• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis

BAB II GAGASAN TRANSENDENSI DALAM KANT DAN

A. TRANSENDENTALISME KANT DALAM “ CRITIQUE OF PURE

3. Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis

Dalam “Critique” kita menemukan bahwa konsep transendensi Kant didefinisikan sebagai pengetahuan murni (disebut juga pengetahuan a priori). Pengetahuan, sementara itu, didefinisikan sebagai representasi sintetis intuisi dan pikiran. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang “menghadirkan” (representing) data-data pengalaman yang berciri partikular secara langsung.18 Pikiran (rasio) sementara itu adalah fakultas (kemampuan mental) yang menetapkan keumuman-keumuman (generalities) dari data-data yang dihadirkan oleh intuisi—keumuman-keumuman itu Kant menyebutnya “konsep”.19 Pengetahuan sebagai sintesis berarti terbentuknya relasi konseptual antara pikiran dan intuisi. Prinsip ini berlaku juga dalam pengetahuan a priori sebagai pengetahuan yang tidak didapat dari pengalaman (tidak terkondisikan oleh pengalaman akan objek-objek). Dengan

17

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 56, 635

18

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 65-66

19

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 92-97

kata lain, pengetahuan a priori juga dinyatakan sebagai representasi sintetis antara rasio dan intuisi. Hanya saja, representasi sintetis yang terjadi adalah sintesis “intuisi murni” dan “pikiran murni” (rasio murni), sehingga sintesis dalam pengetahuan a priori disebut “sintesis murni” atau “sintesis a priori”. Pertanyaan dapat dikemukakan: jika dengan “murni” berarti “tidak diperoleh dari pengalaman” lantas pengetahuan apakah yang dihasilkan dari sintesis intuisi murni dan rasio murni?; apakah yang diketahui dalam momen transendensi sebagai pengetahuan murni?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep kunci dalam pemikiran Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis. Momen pengetahuan sebagai sintesis mengandung pengertian bahwa terbentuknya pengetahuan itu bukanlah ketika konsep itu terbentuk melainkan ketika konsep itu dapat diterapkan pada objek. Demikian halnya dalam pengetahuan murni atau transendensi sebagai hasil dari sintesis murni; ia terbentuk ketika konsep-konsep murninya dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman. Pertanyaan Kant adalah “bagaimana sintesis semacam itu mungkin?”. Upaya Kant untuk menjelaskan mungkinnya “sintesis murni” (baca: mungkinnya konsep-konsep murni diterapkan pada objek-objek pengalaman) dapat ditemukan dalam salah satu bagian penting “Critique”-nya, The Schematism of The Pure Concept of Understanding, di mana Kant menjelaskan bahwa konsep-konsep yang diterapkan pada objek selalu mengandaikan pembentukan “skema”.20

Skema adalah representasi prosedur universal yang dengannya suatu konsep dapat memberikan gambaran universal tentang objek secara tidak terbatas

20

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 180

pada objek-objek tertentu.21 Sementara konsep hanya menyatakan “ciri-ciri umum” (ens commun) suatu objek, skema menyatakan ciri umum tersebut sebagai

aturan pemahaman (rule) bagi semua objek, yang aktual dan yang mungkin, dalam bentuk “gambaran” atau “citra” (image) skematik. Peristiwa terbentuknya skema dapat dengan mudah ditemukan dalam ilustrasi peristiwa pemahaman sehari-hari. Ketika saya melihat meja dan memahaminya, misalnya, hal itu menunjukkan terjadinya sintesis antara konsep meja dengan sensasi-sensasi meja (warna, bentuk, kepadatan, bau dan sebagainya) yang diintuisi. Namun demikian, meja yang saya pahami sekarang ini melampaui “sekadar” penggabungan konsep dan intuisi. Saya bukan hanya dapat menggambarkan “detail-detail” dari meja tersebut atau menangkap “ciri umum” dari detail-detail tersebut tetapi juga menangkap “aturan umum” tentang bagaimana meja itu seharusnya, “aturan” yang tidak hanya berlaku bagi meja yang sedang saya lihat tetapi bagi semua meja yang “mungkin” saya lihat.22

Representasi skema merupakan gagasan niscaya dalam menjelaskan proses sintesis sebagai peristiwa penerapan konsep pada objek-objek pengalaman. Tanpa skema, tidak akan ada sintesis yang itu berarti penerapan konsep-konsep ke dalam pengalaman menjadi tidak mungkin.

Dalam “Critique”, persoalan yang hendak dijawab oleh Kant adalah penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Penerapan konsep-konsep ini tidak seperti penerapan konsep-konsep empiris (konsep meja,

21

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 182-3

Secara harfiah, skema berarti diagram atau rancangan yang berisikan petunjuk-petunjuk dasar tentang sesuatu.

22

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 182

batu, buku, kuda dan sebagainya) yang mengandaikan skema empiris— sebagaimana sudah dijelaskan di atas dengan contoh konsep meja. Untuk konsep-konsep murni, penerapannya pada objek-objek pengalaman (sintesis murni) mengandaikan pembentukan skemanya sendiri yang oleh Kant disebut skema transendental. Skema ini, karena sifat murninya (transendental), tidak merepresentasikan aturan-aturan konseptual bagi objek-objek inderawi (skema empiris). Skema transendental, menurut Kant, “tidak lain adalah determinasi waktu” berdasarkan aturan-aturan konsep murni dalam kaitannya dengan rangkaian waktu (time-series), isi waktu (time-content), urutan waktu ( time-order), dan cakupan waktu (time-scope) dari suatu objek.23 Skema substansi, misalnya, menyatakan hubungan antara yang tetap dan yang berubah dalam waktu.24 Skema ini merupakan determinasi waktu suatu objek dalam kaitannya dengan tatanan waktunya (time order). Contoh lain dari kategori yang sama adalah skema kausalitas—substansi dan kausalitas berada dalam satu kategori, yaitu, kategori relasi. Skema kausalitas menyatakan hubungan urutan waktu (time order) dari dua peristiwa objek di mana ketika yang satu dialami (mis, air dimasak), yang lain menyusul (mis, air menjadi panas). Demikian, determinasi waktu merupakan wujud penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman.

Kant mengantisipasi kemungkinan pandangan bahwa konsep substansi, atau konsep-konsep murni lainnya, itu muncul dari determinasi waktu. Karena itu, dia menegaskan bahwa determinasi waktu hanya mungkin sejauh ia mengikuti

23

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 185

24

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 184-185

aturan-aturan determinasi (konsep-konsep murni) yang sudah sejak awal (a priori) terbentuk. Dalam contoh skema substansi misalnya, determinasi tentang apa yang bertahan dan yang berubah dalam waktu hanya mungkin dalam kaitannya dengan konsep substansi. Tanpa konsep substansi, tidak ada aturan untuk menentukan apa yang bertahan dan apa yang berubah dalam waktu.25 Konsep-konsep murni bagi Kant adalah aturan-aturan determinasi yang terbentuk mendahului peristiwa determinasi.

Sekarang kita sudah sampai pada posisi untuk menjawab pertanyaan “apakah yang diketahui dalam pengetahuan murni?”. Dari penjelasan di atas, pertanyaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain: “apakah yang diketahui dalam skema transendental?”. Dalam kasus skema konsep empiris (skema empiris), apa yang direpresentasikan adalah aturan-aturan konseptual bagi objek dan karena setiap konsep empiris memiliki sumbernya dalam pengalaman, maka tidak sulit untuk menemukan kesejajaran antara skema konsep empiris dengan objeknya; misalnya, “aturan” binatang berkaki empat (skema) dengan kucing yang berkaki empat (objek penerapan). Skema transendental, sementara itu, hanya merupakan determinasi waktu dan apa yang diketahui dalam determinasi waktu tersebut adalah “bukan apa pun” (nothing).26 “Bukan apa pun” di sini jangan ditafsirkan “semata-mata ketiadaan” (mere nothing) karena dalam kenyataannya “nothing” di sini memiliki peran konstituif dalam pengetahuan empiris. Karena sifat murninya dan karena fungsi konstitutifnya terhadap pengetahuan empiris, Kant menyebut

25

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 184

26

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 137, 267-268

representasi jenis ini sebagai pengetahuan murni—kadang-kadang disebut juga pengetahuan a priori atau pengetahuan transendental.

Menarik memperhatikan gagasan Kant tentang skema. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditekankan di sini. Pertama, representasi skema, sebagai representasi yang memediasi penerapan konsep pada pengalaman, memiliki sifat intelektual (nalar/rasional), di satu sisi, dan sensibel di sisi lain (intuitif). Kedua, sebagai representasi yang memiliki karakter ambivalen, representasi skema adalah representasi orisinal; ia bukan hasil dari penggabungan antara intuisi dan rasio. Karena itu, walaupun Kant memperkenalkan konsep sintesis dan bahwa skema adalah produk sintesis, dia tidak memaksudkan dengan kata “sintesis” itu sebagai produk kombinasi intuisi dan rasio. Sejak dalam pengantar “Critique”, Kant sudah mengantisipasi kemungkinan salah penafsiran atas konsep sintesis yang diperkenalkannya ini:

“Sebagai pengantar atau antisipasi kita hanya perlu mengatakan bahwa ada dua sumber pengetahuan manusia, yaitu, sensibilitas dan pemahaman, yang mungkin keduanya berasal dari sumber yang sama (common root) yang kita tidak mengetahuinya”.27

Kant memang tidak mengatakan apakah “sumber yang sama” tersebut. Namun maksudnya cukup jelas, Kant hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan sintesis itu tidak terbentuk sebagai hasil penggabungan intuisi-rasio; sebaliknya, rasio dan intuisi justru adalah produk atau momen ganda dari sintesis.

Sensibilitas (dari kata inggris “sensible” yang berarti “dapat terindra”) adalah kapasitas penerimaan objek secara langsung oleh subjek. Bagi Kant kapasitas ini menunjukkan bahwa subjek memiliki intuisi untuk menerima afeksi-afeksi dari objek. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 65

27

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 61

Menurut hemat saya, hal ini juga menjadi alasan mengapa dalam salah satu sub-bab “Critique”-nya, Transcendental Doctrin of Schematisme, dia mengisyaratkan keterbatasan analisanya terhadap fenomena skema sebagai representasi sintetis, sebagai berikut:

“skematisme pemahaman kita, dalam penerapannya terhadap penampakan-penampakan (appearances) dan bentuk-bentuknya, adalah seni yang tersembunyi di kedalaman jiwa manusia, yang modus-modus nyata dari aktivitasnya tidak mengizinkan kita untuk mengungkapnya, dan membiarkan kita mengamatinya dengan seksama”.28

Bersamaan dengan analisisnya atas skema (skematisme), Kant juga menunjukkan adanya fakultas lain, yang sebagaimana skema, memiliki karakter ambivalen. Kant menyebutnya “imajinasi” dan menurutnya fakultas (kekuatan mental) inilah yang memungkinkan terbentuknya skema, dan, karenanya sintesis. Fakultas ini niscaya terandaikan karena setiap jenis representasi selalu mengandaikan fakultasnya tersendiri. Sebagaimana representasi data-data partikular mengandaikan fakultas intuisi atau representasi konsep mengandaikan fakultas rasio, demikian halnya dengan representasi skematik yang mengandaikan fakultas imajinasi. Selanjutnya, pada level pengetahuan murni, di mana sintesis yang terbentuk adalah sintesis murni dan skema yang direpresentasikan adalah skema transendental, Kant mengasumsikan adanya fakultas imajinasi transendental, lawan dari imajinasi empiris, yang memungkinkan pembentukan skema transendental, dan karena itu, sintesis murni.29

28

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 183

29

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 142-143

Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membuat kesimpulan bahwa konsep transendensi Kant melibatkan tiga jenis fakultas pengetahuan: rasio murni, intuisi murni (waktu), dan imajinasi transendental. Tiga fakultas ini secara bersamaan membentuk apa yang oleh Kant disebut sintesis murni yang tidak lain

Dokumen terkait