BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.7 Realisasi Kesantunan Linguistik dalam Tindak Tutur Memberikan
Tindak tutur memberikan pendapat setidaknya terdiri atas dua jenis yakni
positif menyetujui/mengkonfirmAsi dan negatif/tidak menyetujui. Ting-Toomey141
mengatakan ada dimensi moral dalam praktik berkomunikasi baik ketika menyetujui (approving) atau tidak menyetujui (disapproving), maupun ketika mengkonfirmasi
(confirming) atau menegasikan atau menidakkan (negating) patner komunikasi.
Dengan pernyataan tersebut, Ting-Toomey setidaknya menegaskan dua hal: pertama, menyetujui dan tidak menyetujui serta mengiyakan dan menidakkan tidak dapat dihindari di dalam komunikasi; kedua, keempatnya perlu disampaikan dalam ujaran yang penuh pertimbangan.
141 S. Ting-Toomey, The challenge of facework : Cross-cultural and interpersonal issues. (Albany: State University of New York Press, 1994), p. 34
Schegloff142 membagi tanggapan atas dua jenis yakni yang disukai (prefereed
responses) dan yang tidak disukai (dispreferred responses). Ujaran yang tidak disukai
biasanya bersifat bertolak belakang (contrasting configuration of feature. Untuk jenis
respon ini biasanya penutur akan melakukan mitigasi yakni upaya mengurangi tekanan.
Selanjutnya, ungkapan ketidaksetujuan dapat dibagi atas 2 jenis yakni: ketidaksetujuan yang bersifat kritikal dan ketidaksetujuan yang bersifat antagonistik143. Ketidaksetujuan yang bersifat kritikal ditandai dengan penilaian yang bersifat kritis atau skeptis terhadap isi sajian. Pada jenis ini, ketidaksetujuan ditujukan pada sebagian saja isi gagasan. Ketidaksetujuan yang bersifat antagonistik ditandai dengan ungkapan menantang, menyerang, dan menunjukkan kesalahan pada pokok pikiran yang disampaikan. Pada jenis ini penutur tidak setuju sama sekali terhadap isi gagasan.
Penelitian terdahulu mengenai ungkapan ketidaksetujuan dilakukan Holmes144 pada masyarakat New Zealand. Dia menegaskan pendapat bahwa perempuan lebih santun dalam berbahasa dibanding laki-laki. Dalam mengungkapkan ketidaksetujuan misalnya, dia menemukan bahwa perempuan lebih berupaya untuk menghindari, meminimalisir, dan mengurangi ancaman muka yang ditimbulkan ketidaksetujuan. Sebaliknya laki-laki mengungkapkan ketidaksetujuan secara terus terang, menantang
142
E. A. Schegloff, Sequence organization in interaction : A primer in conversation analysis I. (Cambridge, UK ; New York: Cambridge University Press, 2007), p. 63-63
143
Janet Holmes, op. cit, p. 43-45 144
pendapat orang lain, menyela dan bersaing tanpa maksud untuk menyerang. Lebih jelasnya dia menulis sebagai berikut:
It appeares, then, that at least in some contexts, female and male interactive norms contrast quite dramatically. The overall impression from the various studies discussed here is that male interaction is typically more competitive, agressive, and argumentative than female. Forfemales, being negatively polite involves avoiding, minimising, or mitigating disagreemens; being positively polite involves agreeing with others, encouraging them to talk, expressing support verbally and ensuring they get a fair share of the talking time. For males, different norms appear to prevail. They can disagree baldly, challenge others’ statements, interrupt and compete for the floor wihout intending to cause offense. In some contexts, agressive and competitive verbal behaviour appears to be experienced as thoroughly enjoyable, and mutual insults may even serve as expressions of positive politeness or solidarity.
Demikian juga penelitian yang dilakukan Davidson145 yang berjudul
Hypocricy and the Politics of Politeness. Dia menyatakan dalam masyarakat dan
budaya Inggeris abad ke 18, kemunafikan merupakan kebenaran moral dan politik (moral and political virtue) dalam caranya sendiri. Dalam perdebatan antara mana
yang harus diutamakan, kebenaran atau kesantunan linguistik, penulis abad ke 18 dari Locke sampai Austen menurutnya, memilih berpihak kepada kesantunan linguistik walaupun pada saat yang sama bermakna kemunafikan.
Ungkapan ketidaksetujuan juga mempunyai dimensi kekuasaan, yakni
mendapatkan status sebagaimana diungkapkan Holmes146. Sering sekali ungkapan
ketidaksetujuan yang diutarakan secara frontal dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan.
145 J. Davidson, Hypocrisy and the politics of politeness : Manners and morals from locke to austen. (New York: Cambridge University Press, 2004).
146
Di sisi lain, ungkapan ketidaksetujuan tidak selalu bermakna mengancam muka. Hal ini bertentangan dengan pendapat Brown dan Levinson dan Leech. Sebaliknya, Holmes dan Locher mengatakan bahwa sering sekali partisipan komunikasi justru menikmati pertukaran ketidaksetujuan di kalangan mereka.
Sebagaimana juga telah dikutip terdahulu, Aziz147 pada penelitiannya
menemukan usia menjadi salah satu faktor penting yang membedakan persepsi para
responden tentang nilai-nilai kesantunan linguistik. Dibandingkan dengan kelompok
responden berusia menengah dan senior, kelompok responden berusia muda lebih menunjukkan sikap berterus terang dalam bertutur untuk menyampaikan maksud tuturannya (direct). Kelompok responden berusia menengah dan tua lebih berhati-hati
dalam bertutur, terutama ketika menunjukkan perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan konflik.
Penelitian kesantunan linguistik dalam tindak tutur mengungkapkan ketidaksetujuan juga menemukan bahwa ketidaksetujuan antara lain dilakukan melalui seperangkat langkah (move). Paramasivan148 meneliti bagaimana struktur linguistik
yang digunakan penutur bahasa Melayu Malaysia dalam negosiasi bisnis dengan orang Jepang ketika mengungkapkan ketidaksetujuan. Struktur makro yang dibangun adalah a) meminta klarifikasi, b) menentang usulan yang diajukan, dan c) menjustifikasi b.
147
E. Aminudin Az, op. cit. pp.211-212.
148 S. Paramasivam, Managing disagreement while managing not to disagree" polite disagreement in negotiation discourse. (Journal of Interculural Communication Research, 36, No.2, 91- 116, (July 2007), p. 104.
Dengan demikian ketidaksetujuan tidak disampaikan secara langsung namun melalui tahapan.
Di tingkat frasa dan leksikal, Leech149 menyatakan bahwa cara yang lazim yang ditempuh dalam mengurangi ancaman muka ketidaksetujuan adalah dengan
mengungkapkan penyesalan (expressing regret) dan menyetujui sebagian (partial
agreement). Hal ini diperjelas Holmes150 yang menyatakan bahwa ketidaksetujuan
antara lain diperhalus dengan mengucapkan kata ‘maaf’.
Permohonan maaf sendiri memiliki tujuan yang beragam sebagaimana
dinyatakan pada Bowe dan Martin151. Permohonan maaf mengungkapkan penyesalan
(an expression of regret), memberikan alasan/penjelasan (explanation of account),
mengambil tanggungjawab (taking on responsibility), menjaga petutur (concern for
the hearer), menawarkan perbaikan (offer of repair), berjanji untuk tidak mengulangi
(offer for forbearance).
Penggunaan pronomina juga merupakan salah satu cara dalam mencapai kesantunan linguistik152 termasuk tentunya dalam mengungkapkan ketidaksetujuan. Hasil penelitian Bayyurt menunjukkan bahwa penggunaan pronomina dapat menunjukkan keakraban sekaligus penghormatan. Sumber daya linguistik ini sangat
149 G. N. Leech, (1983). Principles of pragmatics. London ; New York: Longman. (1983). p 150
Janet Holmes, op. cit.. 154. 151
Martin Kylie & Bowe, H. J. op. cit., 52-53. 152
Bayyurt, Yasemin dan Arin Bayraktaroglu. “The use of pronouns and terms of address in Turkish service encounters.” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish.
Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou (ed). (Philadelphia: John Benjamins North America, 2001), p. 201
potensial digunakan dalam tindak tutur mengungkapkan ketidaksetujuan. Hal ini
sejalan dengan temuan Muhlhausler dan Harre 153 yang mengatakan bahwa
penggunaan kata ganti dapat mencerminkan bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungan sosialnya dengan orang lain apakah bersifat simetris atau non- simetris154. Demikian juga Bowe dan Martin155 menyatakan bahwa pronomina adalah penanda bagi identitas personal dalam hubungannya dengan identitas kelompok.
Pada penelitian lain, Kurzon156 meneliti sumber daya linguistik yang
digunakan hakim di Amerika dan Inggeris dalam mengungkapkan ketidaksetujuan atas keputusan hakim sejajar dan di bawahnya. Dalam mengungkapkan persetujuan, tidak ada perbedaan substansial dalam penggunaan sumberdaya linguistik yang digunakan. Namun dalam mengungkapkan ketidaksetujuan, hakim Inggeris cenderung
‘menurunkan’ (tone down) ketidaksetujuan mereka dengan menggunakan sumber daya
linguisik: a) “I regret…”, b) impersonalisasi dengan cara mengganti kata ‘you’
menjadi ‘the court’, c) membatasi ketidaksetujuan sebagai pendapat pribadi dengan
menggunakan ‘in my view…’, dan d) membatasi ketidaksetujuan pada kasus tertentu
saja dengan menggunakan frasa ‘to the present case…’. Sebaliknya hakim Amerika
153 P.Mühlhäusler, & Harré, R., Pronouns and people : The linguistic construction of social and personal identity. (Oxford, UK ; Cambridge, Mass., USA: B. Blackwell, 1990). P.16 .
154
ibid. p. 131-132
155
H. J. Bowe & Martin, K. op. cit, p. 95
156 Dennis Kurzon, “The Politeness of judges: American and English judicial behaviour”. (Journal of Pragmatics 33: 61-85,. 2001), pp 80-83.
cenderung mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa ‘menurunkannya’ dengan menggunakan sumber daya linguistik a) ‘simply incorrect’, b) grossly distort’, dan c)
‘make no sense’. Dari penelitian ini dia menyimpulkan bahwa dalam mengungkapkan
ketidaksetujuan, pilihan linguistik hakim Inggeris lebih menyiratkan upaya ke arah kesantunan linguistik dibanding hakim Amerika.
Locher157, peneliti lainnya, mengkaji bagaimana ungkapan ketidaksetujuan
(disagreement) direalisasikan secara santun di dalam sebuah percakapan. Dia
menemukan elemen leksikal seperti well, just, uhm, uh, I think, I don’t know, about, let
me, kind of, let’s, of course, I mean, little, or?, say, stuff merupakan sumber daya
linguistik yang diberdayakan peserta komunikasi untuk tetap santun ketika mengungkapkan ketidaksetujuan. Dari sejumlah sumber daya itu, dia menemukan bahwa penggunaan leksikal ‘well’ lebih tinggi dibanding yang lain yakni 23%.
Memberikan pendapat juga dapat mencakup memberikan saran atau nasihat.
Penelitian Bayraktaroglu158 terhadap masyarakat Turki tentang tindak tutur ini
menunjukkan bahwa orang Turki memiliki sensitifitas terhadap jarak hubungan dan cenderung mengutamakan solidaritas, kebersamaan, dan keinginan berbagi. Dengan demikian upaya mencari solusi terhadap pemecahan masalah orang lain sangat dominan. Dalam realisasinya, nasihat diberikan dalam bentuk keragu-raguan terutama untuk peserta komunikasi yang tidak akrab; sebaliknya untuk jenis hubungan yang
157
M. A. Locher, (2004). Power and politeness in action : Disagreements in oral communication. Berlin ; New York: M. de Gruyter, p. 115
158
Arin Bayraktaroglu, “Advice-giving in Turkish: ‘Superiority’ or ‘solidarity’?” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou (ed). Philadelphia: John Benjamins North America, 2001) p. 204.
akrab, nasihat diberikan bergantian antara nasihat tanpa polesan (’naked advice’) dan ’ nasihat dengan polesan (’mitigated advice’).