• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

DI AGRAM LAYAN G LAYAN G

28,38 59,55 60,90 42,69 29,48 0 20 40 60 80 100 Eko lo gi Eko n o m i So sia l Bu d a y a I n fr ast r u kt u r d a n Te kn o lo gi Hu ku m & Ke le m b a ga a n

DI AGRAM LAYAN G- LAYAN G

47,44 59,55 60,90 51,16 35,44 0 20 40 60 80 100 Eko lo gi Eko n o m i So sial Bu d a y a I n fr a st r u kt u r d an Tekn o lo gi

Lampiran 4. Foto Kegiatan di Pangkalan pendaratan ikan Selili

Kondisi di Pangkalan pendaratan ikan Selili

Lampiran 5. Desain Rancangan Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Selili Berkelanjutan.

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan perikanan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi nasional mempunyai tujuan antara lain untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan nelayan. Pembangunan perikanan dapat terlaksanakan dengan pengelolaan perikanan yang optimal. Dalam Undang–Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa pengelolaan perikanan harus dapat mendukung kesejahteraan nelayan, menciptakan kesempatan kerja, mengoptimalkan dan menjaga kelestarian stok sumberdaya ikan.

Perikanan merupakan usaha manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai suatu kegiatan usaha atau kegiatan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lubis (2006), bahwa salah satu hal yang mendasari pengembangan pelabuhan perikanan adalah adanya potensi sumberdaya ikan yang memungkinkan bias dikembangan tingkat kegiatan perikanannya. Manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan membutuhkan modal, teknologi, dan keterampilan. Sementara dalam memanfaatkan sumberdaya ikan manusia membutuhkan perencanaan kegiatan penangkapan, penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan pasca panen, pengolahan serta pemasaran (Nikijuluw, 2002). Salah satu sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembangunan perikanan adalah ketersediaan pelabuhan perikanan.

Tersedianya prasarana pelabuhan perikanan mempunyai arti yang sangat penting dalam usaha menunjang pembangunan perikanan sebagai basis perikanan tangkap. Hal tersebut dikarenakan pelabuhan perikanan merupakan tempat pendaratan, pengolahan, pemasaran dan pendistribusian hasil tangkapan, yang mana merupakan pusat kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat nelayan dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran ( Lubis, 2002).

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur (2009), Kota Samarinda luas perairan sungai 149.227 km² dengan panjang 920 Km, Produksi tahun (2008) bahwa potensi sumberdaya ikan di Kalirnantan Timur diperkirakan berjumlah 187.225,3 ton per tahun terdiri dari hasil tangkapan di perairan laut 92.175,2 ton, hasil tangkapan di perairan umum 34.687,1 ton, hasil

budidaya di tambak 28.194,7 ton dan hasil budidaya di kolam dan karamba di air tawar 2.119,9 ton. Sedangkan pada tahun (2009) total produksi yang didaraatkan 7.497.000/kg dengan nilai 106.668.270.000, Sedangkan menurut Kantor Perikanan Kota Samarinda (2008), produksi ikan di Samaninda untuk ikan laut sebesar 6.537,0 ton, ikan darat sebesar 2.472,5 ton.

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Selili berlokasi di Kota Samarinda merupakan sentral pemasaran produksi perikanan baik yang berasal dan hasil perikanan laut maupun perikanan darat. Pangkalan pendaratan ikan Selili ini mendapat pasokan ikan dari luar Kota Samarinda bahkan dan luar propinsi Kalimantan Timur terutama untuk ikan laut berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah dan Pulau Jawa.

Masalah yang dihadapi PPI adalah: 1) lokasi pangkalan pendaratan ikan berada dipermukiman penduduk yang mayoritas bukan nelayan, 2) lahan pangkalan pendaratan ikan pada umumnya termasuk kategori lahan kurang luas, 3) kurangnya perhatian terhadap pangkalan pendaratan ikan dan lingkungan, 4) pangkalan pendaratan ikan hanya pada aspek produksi kurang dikaitkan dengan sistem agribisnis secara utuh, 4) kurangnya informasi pasar, teknologi pengolahan hasil perikanan dan teknologi pengolahan limbah, 5) sarana dan prasarana pangkalan pendaratan ikan yang sangat terbatas, 6) lambatnya proses akuiturasi dan kadangkala terjadi konflik dengan masyarakat setempat, 7) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaan, 8) pelaksanaan pangkalan pendaratan ikan kurang mendapat perhatian dari para pengambil keputusan, dan 9) tata kepemerintahan yang belum mapan (DKP, 2005).

Terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaan, permasalahan pangkalan pendaratan ikan yang menjadi kendala adalah: (a) belum adanya pengelolaan di tingkat satuan pangkalan pendaratan ikan yang terpadu, (b) lemahnya kerjasama lintas sektor yang mengakibatkan proses pembinaan dan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan tidak efektif dan efisien, proses penyusunan berbagai program pembangunan yang bersifat sektoral dan top down, (c) kesinambungan program menangani pangkalan pendaratan ikan dari pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik dan tidak berkelanjutan. Secara umum SDM pengelolaan pelabuhan perikanan untuk klasifikasikan pangkalan

pendaratan ikan terdiri dari atas Kepala PPI, sub bagian tata usaha, bagian pelelangan ikan, bagian fasilitas pendaratan dan sarana prasarana pemukiman nelayan (Lubis, 2006).

Berbagai masalah tersebut menyebabkan pangkalan pendaratan ikan digolongkan lambat tumbuh. Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sejumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun, 60 % belum berfungsi secara optimal, untuk itu perlu dilakukan pengelolaan yang baik agar pelabuhan perikanan yang ada berfungsi secara optimal menampung, mengolah dan mendistribusikan produksi perikanan yang mana merupakan pusat kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat nelayan dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran (Lubis, 2002).

Di era otonomi daerah dan desentralisasi yang sedang berlangsung di Indonesia juga terdapat tantangan lain. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, akan menempatkan suatu mekanisme pengelolaan multi level dan multi stakeholders serta multi dimensi.

Saragih dan Sipayung (2002) menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan akan terjadi benturan antara kepentingan pembangunan dan aspek sosial, ekonomi, dengan pelestarian lingkungan. Benturan antara ketiga aspek kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak positif maupun negatif. Keberhasilan suatu pengelolaan pangkalan pendaratan ikan ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengembangkan potensi yang dimiliki pangkalan pendaratan ikan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya secara efektif dan efisien.

Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal terhadap dampak yang ditimbulkan maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan akan memberikan manfaat yang optimal bagi semua

pihak yang berkepentingan, sehingga pelaksanaan program pembangunan pangkalan pendaratan ikan pada masa yang akan datang dapat terjamin keberlanjutannya. Menurut Djajadiningrat (2001), suatu pembangunan dikatakan berbasis lingkungan, jika dalam pelaksanaannya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain: Centre for International Forest Research (CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. Food and Agricultural Organization (FAO) mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Commision on Sustainable Development menyusun indikator pembangunan berkelanjutan ke dalam empat kategori yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan (OECD, 1993; DSD, 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pangkalan pendaratan ikan tidak hanya berasal dan sisi internal (dari dalam pangkalan pendaratan ikan sendiri), tetapi juga tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar pangkalan pendaratan ikan itu akibat interaksi dengan kawasan yang terluas dan atau pusat pertumbuhan di sekitarnya serta perubahan kepentingan stakeholder. Hal ini membutuhkan suatu perencanaan yang tepat dan berorientasi jangka panjang agar pengelola mampu mengantisipasi ter adinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan serta adanya perubahan di luar pangkalan pendaratan ikan.

Kompleksitas permasalahan pangkalan pendaratan ikan pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan kebijakan yang dalam proses analisis kebijakan belum memperhatikan aspirasi stakeholder dan berbagai aspek keberlanjutan pembangunan pangkalan pendaratan ikan serta faktor kunci yang mempercepat pengelolaan pangkalan pendaratan ikan secara lokal spesifik. Dengan demikian diperlukan penelitian tentang bagaimana pengelolaan analisis kebijakan

pengelolaan pangkalan pendaratan ikan berkelanjutan. Pengelolaan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan kebijakan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan saat ini, yakni sistem pengembangan pangkalan pendaratan ikan belum terpadu, belum mempertimbangkan kebijakannya, belum melibatkan seluruh stakeholder, dan tidak sepenuhnya menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kunci penentu keberhasilan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan adalah efektivitas kebijakan yang dipergunakan sebagai dasar pengelolaan pangkalan pendaratan ikan. Kebijakan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan perlu disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, masyarakat nelayan, masyarakat lokal, dan lembaga swadaya masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan. Melalui penelitian ini, diharapkan dihasilkan arahan kebijakan strategis yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dan permasalahan yang kompleks secara optimal dalam pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

1.2 Rumusan Masalah

Melihat permasalahan yang berkaitan dengan pengelolan pangkalan pendaratan ikan Selili Kota Samarinda secara berkelanjutan maka rumusan masalah yang timbul adalah .

1. Bagaimana status berkelanjutan dalam pengelolan pangkalan pendaratan ikan Silili Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.

2. Bagaimana faktor–faktor pengungkit pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

3. Bagaimana skenario optimal dalam pengelolan pangkalan pendaratan ikan Selili Kota Samarinda secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji status berkelanjutan dalam pengelolan pangkalan pendaratan ikan Selili Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.

2. Menganalisis faktor–faktor pengungkit pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

3. Merekomendasikan skenario optimal dalam pengelolan pangkalan pendaratan ikan Selili Kota Samarinda secara berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pengembangan pengelolaan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, agar dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan khususnya di pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

2. Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan pangkalan pendaratan ikan agar dapat mengambil keputusan dengan hasil yang lebih baik.

3. Pemerintah baik tingkat daerah maupun pusat sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pangkalan pendaratan ikan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pangkalan pendaratan ikan perlu dikelola dengan baik agar tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Pada konsep pembangunan berkelanjutan tujuan ekonominya adalah dengan meningkatkan pendapatan nelayan dan masyarakat lokal, tujuan sosialnya adalah mencegah terjadinya konflik dan kesenjangan dan menciptakan keadilan dalam masyarakat, dan tujuan aspek lingkungan adalah menjaga keanekaragaman hayati, konservasi lahan dan air, aplikasi dan inovasi teknologi tepat guna dan berfungsinya kelembagaan. Tujuan- tujuan tersebut dicapai jika semua stakeholder yang terlibat dapat bersinergi secara optimal setiap langkah dalam pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

Kondisi pengelolaan pangkalan pendaratan saat ini merupakan hasil dari pengelolaan yang telah dilakukan sebelumnya. Pengelolaan pangkalan pendaratan ikan didasarkan pada berbagai kebijakan pembangunan yang ditetapkan baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah secara kontinu. Berdasarkan hasil pemantauan dan laporan berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak pengelolaan pangkalan pendaratan ikan saat ini relatif belum berkembang secara optimal. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut terkait

dengan keberlanjutan pembangunan. Prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi relevan untuk diterapkan agar dapat memberikan solusi optimal terhadap konflik antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian lingkungan hidup.

Keberlanjutan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan dapat diketahui dan indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai aspek. Pada penelitian indikator yang digunakan mencakup lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Dimensi teknologi digunakan karena pengelolaan pangkalan pendaratan ikan berbasis yang pada umumnya masih dengan cara-cara tradisional. Pengelolaan pangkalan pendaratan ikan dalam pengembangan perikanan dan usaha lainnya memerlukan penerapan teknologi untuk mencapai tingkat perkembangan yang diinginkan. Dimensi kelembagaan digunakan karena pangkalan pendaratan ikan dapat dijadikan acuan norma khususnya terkait dengan keragaman budaya dan perilaku masyarakatnya. Hal ini pula berkaitan dengan hukum dan kelembagaan yang telah mendominasi perkembangan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan infrastruktur dan teknologi. Kelima dimensi tersebut secara simultan akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan preferensi para pakar dan stakeholder.

Untuk menilai (assessment) keberlanjutan dan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan saat ini dilakukan dengan menggunakan metode multi variable non parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS). Analisis MDS hanya memberikan gambaran kondisi serta faktor-faktor sensitif yang disebut faktor-faktor pengungkit pengelolaan pangkalan pendaratan ikan sesaat atau semacam “Potret” sesaat.

Jika penilaian menghasilkan indek keberlanjutan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan (IKPPI) termasuk dalam kategori berkelanjutan maka hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan pangkalan pendaratan ikan aktual telah dilaksanakan secara baik dan benar yang dilandasi, diarahkan dan diatur oleh

kebijakan yang baik dan benar, dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Bagaimanapun proses yang dilalui dalam menghasilkan kebijakan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena pada kenyataannya kebijakan tersebut telah menghasilkan kondisi pengelolaan pangkalan pendaratan ikan yang berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah memberikan rekomendasi agar kebijakan yang ada terus digunakan dan memberikan penguatan pada faktor- faktor pengungkit utama atau faktor kunci yang telah teridentifikasi mampu memberikan pengaruh besar agar tingkat keberlanjutan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan dapat terus meningkat. Jika penilaian menghasilkan IKPPI termasuk dalam katagori belum berkelanjutan, maka perlu dikenali permasalahan yang ada di dalam pengelolaan pangkalan pendaratan ikan.

Faktor-faktor kunci pengelolaan pangkalan pendaratan ikan merupakan masukan dalam penyusunan skenario pengelolaan pangkalan pendaratan ikan Selili. Penyusunan skenario pengelolaan pangkalan pendaratan ikan perlu melibatkan semua pihak stakeholder dan pakar. Skenario ini diharapkan memberikan gambaran masa depan pengelolaan pangkalan pendaratan ikan kaitan dengan keberlanjutan dimensi-dimensi yang dikaji. Skenario pengelolaan pangkalan pendaratan ikan dapat disimulasikan untuk melihat kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada masa depan dengan menggunakan analisis prospektif. Hasil analisis prospektif pengelolaan pangkalan pendaratan ikan berkelanjutan tersebut akan menghasilkan alternatif skenario pengelolaan pangkalan pendaratan ikan pada masa datang beserta arahan kebijakan.

Hasil analisis yang dibangun dengan berbagai intervensi (alternatif skenario) dapat digunakan untuk memprediksi kebijakan yang memberikan kinerja paling optimal sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh sistem. Selanjutnya, intervensi yang dapat memberikan kinerja paling optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan memperhatikan kemampuan

sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Secara skematis, kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Ya Tidak

Kondisi PPI Selili Saat Ini Status Berkelanjutan Pengelolaan PPI Berkelanjutan Kebijakan Pengelolaan PPI yang ada

Indikotor Keberlanjutan Rekomendasi Pengelolan PPI Berkelanjutan Skenario Pengelolaan PPI Faktor - Foktor Pengungkit Pengelolaan PPI

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor perikanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Walaupun banyak pendapat ahli yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda.

Secara prinsip, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasikan untuk mengembangkan kualitas hidup secara berkelanjutan, dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya secara berkelanjutan dengan prasyarat terselenggaranya suatu sistem kepemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan berkelanjutan juga diartikan sebagai pemaduan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. Walaupun secara konseptual pemaduan ini masuk akal, tetapi implementasinya tidaklah sederhana. Hal ini antara lain karena permasalahan sosial, ekonomi dan ekologi yang terpisahkan atau dipisahkan secara spasial.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul Our Common Future (Kay dan Alder, 1999). Laporan ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai Laporan Brundtland (The Brundtland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pengertian ini, Belier (1990) mengemukakan prinsip justice of fairness yang bermakna manusia dan berbagai generasi yang berbeda mempunyai tugas dan

tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua kata yang kontradiktif yaitu pembangunan yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan yang berkonotasi “tidak boleh mengubah” di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung, 2002).

Young (1992) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Munasinghe (1993), bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan ada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Reid (1995) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: integrasi antara konservasi dan pengembangan, kepuasan atas kebutuhan dasar manusia, peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat “non materi”, berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan, menghargai dan mendukung keragaman budaya, memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan menjaga integritas ekologis.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia; (2) pembangunan yang sesuai dengan lingkungan; dan (3) pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a) intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak khusus masyarakat lokal dan lain-lain; b) intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang; c) international equity yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global.

Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu, harus memperhatikan prinsip: penggunaan sumberdaya tidak lebih cepat dibandingkan kemampuannya untuk melakukan pemulihan kembali (rehabilitasi), tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk menetralisir secara alami (Radzicki dan Trees, 1995).

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan Iingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan

lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diproritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui proses–proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).

Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Betapa tidak ekstraksi terhadap sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi sumberdaya alam dan lingkungan.

Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita. Dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus

Dokumen terkait