• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI PADANG PANJANG

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 45-50)

TIDAK berapa jauh jaraknya dusun Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di kaki gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat

bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya rendah, sejam atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati.

Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan menuju kota Padang, yang dari sana dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang mengalir dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta merawankan hati, suatu kampung yang amat disukai oleh penya'ir.

Mula-mula saja dia tinggal di Padang Panjang, telah dikirimkan sepucuk surat kepada mak Base, yang di dalamnya ditulisnya serba ringkas bagaimana penanggungannya tinggal di

Minangkabau. Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua yang dikasihinya itu, mengajaknya lebih baik pulang saja kembali ke Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna.

Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan demikian, dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik, menjadi leider dari [69] perkumpulan rakyat. Kadang-kadang dia hendak menjadi ahli sya'ir, mempelajari kesenian yang dalam. Itulah tiga tabi'at, tiga kehendak yang mengalir dalam darahnya, yang terbawa dari turunannya. Sebab ayah dari ibunya, yaitu Daeng Manippi, seorang beribadat, demikian juga ayahnya di hari tuanya. Ibunya seorang perempuan pehiba hati, thabi'at ahli sya'ir.

Terlunta-luntalah keadaannya seketika dia mula-mula menjejak Padang Panjang itu, belum juga tentu haluannya. Beberapa hari kemudian, hari Jum'at, di waktu orang-orang dari dusun, dari Gunung, Batipuh Pitalah, Sumpur, Kota Lawas dan sekitar kota Padang Panjang pergi ke pasar, datanglah Ahmad adik Hayati, membawa sepucuk surat buat Zainuddin, demikian bunyinya: Kekasihku Tuan!

Meski pun tak berapa jauh antaranya Batipuh dengan kota Padang Panjang, namun engkau telah terptsah dar, padaku, engkau telah jauk Dan pada persangkaanku sukar pula kites akan bertemu lugi, karena boleh dikatakan berpagar aur berkeliling, langkah senantiasa dicurigai oleh keluaga Meski pun di Padang Panjang id ada rumah seorang sahabatku, Khadijah, tentu pula saya tak dapat datang dengan leluasa ke sana, sebab saya telah diberhentikan dari sekolah. Kalau tak ada sebab-sebab yang panting tak boleh keluar rumah.

Telah jauh engkau sekarang, kekasihku, alangkah besarnya kemalanganmu dan kesengsaraanku. Alangkah gelapnya dunia di sekitarku.

Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasehat menyuruhmu berangkat meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan

sanggup sabar menahan hati berpisah dengan engkau. Tetapi setelah wajahmu yang muram itu, mata yang selalu membayangkan kedukaan, perkataan yang selalu menimbulkan kesedihan, setelah semuanya hilang dari mataku barulah saya insaf bahwa saya ini seorang gadis yang lemah hati yang tak kuat, tak sanggup menanggung kedukaan dan kewdihan kbih dari pada mestinya.

Saya nasehatkan supaya engkau berangkat, ialah karena perintah pertimbangan akal,

memikirkan akibat dan ancaman. Tetapi setelah engkau [70] pergi, perasaan hati yang tadinya dikalahkan oleh pertimbangan telah memberontak kembali, wajahmu, mukamu, matamu, semuanya kembali terbayang.

Payah saya menahan air mataku seketika melepasmu pergi. Takut saya akan menangis supaya engkau jangan terlalu bersedih, sebab sudah amat cukuplah penghinaan yang engkau

tanggungkan dari pada mamakku. Dan seketika air mata tak tertahan lagi, itulah sebab saya berpaling pulang dan tidak saya lihatkan engkau sampai sehilang-hilangnya dari mataku. Sekarang, air mata yang tertahan itu, telah melimpah, bergelora menyebabkan kurus badanku. Alangkah pahitnya perpisahan, alangkah sukarnya menghadapi semua soal ini. Sehari setelah engkau pergi, saya pergi dengan mak-tengahku ke sawah hendak melihat lada yang baru ditanam, sawah tempat kita bertemu tempo hari. Saya cari engkau di sana, engkau tak ada. Saya naik ke dangau tempat kita berhenti, tempat mula-mula engkau mengetahui rahasia hatiku, di situ pun engkau tak ada, engkau sudah jauh, engkau tak akan datang lagi. Oh, itu dangau, dia seakan-akan berkata, bangku yang kita duduki seakan-akan berberita. Seketika akan saya seberangi bandar tempat engkau jatuh, bandar itu masih tetap sebagai sediakala, tetapi engkau sudah pergi. Di situlah saya insaf, bahwa hari yang telah lalu itu memang telah lalu, hari yang dahulu memang telah pergi, mengulang jejak yang lama sudah sukar, yang tinggal hanyalah peringatannya saia. Di sanalah, kekasihku, di waktu itulali air mataku tak tertahan lagi, sehingga mak-tengah yang selama ini belum kenal benar akan rahasiaku, telah mendapat rahasia itu semuanya, dan telah turut menangis lantaran tangisku. Tangis orang lain itulah yang sedikit dapat meringankan tanggungan hatiku.

Sekarang dalam kesedihanku telah ada saya berkawan, duduk perkara yang sebenarnya telah kunyatakan kepada mak-tengahku, mak-tengah Limah. Tapi dia pun hanya seorang perempuan, pertolongannya hanyalah sekadar menangis pula

Setelah sampai di rumah, saya perbuat surat ini kepadama

Kakandaku Zainuddin, bilakah kita akan bertemu pula dengan leluasa, bilakah itu hari yang beruntung, hari yang berlalu sebagai mimpi, akan datang kepada kita kembali.

Hayati. Hari Jum'at di mukanya, surat itu telah dibalas oleh Zainuddin, demikian bunyinya: [71]

Adinda Hayati!

Nasib adinda adalah lebih beruntung dari pada nasibku; adinda masih dapat melihat dangau tempat kata bertemu, sawah tempat kita bermain, halaman luas tempat adinda menlemurkan padi, ketika dagang melarat ini dapat melihatmu duduk termenung menggoyang-goyang

nafas panjang dan mengeluh, sebab alam sekelilingku yang ramai bagi orang lain, sepi rasanyo bggi diriku. Sejak meninggalkan Batipuh, terasa benar olehku bahwu saya ini seorang dagang di sini, jauh dari kampung halaman, jauh dari tanah darah tertumpak Sedangkan di Batipuh saya tak diakui orang sama, kononlah di dalam kola begini, yang hidup manusia "siapa lu, siapa gua."

Adinda Hayati! Petaruhmu seketika saya akan berangkat, masih kugenggam erat, masih kupegang teguh. Begini sulit, begini gelap dan samar haluan yang akan kuturut, namun saya tak pernah purus asa,sebab masih berdenging dalam telingaku rasanya petaruhmu, menyuruh berani, menyuruh tetap hati, keras kemauan dan sabar menempuh kesulitan hidup. Kalau bukan karena itu, telah putus asa saya menghadapi pahit hidup, mau agaknya saya menyesali nasib, tersesat kepada dosa yang maha benar, yakni mengupat Tuhan, menyalahi takdir.

lanjimu, bahwa jasmani dan rohanimu, telah dipatrikan oleh kasih cinta dengan daku, adalah modalku yang paling mahaL Biarlah dunia ini karam, biarlah alam ini gelap, biarlah ... biarlah seluruh manusia melengongkan mukanya ke tempat lain bila bertemu dengan aku, biarlah segenap kebencian memenuhi hati insan terhadap kepada diriku, dan saya menjadi tumpahan kejemuan hati manusia, namun saya tak merasa berat menanggungkan itu sremuanya, sebab kau telah bersedia untukmu.

Hayati! Kirimi saya surat banyak-banyak, terangkan kepadaku perkaraperkara, baik yang kecil atau yang benar, bujuk aku, sesali aku, marahi kalau kau pandang baik. Ketahudah bahwu dengan demikian, aku akan merasa keindahan dan kelazatan bercerai-cerai, ganti dari keindahan bertemu.

Dan biarlah Tuhan Allah memberi perlindungan bagi kita semuanya.

Zainuddin. Bersamaan dengan surat yang diterima Zainuddin itu, [72] Khadijah, sahabat Hayati, menerima surat pula, demikian bunyinya:

Ija!

Jangan kau bosan menerim suratku. Masih bertimpa-timpa saja kesedihan yang mendatangiku. Kepada siapakah akan kuadukan hatiku, kalau bukan kepadamu jua? Sebab aku tahu, aku insaf engkau seorang anak perempuan yang bermuka rung, yang beralam lebar, yang tak sudi membiarkan kesedihan berkuasa di hatimu. Alangkah jauhnya perbedaan hati kata Ada yang akan kuterangkan kepadamu. Zainuddin, anak muda yang telah berapa kali kuterangkan kepadamu itu, telah tidak ada di Batipuh lagi, telah pergi. Perginya seakan-akan kena usir. Semua orang membenci dia, orang yang tak tentu asal, hendak mengacau dalam kampung orang beradat, demikian tuduhan mereka kepadanya. Tahukah engkau kemana dia pergi? Tak jauh... Dia di sini, didekatmu di Padang Panjang!

Meski pun dalam surat-suratmu, kerap kali engkau mentertawakan saya, mengatakan bahwa kecintaan saya kepadanya hanyalah karena digila bayang-bayang, angan-angan yang mula- mula timbul dalam hati seorang anak gadis yang berangkat besar; percayalah sahabatku, bahwa Zainuddin orang baik, lurus, pendiam, penyantun dan amat pantas dikasihani. Engkau tak menghargakan dia, sebab engkau belum berkenalan dengan dia.

Sangat ingin hatiku hendak ziarah kepadamu, hendak menjejak kota Padang Panjang. Tetapi engkau sendiri telah tahu, bahwa sekolahku telah "tammat," mengajiku telah "khatam," "diplomanya" kudapat bukan dari guru, melainkan dari mamakku. Kalau tak ada keperluan penting, saya tak boleh lagi ke mari.

Tetapi saya sabar, saya masih menunggu dengan penuh kepercayaan, bah wa pada suatu kali kelak, saya akan menjejak rumahmu juga.

Moga-moga engkau beruntung dalam hidupmu, sahabatku!

Hayati. Padang Panjang ...

Sebelum terjadi pemindahan pasar dari Pasar Usang ke Pasar Baru, adalah kota tersebut menjadi pusat pemiagaan yang terbesar [73] di bawah Padang, sebagai kota Bukittinggi pada hari ini. Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu, kota Padang Panjang masih memegang kejayaan dalarn urusan perdagangan. Pada masa itu masih dapat dilihat toko- toko yang besar, kedai kain yang permai, berleret sepanjang Pasar di Atas dan Pasar di Bawah, dekat jalan ke mesjid Raya menuju Lubuk Mata Kucing. Di sanalah saudagar-saudagar yang temama berjuang hidup memperhatikan jalan wang dan turun-naiknya koers Wang.

Saudagarsaudagar yang temama, sebagai H. A. Majid, H. Mahmud, Bagindo Besar, H. Yunus, adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian ramanya.

Krisis perniagaan yang terjadi sehabis perang dunia telah menyebabkan kota itu lengang, saudagar-saudagar yang masyhur dan temama telah banyak yang meninggal dunia, yang muda-muda banyak yang jatuh, sehingga dalam setahun dua saja, lenganglah negeri itu. Saudagar-saudagar telah pindah ke Padang, Bukittinggi dan ada yang menyeberang ke negeri lain. Maka rumah-rumah besar, toko-toko yang indah dan kedai-kedai kain yang dahulunya dipenuhi oleh kain beraneka wama, kosonglah. Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai negeri dialahkan garuda.

Tetapi kesepian itu tidak dibiarkan lama oleh keadaan. Karena dalam tahun 1916 tuan

Zainuddin Labay mendirikan sekolah Diniyah, satu sekolah agama yang mula-mula di Sumatera Barat, timbalan dari sekolah Adahiyah di Padang. Dalam tahun 1918 didirikan orang Sumatera Thawalib yaitu murid-murid dati tuan guru Haji Rasul yang dahulunya belajar secara pondok, model yang lama, telah diobah aturan pelajarannya dengan aturan sekolah pula, dengan

kebijaksanaan seorang guru muda, bemama Hasyim dari Tiku. Pada masa itu pula, Gubernemen mendirikan Sekolah Normaal di Padang Panjang.

Maka lantaran itu ramailah Padang Panjang kembali, bukan ramai oleh perniagaan, tetapi ramai oleh murid-murid mengaji, murid sekolah, murid sekolah Normaal yang datang dari seluruh Sumatera. Sekolah Normaal tidak begitu kelihatan ramainya, karena [74] keluarnya hanya sekali seminggu. Tetapi murid-murid sekolah agama itu telah memenuhi rumah-rumah yang kosong tadi, sebab tidak termuat lagi di surau Jambatan besi, meskipun telah diperbesar.

Dalam tahun 1923 bergoncang pergaulan murid-murid sekolah-sekolah agama itu lantaran salah seorang di antara guru-guru yang begitu banyak, pulang dari perlawatannya ke tanah Jawa telah membawa faham "Merah" (Komunis), sehingga sebagian besar murid-murid kemasukan

faham itu. Dan lakon kota Padang Panjang yang lama telah dihabisi oleh gempa bumi-yang dahsyat pada 28 Juni 1926.

Kota itu adalah kota kemajuan. Murid-murid sekolah agama yang belajar di sana, telah merobah bentuk "orang siak" atau santeri pelutuk, yang tersisih dari masyarakat lantaran hanya

mengetahui kitab-kitab bahasa Arab, dengan kepala dicukur, kain pelekat kasar dan baju gunting Cina. Semuanya telah ditukar dengan model yang baru, murid-murid telah boleh berdasi, boleh berpakaian cara Barat, karena agama bukan pakaian, tetapi sanggup bertempur, berjuang di dalam menjalankan agama. Dalam pada itu, oleh guru-guru diizinkan pula murid- murid mempelajari musik, mempelajah bahasa asing, sebagai Belanda dan Inggeris.

Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan Kuda dan Pasar Malam, bernama keramaian adat negeri. Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di Sumatera Barat, sebagai Batu Sangkar, Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris, menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda, sampai kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk pucuk.

Pendeknya bertemulah di kota tersebut tiga perjuangan bentuk masyarakat. Bentuk adat lama yang dipertahankan oleh penduduk kampung, bentuk pakaian secara orang agama yang modern di dalam kota, dan bentuk "angku-angku," yang pada masa sekarang [75] ini biasa disebut "intelektuil," meskipun kadang-kadang sebutan itu tak mengenai kepada artinya yang sebenamya.

Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga pelajaran bahasa Inggeris, dan memperdalam bahasa Belanda. Malam dia pergi kepada seorang sersan pensiun di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadangkadang diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramairamai. Karena menurut keyakinannya adalah musik itu

menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan cita- citanya seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar dahulu.

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 45-50)