• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi

BAB II GAGASAN TRANSENDENSI DALAM KANT DAN

B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI

2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi

Seperti Critique of Pure Reason bagi Kant, Being and Time adalah karya utama Heidegger yang menandai puncak karir pemikirannya. Di dalamnya Heidegger mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari fenomena pemahaman atas Ada (pemahaman ontologis), yang dia bedakan dari pemahaman atas pengada (pemahaman ontis)—Heidegger menegaskan perbedaan antara Ada dan pengada yang selanjutnya dia sebut “perbedaan ontologis” (ontologische differenz).30 Jika saya memahami bahwa benda yang saya pegang ini adalah palu maka itu berarti saya memahami palu tersebut secara ontis sekaligus ontologis. Pemahaman ontis atas palu adalah pemahaman terhadap ciri-ciri fisik atau material pada palu tersebut: warna, bobot, bentuk, kehalusan atau ukuran. Sementara pemahaman ontologis atas palu berarti saya memahami modus Ada (mode of Being) palu tersebut; memahami Ada-nya. Modus-Ada palu yang saya pahami ini, dalam perspektif Heidegger, didefinisikan berdasarkan

keberfungsian palu dalam suatu konteks referensial; yakni dalam hubungannya dengan gergaji, kayu, paku yang semua itu memiliki referensi terakhir, yaitu, pembuatan rumah saya dan pemenuhan diri saya sebagai si pembuat rumah. Totalitas referensial inilah yang menjadikan palu Ada sebagai palu; hanya dalam

30

Heidegger, Martin, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter (Bloomington: Indiana University Press, 1982), dalam “Translator Introduction” oleh Alfred Hofstadter, h. xviii

konteks referensial, sebuah palu dapat meng-Ada (to-be) sebagai palu. Tanpa totalitas tersebut palu tidak dapat dipahami sebagai palu melainkan sebagai entitas homogen (tak terbedakan) yang sekadar memiliki bentuk, warna, atau ukuran sebagaimana entitas-entitas lain. Contoh yang serupa dapat dibuat, misalnya: kapur, penghapus, papan tulis, dan seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran.31

Gagasan terpenting dari Heidegger tentang fenomena pemahaman Ada adalah adanya entitas yang memahami Ada, yaitu, manusia. Pemahaman Ada oleh manusia menunjukkan bahwa Ada itu tersingkap pada manusia, atau, manusia tersingkap pada Ada--terkadang Heidegger mengilustrasikan ketersingkapan Ada ini sebagai peristiwa penyinaran (lichtung) di mana Ada menyinari manusia dan dengan sinar itu manusia menyinari entitas-entitas lain. Dalam ketersingkapan Ada inilah manusia dapat memahami Ada-dirinya dan Ada-nya entitas-entitas lain.32 Dalam Being and Time, Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk menyebut manusia, yang berarti Ada-Di sana (Da-Sein / There-Being). Dengan memakai istilah ini, Heidegger hendak menekankan dinamika pemahaman Ada manusia, bukan struktur biologisnya (warna kulit, organ-organ tubuh, postur dan sebagainya). Selain itu, dengan istilah ini pula, Heidegger hendak menekankan aspek ke-di-sana-an (The There/Da) Da-sein yang berarti bahwa pemahaman Ada Dasein (atau ketersingkapan Ada) itu selalu terjadi atau terikat dalam konteks dunia (umwelt gebunden).

31

Ilustrasi-ilustrasi yang lengkap dan mudah tentang ini dapat ditemukan dalam Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time Division I (Cambridge: The MIT Press), h. 89-107

32

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.125

Ini terjadi karena pemahaman Ada selalu berarti pemahaman akan cara atau modus Ada-nya sesuatu (mode of Being of beings). Ketika Dasein mengatakan “palu ini Ada”, Dasein mengerti “arti” Ada sekaligus modus Ada palu tersebut. Demikian halnya, ketika Dasein mengatakan “saya Ada” menunjukkan bahwa dia mengerti “arti” Ada sekaligus cara Ada dirinya (to be itself). Selanjutnya, karena setiap modus Ada itu selalu terbangun dalam totalitas referensial modus-modus Ada—lihat kembali contoh di atas—yang sudah selalu tersedia dalam dunia (mis, palu, gergaji, paku, rumah, guru, dokter, dan sebagainya), maka pemahaman Ada tersebut hanya dapat terwujud dalam dunia. Tanpa dunia, pemahaman Ada hanya akan menjadi sejenis dorongan-dorongan hampa. Dengan demikian, konsep Da-sein mencakup dua gagasan sekaligus: pemahaman Ada dan kebertempatan pemahaman tersebut dalam dunia. 33

Dalam Being and Time, Heidegger menyebut pemahaman Ada sebagai transendensi atau eksistensi yang keduanya memiliki arti sama atau setidaknya berdekatan, yaitu, “melampaui”.34 Pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada adalah momen transendensi karena dalam pemahaman Ada, Dasein seolah seolah-olah “melampaui” dimensi ontis dari pengada-pengada untuk memahami Ada-nya. Sebagaimana sudah dikatakan, Ada selalu berarti Ada-nya sesuatu (Being of beings) atau cara Ada sesuatu (way of Being of beings) sehingga kenyataan Dasein memahami Ada berarti dia pada saat yang sama memahami cara Ada entitas-entitas, termasuk cara Ada dirinya sebagai entitas yang memahami Ada.

33

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h. 54

34

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h. 10, 110. Lihat juga William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), h. 39, 114

Pemahaman Ada tentu saja bukan pemahaman eksplisit atas Ada karena jika kita (Dasein) ditanya apa itu Ada tentu kita tidak dapat menjawabnya secara memuaskan, atau lebih buruk lagi, tidak dapat mengungkapkan gagasan apa pun dari kata tersebut. Namun demikian, pemahaman Ada adalah fakta yang jelas. Fakta ini dapat ditemukan dalam semua modus pemahaman sehari-hari manusia. Kita terbiasa mengatakan “batu ini ada”, “palu ini [adalah] berat”, “saya adalah

Ki Joko”, dan sebagainya, yang semua itu menunjukkan bahwa kita telah mengerti arti Ada walaupun secara tidak eksplisit. Heidegger menyebut pemahaman Ada yang tidak eksplisit ini “pemahaman pra-ontologis”, suatu tahap pemahaman di mana Ada belum dibicarakan atau ditafsirkan secara diskurif yang di sepanjang sejarah pemikiran disebut ontologi (on: Ada, logos: diskursus atau pembicaraan).35

Dalam Being and Time, Heidegger berusaha mendiskursuskan Ada, karenanya, melakukan semacam penyelidikan ontologis. Namun demikian, ontologi Heidegger bukan semacam pendefinisian secara lengkap arti Ada, sebagaimana dalam ontologi tradisional di mana Ada sering ditafsirkan dengan berbagai cara: monad, res cogitans, roh absolut, kehendak untuk berkuasa, ego transendental dan sebagainya. Sejak awal dalam Being and Time, Heidegger menegaskan secara terbatas bahwa: 1) Ada itu adalah konsep yang paling universal. Semua pengada atau entitas, apa pun itu, selalu dapat dilekatkan kata Ada padanya (mis, batu ada, manusia ada, Tuhan ada, jin ada, payung ada, dan sebagainya). 2) Ada itu adalah konsep yang jelas dengan sendirinya (self-evident concept); setiap orang sudah begitu saja menggunakan kata “ada” dalam

35

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.10-11

pembicaraannya tanpa dia tahu secara tegas arti dari kata tersebut. 3) Ada adalah konsep yang tidak dapat didefinisikan (undefinable concept) berdasarkan jenis (genus) dan cirinya (differentia) seolah-olah Ada itu semacam entitas yang memiliki perilaku tertentu, bentuk tertentu atau warna tertentu.36 Lalu bagaimana Ada itu diselidiki jika ia bukanlah pengada sama sekali? Heidegger memahami ontologinya sebagai fenomenologi, yaitu, diskursus tentang fenomena pemahaman Ada dan, menurutnya, setiap pembicaraan tentang Ada (ontologi) harus dimulai dari fenomena pemahaman Ada (fenomenologi). Fenomena pemahaman Ada adalah satu-satunya petunjuk untuk memulai pembicaraan tentang Ada. Dia mengatakan: “Hanya sebagai fenomenologi, ontologi itu mungkin”.37

Analisis pemahaman Ada, atau disebut juga analisis eksistensial, adalah gagasan orisinal Heidegger. Dia sendiri mengakui bahwa titik tolak analisisnya belum pernah dilakukan oleh para filsuf di sepanjang sejarah filsafat Barat, dan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, luputnya fenomena pemahaman Ada dari perhatian para filsuf adalah karena mereka telah melupakan pertanyaan tentang arti Ada (question of Being). Kelupaan ini adalah efek dari kelupaan yang lebih fundamental, yaitu, kelupaan akan perbedaan antara Ada dan pengada (perbedaan ontologis). Benarkah demikian? Dalam skripsi ini saya tidak akan mengulas tahap-tahap kelupaan tersebut. Apa yang terpenting dalam pandangan Heidegger ini adalah bahwa, walaupun Ada itu terlupakan, pemahaman Ada selalu terandaikan dalam penyelidikan para filsuf. Bahkan, pemahaman Ada sang filsuf sendiri selalu terikat oleh konsep-konsep tradisi di mana dia hidup, yang dengan

36

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.2-3

37

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.31

itu dia membangun sistem pemikirannya.38 Karena itu, menurut Heidegger, kita dapat membaca ulang suatu teks pemikiran untuk memeriksa fenomena pemahaman Ada yang terimplikasi dalam teks tersebut, dan melihat seberapa kuat jejaring konseptual tradisi yang menghambat seorang filsuf untuk melihat fenomena tersebut secara jelas dan mempertimbangkannya sebagai potensi pemikiran.

Heidegger menyebut pembacaan semacam ini “destruksi” yang secara harfiah berarti “merusak”.39 Namun demikian, kenyataannya, destruksi Heidegger justru memiliki nilai korektif terhadap teks yang didestruksi walaupun benar juga bahwa dalam cara pembacaannya Heidegger kerap membahasakan ulang cara argumentasi dari teks yang didestruksi, yang pada taraf tertentu terkesan merusak. Terlebih dengan destruksinya, Heidegger tidak bermaksud menemukan intensi sesungguhnya dari sang pengarang melainkan elemen utama persoalan yang memberi orientasi pada sang pengarang, betapapun sang pengarang tidak menyadarinya. Destruksi berusaha mengangkat unsur vital dari suatu pemikiran yang seringkali tersamarkan oleh konsep-konsep tradisi yang sudah mengakar kuat. Dalam konteks destruksi, unsur vital tersebut tidak lain adalah fenomena pemahaman Ada, atau, ketakterhindaran persoalan tentang arti Ada.

Dalam Being and Time, Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga filsuf: Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant, yang sebagaimana kita tahu urung diwujudkan.40 Rencana pembacaan destruktif tersebut baru terealisasi

38

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.17-18

39

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.20-21

40

Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York, 1996), h.35

kemudian dalam karya yang berbeda, salah satunya adalah Kant and the Problem of Metaphysics (selanjutnya ditulis “Kant and the Problem”) yang terdiri dari empat bab pembacaan Heidgger atas pemikiran Kant dalam “Critique”. Dalam “Kant and the problem”, Heidegger menjelaskan motif pemikiran Kant sebagai ontologi fundamental, atau, penyelidikan terhadap kapasitas transendental subjek yang dengannya metafisika sebagai ilmu atau pun kecenderungan alamiah dapat dikemukakan batas-batasnya (bab I). Penyelidikan ini tentu saja memiliki nilai epistemologis pada akhirnya, karena kapasitas transendental tersebut bukan hanya memungkinkan metafisika tetapi juga pengetahuan secara umum, tidak terkecuali sains-sains positif. Dalam tiga bab terakhir, Heidegger menjelaskan tahap-tahap penyelidikan Kant tentang keniscayaan terbentuknya skema oleh imajinasi transendental (bab II); imajinasi sebagai esensi transendensi dalam kaitannya dengan waktu (bab III); konsekuensi pemikiran Kant tentang imajinasi terhadap ide keterbatasan (bab IV).

Dokumen terkait