• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Diagnosa Dermatosis Akibat Kerja

Diagnosa dermatosis prosedurnya hampir sama dengan dermatitis harus diikuti dengan cara diagnosa penyakit-penyakit pada umumnya. Dalam hal ini sangat penting untuk memperoleh kejelasan kapan tepatnya dermatosis itu mulai timbul. Agar dapat mengetahui dengan pasti mulai timbulnya dermatosis akibat kerja, sangat membantu ada dan terdokumentasinya temuan hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dan pemeriksaan kesehatan berkala. Demikian pula perlu informasi yang lengkap tentang pekerjaan dan lingkungan kerja penderita, yang dengannya dapat dinilai apakah benar penyebab penyakit itu berada dalam pekerjaan atau lingkungan kerja tenaga kerja yang bersangkutan. Bila ada, dilakukan identifikasi bagaimana cara penyebab itu menyebabkan terjadinya dermatosis akibat kerja, apakah dengan cara infeksi, perangsangan primer, pemekaan atau lainnya. Dalam hal ini dapat dijawab dengan menganalisis data tentang faktor penyebab yang terdapat dalam pekerjaan atau lingkungan kerja, dengan melakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut dan juga pengujian laboratoris (Suma’mur, 2009).

“Patch test” adalah cara uji klinis untuk menentukan, apakah suatu bahan kimia

bersifat sensitizer atau tidak. Terdapat banyak cara untuk melakukan “patch test”. Patch

test dapat digunakan sebagai alat diagnostik ataupun preventif. Sebagai alat diagnostik, bahan dalam konsentrasi sangat rendah dibiarkan kontak dengan kulit dan ditutup dengan plester. Bila penderita peka, timbullah tanda kelainan di kulit.

Sebagai alat preventif dimaksudkan untuk menguji suatu bahan yang akan diproduksi oleh suatu industri, apakah bahan itu bersifat sensitizer atau tidak. Untuk

dengan plester untuk kira-kira 5 hari. Lalu plesternya dibuka dan bahannya dibersihkan sekali. Biarkan dahulu untuk waktu 10 hari. Kemudian bahan yang sama dikontakkan pula di kulit. Bila reaksi timbul, berarti bahan itu sensitizer.

Demikian pula faktor psikis tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis dermatosis akibat kerja ataukah suatu kelainan yang latar belakangnya penyakit psikosomatis. Untuk mengatasi hal demikian kadang-kadang diperlukan konsultasi kepada psikiater (Suma’mur, 2009). Menurut Depkes (2008) langkah-langkah diagnosa dermatitis akibat kerja, yaitu :

1. Anamnesis

Pertanyaan tersebut memuat riwayat perjalanan penyakit, antara lain : a) Waktu kejadian

b) Lokasi kelainan c) Adanya rasa gatal d) Perbaikan selama cuti

e) Pengobatan yang telah didapat f) Riwayat pekerjaan terdahulu g) Hobi atau pekerjaan sambilan

h) Riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga 2. Pemeriksaan fisik

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tubuh secara menyeluruh. Tanda dan karakteristik untuk penyakit dapat terlewatkan tanpa pemeriksaan seluruh bagian tubuh secara teliti.

3. Pemeriksaan penunjang

Berbagai macam pemeriksaan penunjang diagnosis diperlukan sesuai dengan jenis penyakit kulit yang diderita. Misalnya uji tempel (patch test) untuk dermatitis kontak di tangan sebagai akibat reaksi tipe cepat, pemeriksaan kerokan kulit tangan dengan KOH 20% dan kultur pada agar Sabouraud untuk jamur kulit, dan biopsi yang digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis lain, misalnya psoriasis.

4. Kunjungan tempat kerja (plant visit) Diperlukan untuk menunjang diagnosis.

2.6 Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan terhadap kejadian dermatitis merupakan upaya yang paling penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Satu-satunya upaya yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatitis dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh resiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif. Memindahkan penderita dari pekerjaan dan lingkungan yang mengandung faktor penyebab penyakit ke pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah dilaksanakan (Suma’mur, 2009).

Yang perlu diperhatikan untuk pencegahan dermatitis yaitu masalah kebersihan perseorangan (higiene pribadi) dan sanitasi lingkungan kerja serta pemeliharaan ketatarumahtanggan perusahaan yang baik. Kebersihan perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan berganti pakaian tiap hari, alat

pelindung diri yang bersih dan lain-lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggaan meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri, pembersihan debu, penerapan proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya

(Suma’mur, 2009).

2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak

2.7.1 Lama Kontak

Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda, 2007). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia maka dapat menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin berisiko tinggi (Cohen, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan (Nuraga, dkk, 2008).

Hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menunjukkan bahwa lama kontak dengan bahan kimia mempunyai hubungan dengan terjadinya dermatitis kontak (p=0,003 dan r=0,296). Kejadian dermatitis kontak akut, subakut, maupun kronis paling sering terjadi pada responden dengan lama kontak 8 jam/hari dengan 13 responden

(92,8%) untuk dermatitis kontak akut, 20 responden (95,2%) sub akut, dan 5 responden (100%) kronis.

2.7.2 Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak (Djuanda, 2007). Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999).

Menurut hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,000, r=0,606). Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15 kali per hari terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%).

2.7.3 Bahan Kimia

Paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak (durasi), frekuensi kontak, konsentrasi bahan dan lain-lain (Agius R, 2006). Sehingga terjadinya resiko kontak bahan kimia perlu dikendalikan dan dikontrol seperti membatasi jumlah kontak yang terjadi. Oleh karena itu bahan kimia merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak (Djuanda, 2007).

Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa. Asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Cairan korosif memerlukan pH yang rendah atau sangat tinggi untuk menyebabkan korosi, namun pada paparan awal tidak timbul rasa sakit (Linins I, 2006).

Beberapa bahan kimia yang memiliki potensi iritasi dan sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council Itasca, Illnois dalam buletin SHARP tahun 2001 dalam Nuraga (2006) sebagai berikut :

No. Bahan Kimia Iritan Primer Sensitizers Bentuk Kelainan Kulit 1. Asam :

Asetat x Dermatitis, ulserasi

Karbolat x Korosif, rasa kebal

Kromat x Ulkus

Format x Iritasi berat

Hidrokolat x Iritasi dan ulserasi

Hidro-lourat x Luka bakar

Laktat x Ulserasi

Nitrat x Luka bakar, ulkus

Oksalat x Korosif berat

Pikrat x Kemerahan, dermatitis

Sulfurat x Korosif

2. Basa :

Amonia x Iritasi

Kalsium sianida x Iritasi

Kalsium oksida x Dermatitis

Natrium hidrolida x Korosif berat

Natrium hidroksida x Korosif berat

Trisadium fosfat x Ulserasi

3. Pelarut :

Aseton x Iritasi

Benzen x Iritasi

Karbon disulfida x Iritasi

2.7.4 Usia

Menurut Cohen (1999) kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Pada anak usia dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan (Djuanda, 2007).

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Sasseville (2006) menyatakan bahwa pekerja muda lebih mungkin terkena dermatitis akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang berpengalaman dibandingkan rekan mereka yang lebih tua, atau mungkin pekerja muda memiliki sikap yang lebih ceroboh mengenai langkah-langkah keselamatan dan kemungkinan pekerja usia tua telah belajar bagaimana cara menghindari kontak dengan bahan berbahaya.

Menurut hasil penelitian (Nuraga, 2006) menunjukkan bahwa responden yang berusia diatas 30 tahun ada kecenderungan negatif mengalami kasus dermatitis kontak (p=0,01), artinya semakin muda umur seseorang semakin menurun persentase terjadinya dermatitis kontak. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Diepgen, et al (2003) dalam Erliana (2008) menunjukkan bahwa pada pekerja konstruksi, penyakit dermatitis kontak 47% terjadi pada usia muda (18-39 tahun).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh bahwa

kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia >30 tahun hanya sekitar 13 orang (35,1%) yang terkena dermatitis kontak. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa pekerja muda lebih mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit

dermatitis yang bermakna antara pekerja muda (≤30 tahun) dengan pekerja tua (>30

tahun).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008), variabel umur pekerja pada penelitian ini mempunyai distribusi paling banyak < 30 tahun sebanyak 49 orang responden (91%) dibanding usia ≥ 30 tahun hanya 5 orang

responden (9%). Berdasarkan hasil analisis ternyata faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

Selain itu menurut hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak 50% terjadi pada kelompok umur 30-35 tahun dibandingkan dengan umur 36-40 tahun (33,3%), dan umur 24-29 tahun (16,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,350). Dalam konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor risiko utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari perbandingan penelitian cenderung didominasi oleh usia pekerja dalam suatu perusahaan bukan dari aspek makin lama usia hidupnya menyebabkan risiko terhadap terjadinya dermatitis kontak.

2.7.5 Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja dan perempuan lebih sering menderita dermatitis daripada laki-laki (Hutomo, 1999). Jenis kelamin perempuan lebih rentan terhadap penyakit kulit daripada laki-laki, selain itu permukaan kulit perempuan lebih sensitif terhadap bahan-bahan iritan. Terdapat perbedaan antara kulit wanita dan laki-laki misalnya, folikel rambut pada laki-laki lebih kasar, rambut yang tumbuh lebih panjang dan laki-laki lebih cepat berkeringat sedangkan untuk wanita folikel rambut lebih lembut, rambut yang tumbuh lebih pendek dan wanita agak sukar berkeringat (Sulaksmono, 1994).

Perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Insiden pada perempuan lebih tinggi pada usia muda. Sedangkan pada laki-laki kejadian meningkat sesuai usia (Nuraga, 2006).

Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003) mengenai dermatitis kontak pada pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40 pasien yang diuji tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

2.7.6 Masa Kerja

Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan dengan bahan kimia (Erliana, 2008). Dengan perbedaan masa kerja akan

berhubungan dengan pajanan terhadap pencemar atau bahan yang berisiko terhadap gangguan kesehatan kulit (Notoatmodjo, 1997).

Hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan masa kerja 6-9 tahun 61,5% menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masa kerjanya 1-5 tahun yaitu hanya 18,8%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja (p=0,018).

Namun berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki masa bekerja ≤2 tahun lebih

banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (66,7%), dibandingkan dengan 17 orang (36,2%) dari 47 pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik terlihat bahwa terdapat perbedaan proporsi terkena

dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja yang memiliki masa kerja ≤2 tahun

dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja >2 tahun terlihat dari nilai p value sebesar 0,014.

Sejalan menurut teori Cohen (1999) yaitu pekerja yang berpengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Selain itu adanya masalah kepekaan atau kerentanan kulit terhadap bahan kimia pada pekerja dengan masa kerja pendek. Pada pekerja dengan masa kerja panjang dapat dimungkinkan telah mengalami resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang

terus-2.7.7 Jenis Pekerjaan

Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup. Dengan kata lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Cohen, 1999).

Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak (60,4%) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak (39,6%). Hal ini berbanding terbalik dengan proses pendukung yang pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32 orang. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,02 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan proporsi penyakit dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja proses realisasi dengan pekerja proses pendukung. Hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio sebesar 3,358. Hal ini berarti pekerja pada proses realisasi memiliki peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung.

2.7.8 Riwayat Alergi

Dermatitis kontak (terutama dermatitis kontak alergi) akan lebih mudah timbul jika terdapat riwayat alergi sebelumnya. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah alergi

(misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis (Putro 1985 dalam Lestari 2007).

Riwayat alergimerupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja. Hasil uji statistik menunjukkan menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini terlihat dari nilai p value 0,383 > 0,05 pada CI 95% (Lestari, 2007).

Menurut penelitian Cahyawati (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis pada nelayan (p value=0,018) dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%) dan nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang (50%).

2.7.9 Riwayat Atopi

Reaksi seseorang terhadap alergen sangat bervariasi tergantung faktor genetik, demikian pula sensitivitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda (Cohen, 1999). Pekerja dengan riwayat atopi dermatitis bila bekerja di lingkungan

panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

Atopi ialah orang atau keluarga yang cenderung biasanya anak atau dewasa yang menjadi peradangan dan menghasilkan antibodi Imunoglobulin E untuk merespon paparan alergen seperti protein dengan konsekuensi orang dapat berkembang menderita gejala asma, rhinoconjungtivitis atau eksim. Sehingga orang dengan atopi bila kontak dengan bahan kimia akan cenderung lebih parah menderita dermatitis kontak (Akib A 2004 dalam Ruhdiat 2006). Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan (Partogi, 2008).

Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi dari dermatitis kontak. Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono 2006 dalam Sulistyani 2010). Sedangkan menurut Djuanda (2007) atopi merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya, dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale dan konjungtivitis alergi.

Menurut penelitian Ruhdiat (2006) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara riwayat atopi responden dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,241) karena distribusi responden yang mengalami dermatitis kontak pada kedua kategori baik yang atopi maupun tidak atopi hampir seimbang, yaitu responden yang mempunyai riwayat atopi sebanyak 32 orang (52,46%) dan responden yang tanpa ada riwayat atopi sebanyak 29 orang (47,54%).

Menurut hasil penelitian Nuraga,dkk (2008) menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat atopi. Distribusi responden yang mengalami dermatitis kontak pada kedua kategori baik terdapat riwayat atopi maupun tidak terdapat riwayat atopi hampir seimbang, yaitu 19 responden (35%) dengan riwayat atopi dan tanpa riwayat atopi sebanyak 35 responden (65%). Hasil uji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai p value = 0,199. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara adanya riwayat atopi dengan tidak adanya riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak.

2.7.10 Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya

Menurut Djuanda (2007) adanya penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami akan mempengaruhi ambang rangsang terhadap bahan iritan menjadi menurun. Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit bukan akibat kerja cenderung lebih mudah mendapat dermatosis akibat kerja, seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

Penyakit dermatitis kontak yang memungkinkan untuk kambuh (muncul kembali) apabila kulit kontak dengan zat tertentu yang terdapat di tempat kerja. Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi maka zat

kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999).

Berdasarkan penelitian Nur Cahyawati (2011) faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis, terbukti dari hasil uji chi square dengan nilai p = 0,006 (< 0,05). Sebagian besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebesar 90% dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit kulit sebesar 10%. Selain itu, menurut hasil penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya (p = 0,042).

2.7.11 Tipe Kulit

Kulit yang berminyak lebih tahan terhadap sabun, bahan pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering kurang tahan terhadap chemical dehydration seperti asam, basa, detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah terkena folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun debu (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012). Selain itu menurut Djuanda (2007) adanya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas.

2.7.12 Musim

Occupational dermatoses (dermatosis akibat kerja) banyak dijumpai pada musim panas karena pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang senang memakai alat pelindung diri bahkan lebih suka pakai celana pendek, kaus singlet atau tanpa baju sehingga lebih mudah kontak dengan bahan kimia. Cuaca dingin menyebabkan pekerja malas mandi atau mencuci tangan (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

2.7.13 Pengeluaran Keringat

Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan miliaria dan macerasi kulit di lipatan ketiak, pangkal paha dan mudah terjadi infeksi sekunder. Keringat dapat juga merubah bahan-bahan yang larut dalam air menjadi bentuk lain dan mempermudah absorbsi melalui pori-pori kulit (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012).

2.7.14 Ras

Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita tumor kulit oleh radiasi ultraviolet, kurang peka terhadap debu kimia, bahan pelarut dan alkali (Ganong 2006 dalam Ernasari 2012). Kebanyakan orang berkulit hitam lebih tahan terhadap efek kontak dari zat iritan dibandingkan orang berkulit putih (Sasseville, 2006).

bahan kimia. Walaupun ketebalan stratum korneum pada kedua ras sama tetapi stratum korneum kulit hitam memiliki lapisan sel yang lebih kuat dan lapisan lemak sederhana (Maibach, 2006).

2.7.15 Suhu dan Kelembaban

Faktor fisik udara di lingkungan kerja merupakan kombinasi dari komponen suhu udara, kecepatan gerakan udara dan kelembaban udara. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi persepsi kualitas udara dalam ruangan kerja sehingga harus selalu dijaga agar berada pada kisaran yang dapat diterima untuk kenyamanan pekerja (Faulkner D, 2004 dalam Ruhdiat 2006).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/IX/2002 mengenai nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18oC-28oC dan kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40%-60%.

Pengaruh lingkungan, seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang dingin merupakan faktor penting dalam menurunkan kadar air stratum korneum. Suhu yang dingin dapat menurunkan kelenturan lapisan tanduk sehingga menyebabkan retaknya stratum korneum (Partogi, 2008). Sedangkan menurut Sassevile (2006) kelembaban yang tinggi dapat mengurangi efektivitas barrier epidermis, sedangkan kondisi kering dan dingin mendorong timbulnya kulit pecah-pecah dan menjadi kasar. Menurut American Academy of Dermatology (2010) menyatakan bahwa dermatitis disebabkan oleh lingkungan yang ekstrim, yaitu suhu dan kelembaban

yang ekstrim. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan

Dokumen terkait