• Tidak ada hasil yang ditemukan

JIWA PENGARANG

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 97-100)

KATA setengah orang ilmu mengarang itu diperdapat lantaran dipelajari; diketahui nahwu dan saraf bahasa dan dibaca karangan pujangga-pujangga lain dan menirunya, bisa orang menjadi penga rang. Banyak diperbuat orang aturan mengarang, mesti begini, mesti bagitu, tak boleh salah. Tetapi bilamana kita lihai karangan pujangga yang sejati senantiasa berlain susunannya dengan lain pujangga. Seorang pengarang, bilamana dibaca orang karangannya, orang tertarik dengan kesulitan bahasa yang dipakainya. Yang lain pula, bahasanya tidak begitu

diperdulikannya, kadang-kadang menyalaN kepada kebiasaan orang lain, bahkan menyalahi nahwu dan saraf yang terpakai pada lazim, tetapi lebih enak orang membaca karangan itu. Di tanah Indonesia ini, umur kesusasteraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya.

Zainuddin! ...

Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang terbengkalai, terutama di dalam bahagian hikayat. Dikirimnya kepada surat-surat kabar harian dan mingguan. Rupanya karangan-karangannya itu mendapat tempat yang baik, karena halus susun bahasanya, dan diberi orang [155] honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan orang yang demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin bangun. Sehingga di dalam masa yang belum cukup setahun, karangan-karangannya telah banyak tersiar. Tiap-tiap hari sabtu keluarlah cerita-cerita yang dikarangkan oleh letter "Z," yang amat menarik hati itu. Kalau pada suatu ketika dicobanya menghentikan mengirim karangan-karangannya, maka datanglah surat hopredaktur meminta karangan yang baru, karena langganan-langganan telah mendesak, mengapa minggu yang lalu tak ada karangan dari letter "Z." Jika dahulu dia sendiri yang pergi ke kantor surat kabar mengantarkannya, diterima dengan dibolak balik lebih dahulu; sekarang redaksi surat kabar itulah yang datang merninta karangan kepadanya. Beberapa mingguan dan harian memberikan honorarium yang pantas. Bahkan dalam masa yang -tidak lama kemudian, direktur dari satu surat kabar harian telah datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi dalam surat kabar itu, spesial mengatur. ruangan hikayat, roman dan syair. Tetapi dia tidak mau, karena ia mempunyai cita-cita lain.

Setelah dia tahu bahwa buah penanya telah menjadi perhatian umum, mengertilah dia bahwa inilah tujuan yang tetap dari hidupnya. Dari pada bekerja di bawah tangan orang lain, lebih suka dia mengeluarkan dan membuka perusahaan sendiri. Oleh karena kota Surabaya lebih dekat ke Mengkasar, dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia.

Dengan kemauan yang tetap, dia bersama Muluk meninggalkan kota Jakarta, yang di kota itu dia telah mendapat modal paling besar, yaitu letter "Z" yang kelak akan dipergunakan menco ba nasib di kota Surabaya itu. Cita-citanya dengan buku-buku yang dikarangnyaialah

kecerdasan kaum perempuan, [156] menghapuskan adat-adat yang telah lapuk, menegakkan kemajuan yang sepadan dengan bangsanya. Ceritanya amat menarik hati orang. Karena bilamana dia menggubah hikayat-hikayatnya, dinantinya dahulu waktu yang tenang dan sepi. Segenap kesedihan yang berlungguk-lungguk dalam hati sanubarinya sejak dia kecil, itulah yang ditumpahkannya ke dalam kalangan-karangan dengan wajah yang sejelasjelasnya.

Ingatan seorang ibu kepada anaknya, ratap tangis seorang anak atas kematian ibunya, karena ibunya sendiri memang tak ada lagi. Jikalau dia melukiskan cinta, sebenar-benar cintalah yang digambarkannya. Kekecewaan hati, keremukan pikiran, pikiran yang seoang buntu nasib

seorang yang hidup sebatang kara, semuanya itu digambarkannya dalam karangannya, dengan wajah yang seielas jelasnya. Karena orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang yang tertawa; orang yang bergirang tak dapat melukiskan tangis orang yang bersedih.

Pengarang dari kalangan bangsawan amat sukar menceriterakan penghidupan dari pak tani di pondok yang buruk.

Tidak heran, kalau sekiranya karangannya mendapat penerimaan yang baik dari pada pembacanya.

Di dalam hal yang demikian, ada pula tabiatnya yang sangat mulia. Yaitu kasih sayang kepada fakir dan miskin, sangat iba kepada perempuan-perempuaii tua yang meminta-minta di tepi jalan. Kalau sekiranya ada orang dagang anak Sumatera atau anak Mengkasar yang terlantar di kota Surabaya dan dagang meminta tolong kepadanya, tidaklah mereka akan meninggalkan rumah itu dengan tangan kosong. Ketika diketahuinya bahwa di kota itu ada perkumpulan anak- anak Sumatera yang bekerja memburuh atau ditempattempat yang lain, sudi pula dia memasuki perkumpulan itu. Segala iuran diisinya, kadang-kadang lebih dari yang dibayar orang lain. Karena demikianlah ahli seni, tak perduli kepada wang Karena kekayaan yang sangat dicita-cita oleh ahli seni bukan kekayaan wang, tetapi kekayaan bahagia, kekayaan alam yang tercurali kedalam kalbunya. [157]

Seorang ahli gambar, kalau gambarnya laku dan dibeli oleh sebuah kantor yang mengumpulkan barang seni dan diietakkan di sana, maka diwaktu perutnya lapar dan wangnya habis, merasa kenyanglah dia, jika dia pergi pula kembali ke dekat gambar itu, melihat rupa dan wajah orang- orang yang lalu lintas di hadapan gambar itu. Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana pun putus asa hidupnya, kalau pada suatu hari dilihatnya orang sedang membaca buku itu dengan asyiknya, dia lupa kepayahan dan keputus-asaannya itu.

Karena kemuliaan budi dan kebaikan hatinya, yang tiada suka mengganggu orang lain, lagi suka menghormati pikiran orang lain, dalam sedikit masa pula, namanya telah harum dalam

perkumpulan "Anak Sumatera" itu. Sehingga tidak berapa lama kemudian, atas anjurannya sendiri didirikan suatu perkumpulan tonil dengan nama: "Andalas" nama asli Pulau Sumatera. Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia termasyhur dengan nama samaran letter "Z," pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan-sandiwara "Andalas" ... Demikianlah ilham yang dibawa oleh cinta yang suci. Cinta yang suci adalah laksana setetes embun yang turun dari langit ke atas bumi Allah ini. Jika sekiranya bumi yang menerimanya itu subur, maka tumbuhlah di atasnya beraneka warna bunga-bungaan yang harum semerbak. Menanamkan damai, aman, sentosa, insaf, rasa percaya kepada diri sendiri. Dalam hal yang begini, embun "cinta" yang setetes itu membawa manusia yang di titiknya ke mayapada yang mulia. Tetapi jika dia jatuh ke bumi yang tak subur, yang tandus dan penuh batu-batu, tidak ada yang akan tumbuh di sana, lain dari sirili memanjat batu, kuning daunnya lemah

kepercayaan kepada nikmat yang tersimpan di dalam hidup. Atau menjadi seorang pembenci, kurang percaya, kadang-kadang pendendam dan sakit hati ...

Maka adalah cinta kepada Hayati dan pengliarapan yang [158] terputus yang memuarakan jiwa dan semangat baru dalam perjuangan hidup anak muda itu, ke lautan yang luas!

"Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meski pun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, Tetapi harus patuh kepada perintahnya."

18. SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 97-100)