• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pityriasis Versicolor

2.1.6. Diagnosa

Pityriasis versicolor dapat didiagnosis secara klinis oleh lesi kulit yang khas (hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, bersisik, plak tipis). Sisik halus pada kulit yang terkena tidak mudah dilihat tetapi menjadi lebih jelas ketika kulit

direntangkan atau dikikis. Tanda ini sangat membantu dalam menegakkan diagnosis Pityriasis versicolor (Renati, 2015).

Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan apabila terdapat ketidakyakinan terhadap diagnosis. Seperti pemeriksaan dengan lampu wood dan biopsi kulit.

Lampu ultra-violet khusus, yang dikenal sebagai lampu wood, dapat digunakan untuk mencari fluoresensi kuning yang khas dari Pityriasis versicolor. Kadang-kadang dokter mungkin mengambil kerokan kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika ada keraguan, biopsi kulit dapat dipertimbangkan (Renati, 2015).

a. Pemeriksaan lampu wood

Lampu wood merupakan alat yang sangat berguna di dunia dermatologi.

Berbentuk kecil, tahan lama, tidak terlalu mahal, aman, dan sangat mudah untuk digunakan. Lampu wood menghasilkan radiasi ultraviolet gelombang panjang tak terlihat pada panjang gelombang 340-450 nm (maksimum pada 365 nm). Masing masing kelainan dermatologis memiliki karakteristik fluoresensi tersendiri. Ada banyak kondisi dermatologis yang dapat di diagnosis dengan menggunakan lampu wood salah satunya Pityriasis versicolor (Suraprasit et al, 2016).

Pada pemeriksaan Pityriasis versicolor menggunakan lampu wood akan menghasilkan fluoresensi berwarna kuning ataupun oranye. Selain untuk mengkonfirmasikan, diagnosa lampu wood juga dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat untuk pengambilan spesies jamur dari Pityriasis versicolor(Suraprasit et al, 2016).

b. Biopsi kulit

Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke lesi.Selotip itu ditempatkan pada slide kaca dan diperiksa di bawah mikroskop. Keratin dan serpihan sisik kulit pertama dilarutkan dengan penggunaan 10-20% kalium hidroksida dan kemudian diwarnai dengan biru metilen, tinta parker atau biru lakto-fenol untuk mendorong pandangan yang jelas dari elemen jamur. Biasanya di dapati karakteristik jamur seperti “Spageti dan Bakso” (Ibekwe, 2014).

Gambar 2.3. Pemeriksaan dengan pewarnaan Swartz Lamkin menunjukkan gambaran spora dan hifa berpola “spageti dan bakso” (Renati, 2015) 2.1.7.FAKTOR RISIKO

Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor dapat terjadi pada orang sehat tanpa defisiensi imunologi. Namun demikian, beberapa keadaan yang mempengaruhi beberapa orang untuk terkena Pityriasis versicolor. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan antara hospes dan jamur tersebut adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangankan faktor eksogen yang terpenting adalah suhu dan kelembapan kulit (Soleha, 2014).

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya Pityriasis versicolor dijelaskan sebagai berikut:

a. Suhu dan kelembaban yang tinggi

Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembapan yang tinggi akan meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur meningkat(Mendez-Tovar, 2010).

b. Usia Remaja dan Dewasa Muda

Peningkatan androgen yang terjadi pada remaja dan dewasa muda, menghasilkan perkembangan kelenjar sebasea yang lebih besar dengan lebih banyak sekresi sebum di kulit, yang mendukung pertumbuhan ragi Malassezia yang merupakan organisme penyebab Pityriasis versicolor (Morais, 2010).

c. Keringat berlebih

Riwayat kekambuhan selama musim panas dan / atau berkeringat berlebih sering ditemukan, karena peningkatan kelenjar sebasea menyebabkan lingkungan lembab yang diperlukan untuk pertumbuhan menjadi bentuk hifa (Rivard, 2013)

d. Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dan Imunosupresan

Pemakaiankortikosteroid dan immunosupresan mengakibatkan meningkatnya tingkat keparahan Pityriasis versicolor(Thayikkanu, 2015).

e. Genetik

Predesposisi genetik terjadi pada keluarga yang rentan terhadap infeksi jamur (Mendez-Tovar, 2010).

f. Malnutrisi


Kekurangan beberapa zat gizi akan memudahkan pertumbuhan jamur Oportunis(Mendez-Tovar, 2010).

g. Faktor immunologi

Insiden infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan sistem imun misalnya pada penderita kanker, transplantasi ginjal dan HIV/AIDS serta dapat terjadi pada penderita penyakit cushing(Mendez-Tovar, 2010).

2.1.8. PENATALAKSANAAN

Pengobatan infeksi jamur Pityriasis versicolor ada dua jenis, bisa dilakukan secara topikal dan sistemik. Anti jamur topikal adalah pengobatan yang efektif dan murah terhadap Pityriasis versicolor. Kepatuhan pasien sangat mempengaruhi efisiensi dari pengobatan Pityriasis versicolor. Antijamur sistemik dapat dibenarkan jika agen topikal tidak efektif atau pada kasus yang berat dimana lesi terjadi di sebagian besar tubuh (Gupta, 2014).

Efisiensi dan keamanan agen-agen topikal, termasuk lotion, shampoo, krim, gel dan solusi, terbukti sebagai pengobatan yang efektif terhadap Pityriasis versicolor. Pengobatan topikal yang ada termasuk agen antijamur nonspesifik

juga efektif untuk menghilangkan jaringan mati dan mencegah invasi lebih lanjut (Gupta , 2014).

Foam ketokonazol adalah formulasi baru dari agen antijamur topikal yang

menembus jaringan transkutan dengan penetrasi 6 kali lebih besar daripada formulasi lotion. Produk ini diaktifkan oleh suhu; produk inimencair dan menguap segera yang memungkinkan senyawa aktif menembus ke dalam jaringan dengan cepat (Gupta, 2014).

Efisiensi agen sistemik oral seperti ketoconazole, itra-conazole dan flukonazol telah terbukti. Meskipun oral terbinafine merupakan pengobatan yang efektif untuk sejumlah infeksi jamur superfisial, tidak efektif sebagai pengobatan terhadap Pityriasis versicolor(Gupta, 2014).

Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding.

Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75%

dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg.

Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (Verawaty, 2017).

Berikut merupakan rekomendasi obat dan dosis menurut penelitian yang dilakukan Goldsmith et al pada tahun 2012.

Tabel 2.1. Obat sistemik pityriasis versicolor beserta dosis (Goldsmithet al,2012)

Nama obat Dosis

Ketoconazole 200mg/hari selama 10 hari Itraconazole 200mg/hari selama 5 hari

Fluconazole 300mg/minggu selama 2 minggu

Pramiconazole 200mg/hari selama 2 hari

2.2. KERANGKA TEORI

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Hospes Flora Normal (M. Furfur) Faktor Resiko

Endogen Eksogen

Produksi kelenjar sebasea Genetik

Malnutrisi Faktor imunologi Pemakaian obat-obatan

Suhu

Kelembaban kulit

Kolonisasi M. furfur Patogen Pityriasis Versicolor

2.3. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

- Usia

- Jenis kelamin - Pekerjaan - Onset penyakit - Warna lesi - Lokasi lesi - Pilihan terapi

Pityriasis versicolor

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross-sectional untuk melihatkarakteristikPityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara. Data dikumpulkan dengan melihat rekam medik pasien di poli kulit dan kelamin RS Universitas Sumatera Utara (Sastroarmono, 2017).

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RS Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga November 2018.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. POPULASI

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien Pityriasis versicolorRS Universitas Sumatera Utaradari bulan 1 Januari – 31 Desember 2017.

3.3.2. SAMPEL

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara total sampling, dengan kriteria responden yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan pasien yang di diagnosis dengan Pityriasis versicolor. Pada penelitian ini didapati sampel dengan metode total sampling sebanyak 52 orang (Dahlan, 2010).

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1. KRITERIA INKLUSI

- Pasien dengan diagnosisklinis Pityriasis versicolor

3.4.2. KRITERIA EKSKLUSI

- Data rekam medik tidak lengkap.

3.5. METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien RS Universitas Sumatera Utara.

3.6. METODE PENGOLAHAN DATA

Data yang telah terkumpul akan diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2016 dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.

3.7. VARIABEL

Variable pada penelitian ini adalah kejadian Pityriasis versicolor,usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, warna lesi, dan lokasi lesi dan pilihan terapi.

3.8. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala ukur

- 56-65 tahun

3 Pekerjaan Pekerjaan pasien dilihat dari

5 Warna lesi Karakteristik

warna dari

untuk penyakit dari rekam medik

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU) yang berlokasi di Jalan Dr. T. Mansyur No. 66, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara mulai beroperasional pada tanggal 19 Oktober 2015 berdasarkan izin dari Kepala Dinas Kesehatan No. 442/422.40/X/2015. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara merupakan Rumah Sakit Umum Tipe C di Sumatera Utara yang memberikan pelayanan medis serta penyediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Fasilitas tersebut antara lain, ruang perawatan, pelayanan rumah sakit, serta pelayanan BPJS Kesehatan. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.

4.2. METODE DAN SAMPEL

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berupa data rekam medis pasien yang melakukan pengobatan ke RS USU. Penelitian dilakukan terhadap pasien Pityriasis versicolor yang datang ke RS USU untuk rawat jalanpada periode 2017. Jumlah seluruh sampel penelitian adalah 52 orang yang diperoleh dengan metode total sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik yang diamati pada sampel adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, lokasi lesi, warna lesi, pilihan terapi, dan pengobatan sebelumnya.

4.3. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN USIA

Tabel 4.1 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan usia.

Usia (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)

0-5 4 7,6

Berdasarkan tabel 4.1 kelompok usia penderita yang paling banyak yaitu 12-16 tahun (25%). Berdasarkan International Journal of Contemporary Medical Research (IJCMR) kelompok usia yang paling sering terkena Pityriasis versicolor berada di rentang 10-20 dengan nilai 53% dilanjutkan dengan kelompok usia 21-30 dengan nilai 21-30% kemudian rentang usia 31-40 sebesar 13% dan yang paling sedikit pada usia >40 dengan nilai 2%. Hal ini disebabkan oleh aktifnya kelenjar sebasea pada rentang usia 10-20 yang merupakan salah satu faktor pencetus Pityriasis versicolor. (Ravindranath, 2016). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Framil et al pada tahun 2011 rentang usia penderita Pityriasis versicolor yang paling sering adalah 21-30 tahun sebanyak 28,23% (Framil, 2011).

4.4. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Tabel 4.2 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 42 80,7

20

Perempuan 10 19,3

Total 52 100

Dari tabel 4.2 kelompok jenis kelamin yang lebih banyak yaitu laki-laki sebanyak 42 orang (80,7%) dan perempuan sebanyak 10 orang (19,3%).

Berdasarkan International Journal of Scientific Study (IJSS) didapati jumlah penderita laki laki lebih banyak yaitu sebanyak 57% sedangkan perempuan sebanyak 43% dikarenakan dianggap laki laki lebih banyak beraktivitas diluar dibandingkan perempuan yang dapat meningkatkan produksi sebum (Kambil, 2017). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 didapati penderita Pityriasis versicolor berjenis kelamin wanita lebih banyak dibanding laki laki yaitu berjumlah 72 orang (68,6%) (Santana, 2013).

4.5. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN PEKERJAAN

Tabel 4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pekerjaan.

Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

Siswa 19 36,5

Berdasarkan tabel 4.3 didapati insidensi Pityriasis versicolor tertinggi didapat pada siswa yaitu sebanyak 19 orang (36%). Apabila digolongkan sesuai dengan usianya maka siswa berada pada kelompok usia 10-20 orang sesuai dengan IJCMR dimana pada rentang usia tersebut ditemukan insidensi yang paling tinggi yaitu 53% (Ravindranath, 2016).

4.6. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN ONSET

Tabel 4.4 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan onset.

Onset Frekuensi (n) Persentase (%)

<1 Bulan 4 7,6

1-3 Bulan 23 44,2

4-6 Bulan 13 25

7-12 Bulan 11 21,1

>1 Tahun 1 1,9

Total 52 100

Berdasarkan tabel 4.4 didapati onset penyakit tertinggi yaitu pada 1-3 bulan yaitu sebanyak 23 orang (44,2%). Pityriasis versicolor merupakan penyakit yang memiliki gejala bercak putih dan gatal apabila berkeringat sehingga sedikit orang yang langsung berobat ke petugas medis (Soleha, 2016).

4.7. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN WARNA LESI

Tabel 4.5 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan warma lesi.

Warna Lesi Frekuensi (n) Persentase (%)

Hipopigmentasi 52 100

Hiperpigmentasi 0 0

Total 52 100

Pada tabel 4.5 didapati seluruh sampel memiliki lesi hipopigmentasi yaitu 52 orang (100%). Lesi memiliki batas yang jelas dan bisa berbentuk hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Biasanya lesi dari Pityriasis versicolor tidak menimbulkan keluhan atau hanya menimbulkan gatal tetapi keluhan memburuk ketika penderita terpapar suhu yang relatif hangat (Rai et al, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan Ravindranath ditemukan lesi hipopigmentasi sebanyak 80% dari 75 pasien yang diteliti, lesi hipopigmentasi diakibatkan oleh interaksi antara barrier kulit dengan komponen Malasseziaseperti produksi asam dekarboksilat yang menghambat enzim tyrosinase dalam memproduksi melanin, sedanga hiperpigmentasi terjadi akibat lebih tebalnya stratum corneum, melanosit yang lebih besar, dan reaksi inflamasi terhadap jamur (Ravindranath, 2016).

4.8. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN LOKASI LESI

Tabel 4.6 Karakteristik Pityriasis Versicolor berdasarkan lokasi lesi.

Lokasi lesi Frekuensi (n) Persentase (%)

Wajah 4 7,6

Berdasarkan tabel 4.6 lokasi lesi Pityriasis Versicolor paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu sebanyak 21 orang (40,3%). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 ditemukan lesi paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu berjumlah 43 orang (40,9%). Lesi Pityriasis Versicolor paling sering ditemukan pada bagian badan atas dan bisa menyebar ke bagian lengan atas, leher, dan perut. Lesi pada wajah lebih sering ditemukan pada anak anak dan bayi yang baru lahir (Nura et al, 2016).

4.9. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN PILIHAN TERAPI

Tabel 4.7 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pilihan terapi.

Pilihan terapi Frekuensi (n) Persentase (%)

Ketoconazole tab + Miconazole + Cetirizine

Ketoconazole Cream 14 26,9

Miconazole 5 9.6

Total 52 100

Berdasarkan tabel 4.7 pilihan terapi yang paling banyak dipilih adalah Ketoconazole Cream + Cetirizine yaitu sebanyak 23 pasien (44,2%). Efisiensi dan keamanan agen-agen topikal, termasuk lotion, shampoo, krim, gel dan solusi, terbukti sebagai pengobatan yang efektif terhadap Pityriasis versicolor.

Pengobatan topikal yang ada termasuk agen antijamur nonspesifik juga efektif untuk menghilangkan jaringan mati dan mencegah invasi lebih lanjut (Gupta et al, 2014).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan peneletian yang telah dilakukan mengenai karakteristik dan insidensiPityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017 dengan jumlah sampel sebanyak 52 orang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Insidensi Pityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017 berjumlah 52 orang.

2. Kelompok Usia penderita Pityriasis versicoloradalah 12-16 tahun berjumlah 13 orang (25%).

3. Jenis kelamin penderita Pityriasis versicolor yang paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 24 orang (80,7%).

4. Kelompok pekerjaan penderita Pityriasis versicolor yang paling banyak adalah siswa ataupun pelajar berjumlah 19 orang (36,5%).

5. Kelompok Onset penyakit penderita Pityriasis versicolor datang ke petugas medis terbanyak yaitu pada onset 1-3 bulan berjumlah 23 orang (44,2%).

6. Warna lesi penderita Pityriasis versicoloryang ditemukan hanya lesi hipopigmentasi yang berjumlah 52 orang (100%).

7. Lokasi lesi penderita Pityriasis versicolorpaling banyak ditemukan di daerah badan berjumlah 21 orang (40,3%).

8. Pilihan terapi yang paling sering diberikan kepada penderita Pityriasis versicolor adalah Ketoconazole cream + cetirizine yaitu sebanyak 23 orang (44,2%).

5.1 SARAN

1. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat tentang Pityriasis versicolor.

2. Diharapkan dari penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran penderita Pityriasis versicolor untuk berobat ke petugas medis.

3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk penelitian selanjutnya dengan melakukan penelitian Pityriasis versicolor di tempat penelitian yang lebih luas lagi agar mendapatkan lebih banyak subjek sehingga pola Pityriasis versicolor yang akan didapatkan lebih bervariasi. 25

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. M. A., Roy, C.K., Jaigirdar, Q.H., et. al. 2015, Identification of Malassezia species from suspected Pityriasis (versicolor) patients.

Bangladesh Journal of Medical Microbiology, 9(2), 17. Accessed 10-12-18.

Banerjee, S. 2011, Clinical profile of pityriasis versicolor in a referral hospital of West Bengal. Journal of Pakistan Association of Dermatologists, 21(4), 248–252. Accessed

9-12-18.

https://doi.org/10.3329/bjmm.v9i2.31424

Dahlan, S. 2010, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika.

http://www.jpad.com.pk/index.php/jpad/article/view/484

Devendrappa, K. and Javed M. W. 2018, Clinical Profile of Patients with Tinea Versicolor. International Journal of Research in Dermatology, 4(1):33-37.

Accessed 23-9-18. http://dx.doi.org/10.18203/issn.2455-4529.IntJResDermatol20180017

Framil, V. M. S. 2011, New aspects in the clinical course of pityriasis versicolor.

An Bras Dermatol. 2011;86(6):1135-40. Accessed 4-9-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22281901

Goldsmith, L., Katz S., GilchrestB., et. al. 2012, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th edition. United States: The McGraw-Hill Companies.

Accessed 1-9-18.

https://accessmedicine.mhmedical.com/book.aspx?bookID=392

Gupta, A. K. and Lyons D. C. A. 2014, Pityriasis versicolor: an update on pharmacological treatment options. Expert Opinion on Pharmacotherapy, 15(12), 1707–1713. Accessed 10-10-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24991691

Havlickova B., Czaika V.A. and Friedrich M. 2008, Epidemiological trends in skin mycosis worldwide. Mycosis, 51(4), 2–15. Accessed

7-9-18.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18783559

Ibekwe, P. 2014, Correlation of Malassezia species with clinical characteristics of pityriasis versicolor. Doctoral Thesis for the awarding of a Doctor of Philosophy (Ph.D.) at the Medical Faculty of

Ludwig-Maximilians-Universitä t, Munich.Accessed

24-10-18.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18643886

Kambil, S. M, A. 2017, Clinical and Epidemiological Study of Pityriasis

Versicolor. International Journal of Scientific Study, 5(8). Accessed 23-9-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7421887

Kazemi, A., Mousavi S. A. A., Jafari A. A., et. al. 2013, Study on pityriasis versicolor in patients referred to clinics in Tabriz. Accessed 23-9-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4458963

Mahmoudabadi, A. Z., Mossavi Z. and Fouladi Z. 2009, Pityriasis versicolor in Ahvaz, Iran. Jundishapur Journal of Microbiology, 2(3), 92–96. Accessed 8-9-18. http://eprints.ajums.ac.ir/id/eprint/1277/

Mendez-Tovar, L. J. 2010, Pathogenesis of dermatophytosis and tinea versicolor.

Clinics in Dermatology, 28(2), 185–189. Accessed 14-10-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20347661

Morais, P. M. and Frota M. Z. 2010, Clinical aspects of patients with pityriasis versicolor seen at a referral center for tropical dermatology in Manaus, Amazonas, Brazil. An Bras Dermatol. 85(6):797-803. Accessed 4-9-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21308302

Nathalia, S., Niode N. J. and Pandeleke H. E. 2011, Pola penyakit kulit non-infeksi pada anak di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. dr. r. d. kandou manado periode 2009-2011 2, 323(April). Accessed 7-10-18.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/4556

Nura, M. S., Sani N. M., Abubakar M. M., et. al. 2016, A Review of The Current Status of Tinea Versicolor in Some Parts of Nigeria, International Journal of Scientific Engineering and Applied Science , 2(1). Accessed 8-10-18.

http://ijseas.com/volume2/v2i2/ijseas20160224.pdf

Rai, M. K. and Wankhande S. 2009, Tinea Versicolor - an Epidimiology. Journal of Microbial & Biochemical Technology, 1(1), 051-056. Accessed 4-10-18.

https://www.omicsonline.org/tinea-versicolor-an-epidemiology-1948-5948.1000010.php?aid=903

Ravindranath, S. 2016,Pityriasis Versicolor: Therapeutic Efficacy of Various Regimes of Topical 2% Clotrimazole Cream, Oral Flucanazole and Ketoconazole, International Journal of Contemporary Medical Research.

3(8). Accessed 5-10-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5770013/

Renati, S., Cukras A. and Bigby M. 2015, Pityriasis versicolor. Bmj, 350(apr07 1), h1394–h1394. Accessed 8-10-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25852089

Rivard, S. C. 2013, Pityriasis Versicolor: Avoiding Pitfalls in Disease Diagnosis and Therapy. Military Medicine. 178(8),904–906.Accessed 10-11-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23929053

Santana, J. O. 2013, Pityriasis Versicolor: Clinical-Epidemiological Characterization of Patients in The Urban Area of Buararema Brazill.

Accessed 4-10-18. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3750883/

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. 2017, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (5th ed.). Sagung Seto.

Sharma, A., Rhabba D., Choraria S. et. al. 2016, Clinicomycological profile of pityriasis versicolor in Assam. Indian Journal of Pathology and

Microbiology, 59(2), 159. Accessed 3-9-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27166032

Soleha, T. U. 2014, Pitiriasis Versicolor Ditinjau Dari Aspek Klinis Dan

Mikrobiologis. Bagian Mikrobiologi dan Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Accessed 2-9-18.

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/view/1654

Suraprasit, P., Bunyaratavet S., PenvadeP., Waritch K., et. al. 2016, Wood’s lamp examination: evaluation of basic knowledge in general physicians. Siriraj Medical Journal, 68(May), 79–83. Accessed 11-10-18.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3440273/

Tan, S. T., and Reginata G. 2015, Uji Provokasi Skuama pada Pityiasis

Versicolor. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia. Accessed 6-9-18.

http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_229Teknik-Uji%20Provokasi%20Skuama%20pada%20Pitiriasis%20Versikolor.pdf Thayikkannu, A. B., Kindo A. J. and Vheraragavan M. 2015, Malassezia-Can it

be Ignored? Indian Journal of Dermatology, 60(4), 332–339. Accessed 10-10-18. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4533528/

Verawaty, L., and Karmila, D. 2017, Penatalaksanaan Pityriasis Versicolor.

Accessed 4-10-18.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d705e672f21841a07c 90fd46a56fe0e9.pdf

LAMPIRAN A.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rafli Rizaldy Edwar

NIM : 150100178

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 30 Desember 1997

Agama : Islam

Nama Ayah : dr Edwar Ayub SpOG (K) Nama Ibu : dr Linda Safitri Lubis SpKK

Alamat : Jl. Setiabudi Komp Tasbi blok YY No 168

Riwayat Pendidikan :

1. SD Ahmad Yani Binjai (2003-2009).

2. SMP N 2 Binjai (2009-2012).

3. SMA N 1 Medan (2012-2015).

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2015-Sekarang).

Riwayat Pelatihan :

1. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2015.

2. Seminar dan Workshop Basic Life Support & Traumatology 2016 TBM FK USU.

3. Seminar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia “Hari Tanpa Tembakau Sedunia”

2016 – RS USU Medan.

4. Seminar Kesehatan Jantung dan Workshop EKG serta Auskultasi Jantung SCOPH 2016.

Riwayat Organisasi :

1. SCOPH USU (2017-2018) : Wakil Ketua Riwayat Kepanitiaan :

1. Panitia Peralatan dan TempatNSCEACC 2018.

2. Koordinator Acara Porseni FK USU 2017.

3. Koordinator Public Relation FOS 6 2014.

LAMPIRAN B.

LAMPIRAN C.

Dokumen terkait