• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

DPR Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara hasil Pemilu 2004 terdiri dari 85 orang. Berdasarkan agama dan jender, distribusi anggota DPR adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Komposisi Anggota DPR Berdasarkan Agama dan Jender

Agama Jenis Kelamin No Partai Politik Islam Kristen/ Katholik Budha Laki2 Pr Jumlah 1. Partai Golkar 17 2 = 17 2 19 2. PDI Perjuangan 4 9 = 13 - 13 3. Partai Demokrat 8 1 1 8 2 10 4. PKS 8 - - 7 1 8 5. PPP 8 - - 8 - 8 6. PAN 8 - - 8 - 8 7. PDS - 6 - 6 - 6 8. PBR 5 - - 5 - 5 9. PBB 3 - - 3 - 3 10. PELOPOR - 1 - 1 - 1 11. PBSD - 1 - 1 - 1 12. PIB - 1 - 1 - 1 13. PATRIOT PANCASILA - 1 - 1 - 1 14. PNBK - 1 - 1 - 1 JUMLAH 62 22 1 80 5 85 ORANG

Selanjutnya, komposisi aggota DPR menurut etnis adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Komposisi Anggota DPR Menurut Etnis

No Etnis Jumlah 1. Melayu 8 orang 2. Karo 6 orang 3. Pakpak/Dairi 1 orang 4. Simalungun 1 orang 5. Toba/Taput 21 orang 6. Tapsel/Madina 22 orang 7. Nias 4 orang 8. Tapteng/Pesisir 3 orang 9. Jawa/Banten 9 orang 10. Aceh 3 orang 11. Minang 6 orang 12. Tionghoa 1 orang JUMLAH 85 orang

(Sumber: Kantor DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2006)

Hubungan antar anggota DPR dan kemitraan dengan eksekutif diatur pada Bab

VIII Kode Etik DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2005 Pasal 17119. Di dalam

pasal tersebut dinyatakan bahwa bentuk hubungan yang dilakukan DPRD dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajibannya serta haknya meliputi: a) Hubungan antar anggota DPRD; b) Hubungan DPRD dengan eksekutif; dan c) Hubungan DPRD dengan kelompok kepentingan tertentu.

Hubungan antara anggota DPRD diatur pada pasal 18 yang berbunyi: “Di antar sesama Anggota DPRD di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus: a)

119 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. 2004. Keputusan Dewan Perwakilann Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor : 6/K/2004 tentang Kode Etik DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Memelihara dan memupuk kerjasama yang baik antar sesama Anggota DPRD; b) Saling mempercayai, menghormati, menghargai, membantu dan membangun pengertian antar sesama Anggota DPRD; dan c) Menjaga keharmonisan hubungan antara sesama Anggota DPRD dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara anggota DPRD menekankan kewajiban memelihara dan memupuk kerjasama yang baik yang didasari saling mempercayai, menghormati, menghargai, membantu dan membangun pengertian untuk mencapai keharmonisan hubungan dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.

Selanjutnya, hubungan kemitraan Anggota DPRD dengan Eksekutif diatur pada Pasal 19 yang berbunyi: 1) Anggota DPRD adalah Mitra Sejajar dengan Eksekutif dan mempunyai kedudukan yang sederajat; 2) Anggota DPRD wajib bersikap kritis, adil, profesional, dan proporsional dalam melaksanakan hubungan kemitraan dengan Eksekutif; dan 3) Anggota DPRD tidak diperkenankan secara langsung ataupun tidak langsung meminjam dan menggunakan fasilitas maupun materi tertentu dari Eksekutif untuk kepentingan pribadi, di luar tugas-tugas DPRD, kecuali telah mendapat persetujuan dari Pimpinan DPRD. Dengan demikian, hubungan Anggota DPRD dengan Eksekutif adalah hubungan kemitraan yang sejajar dan kedudukan yang sederajat yang menekankan kewajiban untuk bersikap kritis, adil, profesional, dan proporsional.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara internal nilai hubungan yang diutamakan adalah keharmonisan hubungan; sebaliknya secara eksternal sikap yang diutamakan adalah kritis, adil, profesional, dan proporsional.

Elemen penting lainnya dalam hubungan eksternal adalah Anggota DPRD tidak diperkenankan secara langsung ataupun tidak langsung meminjam dan menggunakan fasilitas maupun materi tertentu dari Eksekutif untuk kepentingan pribadi, di luar tugas-tugas DPRD, kecuali telah mendapat persetujuan dari Pimpinan DPRD. Dari aturan ini dapat disimpulkan bahwa secara implisit anggota DPR tidak diperkenankan menggunakan kedudukannya untuk keperluan yang bersifat pribadi.

Bab XI Keputusan DPR Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

Nomor: 3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Sumatera Utara120

terutama yang memuat hak dan kewajiban anggota, yakni: a) melakukan interupsi untuk (pasal 88 ayat 1)

b) meminta penjelasan mengenai duduk persoalan sebenarnya mengenai

masalah yang sedang dibicarakan;

c) menjelaskan soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan/atau

tugasnya;

d) Mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan; atau e) Mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara.

120 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. 2004. Keputusan Dewan Perwakilann Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor : 3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Dari kelima hak dan kewajiban anggota DPR di atas, dua tindak tutur yang akan dikaji lebih lanjut adalah tindak tutur meminta penjelasan dan tindak tutur memberikan pendapat. Bila dikaitkan dengan pendapat Leech dalam Eelen121 tentang situasi berbahasa, kedua jenis tindak tutur adalah bagian dari situasi kompetitif yang bermakna tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial. Tiga situasi berbahasa lainnya

adalah situasi berbahasa convivial, kolaboratif, dan konfliktif. Menurut Leech,

kesantunan linguistik dianggap paling relevan dikaji pada situasi berbahasa kompetitif. Struktur komunikasi yang lazim dan berterima di dalam rapat DPRD berkaitan dengan situasi berbahasa kompetitif ini tersirat pada hak dan kewajiban pimpinan rapat yakni:

a. menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan;

b. menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya;

c. mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan;

d. menyimpulkan pembicaraan anggota rapat (pasal 84 ayat 2); e. mengatur giliran berbicara;

f. menentukan lamanya anggota rapat berbicara (pasal 87 ayat 1);

g. memperingatkan dan meminta supaya pembicara mengakhiri pembicaraan

apabila seorang pembicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan (pasal 87 ayat 2);

h. membatasi lamanya pembicara melakukan interupsi;

i. memperingatkan dan menghentikan pembicara apabila interupsi tidak ada hubungannya dengan materi yang sedang dibicarakan (pasal 88 ayat 2).

j. memperingatkan dan meminta supaya pembicara kembali kepada pokok

pembicaraan (pasal 89 ayat 2).

k. memperingatkan pembicara yang menggunakan kata-kata yang tidak layak,

melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat, atau menganjurkan untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (pasal 90 ayat 1);

l. meminta agar yang bersangkutan menghentikan perbuatan pembicara

sebagaimana dimaksud pada ayat (a), dan/atau memberikan kesempatan kepadanya untuk menarik kembali kata-katanya dan menghentikan perbuatannya (pasal 90 ayat 2);

m. melarang pembicara tersebut meneruskan pembicaraan dan perbuatannya

(pasal 91 ayat 1);

n. meminta yang bersangkutan meninggalkan rapat (pasal 91 ayat 2).

Merujuk kepada Labov dan Trudgill (1974), sebagaimana dikutip pada

Omoniyi dan White122 , DPRD termasuk kepada jenis kelompok sosial ekonomi dan

ciri utamanya adalah tidak memiliki struktur kelas sosial yang tradisional sehingga keanggotaannya bersifat kompetitif bukan warisan. Dalam hal ini lah kesantunan linguistik yang digunakan diasumsikan memberikan cirinya tersendiri. Dalam

122

Omoniyi, T., & White, G. (2006). The sociolinguistics of identity. London ; New York, NY: Continuum, 2006), p.15.

kaitannya dengan fungsi kemitraan yang bersifat kolaboratif dan fungsi pengawasan yang mempersyaratkan distansi/kompetisi, kesantunan linguistik di rapat DPR dinilai dilakukan sebagai upaya menyeimbangkan keduanya sehingga ujaran di rapat DPR tidak mengisyaratkan kecenderungan yang berat sebelah kepada salah satu dari dua faktor dimaksud yakni tidak condong kepada faktor kolaboratif saja atau kepada faktor distantif/kompetitif saja.

2.5 Rambu-rambu Tingkah Laku Berbahasa yang Berterima di Rapat Dewan