1Pasca Sarjana UMI Makassar
2Pasca Sarjana UMI Makassar
3Pasca Sarjana UMI Makassar
(Alamat Korespondensi: [email protected]/085242284585)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku merokok mahasiswa secara mendalam terkait dengan faktor niat perilaku, dukungan sosial, ada atau tidak adanya informasi atau fasilitas kesehatan, otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal mengambil keputusan dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan desain studi kasus. Analisis berupa domain dengan teknik pengumpulan data Indepth-Interview, Fokus Group Discussion dan Observasi terhadap 15 informan perilaku perokok sedang dan perokok berat. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 26 Juli sampai dengan 26 Agustus 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari niat perilaku untuk merokok tidak didasari oleh niat, mereka merokok diawali coba-coba dan pengaruh oleh teman sepergaulan. Dukungan sosial sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang, dalam hal ini dukungan sosial dari teman dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku merokok yang informan lakukan. Ada atau tidak adanya informasi atau fasilitas kesehatan terkait perilaku merokok sangat berpengaruh untuk menentukan perilaku, masih banyak informan yang tidak memiliki informasi kesehatan terkait perilaku merokok. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal mengambil keputusan terkait perilaku merokok, hampir semua informan mengungkapkan bahwa hal itu didasari dari pilihan mereka sendiri. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak diketahui yaitu pada saat bekerja dan kantin kampus adalah tempat yang dianggap nyaman untuk merokok. Diharapkan kepada pihak Kampus Kesehatan PPNI Kendari di Sulawesi Tenggara agar meningkatkan kedisiplinan terhadap larangan kawasan tanpa asap rokok guna menciptakan mahasiswa kesehatan yang lebih lebih baik dan bebas dari perilaku merokok.
Kata kunci: Perilaku Merokok, Mahasiswa
PENDAHULUAN
Perilaku merokok merupakan suatu fenomena yang umum di masyarakat Indonesia. Menurut Sukendro (2007), merokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan pola perilaku yang terjadi sehari-hari. Merokok merupakan perilaku yang sering dijumpai di berbagai tempat dan dianggap sebagai kebiasaan dalam masyarakat Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan strategi pengendalian dampak konsumsi rokok di Indonesia. Capaian yang diharapkan dari Peta Jalan ini yaitu pembentukan dan implementasi kebijakan publik/regulasi yang melindungi masyarakat
dari ancaman bahaya merokok, contohnya: aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sementara itu, DPR-RI telah melakukan upaya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. RUU ini sejak awal penyusunannya mengundang kontroversi, namun tetap akan segera dibawa dalam sidang paripurna untuk selanjutnya disahkan sebagai peraturan perundang-undangan. Meskipun telah ada upaya tersebut, sangat disadari upaya mengendalikan jumlah perokok masih membutuhkan peran serta masyarakat.
Sebagian besar kalangan memandang bahwa perilaku merokok memiliki banyak dampak negatif. Namun, ada juga sebagian orang yang menganggap bahwa perilaku merokok dapat memberikan efek relaksasi dan ketenangan bagi mereka, meskipun anehnya mereka sendiri telah paham bahwa perilaku merokok yang mereka lakukan memiliki
yang ditunjukkan dari kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 baik pada kelompok intervensi maupun kelompok control karena pada kedua kelompok tersebut sama-sama mengalami peningkatan kadar glukosa darah, tetapi jika dilihat secara seksama kelompok intervensi kenaikannya lebih kecil daripada kelompok control sehingga dapat dikatakan intervensi yang dilakukan berupa DSME dan pemberian leafleat DM dapat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah.
KESIMPULAN
Tidak ada perbedaan signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden antara kelompok intervensi dengan kelompok control. Sedangkan pada post test nilai P= 0.002 (p < 0.05) yang menunjukkan terjadi perubahan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian.
SARAN
Dalam penelitian ini keluarga dengan penderita DM tipe 2 tidak diiukutsertakan dalam pemberian DSME , dimana dukungan keluarga merupakan hal penting dalam penurunan kadar glukosa darah.
DAFTAR PUSTAKA
AanSutandi (2012), Self Management Education (DSME) sebagai metode alternative dalam perawatan mandiri pasien Diabetes Melitus di dalam keluarga.
Balai Besar Laboratorium Kesehatan (2016), Profil. www.bblkmakassar.com
Depkes RI (2008), Pedoman Tekhnis penemuan dan tatalaksana penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
Ihsan (2010), Laboratorium Kesehatan :Glukosa Darah.
Kholid,A (2012), Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media dan Aplikasinya untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Jilid I .Jakarta: rajawali Press.
Lemone& Burke (2008), Medical Surgical Nursing : Critical Thingking in Client Care (4 thed). New Jersey : Person Prentice Hall.
LaurentiaMihardja (2009), Faktor yang berhubungan dengan pengendalian gula darah pada penderita Diabetes Mellitus di perkotaan Indonesia, RasearchArticle , volume 59 Nomor 9.
MonaEva, BiufanaS& AstutiRahayu (2012), Hubungan Frekuensi Pemberian konsultasi Gizi dengan Kepatuhan Diet Serta Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Tugurejo Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang, November 2012, Vol.1 No.1.
Ni Komang (2009), Hubungan antara Aktivitas Fisik dan kejadian Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Jurnal Skala Husada Volume 6 No.1 2009: 59-64.
NurHikmah B (2015), Pengaruh Konseling Home Care terhadap Kualitas Hidup penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Talise kota Palu. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. PERKENI (2006), Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PERKENI (2011), Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Schteingart (2006), Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus dalam Sylvia & Lorraine. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses Penyakit (hal 1114-1119). Jakarta: EGC.
Smeltzer& Bare (2008), Social Support Survay.Social Science and Medicine. 32 (6) 705-706.
Soegondo (2006), Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
St.Nurliya (2013), Pengaruh Konseling Gizi dan Gaya Hidup terhadap Kadar Glukosa Darah dan indeks Massa Tubuh (IMT) pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar.Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat bagian Epidemiologi Universitas Hasanuddin.
Sukardi (2009), Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Melitus, dalam Sidartawan, Pradana& Imam, Penatalaksanaan Diabetes Terpadu. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI.
kelompok kontrol hasil yang didapatkan adalah selisih antara pre test dan post testnya yaitu sebesar 4,150 mg/dl dengan p=0,601 (p>0,05)yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada saat pretest hingga post test.
Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian ini menunjukkan intervensi DSME dan pemberian leaflet DM mampu menahan laju kenaikan kadar glukosa pada penderita DM 2, hal ini dibuktikan bahwa jika dibandingkan selisih kenaikan glukosa darah terjadi perubahan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kristanti (2016) yang menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan gula darah pasien DM. Hal tersebut bisa didapatkan dari hasil proses edukasi. Saat pelaksanaan edukasi berlangsung responden diberikan pemahaman mengenai penyakitnya sehingga dapat menyadari kondisi diri dengan penyakit yang diderita, yang kemudian diajak untuk mengelola penyakitnya dan selanjutnya merencanakan tindakan apa saja yangdilakukan dalam mengelola penyakitnya. Pada akhirnya edukasi ini membuat responden dapat menerima penyakitnya dan lebih bijaksana dalam menjalani penyakitnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat meminimalkan terjadinya komplikasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sourav (2010) di India yang menilai pengaruh edukasi pasien terhadap management penyakit yang berdampak pada kualitas hidup pasien DM tipe 2. Hasil penelitian ini menemukan bahwa nilai control Glukosa Plasma Puasa (GPP) dan Tingkat Glukosa Postprandial Plasma (PPG) berkurang secara signifikan 180 ± 2,597 (p<0,05) dan 194 ±2,596 (p<0,01) masing-masing setelah 45 hari pasien diberi Edukasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian edukasi mengenai pengelolaan penyakit dan modivikasi gaya hidup pasien efektif diimplementasikan dan pengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM sehingga meningkatkan angka harapan hidup pasien DM.
Mahant (2013) dalam
penelitiannya di India juga menunjukkan peningkatan kualitas hidup pasien meningkat setelah mendapatkan edukasi oleh petugas kesehatan yang terlihat dalam hal pemantauan glukosa daraah secara rutin. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
Edukasi dapat memberikan efek jangka panjang berupa control metabolic management perawatan diri bagi pasien DM.
Dalam mengontrol glukosa darah pasien agar tetap stabil dan tidak mengalami komplikasi perlunya kesadaran bagi setiap penderita DM untuk meningkatkan kualitas hidupnya, Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, selain edukasi yang telah dijelaskan, perubahan gaya hidup juga sangat penting untuk dilakukan seperti diet DM, hindari stres, dan melakukan aktivitas fisik yang rutin misalnya senam untuk diabetes. Dalam hasil penelitian Mona (2012) menyatakan bahwa ada hubungan frekuensi pemberian konseling gizi dengan kepatuhan diet penderita DM tipe 2. Hal ini sama juga dalam hasil penelitian Octa (2011) bahwa konseling gizi yang rutin dan modivikasi gaya hidup memperbaiki kadar glukosa darah, hal ini serupa pada hasil penelitian Ni Komang (2009) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang rendah memiliki resiko DM tipe 2, 3 kali lebih besar dibandingkan dengan aktivitas fisik yang tinggi.
2. Perbandingan kadar glukosa antara kelompok intervensi dan kelompok control.
Dalam Penatalaksanaan DM dikenal 4 pilar utama pengelolaan antara lain : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi. Ketidakpatuhan pasien terhadap cara pengelolaan penyakitnya merupakan salah satu kendala pada pelayanan diabetes, edukasi DM merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Edukasi merupakan pilar terpenting untuk keberhasilan pengelolaan DM mencapai kadar glukosa sasaran yang dianjurkan dan pada gilirannya bertujuan untuk mencegah komplikasi kronik DM pada berbagai organ tubuh. Edukasi DM tersebut dapat dalam bentuk Diabetes Self Management Education (DSME) seperti dalam penelitian yang telah dilakukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil uji statistic saat pre test didapatkan nilai p= 0.154 (p > 0.05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden antara kelompok intervensi dengan kelompok control. Sedangkan pada post test nilai P= 0.002 (p < 0.05) yang menunjukkan terjadi perubahan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian. Hal ini terjadi karena kecilnya angka perbedaan
2.Rata-rata Kadar Glukosa Darah
Rata-rata kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 pada kedua kelompok penelitian disajikan dalam tabel berikut: Tabel 2. Gambaran rata-rata kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol .
Variabel Intervensi (n=20) Kontrol (n=20) Kadar Glukosa Pre Test Post Test Beda Rata-rata Nilai p (Homogenitas) Rerata SD Rerata 264,45 237 15 56,153 50,81 299,80 303,95 27,30 4,150 0,013 0,601
Tabel 2. menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa kelompok intervensi pada saat pre test adalah 264,45 mg/dl dengan standar deviasi 56,153 sedangkan paa saat post test menjadi 237,15 mg/dl dengan standar deviasi 50,811 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 27,30. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata kadar glukosa padasaat pretest adalah 299,80 mg/dl dengan standar deviasi 92,985 dan pada saat post test menjadi 303,95 mg/dldengan standar deviasi 74,622 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 4,150. Perbandingan kadar glukosa pada kedua kelompok penelitian sebagai berikut:
3.Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME)
Pada tahap ini dilakukan analisis untuk mengetahui pengaruh DSME terhadap kadar glukosa darah baik itu sebelum dan setelah ddilakukan intervensi terhadap penderita DM tipe 2. Selain itu untuk melihat perbedaan antara kelompok yang diberi intervensi dan kelompok yang tidak diberi intervensi (kelompok kontrol) dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Distribusi rata-rata kadar glukosa darah penderita DM tipe 2 pada kelompok intervensi saat pre test dan post test.
Nilai Statistik
Kadar Glukosa Darah Pre Test Post Test N Mean SD SE Beda Mean 20 20 264,45 56,153 12,556 27,30 p Value 0,013
Tabel 3. menunjukkan bahwa ada peningkatan rata-rata kadar glukosa darah penderita DM 2 setelah dilakukan DSME. Hasil uji statisstik yang didapatkan p= 0,013
(p<0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan rancangan randomized control group Pre Test Post Test Design pada 40 responden yang menderita diabetes Melitus tipe 2 sebagaimana telah terdiagnosis dan tercatat di buku rekam medic Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar selama 3 bulan yaitu Mei-Juli 2017. Pemilihan kelompok yang diberikan intervensi berupa Diabetes Self Management Education (DSME) dan pemberian leaflet DM dilakukan secara simple random sampling dengan cara diundi.
Waktu pelaksanaan penelitian ini kurang lebih 7 Minggu yaitu dimulai pada tanggal 12 Agustus sampai 30 September 2017 dengan jarak antara pelaksanaan pre test dan post test selama sekitar 7 Minggu. Hal ini sesuai dengan Transtheoritical Theory Model (TTM) yang dikemukakan oleh Prochasca yang menyatakan bahwa untuk mengukur perubahan yang masih dalam tahap persiapan (orang berniat mengambil tindakan dalam waktu dekat yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai sikap) diperlukan waktu 1 bulan (Kholid, 2012).
Hasil analisis data yang dilakukan pada 40 responden pada ke dua kelompok penelitian tersebut yaitu kelompok intervensi dan kelompok control yang dipilih sebagai sampel diuraikan sebagai berikut:
1. Pengaruh Diabetes Self Management Education terhadap kadar Gula Darah
Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan control metabolic, mencegah komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM (Sidani & Fan, 2009)
Hasil penelitian menunjukkan baahwa ada peningkatan kadar glukosa darah responden pada kelompok intervensi yang mana pada saat pre test diukur pada glukosa darah responden kemudian diberikan DSME dan leaflet DM secara berkala sekali dalam seminggu selama kurang lebih 7 Minggu dan hasil yang didapatkan adalah selisih rata-rata kadar glukosa darah yang diukur dari pre test sampai post testnya yaitu 27,30 mg/dl dengan p=0,013 (p<0,05) yang artinya terjadi perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi, namun jika dibandingkan pada
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran umum mengenai karakteristik pasien dan memperoleh pemaparan secara deskriptif. Variabel penelitian berupa variable independen (pemberian DSME) dan variable dependen (kadar gula darah) dengan menggunakan tabel distribusi frekuansi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariatdilakukan untuk melihat apakah ada efek intervensi setelah melakukan pembelian diabetes Self Management Education (DSME) dengan cara membandingkan kadar gula darah
sebelum dan setelah dilakukan intervensi tersebut dengan menggunakan uji t bepasangan. Selain itu untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependennya dilakukan uji t tidak berpasangan.
HASIL PENELITIAN
1. Kadar Glukosa Berdasarkan Karakteristik Responden
Rata-rata kadar glukosa darah pada saat pre-test hingga post-test pada ke dua kelompok penelitian berdasarkan karakteristik responden dapaat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi rata-rata kadar glukosa darah responden berdasarkan karakteristik umum. Karakteristik
Responden
Intervensi Kontrol
Pre Test
Post Test Beda Pre Test Post Test Beda Umur 30-39 296,5 216,5 80 361 299 62 40-49 240,66 207,66 33 294 308,83 14,83 50-59 264,12 234,50 29,62 240 248,5 8,5 60-69 265,85 258,71 7,14 289,75 311 21,25 70-79 - - - 294 297,5 3,5 80-89 - - - 576 499 77 Jenis Kelamin Laki-laki 273,3 239,6 33,7 315,33 307,88 7,45 Perempuan 255,6 234,7 20,9 287 300 13 Pendidikan Terakhir SMP/Sederajat 335 304 31 200 253 53 SMA/Sederajat 279,44 260 19,44 335,1 322,1 13 S1 243,90 209,9 34 274,75 288 13,25 S2 - - - 247 301 54 Pekerjaan Wiraswasta 257 242 15 293,7 292,4 1,3 PNS/TNI/POLRI 282,25 230,25 52 318,57 337 18,43 Karyawan swasta 314,5 293 21,5 346,33 320,33 26 Pensiunan 221 225 4 210,5 226,5 16 Tidak bekerja 241,5 174,5 67 221 200 21 Riwayat Penyakit Ada riwayat 245,25 249,37 4,12 294,14 309 14,86
Tidak ada riwayat 27,25 229 48,25 302,84 301,15 1,69
Tabel 1. menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan kelompok umur, pada kelompok intervensi rata-rata kenaikan kadar glukosayang paling besar adalah pada kelompok umur 30 sampai 39 tahun. Sedangkan pada kelompok kontrol pada umur 80 ssampai 89 tahun. Berdasarkan jenis kelamin laki-laki paling besar kenaikan kaadaar glukosanya pada kelompok intervenssi sedangkan pada kelompok kontrol adalah perempuan. Karakteristik berdaarkan pendidikan terakhir pada kelompok intervensi, pendidikan S1 paaling besar kenaikan glukosanya dan pada kelompok kontrol pada pendidikan S2. Sedangkan berdasarkan pekerjaan pada kelompok intervensi yang paling besar kenaikan glukosanya adalah tidak bekerja danpada kelompok kontrol adalah karyawan swasta.
pentingnya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit dan resikonya, intervensi farmakologis dan non farmakologis dan lain-lain.
Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM type 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Edukasi diberikan kepada pasien DM dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pasien sehingga pasien memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari komplikasi DM tipe 2 jangka panjang (Smelter & Bare, 2001). Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME) (McGowan, 2011).
Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan komponen penting dalam perawatan pasien DM dan sangat diperlukan dalam upaya memperbaiki status kesehatan pasien. DSME merupakan suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et,al,2008). DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan control metabolic, mencegah komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM (Sidani& Fan,2009).
Adapun tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perilaku, perawatan diri, pemecahan masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk memperbaiki hasil klinis, status kesehatan dan kualitas hidup (Funnell et.al. 2008).
Berbagai penelitian mengenai DSME telah dilakukan diantaranya. Penelitian yang dilakukan oleh McGowan (2001) mengenai the Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-Management Education in Type 2 Diabetes. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat perubahan A1C dan berat badan pada kelompok intervensi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan hasil klinis pasien DM tipe 2.
Penelitian yang sama juga dilakukan Alvida Yuanita (2013) mengenai pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus Diabetik pada pasien DM tipe 2, terbukti DSME memberikan pengaruh yang efektif karena bisa memperbaiki hasil klinis pasien sehingga resiko terjadinya ulkus Diabetik pada kelompok intervensi dapat berkurang.
Penelitian lain mengenai DSME juga dilakukan oleh kristanti (2016) menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan gula darah pasien DM dan meningkatkan pengetahuan managemen dirinya.
Berdasarkan data dan latar belakang diatas, serta dari hasil penelitian-penelitian yang dilakukan yang berkaitan dengan pengaruh edukasi terhadap pasien diabetes melitus, peneliti bermaksud meneliti pengaruh DSME terhadap kadar gula darah pasien DM tipe 2 di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar tahun 2017.
BAHAN DAN METODE Lokasi Populasi dan Sampel
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, penelitian Quasi Eksperimental (Eksperimen Semu) dengan rancangan Randomized Pretest and Postest Control Group Design Penelitian ini direncanakan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang melakukan pemeriksaan laboratorium kadar gula darah di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar tercatat mulai bulan Mei - Juli 2017 sebanyak 79 orang dan jumlah sampel Sehingga jumlah yang memenuhi criteria yang ditentukan yaitu sebanyak 40 orang pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok control, yang masing-masing diperoleh 20 orang.
Pengolahan Data 1. Editing
Editing adalah tahap pertama dalam melakukan pengolahan data yang dilakukan dengan menyunting data yang terkumpul dari lokasi penelitian di lapangan.
2. Coding
Coding data dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode pada tehadap setiap data yang akan diinput, sehingga mempermudah pada saat analisis dan mempercepat entri data.
3. Entri
Entri Data adalah proses memasukkan data dalam computer dengan menggunakan perangkat lunak progam computer, yakni menggunakan program SPSS.
4. Cleaning
Cleaning data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah diinput (entri), untuk melihat apakah ada kesalahan atau tidak.
Sulawesi Selatan yaitu sebesar 41,56% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2012).
Peningkatan kasus DM juga terjadi di tingkat kabupaten/kota, khususnya kota Makassar. Diabetes Melitus menempati peringkat kelima dari sepuluh penyebab utama kematian di Makassar tahun 2007 dengan jumlah sebanyak 65 kasus. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, angka kejadian penyakit Diabetes Melitus pada tahun 2011 yaitu 5700 kasus. Pada tahun 2012 angka kejadian kasus DM meningkat menjadi 14.067 kasus, tahun 2013 menjadi 14.604 kasus dan semakin meningkat di tahun 2014 menjadi 21.452 kasus (Dinkes Kota Makassar, 2015). Di tahun 2015, diantara 10 jenis penyebab utama kematian di kota Makassar, Diabetes Melitus menduduki urutan ke-4 dimana terdapat 191 penduduk yang mati akibat penyakit tersebut. (P2PL Dinkes Kota Makassar).
Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medic Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar pada tahun 2016, diperoleh data terdapat jumlah pasien yang melakukan pemeriksaan laboratorium sebanyak 46001 orang. Dari 2017 pasien yang periksa kadar gula darah terdapat 84 pasien yang mempunyai hasil pemeriksaan kadar gula darah diatas normal dan terdiagnosis menderita penyakit Diabetes Melitus setelah melakukan pemeriksaan kadar gula darah secara berkala dengan hasil kadar gula darah rata-rata diatas normal (Rekam Medis BBLK, 2017).
Terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus yaitu Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT1) dan Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2). DMT1 adalah penyakit autoimun dimana tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dan lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Sedangkan Diabetes Melitus (DMT2) atau yang sering disebut dengan Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) adalah gangguan metabolisme dimana produksi insulin ada tetapi jumlahnya tidak adekuat atau reseptor insulin tidak dapat berespon terhadap insulin. DMT2 atau DM Tipe 2 merupakan jenis DM yang jumlahnya meningkat secara signifikan di dunia. Angka insiden DM Tipe 2 berada pada angka tertinggi di Negara ekonomi berkembang. Resiko DM tipe 2 terus meningkat di seluruh dunia karena pertambahan penduduk, penuaan, urbanisasi dan meningkatnya prevelensi dari aktivitas fisik dan obesitas (Javanbakht, 2011).Di Indonesia khususnya dari seluruh populasi penderita DM kurang lebih 90% pasien mengalami DM Tipe 2