• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasipada klinisi maupun orang yang sering terpapar faktor resiko Pityriasis versicolor mengenai karakteristik Pityriasis versicolor.

2. Meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.

3. Penelitian ini bermanfaat sebagai referensi untuk penelitian berikutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PITYRIASIS VERSICOLOR 2.1.1. DEFINISI

Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit mikosis superfisial yang disebabkan oleh Malassezia, jamur yang bersifat dimorfik lipofilik. Jamur ini merupakan flora normal pada kulit tetapi dapat menyebabkan penyakit jika berubah menjadi bentuk hifa patogenik. Faktor lingkungan, genetik, sistem imun juga merupakan faktor predisposisi yang dapat menyebabkan Pityriasis versicolor (Renati, 2015).

2.1.2. EPIDIMIOLOGI

Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit yang sangat umum. Frekuensi dan kejadiannya bergantung pada berbagai keadaan iklim dan tingkat sosioekonomi. Pityriasis versicolor sangat umum di daerah beriklim sedang dan lazim di daerah tropis dan subtropis. Tingkat kasus hingga 50% telah dilaporkan di Meksiko, Samoa, Fiji, Amerika Tengah dan Selatan, bagian Afrika, Kuba, Hindia Barat, dan kawasan Mediterania. Di daerah beriklim sedang, sebagian besar kasus terlihat di musim panas dan musim gugur. Prevalensi keseluruhan 30% atau lebih mungkin terjadi di zona tropis (Nura, 2016).

Dalam Survei Kesehatan Nasional A.S. (1971-1974) dari 28.000 orang dari umur 1 tahun hingga 74 tahun, InsidensiPityriasis versicolor ditemukan sebanyak 0,8%. Frekuensi dan kepadatan kolonisasi spesies Malassezia pada kulit manusia yang sehat terkait dengan usia dan aktivitas kelenjar sebaceous di daerah yang diteliti. Dalam sebuah penelitian oleh Muhammad N, 2009, prevalensi tertinggi Pityriasis versicolor diamati pada kelompok usia 17-28 tahun (70,6%). Puncak Tinea versicolor bertepatan dengan usia. Ini mungkin karena perubahan hormonal dan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea (Nura, 2016).

Peran seks dalam kecenderungan untuk pengembangan Pityriasis

versicolormasih belum jelas. Beberapa penelitian menemukan bahwa Pityriasis versicolor lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, sementara yang lain menunjukkan bahwa kejadian infeksi ini lebih tinggi pada wanita. Tidak ada perbedaan dalam insidensi di antara kedua jenis kelamin juga dilaporkan(Devendrappa, 2018).

Distribusi kasus Pitiriasis Versicolor berdasarkan pekerjaan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. DR. R.D Kandou Manado periode Januari – Desember 2012 didapatkan paling banyak pasien adalah pegawai negeri sipil sebanyak 12 kasus (24%) (Nathalia, 2012).

Di Indonesia penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di Indonesia belum diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara umum percobaanpada tahun 2008 didapatkan angka yang cukup tinggi karena didukungnya iklim di daerah Asia (Banerjee, 2011).

2.1.3. ETIOLOGI

Pityriasis versicolor disebabkan oleh Malassezia, jamur lipofilik dimorfik, juga dikenal sebagai pityrosporum. Jamur ini merupakan komponen flora kulit normal. Sampai saat ini, 13 spesies Malassezia telah diidentifikasi. Spesies utama yang diisolasi di Pityriasis versicolor adalah Malassezia Furfur, Malassezia Globosa, Malassezia Sympodialis (Tan, 2015).

Malassezia adalah bagian dari flora normal pada kulit. Kontak pertama

dengan ragi terjadi beberapa saat setelah lahir, ketika kulit bayi yang baru lahir bersentuhan dengan kulit seorang individu yang membawa jamur. Sejak saat itu, ragi ini akan hadir untuk seumur hidup (Mendez-Tovar, 2010).

Gambar 2.1. Pseudohyphae Malassezia (Mahmoudabadi et al, 2009).

Malassezia globosa telah dilaporkan sebagai etiologi utama di antara studi pasien Pityriasis versicolor di India, Iran dan Srilanka. Sedangkan di Indonesia disebutkan etiologi dari Pityriasis versicolor dilaporkan sebagai berikut:M.furfur42,9%, M. sympodialisin 27,5%, M. globosa 13,3%, M.obtusa7,7% dan M. restrictain 2,2% kasus (Ahmed et al, 2015).

Malassezia merupakan organisme lipofilik, dan lipid atau kulit yang berminyak sangat penting untuk pertumbuhan in vitro dan in vivo. Selanjutnya, tahap miselium dapat diinduksi secara in vitro dengan penambahan kolesterol dan ester kolesterol ke medium yang sesuai. Malassezie lebih cepat berkoloni pada manusia selama pubertas ketika terdapat peninggian produksi sebum dan Pityriasis versicolor terjadi di daerah-daerah yang kaya sebum (misalnya, dada, punggung) (Soleha, 2014).

Perbedaan permukaan kulit pada tiap individu diperkirakan memiliki peran utama dalam terjadinya Pityriasis versicolor. Namun, pasien dengan Pityriasis versicolor dan subjek kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan kuantitatif atau kualitatif pada lipid permukaan kulit. Lipid permukaan kulit sangat penting untuk keberadaan normal Malassezia Furfur pada kulit manusia, tetapi mereka mungkin memainkan peran kecil dalam patogenesis Pityriasis versicolor(Soleha, 2014).

Alasan mengapa organisme ini menyebabkan Pityriasis versicolor pada beberapa individu sementara pada individu lain tetap sebagai flora normal tidak sepenuhnya diketahui. Beberapa faktor, seperti kebutuhan nutrisi organisme dan

respon imun pejamu terhadap organisme merupakan faktor yang signifikan (Soleha, 2014).

2.1.4. PATOGENESIS

Patogenesis dari Pityriasis versicolor belum sepenuhnya diketahui, tetapi berbagai penelitian menjelaskan Pityriasis versicolor terjadi karena berbagai faktor seperti kolonisasi malassezia pada kulit, produksi sebum dan faktor predisposisi individu (Ibekwe, 2014).

Malassezia adalah bagian dari flora normal pada kulit. Kontak pertama

dengan ragi terjadi beberapa saat setelah lahir, ketika kulit bayi yang baru lahir bersentuhan dengan kulit seorang individu yang membawa jamur. Sejak saat itu, ragi ini akan hadir untuk seumur hidup (Mendez-Tovar, 2010).

Malassezia merupakan jamur dimorfik yang memiliki bentuk yeast dan juga

hifa. Berbagai faktor endogen dan eksogen seperti produksi sebum yang tinggi dapat merubah bentuk yeast dari malasseziamenjadi bentuk patogennya yaitu hifa (Ibekwe, 2014).

Melalui lipase, Malassezia memetabolisme berbagai asam lemak, seperti asam arakidonat atau vaccenic acid, dan asam azelaic akan dilepaskan sebagai salah satu metabolit. Asam ini menghambat aksi enzim dopa-tyrosinase, yang memblokir jalur tyrosine ke melanin dan akibatnya menghasilkan munculnya bintik-bintik hipokromik. Penelitian histopatologi kulit di daerah-daerah ini menunjukkan adanya melanosom yang lebih kecil daripada yang ditemukan pada kulit normal (Mendez-Tovar, 2010).

2.1.5. GEJALA KLINIS

Lesi dari Pityriasis versicolor berbentuk makula ataupun papul superfisial bersisik yang memiliki ukuran beragam. Lesi berukuran kecil biasanya berbentuk lingkaran atau oval. Lesi memiliki batas yang jelas dan bisa berbentuk hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Biasanya lesi dari Pityriasis versicolor

tidak menimbulkan keluhan atau hanya menimbulkan gatal tetapi keluhan memburuk ketika penderita terpapar suhu yang relatif hangat (Rai, 2009).

Gambar 2.2. Lesi hipopigmentasi (kiri), lesi hiperpigmentasi (kanan) (Sharma et al, 2016)

Hipopigmentasi pada lesi tersebut terjadi karena asam dekarboksilat yang diproduksi oleh malassezia yang bersifat sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanosit(Mendez-Tovar, 2010), sedangkan hiperpigmentasi terjadi akibat lebih tebalnya stratum corneum, melanosit yang lebih besar, dan reaksi inflamasi terhadap jamur (Ravindranath, 2016).

Penderita Pityriasis versicolor umumnya menunjukkan beberapa lesi pada daerah badan. Lesi juga bisa terdapat di tenggorokan dan ekstremitas atas proksimal. Distribusinya biasanya sejajar dengan kelenjar sebasea, dengan kejadian yang lebih tinggi di dada, punggung dan wajah. Namun, lesi ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi di punggung. Lesi pada wajah lebih sering ditemukan pada anak anak dibandingkan pada orang dewasa. Lesi ini jarang tetap terbatas pada tungkai bawah, adalah rongga poplitea, lengan bawah, ketiak, penis / genital, atau di area radioterapi. Distribusi juga terjadi di daerah-daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (Nura, 2016).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kazemi et al sebanyak 77% dari 582 pasien memiliki lesi Pityriasis versicolor pada badan bagian atas. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain dikarenakan oleh produksi sebum yang pada daerah tersebut (Kazemi et al, 2013).

Ada juga beberapa jenis Pityriasis Versicolor yang jarang ditemukan, yaitu:

a. Inverse Pityriasis Versicolor

Lesi Pityriasis versicolor terutama terletak di aksila, selangkangan atau perineum. Diagnosis banding dari bentuk Pityriasis versicolor ini akan mencakup infeksi dermatofita, erythrasma dan dermatitis seboroik.

b. Pityriasis Versicolor Atropican

Lesi mengalami atrofi, eritematosa, dan asimtomatik. Beberapa lesi mungkin memiliki teleangiectasi. Topografi Pityriasis versicoloratrophicans umumnya mengikuti Pityriasis versicolor umum dan sebagian atau seluruhnya sembuh dengan terapi antijamur yang tepat.

Diagnosis banding dari bentuk Pityriasis versicolorini termasuk anetoderma, bekas jerawat, dan atrofi makula. Pemeriksaan histologi diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

c. Pityriasis Versicolor Pseudoatropicans

Lesi Pityriasis versicolor bisa hipo dan hiperpigmentasi khas hidup berdampingan dengan bercak atrofi. Tambalan atrofi ini bersifat iatrogenik dan sekunder untuk memperpanjang terapi kortikosteroid topikal. Lesi membaik dengan suspensi penggunaan steroid.

d. Blaschkoid Pityriasis Versicolor

Digambarkan sebagai varian langka di mana lesi Pityriasis versicolor didistribusikan di sepanjang garis Blaschko.

e. Pityriasis Versicolor Rubra

Merupakan varian merah dari Pityriasis versicolor di mana lesi eritematosa dan memiliki teleangiectasia di atasnya yang dapat dilihat melalui capillaroscopy. Lesi didistribusikan di daerah tubuh yang kaya sebum dan meningkat dengan pengobatan antijamur (Ibekwe, 2014).

2.1.6. DIAGNOSA

Pityriasis versicolor dapat didiagnosis secara klinis oleh lesi kulit yang khas (hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, bersisik, plak tipis). Sisik halus pada kulit yang terkena tidak mudah dilihat tetapi menjadi lebih jelas ketika kulit

direntangkan atau dikikis. Tanda ini sangat membantu dalam menegakkan diagnosis Pityriasis versicolor (Renati, 2015).

Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan apabila terdapat ketidakyakinan terhadap diagnosis. Seperti pemeriksaan dengan lampu wood dan biopsi kulit.

Lampu ultra-violet khusus, yang dikenal sebagai lampu wood, dapat digunakan untuk mencari fluoresensi kuning yang khas dari Pityriasis versicolor. Kadang-kadang dokter mungkin mengambil kerokan kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika ada keraguan, biopsi kulit dapat dipertimbangkan (Renati, 2015).

a. Pemeriksaan lampu wood

Lampu wood merupakan alat yang sangat berguna di dunia dermatologi.

Berbentuk kecil, tahan lama, tidak terlalu mahal, aman, dan sangat mudah untuk digunakan. Lampu wood menghasilkan radiasi ultraviolet gelombang panjang tak terlihat pada panjang gelombang 340-450 nm (maksimum pada 365 nm). Masing masing kelainan dermatologis memiliki karakteristik fluoresensi tersendiri. Ada banyak kondisi dermatologis yang dapat di diagnosis dengan menggunakan lampu wood salah satunya Pityriasis versicolor (Suraprasit et al, 2016).

Pada pemeriksaan Pityriasis versicolor menggunakan lampu wood akan menghasilkan fluoresensi berwarna kuning ataupun oranye. Selain untuk mengkonfirmasikan, diagnosa lampu wood juga dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat untuk pengambilan spesies jamur dari Pityriasis versicolor(Suraprasit et al, 2016).

b. Biopsi kulit

Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke lesi.Selotip itu ditempatkan pada slide kaca dan diperiksa di bawah mikroskop. Keratin dan serpihan sisik kulit pertama dilarutkan dengan penggunaan 10-20% kalium hidroksida dan kemudian diwarnai dengan biru metilen, tinta parker atau biru lakto-fenol untuk mendorong pandangan yang jelas dari elemen jamur. Biasanya di dapati karakteristik jamur seperti “Spageti dan Bakso” (Ibekwe, 2014).

Gambar 2.3. Pemeriksaan dengan pewarnaan Swartz Lamkin menunjukkan gambaran spora dan hifa berpola “spageti dan bakso” (Renati, 2015) 2.1.7.FAKTOR RISIKO

Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor dapat terjadi pada orang sehat tanpa defisiensi imunologi. Namun demikian, beberapa keadaan yang mempengaruhi beberapa orang untuk terkena Pityriasis versicolor. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan antara hospes dan jamur tersebut adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangankan faktor eksogen yang terpenting adalah suhu dan kelembapan kulit (Soleha, 2014).

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya Pityriasis versicolor dijelaskan sebagai berikut:

a. Suhu dan kelembaban yang tinggi

Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembapan yang tinggi akan meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur meningkat(Mendez-Tovar, 2010).

b. Usia Remaja dan Dewasa Muda

Peningkatan androgen yang terjadi pada remaja dan dewasa muda, menghasilkan perkembangan kelenjar sebasea yang lebih besar dengan lebih banyak sekresi sebum di kulit, yang mendukung pertumbuhan ragi Malassezia yang merupakan organisme penyebab Pityriasis versicolor (Morais, 2010).

c. Keringat berlebih

Riwayat kekambuhan selama musim panas dan / atau berkeringat berlebih sering ditemukan, karena peningkatan kelenjar sebasea menyebabkan lingkungan lembab yang diperlukan untuk pertumbuhan menjadi bentuk hifa (Rivard, 2013)

d. Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dan Imunosupresan

Pemakaiankortikosteroid dan immunosupresan mengakibatkan meningkatnya tingkat keparahan Pityriasis versicolor(Thayikkanu, 2015).

e. Genetik

Predesposisi genetik terjadi pada keluarga yang rentan terhadap infeksi jamur (Mendez-Tovar, 2010).

f. Malnutrisi


Kekurangan beberapa zat gizi akan memudahkan pertumbuhan jamur Oportunis(Mendez-Tovar, 2010).

g. Faktor immunologi

Insiden infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan sistem imun misalnya pada penderita kanker, transplantasi ginjal dan HIV/AIDS serta dapat terjadi pada penderita penyakit cushing(Mendez-Tovar, 2010).

2.1.8. PENATALAKSANAAN

Pengobatan infeksi jamur Pityriasis versicolor ada dua jenis, bisa dilakukan secara topikal dan sistemik. Anti jamur topikal adalah pengobatan yang efektif dan murah terhadap Pityriasis versicolor. Kepatuhan pasien sangat mempengaruhi efisiensi dari pengobatan Pityriasis versicolor. Antijamur sistemik dapat dibenarkan jika agen topikal tidak efektif atau pada kasus yang berat dimana lesi terjadi di sebagian besar tubuh (Gupta, 2014).

Efisiensi dan keamanan agen-agen topikal, termasuk lotion, shampoo, krim, gel dan solusi, terbukti sebagai pengobatan yang efektif terhadap Pityriasis versicolor. Pengobatan topikal yang ada termasuk agen antijamur nonspesifik

juga efektif untuk menghilangkan jaringan mati dan mencegah invasi lebih lanjut (Gupta , 2014).

Foam ketokonazol adalah formulasi baru dari agen antijamur topikal yang

menembus jaringan transkutan dengan penetrasi 6 kali lebih besar daripada formulasi lotion. Produk ini diaktifkan oleh suhu; produk inimencair dan menguap segera yang memungkinkan senyawa aktif menembus ke dalam jaringan dengan cepat (Gupta, 2014).

Efisiensi agen sistemik oral seperti ketoconazole, itra-conazole dan flukonazol telah terbukti. Meskipun oral terbinafine merupakan pengobatan yang efektif untuk sejumlah infeksi jamur superfisial, tidak efektif sebagai pengobatan terhadap Pityriasis versicolor(Gupta, 2014).

Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding.

Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75%

dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg.

Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (Verawaty, 2017).

Berikut merupakan rekomendasi obat dan dosis menurut penelitian yang dilakukan Goldsmith et al pada tahun 2012.

Tabel 2.1. Obat sistemik pityriasis versicolor beserta dosis (Goldsmithet al,2012)

Nama obat Dosis

Ketoconazole 200mg/hari selama 10 hari Itraconazole 200mg/hari selama 5 hari

Fluconazole 300mg/minggu selama 2 minggu

Pramiconazole 200mg/hari selama 2 hari

2.2. KERANGKA TEORI

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Hospes Flora Normal (M. Furfur) Faktor Resiko

Endogen Eksogen

Produksi kelenjar sebasea Genetik

Malnutrisi Faktor imunologi Pemakaian obat-obatan

Suhu

Kelembaban kulit

Kolonisasi M. furfur Patogen Pityriasis Versicolor

2.3. KERANGKA KONSEP

Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

- Usia

- Jenis kelamin - Pekerjaan - Onset penyakit - Warna lesi - Lokasi lesi - Pilihan terapi

Pityriasis versicolor

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross-sectional untuk melihatkarakteristikPityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara. Data dikumpulkan dengan melihat rekam medik pasien di poli kulit dan kelamin RS Universitas Sumatera Utara (Sastroarmono, 2017).

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RS Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga November 2018.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. POPULASI

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien Pityriasis versicolorRS Universitas Sumatera Utaradari bulan 1 Januari – 31 Desember 2017.

3.3.2. SAMPEL

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara total sampling, dengan kriteria responden yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan pasien yang di diagnosis dengan Pityriasis versicolor. Pada penelitian ini didapati sampel dengan metode total sampling sebanyak 52 orang (Dahlan, 2010).

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1. KRITERIA INKLUSI

- Pasien dengan diagnosisklinis Pityriasis versicolor

3.4.2. KRITERIA EKSKLUSI

- Data rekam medik tidak lengkap.

3.5. METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien RS Universitas Sumatera Utara.

3.6. METODE PENGOLAHAN DATA

Data yang telah terkumpul akan diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2016 dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.

3.7. VARIABEL

Variable pada penelitian ini adalah kejadian Pityriasis versicolor,usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, warna lesi, dan lokasi lesi dan pilihan terapi.

3.8. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala ukur

- 56-65 tahun

3 Pekerjaan Pekerjaan pasien dilihat dari

5 Warna lesi Karakteristik

warna dari

untuk penyakit dari rekam medik

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU) yang berlokasi di Jalan Dr. T. Mansyur No. 66, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara mulai beroperasional pada tanggal 19 Oktober 2015 berdasarkan izin dari Kepala Dinas Kesehatan No. 442/422.40/X/2015. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara merupakan Rumah Sakit Umum Tipe C di Sumatera Utara yang memberikan pelayanan medis serta penyediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Fasilitas tersebut antara lain, ruang perawatan, pelayanan rumah sakit, serta pelayanan BPJS Kesehatan. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.

4.2. METODE DAN SAMPEL

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berupa data rekam medis pasien yang melakukan pengobatan ke RS USU. Penelitian dilakukan terhadap pasien Pityriasis versicolor yang datang ke RS USU untuk rawat jalanpada periode 2017. Jumlah seluruh sampel penelitian adalah 52 orang yang diperoleh dengan metode total sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik yang diamati pada sampel adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, lokasi lesi, warna lesi, pilihan terapi, dan pengobatan sebelumnya.

4.3. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN USIA

Tabel 4.1 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan usia.

Usia (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)

0-5 4 7,6

Berdasarkan tabel 4.1 kelompok usia penderita yang paling banyak yaitu 12-16 tahun (25%). Berdasarkan International Journal of Contemporary Medical Research (IJCMR) kelompok usia yang paling sering terkena Pityriasis versicolor berada di rentang 10-20 dengan nilai 53% dilanjutkan dengan kelompok usia 21-30 dengan nilai 21-30% kemudian rentang usia 31-40 sebesar 13% dan yang paling sedikit pada usia >40 dengan nilai 2%. Hal ini disebabkan oleh aktifnya kelenjar sebasea pada rentang usia 10-20 yang merupakan salah satu faktor pencetus Pityriasis versicolor. (Ravindranath, 2016). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Framil et al pada tahun 2011 rentang usia penderita Pityriasis versicolor yang paling sering adalah 21-30 tahun sebanyak 28,23% (Framil, 2011).

4.4. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Tabel 4.2 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 42 80,7

20

Perempuan 10 19,3

Total 52 100

Dari tabel 4.2 kelompok jenis kelamin yang lebih banyak yaitu laki-laki sebanyak 42 orang (80,7%) dan perempuan sebanyak 10 orang (19,3%).

Berdasarkan International Journal of Scientific Study (IJSS) didapati jumlah penderita laki laki lebih banyak yaitu sebanyak 57% sedangkan perempuan sebanyak 43% dikarenakan dianggap laki laki lebih banyak beraktivitas diluar dibandingkan perempuan yang dapat meningkatkan produksi sebum (Kambil, 2017). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 didapati penderita Pityriasis versicolor berjenis kelamin wanita lebih banyak dibanding laki laki yaitu berjumlah 72 orang (68,6%) (Santana, 2013).

4.5. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN PEKERJAAN

Tabel 4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pekerjaan.

Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

Siswa 19 36,5

Berdasarkan tabel 4.3 didapati insidensi Pityriasis versicolor tertinggi didapat pada siswa yaitu sebanyak 19 orang (36%). Apabila digolongkan sesuai dengan usianya maka siswa berada pada kelompok usia 10-20 orang sesuai dengan IJCMR dimana pada rentang usia tersebut ditemukan insidensi yang paling tinggi yaitu 53% (Ravindranath, 2016).

4.6. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN ONSET

Tabel 4.4 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan onset.

Onset Frekuensi (n) Persentase (%)

<1 Bulan 4 7,6

1-3 Bulan 23 44,2

4-6 Bulan 13 25

7-12 Bulan 11 21,1

>1 Tahun 1 1,9

Total 52 100

Berdasarkan tabel 4.4 didapati onset penyakit tertinggi yaitu pada 1-3 bulan yaitu sebanyak 23 orang (44,2%). Pityriasis versicolor merupakan penyakit yang memiliki gejala bercak putih dan gatal apabila berkeringat sehingga sedikit orang yang langsung berobat ke petugas medis (Soleha, 2016).

4.7. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN WARNA LESI

Tabel 4.5 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan warma lesi.

Warna Lesi Frekuensi (n) Persentase (%)

Hipopigmentasi 52 100

Hiperpigmentasi 0 0

Total 52 100

Pada tabel 4.5 didapati seluruh sampel memiliki lesi hipopigmentasi yaitu 52 orang (100%). Lesi memiliki batas yang jelas dan bisa berbentuk hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Biasanya lesi dari Pityriasis versicolor tidak menimbulkan keluhan atau hanya menimbulkan gatal tetapi keluhan memburuk ketika penderita terpapar suhu yang relatif hangat (Rai et al, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan Ravindranath ditemukan lesi hipopigmentasi sebanyak 80% dari 75 pasien yang diteliti, lesi hipopigmentasi diakibatkan oleh interaksi antara barrier kulit dengan komponen Malasseziaseperti produksi asam dekarboksilat yang menghambat enzim tyrosinase dalam memproduksi melanin, sedanga hiperpigmentasi terjadi akibat lebih tebalnya stratum corneum, melanosit yang lebih besar, dan reaksi inflamasi terhadap jamur (Ravindranath, 2016).

4.8. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN LOKASI LESI

Tabel 4.6 Karakteristik Pityriasis Versicolor berdasarkan lokasi lesi.

Lokasi lesi Frekuensi (n) Persentase (%)

Wajah 4 7,6

Berdasarkan tabel 4.6 lokasi lesi Pityriasis Versicolor paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu sebanyak 21 orang (40,3%). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 ditemukan lesi paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu berjumlah 43 orang (40,9%). Lesi Pityriasis Versicolor paling sering ditemukan pada bagian badan atas dan bisa menyebar ke

Berdasarkan tabel 4.6 lokasi lesi Pityriasis Versicolor paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu sebanyak 21 orang (40,3%). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 ditemukan lesi paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu berjumlah 43 orang (40,9%). Lesi Pityriasis Versicolor paling sering ditemukan pada bagian badan atas dan bisa menyebar ke

Dokumen terkait