• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdullah1, Elly L, Sjattar2, Abdul Rahman Kadir3

1Mahasiswa Konsentrasi Manajemen, Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan, UNHAS

2Dosen, PSMIK Fakultas Keperawatan, UNHAS

3Dosen, PSMIK Fakultas Keperawatan, UNHAS

(Alamat Korespondensi: [email protected]/ 085399088102)

ABSTRAK

Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, fasiltas kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah kunjungan peserta prolanis. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional. Subjek penelitian adalah 51 peserta prolanis yang diperoleh dengan menggunakan purposive sampling. Hasil analisis bivariat menggunakan Uji Person correlation, menunjukkan ada hubungan signifikan antara keterjangkauan akses pelayanan dengan penurunan jumlah kunjungan peserta prolanis dengan nilai p 0.000, ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan penurunan jumlah kunjungan peserta prolanis dengan nilai p 0.000, dan ada hubungan signifikan antara peran petugas kesehatan dengan penurunan jumlah kunjungan peserta prolanis dengan nilai p 0.000. Hasil penelitan menunjukkan bahwa peserta prolanis yang tidak rutin berkunjung dan melakukan kegiatan prolanis, maka akan memicuh terjadinya komplikasi bagi penderita resiko tinggi, sehingga tidak dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik.

Kata Kunci : Keterjangkauan Akses,Dukungan Keluarga, Peran Petugas Kesehatan dan Penurunan Jumlah Kunjungan,

PENDAHULUAN

Sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi melibatkan peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) dan fasilitas kesehatan untuk menangani masalah penyakit kronis seperti Hipertensi dan Diabetes melitus adalah Program layanan penyakit kronis (Prolanis). Hal ini bertujuan mencapai kualitas hidup yang optimal bagi penderita penyakit kronis diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi, serta mencegah timbulnya komplikasi penyakit. Aktifitas Prolanis meliputi aktifitas konsultasi dan edukasi, home visit, aktifitas klub dan pemantauan status kesehatan (BPJS. 2015).

Amerika Serikat sendiri menghabiskan lebih dari 5 dolar untuk merawat kesehatan penduduk yang memiliki satu atau lebih kondisi penyakit kronis. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010 lebih dari setengah penduduk

Amerika atau sekitar 51,7 % telah mengalami setidaknya 1 (satu) penyakit kronis, dan hampir 1/3 atau sekitar 31,5 % memiliki beberapa penyakit kronis. Dan prevalensi kondisi kronis meningkat dramatis pada usia 45 sampai dengan 64 tahun. Adapun penyakit kronis yang tebanyak adalah Hipertensi (26,7 %) dan Diabetes Melitus (21,9% )(Gerteis et al., 2014).

Menurut Fauzia et al., (2016), faktor yang berhubungan dengan kepatuhan edukasi meliputi sikap, pengetahuan, dukungan keluarga dan dukungan tenaga medis. Hasil penelitian di Puskesmas Babat Lamongan menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki kadar glukosa darah yang tidak stabil. Menurut Achjar (2014) obesitas menjadi faktor resiko pada ketidakstabilan gula darah. Selain itu menurut Waspadji dalam Ngaisyah (2015) ketidaksabilan gula darah dipengaruhi oleh pola makan. Sedangkan Menurut Zulkarnain

Norris, S.L. et al. (2002). Increasing Diabetes Self – Management Education in Community Settings : A Systematic Review. American Journal of Preventive Medicine. 3(9):39-53 Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11985934

PERKENI. (2015). Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Retrieved from http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf.

PERKENI. (2010). Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Retrieved from http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf.

behavior pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai t - 16,718 dan p 0,0001 < 0,05, artinya terdapat perbedaan self care behavior sebelum dan setelah penerapan discharge planning. Sedangkan hasil uji t test dependen pada kelompok kontrol didapatkan nilai t hitung - 5,406 dan p 0,0001 < 0,05 (α), artinya walaupun pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi, namun terdapat perbedaan self care behavior pada saat pre test dan post test. Nilai negatif pada t menunjukkan bahwa nilai pre test lebih rendah dari pada nilai post test. Walaupun terjadi peningkatan self care behavior pada kedua kelompok, berdasarkan hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol menunjukan peningkatan yang terjadi pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol.

Hasil uji t tidak berpasangan antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat diketahui nilai t sebesar 12,149 dengan p 0,0001 < 0,05 artinya terdapat perbedaan self care behavior yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok control. Peningkatan self care behavior yang terjadi pada kelompok kontrol, walaupun lebih rendah dari pada kelompok perlakuan kemungkinan disebabkan kelompok kontrol juga mendapatkan pendidikan kesehatan melalui discharge planning seperti yang biasa dilakukan di ruangan. Hal ini sesuai pendapat Ellis di dalam Atak (2010) yang menyatakan bahwa pasien yang diberikan informasi tentang penyakit dan bagaimana perawatannya akan menunjukkan hasil yang positif dalam pengelolaan penyakitnya. Pendidikan kesehatan yang rendah akan berdampak terhadap kemampuan

pengelolaan DM secara mandiri (self care behavior) oleh pasien dan keluarga sehingga dapat mengakibatkan tingginya angka rawat ulang dan komplikasi yang dialami oleh pasien. Peningkatan self care behavior pada kelompok perlakuan menjadi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, karena selama masa perawatan di RS pasien mendapatkan pendidikan kesehatan tentang penyakitnya secara lebih terstruktur, yaitu melalui penerapan discharge planning.

Menurut Norris (2002) intervensi discharge planning sangat bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan diabetesi dan keluarganya tentang DM dan pengelolaannya serta meningkatkan status psikososial diabetesi dan keluarganya berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatannya dan mekanisme koping. Diabetesi yang diberikan pendidikan dan pedoman dalam perawatan mandiri akan meningkatkan pola hidupnya yang dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa penerapan discharge planning memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan self care behaviour pasien Diabetes mellitus tipe II dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan penerapan discharge planning dalam perawatan.

SARAN

Saran dari penelitian ini agar hasil penelitian dapat menjadi pertimbangan bagi kepala rumah sakit secara umum dan kepala dari setiap divisi terutama divisi keperawatan secara khusus agar discharge planning dapat digunakan dalam memberikan perawatan kepada pasien secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M, R. (2014). Nursing theorists and their work. Missouri : Elsevier

Atak, N., Tanju Gurkan, Kenan Kose. (2010). The Effect of Education on Knowledge, Self Management and Self Efficacy with Type 2 Diabetes. Australian Journal of Advanced Nursing. 26 (2). Retrieved from http://ajan.com.au/Vol26/26-2_Atak.pdf

Kementerian Kesehatan Repoblik Indonesia.(2014). Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta, Indonesia : Pemerintah Indonesia

Kementerian Kesehatan Repoblik Indonesia.(2016). Mari Kita Cegah Diabetes Dengan Cerdik. Jakarta, Indonesia : Pemerintah Indonesia

HASIL PENELITIAN Analisis Univariat

Data menunjukkan bahwa usia responden pada penelitian ini bervariasi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol dimana setiap usia mewakili 1 responden (9,1 %). Usia tertua responden pada penelitian yaitu 70 tahun dan termudah berusia 42 tahun. Responden yang berjenis kelamin perempuan lebih besar dari pada responden yang berjenis kelamin laki – laki. Pada kelompok intervensi responden yang

berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (54,5 %) laki – laki sebanyak 5 orang (45,5 %). Sedangkan pada kelompok kontrol responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (63,6 %) laki – laki sebanyak 4 orang (36,4 %). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar tingkat pendidikan responden pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol adalah SD, yaitu pada kelompok intervensi 3 orang (27,3 %) sedangkan pada kelompok kontrol 6 orang (54,5 %).

Tabel 1. Tingkat Self Care Behavior pada Kelompok Intervensi dan KontroL

Berdasarkan tabel 1 di atas, diketahui bahwa tingkat self care behavior pada kelompok perlakuan sebelum intervensi, yaitu 4 orang responden (36,4 %) dalam kategori rendah, 3 orang (27,3 %) dalam kategori sedang dan 4 orang (36,4 %) dalam kategori tinggi. Setelah dilaksanakan intervensi, semua responden mempunyai tingkat self care behavior dalam kategori sangat tinggi (100 %). Sedangkan tingkat self care behavior pada kelompok kontrol pada saat pre test, sebagian besar berada dalam kategori sedang, yaitu 5 orang responden (45,5 %). Sedangkan pada saat post test, sebagian besar tingkat self care behavior responden berada dalam kategori tinggi, yaitu 4 orang responden (36,4 %). Analisis Bivariat

Tabel 2. Hasil Uji t berpasangan Self Care Behavior Kelompok Perlakuan dan Kontrol No Kelompok T p 1 2 Intervensi Kontrol - 16,718 - 5,406 0,0001 0,0001

Hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan seperti tercantum pada Tabel 2 didapatkan nilai t - 16,718 dan p 0,0001 < 0,05, artinya terdapat perbedaan self care behavior sebelum dan setelah penerapan discharge planning. Sedangkan hasil uji t test dependen pada kelompok kontrol didapatkan nilai t hitung - 5,406 dan p 0,0001 < 0,05 (α), artinya walaupun pada kelompok kontrol tidak

mendapatkan intervensi, namun terdapat perbedaan self care behavior pada saat pre test dan post test. Nilai negatif pada t menunjukkan bahwa nilai pre test lebih rendah dari pada nilai post test. Walaupun terjadi peningkatan self care behavior pada kedua kelompok, berdasarkan hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol menunjukan peningkatan yang terjadi pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Hal ini diperkuat dengan adanya uji t test independen pada uraian berikutnya yang menunjukkan terdapat perbedaan peningkatan self care behavior yang signifikan antara kelompok perlakuan dan control, dimana peningkatan self care behavior pada kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.

Tabel 3. Hasil Uji t tidak berpasangan Self Care Bahaviour Kelompok Perlakuan dan Kontrol No Variabel t p df 1 2 intervensi kontrol 12,149 0,0001 20

Hasil uji t tidak berpasangan sebagaimana tercantum pada Tabel 3 antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat diketahui nilai t sebesar 12,149 dengan p 0,0001 < 0,05 artinya terdapat perbedaan self care behavior yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Nilai positif pada t menunjukkan bahwa nilai self care Tingkat Self Care

Kelompok

Intervensi Kontrol

Pre Post pre pos

n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 4 3 4 - 36,4 27,3 36,4 - - - - 11 - - - 100,0 2 5 4 - 18,2 45,5 36,4 - 1 3 4 3 9,1 27,3 36,4 27,3 Total 11 100,0 11 100,0 11 100,0 11 100,0

pengelolaan penyakitnya. Pendidikan kesehatan yang tepat selama pasien dirawat di rumah sakit sangatlah penting dalam peningkatan kemampuan pengelolaan penyakit, karena dengan pengelolaan yang baik, maka komplikasi akut dan kronis diabetes dapat dihindari.

Menurut PERKENI (2015) salah satu pilar dalam penanganan Diabetes mellitus adalah pendidikan kesehatan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Orem (2001) Dikutip dalam Aligood (2014) menyatakan bahwa self care merupakan kegiatan yang memandirikan individu itu sendiri dalam waktu tertentu untuk mempertahankan kehidupan, meningkatkan kesehatan, berkembang dengan stabil, dan kesejahteraan. Peran perawat sebagai educator selama pasien dirawat di rumah sakit dapat dilakukan dengan memberikan discharge planning, sehingga pasien mempunyai pengetahuan tentang penyakitnya, ketrampilan dalam perawatan diri sehingga mereka siap dalam menjalani program perawatan lanjutan di rumah.untuk mempromosikan tahap kemandirian tertinggi kepada pasien dan keluarga dengan tujuan memandirikan aktivitas perawatan diri. Sehingga pengelolaan diabetes secara mandiri yang dapat dilakukan oleh pasien dan keluarganya. Discharge planning yang baik memungkinkan pasien mandiri dalam perawatannya dan menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry dan Potter, 2006).

Agar tercapainya self care behaviours yang efektif tentunya sangat bergantung pada kualitas penatalaksanaan dan asuhan keperawatan sehingga dibutuhkan peran serta tenaga kesehatan dan juga melibatkan pasien dan keluarga agar memiliki pemahaman tentang proses penyakitnya, mengetahui cara penanganan serta perawatan yang tepat.

Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar menunjukkan bahwa pada tahun 2016, paisen DM menempati posisi 6 besar penyakit yag dirawat di rumah sakit dengan jumlah pasien sebanyak 513 orang dan kejadian rawat ulang mencapai 35,8 %. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang bekerja disana, discharge planning pada pasien diabetes mellitus di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar hanya dilakukan untuk kelengkapan catatan administrasi ketika pasien pulang. Pemberian informasi kesehatan yang diberikan hanya tentang informasi waktu control, cara minum obat dan perubahan gaya hidup yang harus

dilakukan. Informasi ini diberikan dengan sangat terbatas tidak dijelaskan dengan menggunakan format pendidikan kesehatan yang memadai.

BAHAN DAN METODE Lokasi, populasi, dan sampel

Penelitian ini merupakana penelitian kuantitatif dengan pendekatan Quasi Experimental, Control group pre test – post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien diabetes mellitus tipe II yang dirawat pada saat penelitian berlangsung. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien DM tipe II di ruang perawatan yang termasuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi yang dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar pada tanggal 1 Agustus sampai dengan 30 September 2017. Sampel keseluruhan dalam penelitian ini adalah 22 sampel yang terdiri dari 11 sampel intervensi dan 11 sampel control. Pengolahan Data

1. Selecting

Seleksi merupakan pemilihan untuk mengklarifikasi data menurut kategori. 2. Editing

Editing dilakukan untuk meneliti

setiap daftar pertanyaan yang sudah diisi. 3. Koding

Koding merupakan tahap selanjutnya dengan memberi kode pada jawaban dari setiap responden.

4. Tabulasi Data

Setelah dilakukan kegiatan editing dan

koding dilanjutkan dengan

mengelompokkan data kedalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.

Analisis data

1. Analisis univariabel

Analisis Univariat dilakukan pada tiap varibel dari hasil penelitian dengan mendiskripsikan setiap variabel penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi pada tiap variabel.

2. Analisis Bivariabel

Analisis bivariat yaitu untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Untuk menguji hipotesis yang telah diajukan, Dilakukan uji data untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunaan rumus “uji t”.

PENGARUH DISCHARGE PLANNING TERHADAP SELF CARE BEHAVIOUR