa itu Ada tentu kita tidak dapat menjawabnya secara memuaskan, atau lebih buruk lagi, tidak dapat mengungkapkan gagasan apa pun dari kata tersebut. Namun demikian, pemahaman Ada adalah fakta yang jelas. Fakta ini dapat ditemukan dalam semua modus pemahaman sehari-hari manusia. Kita terbiasa mengatakan “batu ini ada”, “palu ini [adalah] berat”, “saya adalah

Ki Joko”, dan sebagainya, yang semua itu menunjukkan bahwa kita telah mengerti arti Ada walaupun secara tidak eksplisit. Heidegger menyebut pemahaman Ada yang tidak eksplisit ini “pemahaman pra-ontologis”, suatu tahap pemahaman di mana Ada belum dibicarakan atau ditafsirkan secara diskurif yang di sepanjang sejarah pemikiran disebut ontologi (on: Ada, logos: diskursus atau pembicaraan).35

Dalam Being and Time, Heidegger berusaha mendiskursuskan Ada, karenanya, melakukan semacam penyelidikan ontologis. Namun demikian, ontologi Heidegger bukan semacam pendefinisian secara lengkap arti Ada, sebagaimana dalam ontologi tradisional di mana Ada sering ditafsirkan dengan berbagai cara: monad, res cogitans, roh absolut, kehendak untuk berkuasa, ego transendental dan sebagainya. Sejak awal dalam Being and Time, Heidegger menegaskan secara terbatas bahwa: 1) Ada itu adalah konsep yang paling universal. Semua pengada atau entitas, apa pun itu, selalu dapat dilekatkan kata Ada padanya (mis, batu ada, manusia ada, Tuhan ada, jin ada, payung ada, dan sebagainya). 2) Ada itu adalah konsep yang jelas dengan sendirinya (self-evident concept); setiap orang sudah begitu saja menggunakan kata “ada” dalam

35

(39)

pembicaraannya tanpa dia tahu secara tegas arti dari kata tersebut. 3) Ada adalah konsep yang tidak dapat didefinisikan (undefinable concept) berdasarkan jenis (genus) dan cirinya (differentia) seolah-olah Ada itu semacam entitas yang memiliki perilaku tertentu, bentuk tertentu atau warna tertentu.36 Lalu bagaimana Ada itu diselidiki jika ia bukanlah pengada sama sekali? Heidegger memahami ontologinya sebagai fenomenologi, yaitu, diskursus tentang fenomena pemahaman Ada dan, menurutnya, setiap pembicaraan tentang Ada (ontologi) harus dimulai dari fenomena pemahaman Ada (fenomenologi). Fenomena pemahaman Ada adalah satu-satunya petunjuk untuk memulai pembicaraan tentang Ada. Dia mengatakan: “Hanya sebagai fenomenologi, ontologi itu mungkin”.37

Analisis pemahaman Ada, atau disebut juga analisis eksistensial, adalah gagasan orisinal Heidegger. Dia sendiri mengakui bahwa titik tolak analisisnya belum pernah dilakukan oleh para filsuf di sepanjang sejarah filsafat Barat, dan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, luputnya fenomena pemahaman Ada dari perhatian para filsuf adalah karena mereka telah melupakan pertanyaan tentang arti Ada (question of Being). Kelupaan ini adalah efek dari kelupaan yang lebih fundamental, yaitu, kelupaan akan perbedaan antara Ada dan pengada (perbedaan ontologis). Benarkah demikian? Dalam skripsi ini saya tidak akan mengulas tahap-tahap kelupaan tersebut. Apa yang terpenting dalam pandangan Heidegger ini adalah bahwa, walaupun Ada itu terlupakan, pemahaman Ada selalu terandaikan dalam penyelidikan para filsuf. Bahkan, pemahaman Ada sang filsuf sendiri selalu terikat oleh konsep-konsep tradisi di mana dia hidup, yang dengan

36

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.2-3

37

(40)

itu dia membangun sistem pemikirannya.38 Karena itu, menurut Heidegger, kita dapat membaca ulang suatu teks pemikiran untuk memeriksa fenomena pemahaman Ada yang terimplikasi dalam teks tersebut, dan melihat seberapa kuat jejaring konseptual tradisi yang menghambat seorang filsuf untuk melihat fenomena tersebut secara jelas dan mempertimbangkannya sebagai potensi pemikiran.

Heidegger menyebut pembacaan semacam ini “destruksi” yang secara harfiah berarti “merusak”.39 Namun demikian, kenyataannya, destruksi Heidegger justru memiliki nilai korektif terhadap teks yang didestruksi walaupun benar juga bahwa dalam cara pembacaannya Heidegger kerap membahasakan ulang cara argumentasi dari teks yang didestruksi, yang pada taraf tertentu terkesan merusak. Terlebih dengan destruksinya, Heidegger tidak bermaksud menemukan intensi sesungguhnya dari sang pengarang melainkan elemen utama persoalan yang memberi orientasi pada sang pengarang, betapapun sang pengarang tidak menyadarinya. Destruksi berusaha mengangkat unsur vital dari suatu pemikiran yang seringkali tersamarkan oleh konsep-konsep tradisi yang sudah mengakar kuat. Dalam konteks destruksi, unsur vital tersebut tidak lain adalah fenomena pemahaman Ada, atau, ketakterhindaran persoalan tentang arti Ada.

Dalam Being and Time, Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga filsuf: Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant, yang sebagaimana kita tahu urung diwujudkan.40 Rencana pembacaan destruktif tersebut baru terealisasi

38

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.17-18

39

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.20-21

40

(41)

kemudian dalam karya yang berbeda, salah satunya adalah Kant and the Problem of Metaphysics (selanjutnya ditulis “Kant and the Problem”) yang terdiri dari empat bab pembacaan Heidgger atas pemikiran Kant dalam “Critique”. Dalam “Kant and the problem”, Heidegger menjelaskan motif pemikiran Kant sebagai ontologi fundamental, atau, penyelidikan terhadap kapasitas transendental subjek yang dengannya metafisika sebagai ilmu atau pun kecenderungan alamiah dapat dikemukakan batas-batasnya (bab I). Penyelidikan ini tentu saja memiliki nilai epistemologis pada akhirnya, karena kapasitas transendental tersebut bukan hanya memungkinkan metafisika tetapi juga pengetahuan secara umum, tidak terkecuali sains-sains positif. Dalam tiga bab terakhir, Heidegger menjelaskan tahap-tahap penyelidikan Kant tentang keniscayaan terbentuknya skema oleh imajinasi transendental (bab II); imajinasi sebagai esensi transendensi dalam kaitannya dengan waktu (bab III); konsekuensi pemikiran Kant tentang imajinasi terhadap ide keterbatasan (bab IV).

3. Destruksi Heidegger atas “Critique” Kant: Sebuah Tinjauan Umum

(42)

murni.41 Dalam pembacaan Heidegger, gagasan ini sebenarnya merujuk pada fenomena pemahaman Ada atau pengetahuan ontologis karena sebagaimana dalam pengetahuan murni, apa yang diketahui dalam pengetahuan ontologis juga “bukanlah apa pun” (nothing). Ada itu sendiri adalah bukan apa pun.

Dengan titik tolak pemahaman Ada, terdapat beberapa tesis dasar dalam destruksi Heidegger atas skematisme yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, menurut Heidegger esensi transendensi terletak pada imajinasi transendental, bukan pada rasio murni. Itu berarti bahwa pemahaman Ada sebagai momen transendensi subjek tidak terbentuk melalui rasio murni melainkan imajinasi transendental. Pembacaan ini sebenarnya didasarkan pada argumen Kant sendiri ketika dia mengatakan dalam doktrin skematismenya bahwa penerapan konsep-konsep murni ke dalam pengalaman (sintesis murni) hanya mungkin oleh adanya mediasi skema transendental yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Dengan demikian, Kant sendiri sebenarnya mengakui bahwa imajinasi memiliki peran sentral dalam membentuk pengetahuan transendental (pengetahuan murni/sintesis murni), walaupun dalam kenyataannya, Kant tidak banyak membicarakan imajinasi transendental dalam “Critique”-nya melainkan justru cenderung menekankan aspek rasio sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni (transendensi).

Kedua, menurut Heidegger, karena Kant cenderung menekankan rasio murni sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni atau skema transendental (pengetahuan murni), Kant menurut Heidegger telah mereduksi konsep pemahaman Ada ke dalam salah satu modus pemahaman Ada, yaitu

41

(43)

modus pemahaman kategorial, di mana pemahaman atau pengetahuan ditafsirkan sebagai proses determinasi konseptual atas waktu (time-determination) berdasarkan aturan-aturan konsep murni (substansi, kausalitas, kualitas dan seterusnya); sesuatu dianggap terpahami karena sesuatu tersebut tercakup dalam konsep atau kategori. Dalam destruksi Heidegger sementara itu, karena skema transendental adalah momen sintesis orisinal sebagaimana Kant sendiri secara implisit mengakuinya, maka pemahaman Ada tidak terbatas pada pemahaman kategorial. Orisinalitas skema transendental bagi Heidegger menunjukkan bahwa apa yang direpresentasikan dalam skema tersebut mestilah lebih luas dari sekadar determinasi rasio. Dengan demikian, dalam destruksi Heidegger, gagasan Kant tentang rasio sebagai dasar pengetahuan transendental, dipersoalkan.

(44)

Ada, sebuah tema yang menjadi motif pemikiran Heidegger dalam “Being and Time” (Ada dan Waktu).

Keempat, imajinasi transendental adalah konsekuensi keterbatasan, yaitu, keterbatasan intuisi, dan sebagai konsekuensi keterbatasan, imajinasi transendental itu sendiri bersifat terbatas. Konsekuensinya, transendensi sebagai pemahaman Ada juga terbatas dan merupakan konsekuensi keterbatasan. Sekadar untuk diketahui, Heidegger mengungkapkan konsep transendensi terbatas ini dalam “Kant and the Problem” dan “Being and Time”. Dalam “Kant and the Problem”, Heidegger memperlihatkan keterbatasan transendensi sebagai keterbatasan imajinasi transendental dalam kaitannya dengan intuisi terbatas manusia; imajinasi terandaikan karena intuisi manusia tidak menciptakan objek yang diintuisinya. Dalam “Being and Time”, sementara itu, ide keterbatasan berkaitan dengan sifat temporal pemahaman Ada, yaitu karakter proyektif yang terarah pada masa depan yang tidak pernah terpenuhi dan selalu ditandai oleh kebeluman (not yet).

Dalam bab berikutnya, saya akan menjelaskan poin-poin destruksi Heidegger atas doktrin skematisme sebagaimana disebutkan di atas. Perlu diingat bahwa apa yang terpenting dalam pemikiran Heidegger adalah gagasan tentang Ada, modus-modusnya, bentuk-bentuk dan karakter pemahamannya. Gagasan ini selalu menjadi motif utama pemikiran Heidegger, dalam “Being and Time” atau pun dalam pembacaan destruktifnya atas doktrin skematisme Kant.

(45)
(46)

BAB III

DESTRUKSI SKEMATISME:

MEMBACA ULANG RELASI ESENSIAL ANTARA

IMAJINASI, INTUISI WAKTU DAN RASIO MURNI

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, transendensi dalam pemikiran Kant dinyatakan dalam gagasan sintesis murni, di mana konsep-konsep murni dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman melalui representasi skema transendental. Kant menyebut doktrin penerapan konsep-konsep ini “skematisme” dan pada doktrin inilah Kant mengemukakan kaitan antara imajinasi, waktu dan rasio murni. Dari titik tolak doktrin skema (skematisme) ini, Heidegger menemukan bahwa intuisi murni—dalam hal ini waktu—dan konsep-konsep murni yang dibentuk oleh rasio murni, tidak dapat dilepaskan dari peran imajinasi transendental dalam pembentukannya. Kenyataannya, dalam destruksi Heidegger, waktu dan rasio murni itu sendiri bersumber dari imajinasi transendental (Einbildung-Kraft). Penafsiran ini tentu saja amat radikal dan melampaui tesis pemikiran Kant sendiri. Namun menurut Heidegger gagasan ini sebenarnya sudah implisit dalam pandangan Kant ketika dia mengatakan bahwa imajinasi transendental, sebagai fakultas yang terandaikan dalam proses sintesis, berciri intelektual (rasional) sekaligus sensibel (intuitif).

(47)

Bagian kedua mengulas hubungan antara imajinasi transendental dengan rasio murni. Bagian ketiga berisikan pembacaan Heidegger atas konsep imajinasi transendental sebagai konsekuensi keterbatasan. Pembacaan ini saya sisipkan dalam bab ini karena gagasan keterbatasan Heidegger berkaitan langsung dengan karakter intuitif dan intelektual dari imajinasi. Selanjutnya, pada bagian terakhir saya akan memberikan ulasan ringkas tentang implikasi pemikiran transendental Heidegger dalam pemikiran etika dan keagamaan; tinjauan singkat tentang keunggulan dan kelemahan analisis Heidegger dan pembacaannya atas Kant.

Penting untuk terus diingat bahwa pembacaan Heidegger bagaimanapun dilatarbelakangi oleh minatnya pada fenomena pemahaman Ada. Sebagaimana telah dikatakan, motif destruksi Heidegger adalah mengeksplisitkan fenomena pemahaman Ada dalam teks yang didestruksi. Karena itu, pembacaannya atas imajinasi transendental dan hubungannya dengan intuisi murni dan rasio murni, harus juga dilihat sebagai ikhtiar menegaskan fenomena transendensi sebagai pemahaman Ada, karakternya dan kedudukannya dalam struktur pemahaman atau struktur eksistensi manusia.

A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN KE

ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI

Kant memahami waktu sebagai sejenis intuisi murni. Kant menyebutnya intuisi karena menurutnya waktu dihadirkan secara langsung atau terberi begitu saja dalam bentuk afeksi∗. Waktu juga disebut “murni” karena waktu tidak lain

(48)

adalah bentuk dari proses intuisi subjektif.1 Ketika subjek merepresentasikan data-data pengalaman melalui intuisinya, intuisi subjek tidak hanya terarah pada apa yang diintuisi melainkan juga pada proses mengintuisi itu sendiri, dengan kata lain, pada dirinya sendiri (self-intuiting).Intuisi subjek, karenanya, tidak hanya terafeksi oleh objek-objek pengalaman melainkan juga oleh aktivitasnya sendiri sebagai proses mengintuisi. Pada titik inilah, menurut Kant, intuisi waktu terandaikan (presupposed). Ketika intuisi mengintuisi aktivitas intuitifnya ( self-intuiting), intuisi merepresentasikan atau “merasakan” perubahan-perubahan dalam proses mengintuisi.2 Perubahan-perubahan tersebut bukanlah semacam perpindahan posisi dalam ruang, melainkan pergantian-pergantian (succession) kehadiran dalam waktu. Dalam proses itu, intuisi waktu menjadi niscaya karena tanpanya, pergantian-pergantian tersebut tidak akan dapat direpresentasikan sebagai pergantian-pergantian dalam waktu. Waktu memungkinkan setiap proses mengintuisi direpresentasikan sebagai “yang telah berlalu”, “yang sedang terjadi”, atau “mungkin terjadi” dan itu, menurutnya, menunjukkan bahwa waktu terintuisi “lebih dulu” (a priori).3 Namun demikian, waktu bukanlah sesuatu yang terintuisi dari luar subjek. Kant menolak eksistensi absolut waktu. Intuisi waktu hanya

1

Selain waktu, Kant juga sebenarnya mengenal jenis intuisi murni lainnya, yaitu, ruang. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 68. Namun, karena pembacaan Heidegger terbatas pada konsep waktu Kant, maka demikian pula skripsi ini. Tentang hal ini, lihat Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 31-34

2

Dalam Critique Kant menyebut fenomena intuisi atas intuisi (self-intuition) sebagai sejenis penginderaan yang mengarah ke dalam yang karenanya disebut indera-dalam (inner-sense). Lawan dari indera-dalam adalah indera-luar (outer-sense), yaitu ketika intuisi mengintuisi objek-objek pengalaman; mengarah keluar. Bentuk dari luar adalah ruang; bentuk dari intuisi-dalam adalah waktu. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 67

3

(49)

dapat muncul bersamaan dengan dinamika suksesif intuisi subjek. Karena itu, waktu sepenuhnya berciri subjektif dan karena itu pula ia disebut murni.

Waktu, lanjut Kant, direpresentasikan secara “tak terbatas” (unlimited) seperti sebuah garis yang memanjang terus ke depan dan ke belakang, tanpa tepi (unlimited). Tentu saja kita dapat mengatakan “dulu”, “sekarang”, dan “nanti” yang menunjukkan bahwa waktu itu terbagi-bagi ke dalam bentuk waktu yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki batas (limit). Tetapi menurut Kant, “bagian-bagian (parts) waktu yang berbeda tidak lain hanyalah pembatasan (limitation) atas waktu sebagai efek dari proses intuisi subjek yang terjadi secara suksesif.4 Dengan kata lain, waktu yang berbeda sebenarnya merujuk pada waktu yang satu dan sama (one and the same time)”.5 Di sini kita melihat bagaimana waktu dalam konsepsi Kant dipahami sebagai keseluruhan tak terbatas yang direpresentasikan (represented whole) yang walaupun terbagi ke dalam batas-batas atau bagian-bagian (dulu, sekarang, nanti), ia tetap dihadirkan atau direpresentasikan sebagai keseluruhan.6

Dalam pembacaan Heidegger, waktu yang direpresentasikan sebagai “keseluruhan tak terbatas” yang memungkinkan setiap bagian-bagian waktu selalu terpahami sebagai keseluruhan menunjukkan bahwa waktu memiliki karakter sintetisnya sendiri yang terbedakan dari sintesis konseptual. “Representasi keseluruhan [waktu] tidak terberi melalui konsep, karena konsep hanya berisi

4

Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 100

5

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 75

6

Referensi

Dokumen terkait

fungsional sedangkan pada proses oogenesis hanya satu sel telur/ovum karena pada proses oogenesis sel telur hanya 1 dan yang 3 adalah badan kutub sekunder yang

يفلخ ثحبلا ة لىإ ةيبدلأا لامعلأا مّسقت وبودارب لاق.رعشلا اىدحأ ةفلتمخ عاونأ ( Pradopo ) ّنإ وى رعشلا بدلإبا ىمسي الد ةلاصأ رثكلأا ديسجتلا رصانع

Secara lebih rinci, pada 2014 distribusi indeks dalam ketiga aspek demokrasi yang diukur terlihat aspek kebebasan sipil mengalami penurunan dengan besaran 0,39

Yang bertandatangan di bawah ini bersetuju yang sebut harga ini akan berterusan sah dan tidak akan ditarik balik dalam tempoh sembilan puluh (90) hari dari tarikh akhir

(Gambar 4c) Saat kondisi surut terendah menunjukkan pola arus yang hampir sama dengan pola arus saat pasang menuju surut, yaitu arus bergerak dari arah Samudera Hindia menuju

Pengujian tingkat kesukaan teh daun binahong dengan rasa, aroma dan warna yang disukai panelis adalah sampel dengan metode suhu penyeduhan 100 O C dan waktu penyeduhan

Kelompok studi ini dimaksudkan sebagai wadah kreativitas mahasiswa dalam pengembangan diri secara akademik diluar kuliah dan praktikum formal. Program Studi Teknik

Dari data diatas dapat diketahui bahwa usaha pengembangan sapi sebanyak 86 orang yang menjawab tidak sangat setuju ada dengan presentase 100%, tidak ada yang menjawab