• Tidak ada hasil yang ditemukan

Walaupun konsep Ekonomi Islam secara umum telah dirumuskan dan dipraktekkan sejak awal agama Islam dikembangkan, perwujudannya dalam bentuk kelembagaan Bank yang didasarkan pada syariat Islam baru dirintis di Mesir tahun 1960an. Bermula dari sana, perbankan Islam berkembang ke berbagai belahan dunia sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakat, khususnya muslim, akan alternatif dari sistem perbankan konvensional. Banyak kelompok umat Islam yang telah lama meyakini bahwa sistem perbankan konvensional dengan sistem bunganya dianggap dan telah difatwakan tidak sesuai dengan syariah. Pada sisi lain, sistem perbankan konvensional juga dari waktu ke waktu memicu berbagai krisis yang bersumber dari kelemahan sistem yang melekat dengan sistem yang digunakan sehingga industri perbankan menjadi salah satu industri yang paling diatur (highly regulated) di dunia untuk meminimumkan dampak negatifnya. Dengan demikian, diperkenalkannya perbankan Islam tidak hanya ditunggu oleh mereka yang secara idiologis memang telah meyakini ketidaksesuaian sistem pebankan konvensional dengan syariah, tetapi juga menjadi harapan bagi mereka yang merasa tidak puas dengan sistem perbankan konvensional selama ini.

Pada Bab ini akan diuraikan terlebih dahulu secara deskriptif sejarah perkembangan perbankan Islam yang dikenal dengan istilah perbankan syariah di Indonesia. Sejarah perkembangan peraturan dan perundang-undangan yang mempengaruhi pertumbuhan industri perbankan syariah juga akan disajikan dalam satu sub-bab tersendiri. Setelah itu barulah diulas secara berturut-turut dinamika struktur pasar, perilaku persaingan dan terakhir kinerja industri perbankan syariah di Indonesia. Keseluruhan informasi pada Bab ini akan

menjadi latar belakang informasi untuk memahami berbagai hasil kajian empiris yang akan dilakukan pada Bab-bab selanjutnya.

5.1. Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia

Mulainya perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan relatif terlambat dibandingkan dengan perkembangan pada berbagai negara berpenduduk muslim lainnya. Negara-negara seperti Mesir, Pakistan, Kuwait, Bahrain, UEA, Malaysia, Iran dan Turki, misalnya, telah memulai industri perbankan syariah sejak akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an yang berarti satu dekade lebih awal dari Indonesia. Perkembangan pada berbagai negara berpenduduk muslim tersebut terakselerasi sejak didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Salah satu tugas IDB, selain memenuhi berbagai kebutuhan negara Islam untuk pembangunan, juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara anggotanya dengan menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank syariah. Untuk pengembangan sistem Ekonomi Syariah secara umum baik dalam bidang perbankan maupun sektor keuangan secara umum, IDB membangun Islamic Research and Training Institute (IRTI) yang juga berkedudukan di Jeddah (Antonio, 2001).

Sejarah perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 dengan didirikannya Bank Muámalat Indonesia (BMI). Berdirinya BMI ini merupakan buah dari rangkaian diskusi yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim yang diikuti oleh prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia pada tahun 1990. Dari kelompok kerja inilah akhirnya lahir bank Muámalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia.

Sampai tahun 1999 perkembangan perbankan syariah cenderung stagnan karena pada dasarnya BMI belum mempunyai mitra untuk mengembangkan diri selain beberapa BPRS yang sudah mulai banyak berdiri pada periode tersebut. Baru setelah berdirinya Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999 dengan suntikan modal yang besar dari Bank Mandiri sebagai bank konvensional terbesar di Indonesia, perkembangan industri perbankan syariah terlihat lebih hidup. Bank Umum Syariah (BUS) memang masih relatif lambat perkembangannya pada saat itu, tetapi Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berkembang lebih cepat. Jumlah BUS tidak bergerak dari jumlah 2 bank sampai tahun 2003 dan hanya bertambah satu lagi menjadi 3 (Bank Mega Syariah Indonesia) pada tahun 2004 yang bertahan sampai tahun 2007. Setelah tahun 2007 baru berkembang relatif pesat sampai mencapai 11 bank pada akhir tahun 2010 (lihat Tabel 5).

Sementara itu, bank BUMN dan swasta nasional maupun asing satu per satu membuka bank syariah tetapi kebanyakan dimulai dengan bentuk UUS pada awal berdirinya. Perkembangan UUS pada masa-masa awal berdirinya sangat terbantu dengan menempel kepada citra, jaringan dan fasilitas induknya seperti office channeling dan jaringan ATM. Namun UUS bukanlah bentuk ideal bank syariah yang diharapkan karena ia hanya menjadi agen perluasan bisnis bank konvensional. Bank syariah ideal yang diharapkan adalah BUS yang mandiri terlepas dari bank konvensional. Pada akhirnya karena perkembangan atau tuntutan peraturan, UUS seharusnya dikonversi menjadi BUS sehingga pada tahun tertentu dapat saja ditemukan jumlah UUS berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Bank BRI Syariah (2009), BNI Syariah (2000), Syariah Bukopin (2008) dan BCA Syariah (2010) merupakan contoh-contoh bank yang berawal dari UUS yang pada akhirnya berubah menjadi BUS beberapa tahun

kemudian. Jumlah UUS sempat mencapai jumlah tertinggi sebanyak 27 bank pada akhir tahun 2008.

5.2. Perkembangan Regulasi Industri Perbankan Syariah

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia lebih dipelopori oleh pihak masyarakat dan dunia usaha dibandingkan inisiatif pemerintah. Oleh karena itu, regulasi dan intervensi pemerintah biasanya datang belakangan setelah mendapat masukan dan tekanan dari pihak pelaku usaha. Secara umum, bank syariah di Indonesia berdiri berdasarkan landasan legal yang sangat sederhana pada tahun 1992. Industri perbankan syariah baru mendapatkan landasan sebuah Undang-undang yang utuh 16 tahun kemudian. Akibatnya dapat dipahami kenapa pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia sampai tahun 2008 bergerak lambat. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, peranan keberpihakan pemerintah dalam pertumbuhan industri perbankan syariah sngat besar, terutama pada saat awal-awal pertumbuhan. Oleh karena itu, perkembangan jumlah dan aset bank syariah di Indonesia juga diduga sejalan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Pada awal BMI berdiri, keberadaan bank syariah hanya didukung oleh dibolehkannya bank beroperasi dengan sistem bagi hasil pada UU No. 7 Tahun 1992. Dalam UU ini, istilah bank syariah atau bank Islam sama sekali belum disebutkan secara eksplisit di dalam batang tubuh. Kesimpulan bahwa bank yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil baru mendapatkan penjelasan yang mengarahkan kepada Bank Syariah pada PP No.2 Tahun 1992 dengan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. Dengan

demikian, pada tahapan ini, penjelasan tentang perbankan dengan sistem bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan dan hanya diuraikan secara sepintas (Antonio, 2001). Penyebutan secara spesifik sebagai bank dengan prinsip bagi hasil tanpa menyebut bank syariah menyebabkan kemampuan operasi bank syariah pada saat itu menjadi sangat terbatas karena prinsip bagi hasil hanya merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan sebuah bank syariah.

Eksistensi kebaradaan perbankan syariah baru secara eksplisit dikukuhkan pada UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan Perbankan yang merupakan perubahan UU tentang perbankan yang sebelumnya (UU No.7/1992). Di dalam UU ini entitas perbankan Islam secara tegas disebutkan sebagai Bank Syariah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Walaupun masih menjadi satu dengan UU Perbankan secara umum, landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dijalankan oleh bank syariah dijelaskan dengan rinci. Namun demikian, sebagai bagian dari UU perbankan secara keseluruhan, tentu saja keluasaan untuk menjelaskan berbagai aspek perbankan syariah secara menyeluruh dan terintegrasi menjadi terbatas.

Tahun 2008 menjadi tahun yang bersejarah bagi industri perbankan syariah karena akhirnya UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, yaitu UU No. 21 Tahun 2008 disahkan pada bulan Juli. Secara rinci, batang tubuh UU ini dapat dibaca pada Lampiran 6, namun untuk menghemat tempat pada Lampiran tersebut tidak disertakan penjelasan pasal per pasal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU. Untuk melihat sejauhmana pengaruh kebijakan yang telah lama ditunggu oleh industri perbankan syariah ini terhadap kinerja industri secara keseluruhan, maka pada penelitian ini akan diuji pengaruh kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan industri di dalam model pertumbuhan industri.

Keluarnya UU No.42 /2009 tentang Amandemen UU PPN yang efektif berlaku mulai 1 April 2010 semakin melengkapi kondusifnya peraturan yang mendukung pertumbuhan industri perbankan syariah (Rohilina dan Wibisono, 2011). Sebelumnya bank syariah selalu terbebani dengan pajak berganda yang dikenakan dalam transaksi murabahah, sehingga mempunyai dayasaing yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional untuk transaksi yang mereka lakukan. Mulai 1 April 2010, level of playing field antara perbankan syariah dan perbankan konvensional menjadi setara. Hanya saja industri perbankan syariah dengan pangsa yang sangat kecil tentu saja bukan tandingan bagi bank konvensional yang sudah demikian besar dan mempunyai sejarah jauh lebih panjang. Perlakuan pemerintah kepada industri perbankan syariah sebagai infant industry masih banyak terdengar diharapkan oleh beberapa pelaku bank syariah.

5.3. Dinamika Struktur Pasar Perbankan Syariah Indonesia

Karena umur industri yang masih relatif muda, maka struktur pasar pada industri perbankan syariah masih sangat dinamis. Sejak dimulai tahun 1992, industri perbankan syariah pada dasarnya dikuasai oleh hanya satu bank, yaitu BMI sampai berdirinya BSM pada tahun 1999. Keberadaan BPRS pada periode tersebut dapat diabaikan karena kecilnya pangsa pasar yang mereka kuasai dan BPRS memang mempunyai karakteristik yang berbeda. Tabel 5 memperlihatkan perkembangan jumlah bank syariah dari tahun 2000 sampai tahun 2010.

Dari segi jumlah, terlihat dari bahwa BUS secara stabil dikuasai oleh hanya dua bank sampai tahun 2003 dan tiga bank sampai tahun 2007. Ketiga bank tersebut adalah BMI, BSM dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Namun dibandingkan dengan BMI dan BSM, pangsa BSMI sangat tertinggal jauh dengan

pangsa pasar hanya sekitar 5 persen, dibandingkan BSM dan BMI dengan pangsa masing-masing di atas 30 dan 20 persen. Karena umumnya BUS berukuran jauh lebih besar daripada UUS dan BPRS, maka dapat dinyatakan bahwa struktur pasar industri perbankan syariah sangat terkonsentrasi, paling tidak sampai tahun 2007. Trend pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa memang rasio konsentrasi dua bank terbesar (CR2) cenderung menurun dalam lima tahun terakhir, akan tetapi kedua bank BSM dan BMI masih tetap mendominasi pangsa pasar pada industri perbankan syariah Indonesia.

Tabel 5. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2000-2010 Indikator 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 BUS (unit) 2 2 2 2 3 3 3 3 5 6 11 UUS (unit) 3 3 6 8 15 19 20 25 27 25 23 BPRS (unit) 79 81 83 84 88 92 105 114 131 138 150 Kantor (unit) 146 182 229 337 443 550 567 683 951 1223 1763

Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI.

Penurunan CR2 merupakan konsekuensi logis dari semakin bertambahnya bank syariah baik BUS maupun UUS, terutama pada tiga tahun terakhir. Penurunan tingkat konsentrasi akibat semakin banyaknya jumlah bank syariah mengindikasikan potensi terjadinya peningkatan persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Trend ini semakin diperkuat jika dilihat dari sisi konsumen. Pada saat awal periode bank syariah didirikan, kemungkinan besar mayoritas nasabah adalah termasuk kategori nasabah syariah loyalist yang berarti hanya mau berinteraksi dengan bank syariah. Pada periode awal ini, bank syariah berarti diuntungkan oleh dua hal, yaitu masih sedikitnya pesaing

sesama bank syariah dan tidak perlu khawatir nasabah akan berpindah ke bank konvensional. Namun dengan berjalannya waktu, segmen nasabah kategori ini yang diperkirakan tidak lebih dari 25 persen dari seluruh jumlah nasabah (Fahmi 2010) akan semakin habis digarap oleh bank syariah yang ada. Bank syariah harus memperluas target pasarnya kepada kelompok nasabah yang tidak lagi loyal hanya kepada bank syariah. Berubahnya karakter nasabah ini menyebabkan batas persaingan bank syariah tidak hanya dengan sesama bank syariah yang jumlahnya semakin banyak, tetapi juga dengan bank konvensional yang secara relatif mempunyai berbagai keuntungan dari segi jangkauan layanan, ukuran, dan pengalaman.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah, berbagai tahun, diolah.

Gambar 5. Kecenderungan Perubahan CR2 dan Pangsa Pasar Dua Bank Terbesar BSM dan BMI Periode 2005-2010

5.4. Dinamika Perilaku Bank Syariah Indonesia

Dinamika pada struktur pasar secara konseptual juga akan menyebabkan dinamika pada perilaku bank. Namun untuk perilaku bank ini agak sulit diamati

dengan hanya melihat data sekunder. Diperlukan pendalaman dengan mengolahnya lebih jauh dan dukungan data primer untuk mendapatkan indikasi perilaku bank yang berlangsung. Secara prinsip bank syariah seharusnya tetap bersaing secara sempurna terlepas dari struktur pasar yang terjadi. Namun sampai sekarang belum tersedia prosedur dan belum muncul urgency dari pihak pengawas untuk secara efektif memperhatikan tingkat kepatuhan terhadap prinsip bersaing secara islami tersebut. Akibatnya dapat terjadi baik disadari atau tidak bank syariah menerapkan perilaku bersaing yang tidak islami, terutama oleh bank dominan yang secara riil mempunyai kekuatan pasar.

Oleh karena itu beberapa indikasi awal dapat merujuk kepada beberapa studi terdahulu, walaupun belum tentu masih menggambarkan kondisi terkini yang mungkin sudah berubah. Sebagaimana diungkapkan pada Bab III, kajian Amalia dan Nasution (2007) mengindikasikan bahwa bank syariah bersaing dengan mengandalkan efisiensi bukan perilaku kolutif, terutama dari bank-bank dominan, walaupun hasil estimasinya tidak sepenuhnya meyakinkan. Hasil studi Weill (2009) berdasarkan data cross-country, walaupun tidak spesifik untuk kasus Indonesia, sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh Amalia dan Nasution (2007) dengan menyimpulkan bahwa dalam industri perbankan syariah ditemukan struktur pasar persaingan monopolistik seperti halnya pada industri perbankan konvensional. Padahal pada awalnya Weill (2009) menduga perbankan syariah akan mengindikasikan kekuatan pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional karena tingkat loyalitas nasabahnya. Temuan ini sebenarnya malah memberikan bukti awal akan prinsip persaingan yang islami, yaitu terlepas dari struktur pasar yang terbentuk, bank syariah harus menunjukkan tingkat persaingan tinggi.

Salah satu indikator perilaku yang diduga menunjukkan tekanan persaingan baik sesama bank syariah maupun dengan bank konvensional adalah perilaku bank syariah dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Hasil studi Kasri (2007) menunjukkan terjadinya co-movement antara tingkat bagi hasil (rate of return) dengan tingkat bunga bank konvensional. Hal ini ternyata juga ditemukan oleh Chong dan Liu (2009) dan Zainol dan Kassim (2010) di Malaysia. Kecenderungan ini berarti bank syariah selalu memperhatikan tingkat bunga dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Gambar 6 mengkonfirmasi kecenderungan tersebut walaupun terlihat volatilitas tingkat bagi hasil relatif lebih kecil dibandingkan dengan volatilitas tingkat bunga di perbankan konvensional.

Gambar 6. Perbandingan Pergerakan Rate of Return Perbankan Syariah dengan Pergerakan Tingkat Bunga Perbankan Konvensional Periode Tahun 2005-2010

Hal lain yang dapat dibaca dari Gambar 6 adalah strategi bank syariah yang cenderung segera ikut menaikkan RR pada saat IR naik, namun tidak mengikuti dengan kecepatan dan ketajaman yang sama pada saat IR menurun.

Strategi ini diperkirakan harus dilakukan oleh bank syariah untuk menjaga agar nasabahnya yang bukan syariah loyalist tidak memindahkan dana mereka ke bank konvensional. Tentu saja strategi bank syariah untuk selalu mengikuti pergerakan IR ini walaupun efektif juga beresiko merusak pencitraan perbankan syariah yang terkesan menjadi tidak berbeda dengan bank konvensional. Jika strategi ini hendak terus dilakukan diperlukan proses edukasi secara terus menerus kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa itu hanya sekedar strategi bersaing tanpa mengganggu kesyariahan akad yang telah disepakati.

Kecenderungan co-movement antara tingkat bagi hasil dengan tingkat bunga bank konvensional diduga terkait dengan struktur pembiayaan industri perbankan syariah yang masih didominasi skema murabahah yang merupakan skema jual beli dengan marjin yang tetap. Untuk skema jenis ini, memang bank syariah harus selalu memperhatikan tingkat bunga yang berlaku pada perbankan konvensional untuk tetap kompetitif. Data pada Gambar 7 memperlihatkan bahwa skema pembiayaan murabahah masih mendominasi dengan porsi di atas 55 persen sampai akhir tahun 2010, walaupun cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sayangnya kecenderungan penurunan murabahah tidak diikuti oleh kenaikan porsi mudharabah/musyarakah yang hanya fluktuatif di sekitar angka 30-an persen.

Persistennya proporsi yang rendah pada skema pembiayaan yang berdasarkan bagi hasil bukan hanya terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan gejala umum pada bank Islam di berbagai negara lain. Jika dibandingkan dengan proporsi pembiayaan berbasis bagi hasil di negara lain seperti Malaysia, Pakistan dan negara-negara Timur Tengah, sebenarnya proporsi yang dicapai Indonesia sudah lebih baik (Ascarya, 2011). Dalam kajiannya menggunakan metode ANP

dengan responden 20 praktisi dan 15 ahli perbankan syariah, Ascarya menemukan bahwa masalah utama yang menyebabkan persistensi rendahnya skema pembiayaan berbasis bagi hasil adalah:

1. kurangnya pengetahuan nasabah tentang skema pembiayaan berbasis bagi hasil,

2. kurangnya komitmen dari pihak otoritas untuk menerapkan skema pembiayaan berbasis bagi hasil,

3. sistem nilai yang kurang mendukung penerapan skema pembiayaan berbasis bagi hasil,

4. orientasi bisnis atau keuntungan dari manajemen puncak perbankan syariah, dan

5. kurangnya dukungan dari pihak pemerintah.

Sumber: Bank Indonesia, Berbagai Tahun, Diolah

Gambar 7. Kecenderungan Persentase Pembiayaan Berdasarkan Skema Tahun 2005-2010

Untuk mengatasi masalah utama di atas, beberapa solusi dirumuskan oleh Ascarya (2011), yaitu edukasi tentang skema pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah, meningkatkan komitmen manajemen puncak perbankan, merumuskan protokal dan grand strategy, mengeluarkan regulasi yang mendukung dan meningkatkan komitmen, kemauan serta serta keberanian politik pemerintah. Agar solusi tersebut dapat terwujud diperlukan strategi pengembangan produk, peningkatan pelayanan, dan pemetaan pasar serta kebijakan perlakuan yang adil dan profesionalisme pelaku perbankan syariah. 5.5. Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia

Pada Bab I telah disajikan beberapa indikator kinerja industri perbankan syariah (lihat Tabel 1). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa industri perbankan syariah sudah tumbuh secara konsisten dengan laju pertumbuhan yang jauh lebih tinggi daripada laju pertumbuhan perbankan konvensional. Tabel 5 juga menyajikan kinerja dalam bentuk jumlah bank baik BUS, UUS, BPRS maupun jumlah kantor. Kesemua indikator kembali menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan seperti halnya pertumbuhan nilai aset, khususnya dalam hal jumlah kantor yang meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dalam satu dekade.

Tabel 6 menyajikan data lain yang merupakan salah satu keunggulan perbankan syariah yang belum pernah mampu ditandingi oleh perbankan konvensional, yaitu tingginya rasio pembiayaan dibandingkan dengan jumlah dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Angka yang pada beberapa tahun tertentu bahkan melebihi 100 persen menunjukkan bahwa perbankan syariah berpotensi besar sebagi agen pertumbuhan ekonomi dengan tingginya persentase dana yang dikembalikan kepada masyarakat. Satu masalah yang masih menjadi kritik terhadap tingginya jumlah pembiayaan ini adalah pada

aspek komposisi pembiayaan yang masih didominasi jenis murabahah (lebih dari 50% pembiayaan), bukan mudharabah dan musyarakah yang akan berhubungan langsung dengan pertumbuhan sektor riil.

Tabel 6. Perkembangan Nilai Deposit, Pembiayaan dan Rasio Finance to Deposit (FDR) Perbankan Syariah Periode 2000-2010

Indikator 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 Pembiaya an (Rp. T) 1.3 2.1 3.3 5.5 11.5 15.2 19.5 27.9 38.2 46.9 68.2 Deposit (Rp. T) 1.0 1.8 2.9 5.7 11.9 15.6 20.7 25.7 36.9 52.3 76.0 FDR (%) 123 113 112 97 97 98 95 109 104 90 90

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia, BI

Terlepas dari berbagai indikator kinerja perbankan syariah yang sangat mengesankan, laju pertumbuhannya ternyata tidak cukup tinggi untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan. Akibatnya target pencapaian pangsa pasar yang telah ditetapkan tidak pernah tercapai. Tidak heran kalau muncul pertanyaan apakah pertumbuhan industri perbankan syariah yang tinggi hanya karena fenomena umum dari sebuah industri yang masih muda dan mempunyai pangsa yang masih kecil. Dalam kasus Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengingat besarnya potensi yang dimiliki oleh pasar Indonesia untuk pertumbuhan perankan syariah.

Beberapa indikator kinerja perbankan syariah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah tingkat Non Performing Financing (NPF) yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata Non Performing Loan (NPL) perbankan konvensional, walaupun persentasenya masih di bawah ambang batas yang ditetapkan Bank Indonesia dan memperlihatkan kecenderungan yang semakin membaik. Lebih tingginya NPF dibandingkan dengan NPL mengindikasikan

bahwa tingkat eksposur perbankan syariah terhadap resiko relatif tinggi dan atau kemampuan bank syariah mengelola resiko relatif lebih rendah dibandingkan dengan perbankan konvensional (Rohilina dan Wibisono, 2011). Jika hal ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan akan dapat mengganggu dayasaing perbankan syariah terhadap perbankan konvensional sehingga semakin memperberat upaya meningkatkan pangsa pasar secara signifikan.

Selain masalah NPF, rasio BOPO yang sering dugunakan untuk menggambarkan kualitas manajemen perbankan syariah juga relatif masih stabil berada pada tingkat antara 75 sampai 85 persen seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Rasio BOPO Dua Bank Syariah Terbesar dan Rata-rata Industri Periode 2005-2010

Aspek kualitas manajemen ini berpotensi untuk lebih ditekan lagi dalam rangka meningkatkan dayasaing dan akhirnya pangsa pasar perbankan syariah. Gambar 8 memperlihatkan bahwa bahkan untuk bank syariah yang besar dan paling berpengalaman (BMI dan BSM), tingkat BOPOnya masih di atas rata-rata BOPO industri perbankan syariah. Namun demikian, di tengah terbatasnya ketersediaan SDM perbankan syariah, upaya ini memang tidak mudah. Tekanan kepentingan bisnis dan keuntungan serta pertumbuhan dalam waktu cepat,

menyebabkan banyak bank syariah yang lebih senang membajak SDM yang sudah jadi dari bank syariah lain daripada mengembangkannya sendiri. Jalan pintas dengan merekrut tenaga profesional dari perbankan konvensional juga tidak terhindarkan, walaupun tenaga profesional tersebut tidak sepenuhnya yakin akan keunggulan perbankan syariah.

VI. DINAMIKA STRUKTUR PASAR DAN TINGKAT PERSAINGAN INDUSTRI