• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam paradigma SCP, kinerja bank dipengaruhi oleh struktur pasar dan perilaku bersaing bank. Sejauhmana paradigma tersebut berlaku untuk industri perbankan syariah Indonesia akan didalami pada Bab ini. Bagian pertama akan mengklarifikasi keterkaitan antara industri perbankan syariah dengan industri perbankan konvensional yang secara konseptual saling bersaing satu sama lain. Pada bagian kedua akan digunakan pendekatan struktural untuk menilai tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Bagian terakhir ditujukan untuk melihat hal yang sama namun dengan menggunakan pendekatan non-struktural.

6.1. Batasan Pasar Perbankan Syariah

Pada model ini digunakan model FE karena model RE tidak valid pada saat diuji dengan Uji Hausman. Hasil estimasi yang diringkas dari Lampiran 2, disajikan pada Tabel 7. Secara kesuluruhan model menunjukkan goodness of fit yang baik dengan P-value untuk F-stat lebih kecil dari 0.1. R2

Banyak studi yang telah mengindikasikan bahwa sebagian besar nasabah perbankan syariah bukan merupakan nasabah yang loyal (Fahmi 2010) sehingga kuat dugaan pasar perbankan syariah tidak terpisah secara tegas dengan perbankan secara umum. Tabel 7 memperlihatkan bahwa perbankan

mencapai tingkat 0.93 yang berarti 93 persen keragaman variabel DPK dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen yang digunakan. DW stat 1.84 walaupun tidak ideal tetapi tidak mengindikasikan terjadinya masalah autokorelasi yang serius. Seluruh koefisien signifikan berbeda dengan nol dengan tingkat kepercayaan 99 persen kecuali untuk koefisien pertumbuhan ekonomi (RGDP).

konvensional bahkan masih bersifat komplementer dengan perbankan syariah. Hal ini diperlihatkan oleh tanda positif dan signifikan koefisen variabel rasio tingkat bunga bank konvensional dengan tingkat bagi hasil bank syariah (IR/RR) yang berarti semakin meningkatnya tingkat bunga secara relatif juga akan ikut meningkatkan dana pihak ketiga pada perbankan syariah. Temuan ini bukan merupakan hal yang mengejutkan karena Chong dan Liu (2009) serta Zainol dan Kassim (2010) menemukan indikasi yang sama pada industri perbankan syariah Malaysia dan Kasri dan Kassim (2007) membuktikan terjadinya co-movement antara tingkat rate of return bank syariah dengan tingkat bunga pada perbankan konvensional di Indonesia. Agenda berkelanjutan penelitian BI tentang Model Indeksasi Return Sektor Riil sebagai Benchmark Pricing dan Informasi Kinerja Sektor Ekonomi bagi Perbankan Syariah (Bank Indonesia 2011) memperkuat dugaan bahwa infrastruktur untuk penentuan tingkat bagi hasil bagi perbankan syariah belum terbangun dengan mapan sehingga tingkat bunga bank konvensional masih dijadikan referensi oleh bank syariah untuk menentukan tingkat marjin dan bagi hasil.

Tabel 7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah

Variabel Koefisien P-value

OFFICE 0.509900 0.0012 D1RR 0.146715 0.0028 D2IR -0.360544 0.0003 IR/RR 1.475678 0.0017 RGDP -0.045923 0.7308 C 12.48806 0.0000 R-squared 0.933798 Adjusted R-squared 0.907317 F-statistic 35.26327 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.849029

Co-movement yang terjadi antara rate of return dengan tingkat bunga diduga kuat sejalan dengan fakta pada Gambar 7 tentang kecenderungan porsi pembiayaan berdasarkan jenis skema. Masih dominannya porsi pembiayaan yang menggunakan instrumen fixed rate seperti murabahah menyebabkan perbankan syariah harus selalu merujuk tingkat bunga bank konvensional dalam menetapkan marjin agar tetap kompetitif terhadap perbankan konvensional. Sampai akhir tahun 2010, porsi pembiayaan murabahah perbankan syariah, walaupun cenderung menurun dari tahun ke tahun, masih berada pada tingkat lebih dari 55 persen (Bank Indonesia 2011a). Oleh karena itu, untuk menghilangkan kecenderungan ini perbankan syariah harus semakin meningkatkan porsi pembiayaan yang berdasarkan skema bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Dengan skema bagi hasil yang semakin mendominasi, maka rate of return otomatis akan semakin independen dari pergerakan suku bunga bank konvensional karena terbebas dari keuntungan ataupun kerugian yang terjadi pada sektor keuangan. Sayangnya data pada Gambar 7 memperlihatkan bahwa porsi skema pembiayaan mudharabah/musyarakah hanya fluktuatif pada tingkat 30-an persen dan belum terlihat mampu mengambil alih kecenderungan pembiayaan murabahah yang semakin menurun.

Koefisien IR/RR sebesar 1.47 menunjukkan bahwa kenaikan harga relatif rasio tingkat bunga dengan tingkat bagi hasil sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai DPK sebesar 1.47 persen. Angka koefisien ini merupakan koefisien yang terbesar yang diperoleh dibandingkan dengan koefisien dari variabel-variabel penjelas perubahan DPK lainnya. Sayangnya belum diperoleh informasi berapa elastisitas nilai DPK bank konvensional terhadap perubahan rasio IR/RR ini sehingga dapat dibandingkan nilai DPK bank syariah atau

konvensional yang lebih responsif terhadap perubahan IR/RR. Dugaan awal dengan melihat laju pertumbuhan bank syariah yang selalu lebih tinggi, bank syariah mendapatkan manfaat lebih besar dari volatilitas rasio IR/RR. Dugaan ini diperkuat dengan strategi bank syariah seperti diindikasikan dan dijelaskan pada saat mengulas Gambar 6.

Faktor berikutnya yang secara signifikan berpengaruh positif terhadap nilai DPK adalah jangkauan pelayanan dalam bentuk jumlah kantor cabang (OFFICE). Koefisien sebesar 0.51 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah kantor cabang sebesar 1 persen akan menaikkan nilai DPK sebesar 0.51 persen, ceteris paribus. Memang pengaruh jumlah cabang tersebut tidak elastis, tetapi OFFICE merupakan variabel dengan pengaruh terbesar kedua setelah rasio IR/RR.

Jika dilihat lebih dalam pada internal industri perbankan syariah, variabel interaksi D1 dengan RR menunjukkan bahwa BUS mendapatkan tambahan tingkat DPK yang lebih besar dibandingkan dengan UUS untuk setiap kenaikan tingkat bagi hasil yang sama, yaitu 0.15 persen lebih tinggi. Selain itu, variabel interaksi D2 dengan IR yang bertanda negatif memperlihatkan bahwa dua bank terbesar dalam industri perbankan syariah (BMI dan BSM) mendapat pengaruh 0.36 persen lebih kecil dari perubahan tingkat bunga bank konvensional dibandingkan dengan dengan bank syariah yang kecil. Hasil ini mengindikasikan kemampuan BSM dan BMI sebagai bank besar mengikat nasabahnya lebih baik dibandingkan bank syariah lainnya yang relatif kecil.

Selain berbeda kemiringan antar kelompok bank dalam hal pengaruh IR dan RR, perbedaan konstanta masing-masing bank juga terjadi pada model ini, sesuai dengan model yang digunakan yaitu model FE. Tabel 8 memperlihatkan perbedaan konstanta masing-masing bank yang dimasukkan dalam model

dibandingkan dengan konstanta keseluruhan yang terlihat pada Tabel 7. Sejalan dengan ukuran bank, BSM dan BMI mempunyai konstanta yang tertinggi, lalu diikuti secara berturut-turut oleh Bank Syariah Bukopin, Syariah Mega Indonesia, DKI Syariah dan terakhir BRI Syariah. Secara keseluruhan terlihat bahwa BSM dan BMI berada dalam satu kelompok tersendiri dan empat bank lainnya juga berada dalam satu kelompok tersendiri. Hal inilah yang menjustifikasi penggunaan variabel dummy D2 dimana relevan pada berbagai model dalam penelitian ini. Sebagaimana diungkapkan pada Bab IV, bahwa D2 dengan nilai 1 untuk BSM dan BMI dan bernilai 0 untuk bank lainnya.

Tabel 8. Perbedaan Konstanta Masing-masing Bank yang Termasuk dalam Model

Bank Perbedaan Konstanta Konstanta

Sesungguhnya

Syariah Mega Indonesia -1.20829 11.27977

BRI Syariah -1.91541 10.57266

Syariah Bukopin - 0.71029 11.77778

Muamalat Indonesia 2.57317 15.06123

Syariah Mandiri 2.98043 15.46849

DKI Syariah -1.71963 10.76843

Satu-satunya variabel makroekonomi yang dimasukkan, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi (RGDP) ternyata menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. Tanda yang diperoleh juga meragukan karena seharusnya positif. Dengan demikian, tidak signikannya koefisien RGDP menjadi blessing in disguised secara statistika, jika melihat tandanya yang tidak sesuai harapan tersebut. Tidak signifikannya pengaruh RGDP yang diperoleh pada model ini belum tentu disebabkan memang tidak berpengaruhnya variabel ini, tetapi juga dapat disebabkan kurangnya variasi untuk variabel ini. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, bahwa variabel makroekonomi hanya bervariasi dengan waktu tetapi secara cross-section tidak

bervariasi. Dalam simulasi, invariance ini sudah dicoba untuk diatasi dengan merasiokan RGDP dengan RR, misalnya, yang menggambarkan strategi bank syariah dalam merespon pertumbuhan ekonomi, akan tetapi hasilnya membuat model secara keseluruhan menjadi lebih buruk. Upaya memasukkan variabel dummy kebijakan D4 juga dilakukan dan berhasil menyebabkan variabel RGDP signifikan dan positif, tetapi menyebabkan variabel-variabel lain yang menjadi fokus utama pada persamaan ini (IR/RR) tidak signifikan dan model secara keseluruhan lebih buruk, yang ditunjukkan oleh Adjusted-R2 yang lebih rendah. Alasan lain kenapa tidak signifikannya peran RGDP ini akhirnya tidak begitu dipermasalahkan karena memang penekanan model ini adalah pada pengaruh variabel IR/RR untuk melihat keterkaitan industri perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Pada model pertumbuhan industri, variabel ini akan didalami lebih lanjut karena pengaruhnya tidak dapat diabaikan begitu saja. 6.2. Hubungan Struktur Pasar dan Tingkat Keuntungan

Pada model ini ada empat persamaan yang diestimasi dengan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Smirlock (1985). Keempat persamaan diestimasi dengan menggunakan model FE dan ringkasan hasilnya disajikan pada Tabel 9. Hasil uji Hausman memperlihatkan model FE lebih sesuai untuk model ini dibandingkan dengan model Random dengan Chi-sqr Stat 26.24 dan P-value 0.0002. Rincian hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 3. Seluruh persamaan yang diestimasi mempunyai goodness of fit yang baik dengan F-test yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99% dan R2

Industri perbankan syariah Indonesia ditandai oleh struktur pasar yang sangat terkonsentrasi, walaupun dengan penguasaan yang semakin menurun dari tingkat nilai CR2 lebih dari 75 % pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 55

% pada tahun 2010. Penurunan nilai CR2 ini sejalan dengan semakin banyaknya jumlah bank syariah. Terlepas dari kecenderungan CR2 yang semakin menurun, sejak tahun 1999 pangsa pasar perbankan syariah terus dikuasai secara dominan oleh hanya dua bank besar yaitu BSM dan BMI. Bank terbesar setelah kedua bank tersebut hanya menguasai masing-masing kurang dari 7 % pangsa pasar.

Tabel 9. Ringkasan Hasil Estimasi Hubungan Struktur Pasar dengan Tingkat Keuntungan Perbankan Syariah

Variabe

Terikat Intersep CR2 MS MSCR2 BOPO ASET DPK

P-value (F-stat) R 2 ROA -9.8991 (0.0000) 0.0057 (0.0059) - - -0.0459 (0.0000) 2.5419 (0.0001) -1.5601 (0.0022) 0.0000 0.86 ROA -10.1866 (0.0007) - 0.1259 (0.0001) - -0.0459 (0.0000) 2.4757 (0.0000) -1.5233 (0.0008) 0.0000 0.88 ROA -9.1808 (0.0014) -0.0133 (0.6675) 0.1529 (0.0328) - -0.0454 (0.0000) 2.3319 (0.0004) -1.4310 (0.0049) 0.0000 0.87 ROA -14.4392 (0.0001) 0.2699 (0.0276) 0.4536 (0.0015) (0.0157) -0.0064 -0.0493 (0.0000) 2.5924 (0.0001) -1.4296 (0.0023) 0.0000 0.91

Keterangan:- Angka dalam kurung adalah P-value untuk koefisien di atasnya

- Semua variabel dalam bentuk Ln kecuali BOPO, CR2 dan MS yang sudah dalam satuan persen.

- Variabel CR2 dan MS diinteraksikan dengan Dummy BMI dan BSM=1 dan selainnya= 0

Teori Mikroekonomi mengatakan bahwa tingkat konsentrasi yang tinggi berpotensi untuk menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap pasar sehingga mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat, sementara secara normatif perbankan syariah tidak diperbolehkan untuk menggunakan potensi kekuatan pasarnya untuk mengeksploitasi pasar. Namun sampai sekarang baik BI maupun Dewan Pengawas Syariah belum mempunyai mekanisme dan prosedur untuk memastikan tidak dilanggarnya landasan normatif tersebut, terutama oleh Bank Syariah yang dominan.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa dari persamaan pertama, konsentrasi pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap keuntungan bank syariah yang mendukung hipotesis tradisional bahwa bank yang dominan mempergunakan

kekuatan pasar mereka untuk mendapatkan ekstra keuntungan. Namun persamaan kedua juga memperlihatkan bahwa pangsa pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat keuntungan yang menunjukkan bahwa bank yang mempunyai pangsa pasar yang lebih besar mempunyai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dari pesaingnya sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Persamaan ini mendukung hipotesis Efficient Structure. Untuk menguji hipotesis mana yang berlaku, kedua variabel MS dan CR2 secara bersamaan dimasukkan ke dalam model. Ternyata setelah dikontrol dengan MS, CR2 menjadi tidak signifikan, sedangkan MS tetap positif dan signifikan. Menurut Smirlock (1985), hasil ini secara mutlak menunjukkan dukungan terhadap hipotesis Efficient Structure. Pembuktian lebih lanjut adalah diperolehnya koefisien yang negatif dan signifikan pada variabel interaksi MS dan CR2 (MSCR2) sesuai dengan ekspektasi. Jika konsentrasi yang tinggi menyebabkan perilaku kolutif yang dicirikan oleh pembagian keuntungan yang tidak proporsional antara bank besar dan kecil, maka koefisien MSCR2 akan positif dan signifikan. Hasil ini memperbaiki ketidakjelasan kesimpulan yang diperoleh oleh Amalia dan Nasution (2007) tentang hubungan struktur pasar dan keuntungan pada perbankan syariah dengan menggunakan data bulanan (Januari 2002-Nopember 2005) dan hanya menggunakan tiga bank syariah sebagai sampel.

Selain variabel-variabel utama yang telah menghasilkan kesimpulan sesuai dengan yang diduga seperti di atas, model ini juga menggunakan variabel lain yang tergolong ke dalam variabel spesifik bank yaitu BOPO, ASET dan DPK. Keseluruhan variabel ini pada seluruh persamaan berpengaruh signifikan dengan tanda sesuai dengan yang diharapkan, kecuali untuk variabel DPK. BOPO yang biasanya digunakan sebagai proksi kualitas manajemen menunjukkan pengaruh

yang negatif dalam arti semakin tinggi rasio BOPO (yang menunjukkan kualitas manajemen yang semakin kurang baik) akan menyebabkan turunnya tingkat keuntungan yang diukur dengan ROA. Namun demikian jika dilihat besaran pengaruh, terlihat bahwa pengaruh perubahan rasio BOPO terhadap ROA tidak terlalu besar, yaitu hanya sekitar 0.05 persen untuk setiap 1 persen kenaikan rasio BOPO.

Pengaruh ASET terhadap ROA jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh BOPO. Untuk seluruh persamaan, setiap kenaikan perubahan ASET sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan ROA sebesar 2.5 persen. Dengan demikian, strategi untuk meningkatkan jumlah ASET bukan hanya strategis untuk meningkatkan pangsa pasar industri perbankan syariah secara keseluruhan, tetapi juga sangat strategis untuk meningkatkan tingkat profitabilitas masing-masing bank.

Variabel DPK mempunyai tanda pengaruh yang agak mengejutkan karena bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar Dana Pihak Ketiga yang dikumpulkan cenderung menyebabkan tingkat profitabilitas yang semakin rendah. Besarnya investasi yang diperlukan untuk meningkatkan DPK dengan memperluas jangkauan seperti pembangunan kantor cabang diduga menjadi salah satu penyebab tanda yang negatif ini.

6.3. Tingkat Persaingan Industri Perbankan Syariah Indonesia

Model non-struktural P-R untuk industri perbankan syariah Indonesia juga diestimasi dengan menggunakan model FE dan hasilnya disajikan pada Tabel 11. Model Random untuk persamaan ini tidak valid untuk diestimasi karena banyaknya variabel yang bernilai 0 dan 1. Jika variabel dummy dan yang diinteraksikan dengan variabel dummy dihilangkan, maka model RE dapat diuji

(Lihat Lampiran 4a). Hasilnya ternyata juga memperlihatkan model FE lebih baik dengan Chi-sqr = 14.49 dan P-value=0.0059. Oleh karena itu model FE akan digunakan dan untuk mendapatkan kedalaman informasi variabel dummy dan yang diinteraksikan dengan dummy kembali dimasukkan. Hasil secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 4. Hasil estimasi memperlihatkan goodness of fit yang baik dengan F-test yang signifikan pada tingkat kepercayaan 99%, R2

Variabel

hampir 100% dan seluruh koefisien kecuali untuk variabel BTK signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Namun sebelum itu, terlebih dahulu disajikan hasil uji kondisi equilibrium jangka panjang pada industri perbankan syariah Indonesia. Hasil estimasi persamaan untuk uji keseimbangan tersebut disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Estimasi Persamaan ROA dengan Seluruh Variabel Independen yang Digunakan pada Persamaan P-R

Koefisien P-value BBH -0.303857 0.0000 BTK 0.197996 0.0337 BKAP 0.198743 0.0104 D1 0.702562 0.0004 D2BBH 0.342122 0.0003 D2BTK -0.175003 0.0847 D2BKAP -0.254413 0.0020 BOPO -0.017150 0.0000 C 2.137001 0.0000 R-squared 0.922854 Adjusted R-squared 0.891628 F-statistic 29.55432 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.048146

Dari data pada Tabel 10 dapat dikalkulasi bahwa total nilai koefisien BBH, BTK dan BKAP pada persamaan ROA menghasilkan angka sebesar 0.09 yang berarti tidak persis sama dengan 0 yang menunjukkan posisi keseimbangan jangka panjang, walaupun cukup mendekati. Namun pada Bab IV sudah

diuraikan bahwa apapun hasil uji tingkat keseimbangan ini tidak akan mengganggu terlalu serius nilai H-stat industri perbankan syariah Indonesia yang diperoleh, kecuali jika diperoleh H-stat yang negatif dan kasus negara maju. Dengan demikian, perhitungan H-stat dapat dilanjutkan.

Kalkulasi H-stat dari hasil estimasi pada Tabel 11 menghasilkan angka 0.92 yang merupakan penjumlahan dari koefisien BBH dan BKAP. Koefisien BTK tidak dimasukkan karena nilainya tidak signifikan atau sama dengan nol yang terlihat dari nilai Prob. yang jauh di atas 0.05. Walaupun angka H-stat tidak sampai persis sama dengan 1 yang menunjukkan pasar yang bersaing sempurna, tetapi nilai yang mendekati satu tersebut mengindikasikan bahwa industri perbankan syariah berada pada struktur pasar persaingan monopolistik dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi. Hasil ini semakin memperkuat hasil estimasi dengan pendekatan struktural yang menunjukkan bahwa walaupun struktur pasar terkonsentrasi sangat tinggi, industri perbankan syariah tidak menggunakannya untuk menghambat persaingan.

Dengan demikian, necessary condition untuk pembuktian bahwa prinsip persaingan yang sehat pada perbankan syariah tetap berlangsung terlepas dari struktur pasar yang terjadi sudah terpenuhi. Hanya saja, tingkat persaingan yang tinggi tersebut dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, industri perbankan syariah secara sadar mengikuti tuntunan landasan normatif syariah yang tidak membolehkan persaingan yang tidak sehat walaupun mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Kemungkinan kedua penyebab tingginya tingkat persaingan adalah besarnya tekanan persaingan yang semakin tinggi (contestability) baik dari perbankan konvensional yang pasarnya tidak terpisah secara tegas maupun jumlah bank syariah yang tumbuh secara progresif serta keberadaan potential entrants yang besar karena relatif

kecilnya hambatan persyaratan untuk mendirikan bank syariah. Untuk membuktikan kemungkinan mana yang terjadi, diperlukan pendalaman lebih lanjut terhadap indikasi awal tersebut dan ini merupakan sufficient condition tingkat kepatuhan perbankan syariah terhadap landasan syariah dalam perilaku bersaingnya. Sayangnya, tahapan pembuktian sufficient condition di atas, di luar ruang lingkup penelitian ini karena diperlukan dukungan informasi data primer tentang perilaku bersaing masing-masing bank dan persepsi konsumen terhadap berbagai strategi yang dijalankan oleh perbankan syariah.

Tabel 11. Hasil Estimasi Model P-R Industri Perbankan Syariah Indonesia

Variabel Koefisien P-value

BBH 0.141015 0.0009 BTK -0.036018 0.6775 BKAP 0.768720 0.0000 D2*BBH 0.352603 0.0000 D2*BTK 0.188113 0.0338 D2*BKAP -0.405440 0.0000 BOPO -0.011822 0.0000 D1 0.842287 0.0000 C 2.588527 0.0000 R-squared 0.999509 Adjusted R-squared 0.999310 F-statistic 5026.928 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.104536

Keterangan:- Seluruh variabel dalam bentuk Ln kecuali BOPO yang sudah dalam bentuk persen.

- D2 adalah variabel Dummy bank dominan (BMI dan BSM = 1; selainnya = 0).

- D1 adalah variabel Dummy jenis bank (BUS = 1; UUS = 1).

Analisis lebih lanjut dengan menginteraksikan variabel-variabel biaya dengan D2 hanya memberikan indikasi awal bahwa bank syariah yang dominan, yaitu BMI dan BSM, mempunyai tingkat persaingan yang tidak sama dengan tingkat persaingan yang berjalan pada industri perbankan syariah secara umum seperti terlihat pada signifikannya semua koefisien variabel-variabel biaya yang

diinteraksikan dengan D2. Hal ini diduga karena mereka dapat mengkapitalisasi keunggulan yang dimiliki baik dari segi nilai aset, jangkauan, pelayanan maupun sejarah yang sudah lebih panjang dibandingkan dengan bank syariah pesaingnya untuk membuat nasabahnya lebih loyal. Bank syariah besar yang diwakili oleh BSM dan BMI mempunyai tingkat elastisitas penerimaan total yang lebih besar dibandingkan dengan bank-bank kecil terhadap perubahan beban bagi hasil dan beban tenaga kerja. Bank besar secara berturut-turut mempunyai elastisitas 0.35 dan 0.19 lebih tinggi untuk setiap perubahan beban bagi hasil dan beban tenaga kerja. Untuk elastisitas terhadap perubahan beban kepital sebaliknya, bank besar mempunyai elastisitas 0.41 poin lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas bank kecil.

Selain dummy kemiringan, model ini juga memasukkan variabel dummy intersep untuk melihat perbedaan kelompok BUS dan UUS. Hasilnya memperlihatkan bahwa BUS mempunyai penerimaan total yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang berstatus UUS. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien D1 yang bernilai positif 0.84 dan P-value 0.00.

Walaupun informasi utama yang ingin didapatkan dari persamaan ini adalah angka H-Stat, tetapi persamaan juga memberikan informasi lain yang berharga untuk diungkapkan. Penerimaan total bank ternyata mempunyai elastisitas paling tinggi terhadap perubahan beban kapital, yaitu 0.77. Elastisitas ini memperlihatkan bahwa setiap kenaikan biaya kapital sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan total bank syariah sebesar 0.77 persen, atau tidak elastis. Respon penerimaan total lebih tidak elastis lagi terhadap perubahan beban bagi hasil, yaitu hanya 0.14, bahkan tidak terpengaruh oleh perubahan biaya tenaga kerja.

Variabel terakhir adalah BOPO yang juga signifikan berpengaruh negatif terhadap penerimaan total, walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu berarti. Memburuknya kualitas manajemen yang digambarkan oleh kenaikan rasio BOPO sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan penerimaan total sebesar 0.01 persen.

VII. DETERMINAN PERTUMBUHAN INDUSTRI