• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis pada Bab VI baru berbicara tentang dinamika struktur pasar dan perilaku persaingan industri perbankan syariah di Indonesia. Bagaimana dinamika tersebut berhubungan dengan pertumbuhan industri yang menjadi dasar permasalahan pada awal penelitian ini belum terjawab. Pada Bab ini akan dianalisa faktor-faktor yang menjadi determinan pertumbuhan industri tersebut dan apa implikasi yang dapat dirumuskan untuk mengakselerasi pertumbuhan industri di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil tersebut dan beberapa hasil analisis pada Bab sebelumnya yang terkait, beberapa implikasi akan dirumuskan pada akhir Bab.

7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri

Hasil estimasi pada model-model terdahulu digunakan sebagai masukan untuk merumuskan model pertumbuhan industri perbankan syariah. Variabel yang mewakili kelompok faktor spesifik bank, kelompok variabel di tingkat industri dan variabel eksternal industri baik dari pesaing maupun variabel makroekonomi diambil dari persamaan-persamaan sebelumnya, kecuali variabel pada model non-struktural tidak ada yang digunakan karena tidak berhubungan secara langsung. Selain itu, ada dua variabel baru yang sebelumnya belum digunakan dimasukkan ke dalam persamaan ini. Kedua variabel tersebut adalah variabel eksternal nilai tukar (ER) untuk memproksi determinan masuknya modal asing dan keluarnya kapital pada saat terjadi perubahan harga rupiah, serta variabel kebijakan pemerintah dalam bentuk variabel dummy disahkan dan diterapkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Model yang digunakan kembali model FE karena model RE tidak dapat diestimasi sehubungan dengan jumlah variabel independen yang lebih banyak dari jumlah sampel bank yang digunakan (jumlah cross-section). Hasil estimasi secara rinci disajikan pada Lampiran 5 dan ringkasannya disajikan pada Tabel 12. Dari Tabel terlihat bahwa secara keseluruhan goodness of fit model baik dengan F test yang signifikan dan R2

Variabel

di atas 96%. Dari dua belas parameter yang diduga, ada tiga variabel yang tidak signifikan yaitu variabel MS, D2IR dan C. Variabel lainnya signifikan dengan tingkat kepercayaan paling kecil 93%.

Tabel 12. Hasil Estimasi Variabel yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Perbankan Syariah di Indonesia dengan Variabel Terikat LnAset Bank Koefisien P-value BOPO -0.007382 0.0004 D2MS 0.015500 0.6300 D2CR2 -0.034586 0.0524 D2IR 0.031734 0.5725 D1RR 0.111601 0.0002 OFFICE 0.295969 0.0028 RGDP 0.214303 0.0142 IR/RR 0.229088 0.0602 D4 1.008684 0.0000 ER 2.267376 0.0019 C -8.754401 0.1488 R-squared 0.986956 Adjusted R-squared 0.977174 F-statistic 100.8886 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.576590

Variabel spesifik bank yang diwakili oleh rasio BOPO dan jumlah kantor (OFFICE) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan industri. Pertumbuhan jumlah kantor mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh perbikan kualitas manajemen yang diproksi dengan rasio BOPO. Setiap kenaikan jumlah kantor sebesar 1 persen akan meningkatkan total nilai aset

perbankan syariah sebesar 0.30 persen, sedangkan penurunan rasio BOPO sebesar 1 persen hanya akan menaikkan total nilai aset sebesar 0.01 persen.

Untuk kelompok variabel industri diperoleh hasil yang menarik dengan tidak signifikannya variabel pangsa pasar (D2MS) dan signifikan serta negatifnya variabel konsentrasi pasar (D2CR2). Nilai koefisien D2CR2 sebesar -0.03 menunjukkan bahwa setiap kenaikan konsentrasi pasar sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan industri sebesar 0.03 persen, sedangkan perubahan penguasaan pangsa pasar sama sekali tidak berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan industri.

Dengan demikian, pengaruh variabel pangsa pasar dan konsentrasi pasar terhadap keuntungan bank (Tabel 9) berlawanan dengan pengaruh kedua variabel tersebut terhadap pertumbuhan industri. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat keuntungan bank lebih dipengaruhi oleh pangsa pasar daripada oleh struktur pasar, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan industri sebaliknya. Hal ini berarti, walaupun konsentrasi pasar tidak perlu dikhawatirkan dalam konteks akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat dalam industri perbankan syariah, tetapi dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan. Pertumbuhan industri akan lebih terdorong dengan semakin meratanya penguasaan pangsa pasar antar bank yang berada dalam industri atau berkurangnya tingkat konsentrasi dalam industri, terutama untuk bank yang sekarang dominan. Kesimpulan ini tidak berarti bahwa bank yang sudah besar harus dihambat pertumbuhannya, melainkan seluruh bank harus bekerjasama untuk meningkatkan pangsa pasar industri secara keseluruhan dengan dorongan kepada yang masih kecil untuk secara progresif tumbuh dengan lebih cepat dibandingkan dengan bank besar. Kasus pertumbuhan Bank BRI Syariah yang tumbuh sangat cepat setelah menjadi BUS sehingga

mengambil alih posisi Bank Syariah Mega Indonesia dalam waktu relatif cepat merupakan salah satu pengalaman yang dapat dipatokduga.

Selain faktor spesifik bank dan internal industri, variabel eksternal dari industri perbankan konvensional yang diwakili oleh variabel rasio IR/RR juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dengan pengaruh yang masih konsisten dengan hasil sebelumnya. Positif dan signifikannya koefisien rasio IR/RR menunjukkan masih komplementernya hubungan antara bank syariah dengan bank konvensional dalam aspek pertumbuhan, namun dengan tingkat elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan pada saat hubungan dengan nilai DPK. Perubahan rasio IR/RR sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 0.23 persen.

Variabel eksternal makro yang diwakili oleh laju pertumbuhan ekonomi (RGDP) dan tingkat nilai tukar (ER) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah, bahkan dengan kecenderungan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok variabel internal industri maupun faktor spesifik bank. Kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 0.21 persen, bahkan perubahan nilai tukar dengan persentase yang sama akan menyebabkan perubahan pertumbuhan industri dengan persentase lebih dari dua kali lipat.

Kebijakan pemerintah dalam bentuk disahkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah ternyata menjadi faktor yang mempunyai besaran pengaruh terbesar kedua setelah nilai tukar. Hal ini dapat dilihat dengan positif dan signifikannya koefisien variabel dummy D4. Disahkan dan diberlakukannya UU tersebut menyebabkan naiknya intersep pertumbuhan industri perbankan syariah sebesar 1 persen.

Analisis perbandingan antar kelompok bank memperlihatkan bahwa pengaruh tingkat bunga bank konvensional terhadap nilai aset bank tidak berbeda antara bank syariah besar dan kecil seperti terlihat pada koefisien D2IR yang tidak signifikan. Sebaliknya, tingkat bagi hasil mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap nilai aset bank syariah antara BUS dan UUS dimana BUS akan menerima dampak lebih besar dibandingkan dengan UUS. Hal ini terlihat dari koefisien yang positif dan signifikan pada variabel D1RR.

7.2. Beberapa Implikasi

Hasil analisis dan pembahasan pada Bab VI dan Bab VII ini memunculkan beberapa implikasi penting bagi kebijakan untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah. Implikasi berlaku bagi berbagai pemangku kepentingan industri perbankan syariah seperti bank syariah itu sendiri, industri, regulator atau pengawas dan masyarakat secara luas.

7.2.1. Implikasi terhadap Bank Syariah

Kecenderungan bank konvensional membuka UUS dan akhirnya di-spin-off menjadi BUS mendapatkan justifikasi dari studi ini tanpa kekhawatiran terjadinya kanibalisasi nasabah karena kedua industri masih bersifat komplementer baik bagi kepentingan bank (persamaan DPK) maupun untuk kepentingan industri perbankan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak ada dilema antara kepentingan individual bank dengan kepentingan industri dalam hal ini.

Hanya saja hubungan yang bersifat komplementer antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional tidak seharusnya terus dipertahankan karena secara konseptual seharusnya kedua industri bersifat substitusi. Karena penyebab utama hubungan komplementer ini diduga adalah terjadinya

co-movement antara tingkat bunga dan tingkat bagi hasil, maka bank syariah perlu terus menerus berupaya kembali ke jati dirinya dengan meningkatkan proporsi pembiayaan yang berdasarkan bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Godaan selama ini untuk mendapatkan hasil yang cepat dan resiko lebih rendah dengan sistem pembiayaan yang bermarjin tetap seperti murabahah dapat dipahami untuk kepentingan investor dan bisnis. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dibiarkan dominan akan sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank syariah merupakan bank yang berbeda dengan bank konvensional. Untuk mendorong hal ini diperlukan kerjasama berbagai pihak yang terkait seperti pengawas dan regulator (lihat Ascarya, 2011).

Untuk meningkatkan pertumbuhan bank ada dua variabel utama yang dapat diupayakan oleh masing-masing secara internal. Yang pertama adalah meningkatkan jumlah kantor secara progresif. Walaupun hal ini pada awalnya mungkin akan mengurangi tingkat keuntungan, akan tetapi akan berpengaruh positif terhadap peningkatan DPK dan aset secara total. Kedua, adalah terus menerus meningkatkan kualitas manajemen dengan menekan rasio BOPO. Dalam hal ini, kendala terbatasnya SDM perbankan syariah akan menghambat upaya ini. Penggunaan SDM perbankan konvensional yang telah berpengalaman merupakan solusi jangka pendek dengan resiko pragmatisme bisnis yang digunakan oleh SDM tersebut tidak jarang dapat membahayakan penerapan konsep syariah itu sendiri. Dalam hal ini peranan Dewan Pengawas Syariah untuk mengawal penerapan prinsip-prinsip syariah menjadi sangat penting.

Selain faktor kualitas manajemen dan perluasan jangkauan, status bank juga terlihat berpengaruh dalam studi ini terhadap perkembangan bank. Oleh karena itu, akselerasi konversi status bank dari UUS menjadi BUS dan upaya progresif untuk meningkatkan aset bank akan menjadi faktor yang kondusif bagi

bank untuk meningkatkan efisiensi dan mendukung pertumbuhan industri yang semakin cepat.

7.2.2. Implikasi terhadap Industri

Salah satu penghambat pertumbuhan industri perbankan syariah adalah masih dominannya masyarakat yang tidak bersifat syariah loyalist. Kelompok masyarakat yang seperti ini umumnya sudah digarap habis oleh bank syariah yang ada sehingga persaingan telah bergeser kepada kelompok masyarakat yang lebih rasional dalam arti mereka akan memilih bank yang dapat memberikan pelayanan (termasuk return) yang lebih baik. Untuk kelompok yang mengambang seperti ini, mau tidak mau bank syariah harus bersaing tidak hanya sesama bank syariah tetapi juga dengan bank konvensional yang telah mempunyai pengalaman panjang dan jangkauan jaringan yang lebih luas.

Karena bersaing dengan bank konvensional bukan merupakan hal yang mudah, maka sangat strategis bagi industri untuk meningkatkan upaya untuk melakukan edukasi masyarakat akan keunggulan bank syariah. Upaya edukasi yang merupakan barang publik ini, karena hasilnya akan dinikmati oleh semua bank syariah, akan tidak optimal jika diserahkan kepada masing-masing bank. Perlu kerjasama yang erat di tingkat industri agar proses edukasi dapat berjalan secara lebih maksimal. Keberadaan organisasi seperti MES, PKES dan IAEI dapat dijadikan media untuk kerjasama tersebut. Bentuk edukasi tidak hanya dalam bentuk promosi, tetapi juga dalam bentuk kerjasama Business to Business dalam melahirkan berbagai produk inovatif dan memperluas jangkauan kepada masyarakat. Pada saat yang sama berbagai praktek yang mengganggu proses diferensiasi bank syariah dengan bank konvensional seperti terus menurunkan gejala co-movement antara tingkat bunga dan bagi hasil juga perlu diupayakan di tingkat industri agar proses edukasi menjadi lebih efektif. Hal lain yang dapat

didukung pada tingkat industri adalah upaya untuk memperbesar pool SDM perbankan syariah dengan cara melakukan pengembangan SDM sendiri atau mengalokasikan dana yang cukup untuk mengembangkan SDM syariah, dibandingkan mengamankan kepentingan jangka pendek dengan melakukan saling bajak SDM yang telah jadi.

7.2.3. Implikasi terhadap Regulator dan Pengawas

Bank Indonesia perlu segera menuntaskan dan memapankan studi tentang indeksasi Rate of Return Sektor Riil sebagai bagian dari kelengkapan infrastruktur untuk referensi industri perbankan syariah dalam menentukan tingkat bagi hasil sehingga kecenderungan co-movement antara RR dan IR semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini diperkirakan akan semakin mendiferensiasi perbankan syariah di mata konsumen terhadap bank konvensional sehingga semakin mempertegas pencitraan berbedanya bank syariah dengan bank konvensional. Dampak ini pada gilirannya diperkirakan akan berpengaruh positif kepada laju pertumbuhan industri perbankan syariah secara keseluruhan.

Lahirnya UU perbankan syariah terbukti berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan industri. Hal ini mempertegas bahwa intervensi pemerintah yang memihak kepada industri perbankan syariah dan menggarap sisi supply ternyata sangat efektif untuk meningkatkan pertumbuhan, bahkan lebih efektif daripada upaya-upaya internal bank dan industri. Efektivitas sisi supply ini juga diperkuat oleh signifikannya pengaruh variabel luas jangkauan dalam bentuk kantor cabang dalam meningkatkan DPK dan pertumbuhan industri. Oleh karena itu, berbagai upaya terobosan dari pihak regulator yang bersifat antisipatif sangat ditunggu oleh pihak industri karena seringkali terbukti tidak hanya efektif tetapi juga cepat dirasakan dampaknya. Sementara berbagai

strategi yang lebih berorientasi kepada sisi demand (konsumen), seringkali efektifitasnya rendah dan memakan waktu lama. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank pada tahun 2004, misalnya, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap kinerja keuangan bank syariah baik dari sisi likuiditas, profitabilitas maupun efisiensi (Widagdo dan Ika 2008). Hal ini mengindikasikan tidak mudahnya merubah sikap masyarakat.

Salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perbankan syariah yang telah dilakukan di berbagai negara lain seperti Malaysia dan negara Timur Tengah adalah dukungan regulasi dan political will untuk menempatkan sebagian dana pemerintah pada bank syariah. Upaya terobosan seperti ini diperlukan terutama untuk mendongkrak pangsa pasar industri perbankan syariah ke tingkat yang mencapai tingkat kritis untuk berjalan sendiri.

Kesimpulan Efficient Structure Hypothesis pada industri perbankan syariah menunjukkan bahwa kekhawatiran KPPU terhadap Arsitektur Perbankan Indonesia yang mendorong proses merger dan akuisisi sehingga industri perbankan semakin terkonsentrasi tidak berdasar, paling tidak untuk industri perbankan syariah. Temuan bahwa walaupun struktur pasar terkonsentrasi, perilaku bank syariah terbukti tidak kolutif tetapi sangat bersaing dengan dasar efisiensi juga berimplikasi bahwa untuk menilai tingkat persaingan, pendekatan struktural yang umum dilakukan (termasuk oleh KPPU) tidak cukup. Diperlukan pendalaman kajian persaingan secara non-struktural dan kajian perilaku. Tidak dilakukannya pendalaman kajian persaingan ini dapat memberikan masukan yang menyesatkan bagi pengawas persaingan sehingga dilahirkan kebijakan yang tidak tepat.

Namun demikian, penelitian ini memperlihatkan hasil yang menarik setelah analisis determinan pertumbuhan industri dilakukan. Struktur pasar

dalam bentuk tingkat konsentrasi industri mungkin tidak perlu dikhawatirkan dalam kasus perbankan syariah karena adanya tuntutan syariah untuk tetap bersaing dan atau tekanan contestability. Akan tetapi tingkat konsentrasi terbukti dapat menghambat pertumbuhan industri sehingga akan ideal jika pemerintah dan industri mendorong agar pertumbuhan industri bersifat semakin mengurangi tingkat konsentrasi. Mengingat potensi pasar bagi perbankan syariah masih sangat besar, hal ini tidak harus berarti menghambat pertumbuhan bank syariah yang sudah besar, tetapi memfasilitasi bank syariah yang kecil untuk tumbuh lebih cepat. Penelitian ini menyiratkan, misalnya, bahwa status BUS akan lebih mendukung terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan status UUS. Oleh karena itu kebijakan BI untuk mempercepat proses spin-off UUS dari bank induknya perlu terus dilakukan bahkan ditingkatkan.

Hasil kajian empiris penelitian ini juga memperlihatkan bahwa industri perbankan syariah sudah memenuhi necessary condition untuk persaingan secara syariah (terjadi persaingan yang tinggi berdasarkan efisiensi), tetapi belum cukup informasi untuk secara tegas menyimpulkan bahwa industri bersaing karena kepatuhan terhadap landasan normatif atau karena tekanan contestability yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kajian lanjutan berdasarkan data primer dari bank maupun persepsi konsumen dan diperlukan peran aktif Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank serta Dewan Syariah Nasional untuk pro-aktif mengawasi perilaku bersaing ini (tidak hanya fokus pada kesyariahan produk dan proses internal).

Untuk implikasi yang terakhir ini, pada sub-bab terakhir Bab ini akan disajikan proposal prosedur pengujian tingkat kepatuhan terhadap prinsip bersaing secara syariah untuk pedoman awal bagi pemangku kepentingan,

khususnya pengawas di BI dan Dewan Syariah Nasional atau Dewan Pengawas Syariah masing-masing bank dalam mengawasi persaingan.

7.3. Prosedur Pengujian Tingkat Kepatuhan terhadap Prinsip Persaingan Islami: Sebuah Proposal

Perkembangan kajian empiris dan teori pada ilmu Organisasi Industri memungkinkan disusunnya secara sistematis pengujian seberapa jauh tingkat kepatuhan industri perbankan syariah terhadap landasan normatif persaingan yang telah ditetapkan. Ada dua syarat (condition) yang harus dipenuhi agar suatu persaingan industri disebut islami. Syarat pertama yang merupakan syarat keharusan (necessary condition) adalah industri harus bersaing secara sempurna, terlepas dari apapun bentuk struktur pasarnya. Syarat kedua yang merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) adalah persaingan yang terjadi dalam industri dimotivasi oleh kepatuhan akan tuntutan syariah bukan karena tekanan persaingan atau contestability pasar. Secara sistematis tahapan pengujian untuk masing-masing syarat dapat dilihat pada Gambar 9.

7.3.1. Uji Syarat Keharusan

Untuk mengetahui tingkat persaingan suatu industri dapat digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama disebut sebagai pendekatan struktural. Pendekatan ini menguji hubungan berbagai variabel struktur pasar dengan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh bank. Jika terjadi hubungan yang positif antara struktur pasar dengan tingkat keuntungan, maka ada dasar untuk menduga bahwa konsentrasi pasar digunakan untuk mendapatkan keuntungan ekstra di atas kewajaran. Akan tetapi secara empiris, kesimpulan ini dipertanyakan karena tidak selalu positifnya hubungan struktur pasar dengan tingkat keuntungan disebabkan oleh perilaku kolutif bank-bank yang mendominasi pasar. Untuk itu pendekatan Smirlock (1985) sebaiknya digunakan

Gambar 9. Proposal Tahapan dan Prosedur Uji Kepatuhan Industri terhadap Persyaratan Syariah dalam Persaingan

Pendekatan Struktural Pendekatan Non-struktural

Faktor Spesifik Bank Penerimaan Total Biaya -biaya Pangsa Pasar Keuntungan Uji Syarat Keharusan

Uji Syarat Kecukupan Knsentrasi Pasar H <0 0<H<1 H=1 Positif Positif Tidak M emenuhi Syarat Keharusan M emenuhi Syarat Keharusan

Persaingan Belum Islami Persaingan Islami

M otivasi Persaingan: Tuntutan Syariah

M otivasi Persaingan: Cont estability

untuk memastikan penyebab positifnya hubungan struktur pasar dengan keuntungan. Pendekatan kedua adalah pendekatan non-strktural, dimana tingkat persaingan diduga tanpa melibatkan variabel struktur pasar sama sekali. Model Panzar and Rosse (P-R) merupakan model yang paling banyak digunakan untuk pendekatan ini.

Pendekatan Smirlock pada dasarnya mengestimasi sebuah persamaan dengan tingkat keuntungan sebagai variabel dependen dan variabel konsentrasi pasar (yang diproksi dengan rasio konsentrasi - CR), pangsa pasar masing-masing bank (MS), variabel interaksi antara MS dan CR (MSCR), serta variabel spesifik bank lainnya yang diduga berpengaruh terhadap tingkat keuntungan. Titik perhatian adalah pada koefisien variabel-variabel CR (c1), MS (d1) dan MSCR (f3). Jika c1>0 dan d1=0, maka terjadi perilaku kolutif pada industri tersebut (Traditional hypothesis). Jika c1=0 dan d1>0, maka hubungan positif yang terjadi antara keuntungan dan struktur pasar disebabkan oleh diferensiasi produk (Product Differentiation hypothesis). Jika kedua variabel CR dan MS dimasukkan ke dalam persamaan secara bersamaan dan diperoleh f1 tidak signifikan dan f2>0, maka industri mengikuti Efficient Structure hypothesis (ESH) yang berarti bank yang besar mendapatkan keuntungan lebih besar bukan karena perilaku kolutif, tetapi karena tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Jika sebaliknya yang terjadi (f1>0 dan f2 tidak signifikan), maka perilaku kolutif terjadi. Untuk memastikan bahwa ESH memang benar terjadi, maka ditambahkan variabel MSCR ke dalam persamaan dan harus diperoleh koefisien MSCR yang signifikan dan negatif.

Jika pendekatan struktural tidak menghasilkan kesimpulan yang kuat, pendekatan non-struktural dengan model P-R dapat digunakan. Model ini menduga tingkat persaingan dengan H-statistik yang diperoleh dari tingkat elastisitas penerimaan total terhadap perubahan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank. Jika elastisitas penerimaan total bernilai lebih kecil atau sama dengan nol, maka industri bersaing secara monopoli atau terjadi kartel antar bank yang berada dalam industri. Sebaliknya, jika elastisitas bernilai satu, maka industri bersaing sempurna. Tingkat elastisitas antara 0 dan satu berarti industri bersifat oligopolistik atau persaingan monopolistik.

Dengan demikian, syarat keharusan persaingan yang islami adalah tidak terbuktinya perilaku kolutif atau tertolaknya Traditional hypothesis dan sempurnanya tingkat persaingan yang terjadi (H-statistika = 1). Namun terpenuhinya syarat ini belum cukup untuk mengatakan bahwa industri telah bersaing secara islami. Untuk memastikannya diperlukan uji syarat kecukupan. 7.3.2. Uji Syarat Kecukupan

Tingkat persaingan yang sempurna suatu industri secara tradisional disebabkan oleh banyaknya perusahaan dan nasabah yang ada pada pasar tersebut sehingga tidak satupun perusahaan yang dapat mendominasi (price-takers), tidak adanya hambatan masuk bagi perusahaan yang ingin masuk maupun keluar pasar, serta relatif homogennya produk yang ditawarkan. Namun demikian, kajian empiris Organisasi Industri banyak yang menemukan bahwa persaingan sempurna dapat terjadi, walaupun pasar dalam struktur yang terkonsentrasi. Penyebabnya adalah tingginya tingkat contestability yang dihadapi oleh industri. Perusahaan dominan tidak akan berani mengambil keuntungan terlalu besar kalau ancaman pendatang baru sangat tinggi pada industri tersebut.

Untuk industri perbankan syariah, penyebab lain yang mungkin menyebabkan ditemukannya tingkat persaingan sempurna walaupun struktur pasar terkonsentrasi adalah kepatuhan akan landasan normatif persaingan dalam Islam. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut untuk membedakan faktor yang memotivasi persaingan sempurna yang ditemukan pada Uji Syarat Keharusan. Sayangnya untuk dapat membedakan motivasi ini, belum ditemukan studi empiris yang dapat melakukannya dengan menggunakan data sekunder.

Diperlukan kajian dengan data primer untuk melihat langsung perilaku bersaing masing-masing bank seperti strategi dalam menetapkan harga dan marjin, melakukan promosi, meningkatkan jangkauan pelayanan, dan strategi kerjasama sesama bank dalam industri. Selain itu konfirmasi dari persepsi nasabah terhadap berbagai strategi yang dijalankan bank juga diperlukan untuk melihat dampak strategi yang dijalankan oleh bank terhadap kepuasan dan loyalitas nasabah. Tingkat kepuasan dan loyalitas ini akan ikut menggambarkan kekuatan pasar yang dimiliki suatu bank dalam menghadapi persaingan.