• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH Surat yang pertama.

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 100-104)

Sahabatku Khadijah!

Setelah selesai perkawinan kita, rupanya kita mesti berpisah sejauh ini; kau ke Medan

menurutkan suammu, karena dia saudagar dan saya ke Padang nwnurutkan suamiku, karena dia makan gaji.

Meski pun bagaimana kesenangan yang diberikan Aziz kepadaku, namun saya masih tetap teringat kepada kau. Kapankah kita akan bertemu kembali, mengulang jejak masa muda, semasa masih bebas mengiraikan sayap.

Memang amat ganjil hidup yang mesti kita tempuh. Mula-mula saya cintai orang lain, anak muda lain, menurutkan hati yang tidak bertimbangan, tetapi takdir Tuhan menentukan saya mesti rnenjadi isted Aziz. Benarlah rupanya pepatah pujangga kita tuan Haji Agus Salim, bahwa bagi bangsa kita, cinta datangnya ialah sesudah kawin.

Khadijah! Kami amat beruntung suami isteri! Justru rupanya perkataan-perkataan orang

membusuk-busukkan suamiku, mengirakan dia suka membuang-buang wang dimeja perjudian. Kalau itu ada semasa dia masih belum beristed, maka sekarang tak aria lagi. Adalah suamiku suatu contoh dari suami yang setia.

Kebetulan sekali, baru-baru ini kami dikirim orang dari Surabaya, satu "katalogus" dari hikayat- hikayat yang dikeluarkan oleh satu pedagang buku Hikayat yang mula-mula kami pesan bernama "Terusir." Kulitnya dihiasi dengan klise yang indah tetapi menyedihkan hati, terlukis seorang anak nuda menjinjirg bungkusan kecil disuruh pergi oleh seorang tua [160] yang gagak memakai saluk. Di sana tertulis: "Pergilah! Negeri kami beradat." Isinya, wahai Khadijah, serupa dengan nasib anak muda yang menjadi buah tutur kita selama ini, Zainuddin. Saya baca cerita itu sampai habis, sehingga dengan tidak saya rasai, buku itu telah basah oleh air mata.

Kebetulan penulis yang menanggung jawab hikayat-hikayat yang dikeluarkan itu ialah nama samaran atau potongan letter "Z."

Mengingat letter itu, dari mengingat isi cerita, saya teringat kembali kepado anak muda yang telah terpedaya lantaran saya: Zainuddin. Kalau bukan karangannya, mengapa hampir serupa apa yang dituliskannya dengan yang kejadian itu, tidak berapa bedanya. Tetapi kalau dia, kadang-kadang saya tak percaya, bahwa anak muda yang pemenung itu akan sanggup menulis buku seindah itu. Beberapa bulan yang lalu, di surat-surat kabar yang terbit di Jakarta bertemu pula hikayat-hikayat pendek yang ditulis oleh letter "Z" juga. Isinya amat indah-indah, tetapi tidaklah seindah hikayat yang terbit di Surabaya ini. Agaknya kau sendiri ada juga membaca buku baru itu.

Kalau memang ini karangannya, alangkah salahnya persangkaan kita kepada anak muda yang kita sangka kurang akal itu. Rupanya dia mempunyai pikiran tinggi, telah menjadi pengarang yang besar. Terus terang saya katakan, hikayat-hikayat itu amat menarik hatiku; meskipun suamiku tidak begitu suka kepada cerita-cerita sedih, hanyalah hikayat-hikayat detektip saja.

Hayati. Surat yang kedua.

Sahabatku Khadijah!

Berdebar-debar: masih berdebar jantungku ketika surat ini kutulis. Suatu keadaan dan penghidupan yang baru akan kami tempuh. Perlu sekali rasanya kau tahu, sahabatku. Ketika suamiku pulang dari pekerjaannya pukul 1 tadi, dia telah merdekatiku, mukanya kelihatan girang, lebih daripada kegirangannya yang biasa. Diciumnya keningku, sambil tersenyum dia berkata: Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar.

Pindah ke mana kanda? tanyaku

Cobalah terka, kemana? katanya sambil tersenyum. Entahlah, jawabku.

Kita akan pindah ke Jawa, katanya!

Ke Jawa? tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya!

Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun, kita akan melihat kota Jakarta yang ramai. Kita akan pergi ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di Surabaya Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-senyum saja. Baru sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-barang kami. Dan heran sekali Khadijah! Debar jantungku kian keras, menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu kegirangan.

Sehendaknya tentu begirang amat saya menerima kabar kepindahan itu, sebab inilah saya lihat cita-cita tiap-tiap isteri yang suaminya makan gaji. Sedangkan kau sendiri ketika akan ke

Medan, malam tasakan kau cabik supaya lekas siang. Payah saya menetapkan dan meneguhkan hati, debarnya masih tetap saja, seakan-akan ada rasanya bahaya yang akan kutempuh di tanah Jawa itu.

Ah, itu hanya was-was, biarlah saya coba memenanginya. Apa lagi saya cukup percaya kepada suamiku.

Kalau sekiranya engkau masih ada di rumah, Khadijah, tentu engkau akan turut mengantarkan daku ke Teluk Bayur, mengipas-ngipaskan sapu tanganmu melepas kami berlayar, yang harinyu sudah terlalu dekat sekali ....

Sudah putus, kami akan pindah, harinya sudah amat dekat. Agaknya setelah sampai di tempat kediaman yang baru, barulah dapat saya mengirim surat pula kepadamu.

Bilakah kita akan bertemu lagi Khadijah?

Hayati [162]

Surat yang ketiga. Sahabatku Khadijah!

Sejak menjejak tanah Jawa, sesudah menyatakan bahwa saya telah sampai bersama suami saya dengan selamat, belum pernah saya lagi berkirim surat, sudah hampir 3 bukn lamanya. Heran tercengang engkau agaknya, apakah sebab saya, yang serajin itu selama ini menulis, sekarang terhenti saja, padahal banyak keadaan-keadaan di tanah Jawa, keindahan alam, kecantikan kota yang patut diterangkan kepadamu

Tertahan-tahun saya menulis sekali ini. Tetapi ada satu perasaan yang menyatakan hati saya menerangkannya, yaitu persahabatan kita, bukan pertalian ipar bisan kita:

Khadijah! Bagaimana namanya saya ini? Mengapa seakan-akan onang yang karam masuk laut saya rasanya, tidak akan timbul-timbul lagi, setelah menjejak tanah Jawa ini?

Sebelum melangkahkan kaki masuk kapal di pelabuhan Teluk Bayur, darahku berdebar-debar, seakan-akan ada bahaya yang akan kutempuh. Tetapi perasaan itu saya tekankan saja. Sekarang telah timbul hal-hal yang menyebabkan debar darah itu kembali terasa. Yaitu entah apa sebab karenanya, jauh berbeda perangai suamiku dari dahulu, seketika mula-mula kawin. Saya masih ingat, lebih kurang setengah tahun kami di Padang, hidup bersuka ria, ke mana suamiku ke sana saya. Tetapi sekarang bila dia pulang dari pekerjaan, senyumnya tidak seperti senyum yang dahulu lagi, sudah nampak dibuat-buatnya. Saya tidak pula berani menyangka bahwa hatinya telah berubah terhadap diriku itu sekali-kali tidak. Cuma saya hendak

menegaskan, bahwa harga pemandangannya kepadaku telah banyak berbeda. Jika di masa yang lalu, duduk di dekatku menjadi kesenangannya, atau berjalan berdua memakan angin sore menjadi kenikmatan hidup kami, sekarang telah bertukar. Duduk di rumah dia gelisah, larut malam baru dia pulang. Saya tak cemburu kepadanya. Dan katanya pula, dia berjalan menziarahi handai tolan, sahabat dan kenalan. Kalau dia menjawab demikian, saya cukup percaya.

Yang saya herankan pula, jika semasa kami tinggal di Padang, gaji yang diterimanya mencukupi untuk hidup kami, sekarang tidak lagi. Sudah kerap kali kami kekurangan, sudah kerap kali kami mengeluh lantaran belanja tak mencukupi, padahal gaji jauh lebih naik dari di Padang. Akan kukatakan bahwa hal itu lantaran harga makanan terlalu mahal di Surabaya, itu pun tidak pula; penghidupan tidak berapa berbeda dari di kampung kita.

Kalau bukan mengingat bahwa engkau sahabatku, haram saya berani menyatakan ini kepada saudara perempuan suamiku. Tetapi saya kenal kejujuran hatimu kepadaku, say kenal engkau pengasih dan penyantun. Pembicaraanmu amat berpengaruh kepadanya, itulah sebab saya sampaikan. Dan ketahuilah olehmu sahabat, bahwasanya kasih sayangku sedikit pun tak berubah kepadanya. Jika kiranya dia lupa, biarlah dia kembali sadar. Marilah kita perbaiki bersama-sama.

Hayati. Balasan Khadijah.

Sahabatku Hayati.

Suratmu yang terakhir ini sahabat, sangat mengherankan hatiku. Engkau terlalu banyak was- was, terlalu banyak ngelamun. Sebenarnya Aziz tetap cinta kepadamu, sejati dan suci. Tidak ada niatnya hendak berkhianat kepadamu dalam negeri yang sejauh ini. Tuduhanmu atas perubahan hati suamimu terlalu berat. Agaknya dia kurang banyak di rumah adalah mencari ikhtiar yang lain untuk pencukupkan penghidupan. Karena banyak juga saya lihat, belanja rumah tangga itu, beres atau tidaknya, bukan bergantung kepada laki-laki, tetapi tiangnya kebijaksanaan si isteri juga ... Teguhkanlah hatimu kembali jangan engkau kurang percaya kepada suamimu, di rantau yang sejauh ini.

Khadijah [164]

Dalam dokumen Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA (Halaman 100-104)